LOGIN“Beritanya sudah naik semua.”Kalimat itu jatuh di ruang rapat seperti palu yang menghantam meja. Layar besar di dinding menampilkan potongan headline dari berbagai portal daring—judulnya berbeda, nadanya sama.MENHUT DIDUGA TERKAIT PROYEK ILEGAL KAYU GELONDONGAN.JEJAK POLITIK MENGARAH KE LINGKARAN KEKUASAAN.Langit berdiri dengan tangan bertumpu di sandaran kursi, punggungnya lurus, rahangnya mengeras. Matanya tidak berkedip, menatap satu per satu paragraf yang menyebut nama Baskara Prameswara—mertuanya—tanpa ragu, tanpa basa-basi.Ramdan menoleh ke arah Langit. “Mereka nggak pakai kata ‘dugaan’ lagi, Pak. Narasinya udah diarahkan. Opini publik digiring.”Langit menarik napas perlahan. “Siapa yang pertama kali dorong isu ini?”“Anonim. Tapi setelah kami telusuri, sumber awalnya dari akun-akun yang terhubung ke dua perusahaan logging besar. Mereka nggak muncul di depan, tapi polanya kelihatan.”Langit tersenyum tipi
Berita itu muncul pertama kali bukan dari media arus utama.Bukan dari konferensi pers.Bukan dari rilis resmi kementerian.Melainkan dari sebuah unggahan akun anonim di media sosial, dengan narasi panjang, potongan data mentah, dan satu kalimat pembuka yang langsung menusuk:“Kalau kita bicara soal banjir dan kebakaran, jangan lupa siapa yang selama ini mengatur hutan.”Nama Baskara Prameswara disebut di sana.Tidak frontal. Tidak menuduh langsung. Tapi cukup untuk membuat siapa pun yang membaca mengernyit dan mulai mengaitkan potongan-potongan yang selama ini tercecer.Langit membaca berita itu dalam diam, duduk di ruang kerjanya dengan ponsel tergeletak di atas meja. Layar memperlihatkan unggahan yang sudah dibagikan ribuan kali hanya dalam hitungan jam.Ada tangkapan layar dokumen proyek.Ada potongan pidato lama.Ada foto-foto yang diambil dari sudut jauh, entah kapan, entah di mana.Dan ada sat
Berita itu tidak lagi sekadar lalu-lalang di kolom kecil media daring. Sejak pagi, layar televisi di ruang keluarga menampilkan gambar yang sama berulang-ulang: asap hitam membumbung dari salah satu gedung perkantoran di pusat kota, petugas pemadam berlarian, dan headline yang kian membesar.“Kebakaran Misterius Diduga Berkaitan dengan Dokumen Proyek Kehutanan.”Tanisha mematikan televisi lebih cepat dari biasanya. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di dadanya—bukan karena kebakaran itu sendiri, tapi karena ia tahu betul, setiap berita yang menyerempet kata kehutanan dan proyek besar selalu berarti satu hal: Langit akan semakin sibuk, semakin jauh, dan semakin berada di wilayah yang tak bisa ia jangkau.Ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Langit masuk.“Saya rapat hari ini. Jangan ke mana-mana.”Tanisha menghela napas. Ia tidak membalas. Bukan karena marah, hanya karena tidak tahu harus mengatakan apa. Sejak kejadian-kejadian belak
Berita tentang kebakaran itu tidak turun dari layar ponsel sejak pagi.Tanisha melihatnya saat sedang duduk di ruang tengah, televisi menyala tanpa benar-benar ia perhatikan, sampai potongan gambar drone memperlihatkan gedung perkantoran yang hangus sebagian. Api sudah padam, tapi sisa asap hitam masih membubung, seolah ada sesuatu yang belum selesai di sana.Gedung itu tidak asing.Tanisha ingat betul, di sanalah beberapa kantor konsultan dan perusahaan holding beroperasi—perusahaan yang namanya sering disebut samar di berita ekonomi, tapi jarang benar-benar dibedah. Terlalu besar, terlalu kuat, terlalu dekat dengan lingkar kekuasaan.“Katanya korsleting,” gumam penyiar berita. “Namun pihak kepolisian belum menutup kemungkinan adanya unsur kesengajaan.”Tanisha menurunkan volume televisi ketika langkah kaki terdengar dari arah lorong. Langit baru keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya datar seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda di r
Berita tentang kebakaran itu naik lebih cepat dari yang diperkirakan Langit.Pagi baru saja berjalan setengah jam ketika layar televisi di ruang keluarga rumah mereka menampilkan breaking news berwarna merah menyala. Tanisha yang sedang duduk di sofa, mengaduk teh hangat dengan gerakan pelan, langsung menoleh begitu kata kebakaran terdengar dari mulut pembawa berita.“Telah terjadi kebakaran hebat di salah satu gedung perkantoran kawasan pusat kota. Api diduga berasal dari lantai atas gedung, tepatnya area arsip dan server internal perusahaan—”Tanisha spontan menegakkan punggung. Gedung itu tidak asing. Ia mengenali bentuk fasadnya, bahkan dari sudut pengambilan gambar yang buram.Itu gedung yang kemarin berdiri tak jauh dari restoran tempat ia makan siang bersama Langit.Ia menoleh ke arah suaminya.Langit berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap televisi, satu tangan dimasukkan ke saku celana. Sejak berita itu muncul, i
Tanisha tidak menyangka undangan itu akan datang begitu saja, tanpa rencana, tanpa aba-aba panjang.Langit baru saja pulang ke rumah di tengah hari, sesuatu yang jarang terjadi belakangan ini. Ia bahkan masih mengenakan kemeja kerja, jasnya tersampir di lengan, dasi sudah dilepas. Wajahnya terlihat lelah, tapi tidak kusut. Justru tenang dengan cara yang aneh—seolah lelaki itu sedang memutuskan sesuatu di kepalanya sejak lama.“Kita makan siang di luar,” ucap Langit singkat, begitu saja, seperti mengajak berhenti sebentar di lampu merah.Tanisha yang sedang duduk di ruang keluarga menoleh, sedikit terkejut. “Sekarang?”“Iya.”“Mas nggak ada agenda?”Langit menggeleng. “Saya kosongkan.”Kalimat itu terdengar sederhana, tapi Tanisha tahu, bagi Langit, mengosongkan waktu di tengah hari bukan hal remeh. Ada banyak rapat, banyak urusan partai, banyak panggilan yang biasanya tidak bisa ditunda.Tanisha sebenarnya sudah tidak memikirkan apa pun soal kejadian di DPP beberapa waktu lalu. Luka i







