Damar menjabat tangan kliennya, ia tersenyum puas dengan hasil meeting kali ini. Mereka pun berjabat tangan, sebelum akhirnya meninggalkan Damar dan sang asisten di sana.
“Kamu langsung balik ke kantor saja, aku masih ingin di sini!” ujar Damar. Pria itu menyesap sedikit minumannya, ia ingin sedikit menenangkan dirinya sejenak di kafe ini.
“Iya Pak?” tanya sang asisten tidak mencoba memastikan apa yang didengarnya.
“Kamu, balik ke kantor dan selesaikan pekerjaan kamu! Aku mau di sini dulu sebentar,” Damar terpaksa mengulang kembali perintahnya kepada sang asisten.
“Baik Pak!” jawab Aidan. “Apa nanti perlu saya hubungi Ramdan untuk menjemput Bapak?” tanyanya.
“Tidak perlu,” jawab Damar. “Kamu tinggalkan saja mobilnya di sini!”
Aidan kembali mengangguk, tanpa perlu dijelaskan lagi ia sudah paham dengan apa yang harus dilakukannya.
Dan sepeninggal sang asisten, Damar kembali membuka tablet dan mulai mengerjakan sesuatu di sana, sebelum akhirnya pria itu menangkap sosok yang sangat familiar untuknya.
Ya, benar! itu adalah adik sepupunya—Adrian, bersama dengan Kinanti dan juga pacar Adrian.
Sepertinya ketiga mahasiswa itu tidak menyadari keberadaannya. Damar menggeleng pelan, kemudian fokus kembali pada pekerjaannya.
Tapi saat sedang fokus dengan pekerjaannya, samar-samar Damar mendengar obrolan ketiga mahasiswa itu.
Awalnya Damar tidak terlalu peduli, karena itu masalah anak muda pada umumnya. Namun saat ia mendengar Kinanti yang ingin segera mendapatkan pacar, tiba-tiba ia merasa tertarik untuk mendengar lebih lanjut.
Entah kenapa Damar merasa seperti baru saja mendapatkan sebuah angin segar, dari masalah yang sejak kemarin membuatnya pusing.
Damar menyeringai tipis. “Interesting!”
***
Keesokan harinya …
[Datang ke ruangan saya jam 10, ada yang ingin saya bicarakan mengenai hasil evaluasi kamu kemarin]
Kening Kinanti berkerut saat membaca pesan pribadi dari Damar. Pesan itu terlalu mendadak, sehingga membuat gadis itu—yang saat ini sedang berada di kantin langsung beranjak dari duduknya.
“Kenapa Ki?” tanya Anggita.
“Huh? Enggak ini, Pak Damar tiba-tiba banget nyuruh gue ke ruangannya,” jawab Kinanti.
“Lah, mau ngapain?” kali ini Adrian yang bertanya.
Kinanti mengangkat bahunya. “Nggak tahu, katanya sih mau ngomong soal hasil evaluasi kemarin. Tapi nggak tahu, deh!”
“Ya udah, gih sana! sebelum dia marah-marah di grup, mending lo cepetan deh, Ki!” usul Adrian.
Kinanti mengangguk, gadis itu pun bergegas meninggalkan kantin fakultas. Padahal perutnya masih sangat lapar, tapi demi sang dosen Kinanti rela menahan lapar.
***
Tiba di depan ruangan Damar, Kinanti melihat ada seorang pemuda yang kalau ia tidak salah tebak, itu adalah mahasiswa bimbingan Damar.
Mengangkat bahu, Kinanti berjalan dan berdiri di sisi pemuda itu. “Lagi bimbingan ya, Kak?” tanyanya—basa-basi.
“Iya ini,” jawab pemuda itu. “Lo juga mau bimbingan?” tanyanya pada Kinanti.
“Huh? enggak,” Kinanti menggeleng pelan. “Gue mau bahas hasil eval kemarin.”
Pemuda itu hanya mengangguk. Dan tak lama setelahnya, pintu terbuka menampilkan sosok pemuda dengan wajah yang luar biasa kusut.
