Share

Chapter 5 : Cerita masa lalu

"Celin udah bilang kalau Celin gak mau, Celin belum mau nikah, Pa, Ma." kata Celindia saat mereka memasuki rumah. 

"Celin," panggil Rio kepada anak gadisnya yang akan masuk ke kamarnya. 

"Sini, Papa mau ngomong." dengan gerakan malas, Celindia melangkah lalu duduk di samping Rio. 

Yang duduk di sofa itu adalah Celindia, Rio, dan Alges. Kalana pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, Rio menghela napas lalu membuka suara. 

"Kamu gak heran kenapa Papa sama Abang pulang cepat?" 

Celindia mengerutkan keningnya, benar juga. Padahal tidak biasanya Ayah dan Kakaknya pulang di sore hari, paling cepat mereka pulang saat hari menjelang malam. 

"Emangnya kenapa, Pa?" 

"Perusahaan udah di ujung tanduk, saham Papa turun drastis." jawab Rio membuat Celindia terdiam kaku. 

"Klien-klien Papa banyak yang batalin kerja sama, Kita hampir bangkrut." 

"Ya terus apa hubungannya sama Celin?" Celindia masih mencoba memahami ke mana arah pembicaraan ini. 

Rio kembali menghela napas, Ia menatap dalam anak perempuannya. 

"Kalau Celin setuju untuk nikah dengan Indra, Indra bakalan kasih Papa saham sebesar lima belas persen dari perusahaannya. Papa bisa bangkit, dan kita gak akan bangkrut." 

Celindia menatap Rio tak percaya. "Maksud Papa ... Papa mau jual Celin?" 

"Enggak gitu Celin, dengerin dulu semuanya. Maksud Papa--" 

"Celin kecewa sama Papa," kata Celindia dengan air mata lalu berlari masuk ke kamarnya. 

"Celin," panggil Rio. 

Alges berdiri, "Biar Alges nyusul Celin, Pa." Rio mengangguk lesu. 

"Enggak usah, biar Mama yang nyusul." Kalana datang dari arah dapur. 

Kalana lalu melangkah ke arah kamar Celin, kamar gadis itu berada di urutan kamar ketiga. Awalnya Celin menginginkan kamar pertama, namun Rio mengatakan bahwa kamar pertama akan di jadikan kamar tamu. 

Alasan Rio menempatkan Celin di urutan ketiga juga karena Celin adalah anak gadis satu-satunya, Ia hanya mencegah hal-hal yang bisa  saja membahayakan Celin terjadi. Alges berada di urutan kamar keempat sedangkan Rio dan Kalana di kamar kedua, rumah keluarga Pratama besar namun tidak bertingkat. 

Kalana mengetuk pintu kamar Celin. 

Tok tok tok ... 

"Celin." 

"Celin, Mama masuk ya?" Tak mendapatkan jawaban, Kalana memutuskan untuk masuk. 

Untungnya Celin tidak mengunci pintu kamarnya, Kalana melihat Celin yang tidur telungkup dengan tubuh bergetar. Gadis itu sedang menumpahkan tangisannya, Sang Ibu lalu duduk di samping anaknya. 

"Ppjhtabbgjgjht," kata Celin tidak jelas karena wajahnya menempel di bantal. 

"Ha?" beo Kalana. 

Celin lalu duduk dengan gerakan spontan, membuat Kalana hampur terjungkal. 

"Astaghfirullah!" 

Celin melipat tangannya, matanya masih memerah karena air mata. 

"Papa jahat, Papa udah gak sayang sama Celin lagi. Celin di jual sama Papa hiks," isak Celindia. 

"Hei hei, gak di jual Celin sayang." 

"Terus tadi itu apa?" ketus Celindia. 

Kalana menghela napas. "Kamu masih ingat saat Papa bangkrut karena penghianatan sekretarisnya?" Celindia mengangguk, gadis itu mulai sedikit tenang. 

"Ingat juga keadaan Papa waktu itu?" 

Celindia kembali mengangguk. "Papa seperti mayat hidup, tapi kenapa? Itu hanya perusahaan, Papa kan bisa bangkit lagi untuk buat perusahaan baru." 

Kalana tersenyum tipis lalu mengusap air mata anaknya. "Justru itu Celin, perusahaan Papa itu bukan Papa yang bangun. Perusahaan itu di bangun oleh Kakek, sebelum Kakek meninggal, Kakek mewariskan semua saham dan perusahaannya kepada Papa. Semuanya. Tante Risa bahkan gak dapat sepersen pun, tapi Tante Risa dapat rumah warisan dari Kakek." 

"Kenapa Papa kayak orang gila saat tahu Papa udah bangkrut, karena amanah dari Kakek selalu terbayang sama Papa. Papa ngerasa jadi anak yang gak becus saat itu, karena Papa gak bisa jaga amanah dari Kakek. Saat itu kita pindah ke rumah yang lebih kecil karena rumah ini menjadi tahanan depkolektor, Kamu bahkan sering pulang dengan keadaan menangis karena di hina teman-temanmu. Kamu juga pernah ngomong ke Mama kalau Kamu udah gak ada temannya, Abang Kamu juga gitu. Abang Kamu selalu pulang dengan keadaan yang babak belur karena lagi-lagi memukul temannya yang menghinanya dan menghina keluarga kita, saat itu Mama ingat banget. Kamu menangis dan ngomong gak mau hidup miskin," jelas Kalana panjang. 

Celindia masih tidak bersuara, diam-diam Ia mengingat saat-saat itu. Saat di mana keluarganya yang bangkrut, mereka di hina. 

"Tante Risa sempat bantuin Kita, tapi gak bisa bantu-bantu banyak. Karena Tante Risa udah berkeluarga, dia juga butuh biaya sehari-hari walaupun suaminya juga bekerja. Suaminya juga gak bisa bantu kita banyak, rumah yang sempat Kita tempati dulu itu adalah uang dari patungan Tante Risa sama suaminya. Waktu itu Kita benar-benar gak punya uang sampai makan pun harus ngutang." 

"Enggak lama dari itu, saat Papa lagi sibuk nyari pekerjaan di jalanan, ada perempuan yang kecopetan. Awalnya Papa gak mau bantu karena Papa lagi nyari-nyari pekerjaan, terus karena Papa lihat gak ada yang bantuin karena jalanan di situ juga sunyi, akhirnya Papa nolongin perempuan itu. Setelah di tolong, perempuan itu berterima kasih. Papa sempat di kasih imbalan tapi Papa tolak, Papa tolong perempuan itu ikhlas. Sekitar seminggu setelahnya ada beberapa orang yang berbadan besar datang ke rumah, perempuan itu juga datang." 

"Gak di sangka, perempuan itu cari tahu tentang Papa. Saat itu Beliau sudah tahu keadaan Papa, dari Papa yang kehilangan semua hartanya sampai memutuskan tinggal di rumah kecil. Lebih kagetnya lagi, perempuan itu datang dan bawa sertifikat rumah, kantor perusahaan, dan tanah lahan Papa." 

"Kamu udah ingat kan, siapa perempuan itu?" 

Celindia menatap Kalana. "Oma Amara."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status