Kinanti hanya tersenyum tipis melihat pemandangan itu. Dalam hati, jangan sampai ia bernasib sama seperti kakak tingkatnya itu.
Kini giliran Kinanti yang berdiri di depan pintu ruangan sang dosen. Sebelum mengetuk pintu, Kinanti menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Tak lupa gadis itu merapalkan doa dalam hati, semoga kali ini tidak ada hal buruk menimpanya.
Tok, Tok!
Kinanti membuka sedikit pintu, dan juga sedikit menyembulkan kepalanya mencari sosok Damar.
“Permisi Pak …” gadis itu tersenyum kikuk.
“Oh, Kinanti!” Damar yang tengah membaca berkas, baru saja menyadari kedatangan Kiati. “Masuklah!”
Kinanti menurut, kemudian berjalan pelan hingga akhirnya gadis itu berdiri di depan meja sang dosen.
Damar melirik Kinanti yang sedang berdiri dengan kikuk. “Duduk.”
Gadis itu pun menuruti ucapan sang dosen. Hawa sejuk dari pendingin ruangan mulai menyelimuti tubuh Kinanti.
Hening
Kinanti memperhatikan Damar yang masih sibuk dengan berkas di tangannya. Dan gadis itu hanya bisa diam, menunggu Damar selesai dengan berkas di tangannya.
“Kelas kamu sudah selesai?” tanya Damar memecah keheningan.
Kinanti mengangguk cepat. “Sudah Pak,” jawabnya pelan.
“Kamu tahu, alasan saya panggil kamu kemari?” Damar bertanya lagi.
Kinanti mengangguk lagi. “Bapak mau bicara tentang hasil evaluasi saya kemarin.”
Damar merapikan berkas yang baru saja ia periksa tadi, kemudian ia mengambil satu lembar kerja milik Kinanti, dan menyerahkannya pada gadis itu.
“Ini hasil evaluasi kamu kemarin,” ujar Damar. “Lumayan,” imbuhnya.
Kinanti menerima kertas itu dengan wajah yang berseri. “Terimakasih Pak,” ucapnya dengan senyum yang tercetak jelas di wajah cantiknya.
“Selain itu ada hal lain, yang ingin saya tanyakan sama kamu,” ujar Damar.
“Huh?” netra Kinanti sedikit melebar karena terkejut. “T-tanya apa ya, Pak?”
Damar terdiam, menatap gadis muda yang duduk di hadapannya. Sejenak ia ragu untuk mengutarakan niatnya, mengingat status mereka dosen dan mahasiswa.
Apalagi keluarga mereka juga lumayan dekat, karena orang tua Kinanti masih kolega bisnis ayah Damar.
Atau ia urungkan saja?
Tapi suara-suara yang terus mendesaknya untuk menikah, kembali terdengar. Seolah ibunya itu tengah berbicara tepat di sisi Damar.
Kinanti yang melihat dosennya hanya diam saja, pun ikut merasa bingung sekaligus penasaran.
“Pak?” panggil Kinanti pelan.
“Hm? Ya!” Damar sedikit terkesiap, karena suara Kinanti membuyarkan lamunannya. “Ah, sampai mana tadi?” tanyanya.
“Bapak, yang katanya mau tanya sesuatu sama saya,” jawab Kinanti pelan.
Damar mengangguk kecil, ia harus segera menyelesaikan masalah ini.
“Kemarin saya tidak sengaja mendengar pembicaraan kamu dengan dua teman kamu,” kata Damar pelan. “Kamu sedang membutuhkan pacar, sebagai ajang pembuktian sama mantan pacar kamu, kalau kamu juga tidak kalah dengannya. Betul begitu?” tanyanya.
Kinanti jelas terkejut dengan penuturan dosennya barusan. Mau ditaruh dimana wajahnya?
“Apa urusannya dengan Bapak?” jawab Kinanti, berusaha untuk tetap terlihat tenang di hadapan sang dosen.
“Jawab saja pertanyaan saya,” Damar menatap lurus gadis itu.
“Kenapa Bapak mau tahu?” tanya Kinanti yang masih enggan untuk menjawab. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan yang menurutnya sangat aneh itu.
“Jawab saja Diah Ayu Kinanti!” nada bicara Damar sedikit mendesak.
“Maaf Pak, itu privasi saya, dan saya rasa Bapak tidak perlu ikut campur,” balas Kinanti.
Damar menghela napas pelan.”Justru saya ingin memberikan solusi untuk masalah kamu,” katanya.
“Solusi?” ulang Kinanti dengan kening yang berkerut. “Apa maksud Bapak?” tanyanya. Entah kenapa firasatnya tidak enak.
“Kamu tahu kalau saya ini duda, kan?” tanya Damar. Dan Kinanti mengangguk. “Kamu juga pasti sering dengar dari Adrian, kalau saya sering didesak untuk menikah, bukan?”
Kinanti mengangguk lagi.
“Kamu butuh pacar, dan saya butuh calon istri,” kata Damar pelan. Pria itu menatap Kinanti yang tengah menatapnya bingung.
“Lalu?”
“Kita harus bekerja sama,” Damar menyodorkan satu lembar kertas di hadapan Kinanti. “Saya ingin membuat sebuah penawaran sama kamu.”
Penawaran?
***
“Jadi kapan Tante Kinan ke sini lagi, Pa?”Pertanyaan dadakan dari sang putri, membuat Damar sedikit terkejut.“Kenapa memangnya, Nak?” tanya Damar lembut. “Ih, Papa nih! Aku tuh kangen main sama Tante Kinan, tahu? Kan udah lama banget, Papa nggak ajak dia ke sini?” gadis kecil itu menekuk wajahnya. Itu benar. Selain karena memang Damar disibukkan dengan pekerjaannya, juga karena pria itu merasa sangat aneh jika berdekatan dengan Kinanti. Seolah ada rasa tak ingin jauh, tak ingin terlalu cepat berlalu jika sudah bersama. Ini aneh, sekaligus bahaya. Damar tersenyum lembut, tangannya mengusap dengan sayang kepala putrinya. “Sabar, ya? Nanti Papa bakal ajak Tante Kinan ke sini, hm?”“Kenapa nggak sekarang aja, Pa?” “Nggak bisa, sayang. Papa lagi sibuk di kantor, Tante Kinan juga lagi sibuk sama kuliahnya. Nanti kalau kami sudah ada waktu senggang, oke?”Meski dengan pipi yang menggembung, tapi Ola tetap menganggukkan kepalanya. Sepertinya memang ia harus kembali bersabar. Dan kini
Kinanti mengerjap cepat beberapa kali. Jantungnya berdentum keras. Dan saat hendak membuka suara, Damar lebih dahulu bersuara.“Iya, Pak Arga,” kata Damar pelan. “Pak Arga ada perlu apa?” tanyanya.Pria yang bernama Arga itu berdehem canggung. “Ah, anu … saya mau ada kasih undangan ke Pak Damar. Mungkin Bapak berkenan hadir, dengan membawa pasangan, mungkin?” sesekali pria itu melirik ke arah Kinanti yang nampak membuang wajah.Damar menerima undangan yang baru saja disodorkan pada dirinya. Membaca sekilas nama yang tertera dalam undangan tersevut.“Pak Arga jadi dengan yang waktu itu?” tanya pria itu.Arga mengangguk pelan. “Iya, Pak. Dan semoga Bapak juga segera menyusul jejak saya,” katanya dengan kekehan kecil.Dan atas kalimat yang terlontar dari mulut Arga itu membuat Kinanti terbatuk, karena tersedak salivanya sendiri.Damar dengan sigap langsung memberikan gelas berisi air putih, yang ada di atas mejanya, kepada Kinanti.“Minum dulu,” kata Damar lembut.Dengan ragu, Kinanti me
Kalau boleh jujur, rasanya Kinanti sudah tidak sanggup berdiri. Lututnya terasa lemas seperti jelly. Perempuan itu sadar, jika apa yang baru saja Damar lakukan itu salah atau malah—benar?Kinanti terdiam, tidak berani menatap Damar yang saat ini tengah menatapnya. Semua kalimat yang hendak ia suarakan, rasanya tertelan kembali bersama salivanya. “Sudah malam, istirahat lah,” kata Damar lembut—betulan lembut. Bahkan, Kinanti sampai harus mendongak, demi memastikan jika tadi yang bersuara adalah Damar. “Kenapa, hm?” tanya Damar lagi. “Apa kamu mau tidur di mobil saya saja?” ujarnya menggoda gadis muda yang duduk di sampingnya. “Pak, tadi—”“Apa kamu sudah lupa, yang baru saja saya katakan, Kinan? atau—” Damar menatap lekat perempuan cantik itu, bibirnya mengulas senyuman tipis. “—kamu sedang berusaha untuk mengkode saya, supaya mengulangi yang barusan?”Kinanti mendelik, menatap horor sang dosen. Tapi rona merah yang ada di wajahnya, tidak dapat disembunyikan. Dan akhirnya perempu
Kinanti benar-benar menuruti keinginan Ola. Ia membawa gadis kecil itu, ke makam mendiang sang ibu.Dengan diantar oleh Damar, perempuan cantik itu setia membawa Ola dalam gendongan.Sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di komplek pemakaman itu, Damar terus memperhatikan Kinanti yang kini berada di depannya.Perasaannya benar-benar rumit sekarang. Ia tidak tahu, jika kedekatan Kinanti dengan putrinya, akan memberikan efek yang membuat Damar berada dalam sebuah dilema.Pria itu merasa perasaannya kepada Kinanti hanyalah rasa kagum saja—tidak lebih dari itu.Setidaknya itu yang Damar yakini saat ini—entah bagaimana nanti.“Nah, sudah sampai.”Suara Kinanti, membuat Damar tersadar dari lamunannya. Dan ternyata mereka telah tiba di depan pusara istri Damar.Sementara Kinanti dapat melihat buket bunga mawar merah dan putih yang begitu cantik, masih tersandar begitu saja di dipan bau nisan.Perempuan itu mengira jika bunga itu adalah pemberian Damar. Ia tersenyum samar, ad
“Apa maksud kamu?”Damar menatap lekat adik sepupunya—Adrian. Pria itu tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh adik sepupunya.Apa maksudnya?“Apa maksud kamu Restu Adrian Dwijaya?” tanya Damar lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Adrian mendengus pelan. Perhatiannya tertuju pada bingkai foto, yang terletak dengan manis di atas meja Damar.Sudah bisa ditebak jika itu adalah bingkai foto Damar bersama mendiang istrinya.“Mas, hubungan kalian ini hanya pura-pura. Jadi Mas nggak perlu mendalami peran,” kata Adrian.“Apa maksud kamu?” Damar terus mencecar pertanyaan yang sama. “Apa kamu cemburu?” tembaknya.“Cemburu?” Adrian bahkan melongo saat mendapat tuduhan tak berdasar itu. “Kenapa Mas bisa ambil kesimpulan seperti itu?” tanyanya tak habis pikir.“Ya, apalagi?” Damar menaikkan satu alisnya. “Kamu terlalu ikut campur dengan urusan Mas dan Kinan,” ujarnya pelan.“Aku sahabat dia, kalau Mas lupa,” balas Adrian. “Aku kenal dia dari kecil, dan dia udah kayak saudara
Kinanti merasa senang sekali saat berbincang dengan Alif dan juga neneknya. Sepasang nenek dan juga cucunya, yang kebetulan tengah beristirahat di depan ruko fotocopy yang ada di dekat kampus Kinanti.“Terus, setelah ini Nenek sama Alif mau ke mana lagi?” tanya Kinanti dengan senyum cerah yang tak pernah luntur sejak tadi.“Ya pulang,” jawab si nenek. “Nanti si Alif juga sebentar lagi dijemput sama ayahnya,” lanjutnya.Kinanti mengangguk-angguk paham. Kemudian pandangan gadis itu tidak sengaja menangkap sebuah mobil, yang sangat familiar untuknya. Kening perempuan cantik itu mengernyit samar. Rasanya sangat tidak mungkin, jika itu adalah mobil Damar. ‘Ngapain?’ tanya Kinanti dalam hati. Kalaupun memang benar itu adalah Damar, lalu kenapa pria itu hanya diam di sana? Bukannya masuk ke dalam kampus. Kinanti menggelengkan kepalanya, tidak mau memikirkan hal yang berat-berat. “Kamu kenapa?” tanya si nenek. “Eh?” Kinanti sedikit terkesiap. “Nggak apa-apa kok, Nek. Aku nggak apa-apa,”
Sementara di dalam ruang kerjanya, Damar sedang serius memperhatikan layar ponselnya , yang menunjukkan ruang pesannya bersama Kinanti.Ini aneh. Dan Damar sadar itu, jika sikapnya akhir-akhir ini memang sangat aneh.“Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan?” gumam pria tampan itu.Ia sendiri bingung dengan apa yang sedang dilakukannya. Akhir-akhir ini dirinya kerap memikirkan Kinanti, tanpa sebab.Atau mungkin ini karena dirinya ikut terbawa perasaan saja, saat melihat interaksi Kinanti dan juga putrinya.Pria tampan itu mengangguk pelan. “Iya, pasti karena itu,” ucapnya seolah menjawab pertanyaan yang sejak tadi ada dalam benaknya.Tapi … apa hanya itu?Bukan karena yang lain?Dan tatapan Damar tertuju pada bingkai foto, yang terpajang manis di atas meja kerjanya. Tanpa sadar pria itu tersenyum lembut saat menatap sosok yang ada dalam foto itu.Tangan Damar terulur untuk mengambil bingkai foto itu. Ia mengusap dengan lembut wajah cantik yang tengah tersenyum, menghadap kamera.Itu ad
“Ini enak banget sih,” kata Anggita saat menyantap nasi pecel pemberian Kinanti. “Tahu aja lo, kalau gue belum sarapan.”Ya, pada akhirnya Kinanti memutuskan untuk membawa nasi pecel itu ke kampus, lalu diberikannya kepada si sahabat.Karena Kinanti benar-benar kekenyangan sekarang. Makanan yang diberikan oleh Damar, habis tak bersisa—kecuali hanya meninggalkan kotak makan, yang emang tidak bisa dimakan.“Lo udah sarapan emang, Ki?” tanya Anggita.“Udah,” jawab Kinanti pendek.Anggita mengangguk-angguk. “Iya sih, karena nggak mungkin kalau lo belum sarapan, tapi malah kasih gue sarapan,” ujarnya. “Kenapa nggak mungkin?”“Ya, aneh aja nggak, sih? Lo belum sarapan, tapi malah kasih gue sarapan.”Dan tepat saat itu Anggita mendapat sebuah sentilan di dahinya. Gadis itu mengaduh pelan, kemudian meringis saat melihat wajah kesal Kinanti. “Kita temenan bukan sehari dua hari, ya! gue slengkat kaki lo, kalau ngomong begitu lagi!”“Iya, iya. Bercanda gue,” kata Anggita.Lalu tak lama setelah
“Ini buat saya, Pak?”Kinanti benar-benar bingung, saat tiba-tiba mendapati Damar berada di depan kosnya.Damar mengangguk. “Sebagai tanda terimakasih saya, untuk yang kemarin.”Ah, itu lagi.“Tapi saya rasa ini nggak perlu, Pak,” kata Kinanti.Damar menggeleng pelan, tapi wajahnya mengulas senyum tipis. “Nggak apa-apa. Kamu memang pantas mendapatkan itu.”Meskipun masih dilanda rasa bingung, tapi Kinanti tetap tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada dosennya itu.Ya, perempuan manapun pasti akan senang saat mendapatkan hadiah—termasuk Kinanti.“Terimakasih sekali lagi, Pak,” ujar Kinanti.“Sama-sama Kinanti,” jawab Damar.Ah, Kinanti benar-benar tidak biasa dengan Damar yang terlihat begitu baik dan manis. Karena selama ini yang ia kenal adalah, Damar yang dingin, dan juga selalu melemparkan kalimat pedas.Sementara jantung gadis itu sudah berulah sejak tadi. Karena benar-benar tidak ada yang memberitahunya jika, Damar bisa setampan ini saat sedang tersenyum.Dan Kinanti takut,