LOGINHappy Reading
***** "Ih, amit-amit. Kok, bisa aku ketemu lagi sama kamu," ucap Cakra lirih. Badannya bergerak, menggeliat seperti jijik terhadap perempuan di depannya. "Oo ... Jadi, kamu orang yang direkomendasikan Pak Hardinata. Kok nggak cocok sama sekali, sih, sama cerita beliau. Aku kira, orang yang direkomen sama beliau itu bakalan waw gitu. Ternyata cuma lelaki ...," ejek perempuan dengan kemeja ketat berwarna putih serta rok motif bunga mawar, membungkus tubuh indah di depan Cakra. "Cuma apa? Lanjutkan saja ejekanmu." Entah mengapa suara Cakra meninggi. Tiap kali bertemu dengan perempuan di depannya, si lelaki selalu emosi. Seperti ada yang mendorongnya untuk terus marah. "Dasar cowok mokondo," hina si perempuan. "Kayaknya kamu nggak cocok sama pekerjaan ini. Aku yakin, ilmu pemasaran yang kamu miliki cuma digunakan untuk memikat cewek-cewek seperti pada nenek." "Iich, kamu." Telunjuk Cakra mengacung ke wajah si perempuan. Emosi Cakra makin terpancing dengan kalimat tadi. "Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mendingan diem. Kalau aku mokondo, nggak bakalan aku ada di kantormu sekarang. Ngapain susah-susah kerja. Bikin capek aja. Lagian, siapa juga yang mau sama nenekmu itu." Cakra mencondongkan badan hingga jaraknya dengan si perempuan tinggal beberapa senti saja. "Wanita seperti nenekmu itu, sudah nggak bisa memuaskan di ranjang," ucapnya lirih sengaja ingin menambah kejengkelan perempuan di hadapannya. "Ih, mesum banget kamu," teriak sang pemilik ruangan. Perempuan itu dengan cepat mendorong tubuh Cakra. Putra sulung Arimbi itupun terbahak-bahak melihat tingkah lucu calon klien barunya. Kalimat provokasi yang dilontarkan Cakra sukses membuat si perempuan jengkel. Perempuan berkulit putih di depan Cakra itu, diam. Baru meyadari jika lawan bicaranya cuma ingin memancing emosinya saja. "Kalau gitu, kenapa kamu kencan sama nenekku? Kenapa nggak kencan sama perempuan yang kamu sebutkan tadi?" tanya Ari setelag beberapa menit kemudian terdiam. "Gara-gara pengen ketemuan sama kamu, nenek melarikan diri dari pemeriksaan rutin kesehatannya. Untungnya, aku bisa menemukan Nenek dan kesehatannya nggak terganggu sama sekali. Kalau sampai kesehatan Nenek terganggu, aku nggak akan pernah maafin. Kamu nggak malu kencan sama perempuan yang pantas jadi nenekmu sendiri?" Wajah perempuan itu benar-benar menjengkelkan dengan segala kalimat yang dikeluarkan. Cakra mengembuskan napas panjang. Mencoba meredakan emosi yang mulai tak terkendali dengan duduk. Tidak mungkin lelaki itu memukul seorang wanita walau mulutnya cukup tajam mengeluarkan kalimat yang sama sekali tidak berdasar. "Andai tahu jika perempuan yang aku kenal adalah nenek-nenek, aku nggak akan mau ketemuan dengannya," ucap Cakra mencoba menjelaskan. "Sudahlah, lupakan. Aku di sini bukan untuk membahas nenekmu atau masalah pribadi lainnya. Aku ke sini atas perintah bos untuk membicarakan kerja sama kita. Jadi, mari bersikap profesional. Jam kerja kita terus bergerak dan sampai saat ini, aku belum mempresentasikan rencanaku." Perempuan itu menatap lawannya. Hanya, karena melihat pertemuan dengan sang nenek kemarin, dia membenci dan men-judge Cakra lelaki tidak benar. Padahal dia tidak mengenal Cakra sama sekali, kesadaran Ari mulai kembali. Kewarasan otaknya mulai hadir. "Astagfirullah," ucap Ari lirih, "Mungkin aku telah salah menuduhnya," katanya dalam hati. "Oke. Mari kita bahas pekerjaan dan lupakan sejenak kejadian kemarin," pinta sang pemilik ruangan. "Jadi, rencana apa yang ingin kamu tawarkan padaku?" Cakra berdeham, mulai mempersiapkan diri untuk presentasi. Mengambi laptop, mulai mencari proposal yang sudah dia persiapkan untuk perusahaan sang pemilik ruangan. Si lelaki juga meminta mereka berdua duduk di sofa saja supaya proposal yang akan dia jelaskan dan diskusi keduanya lebih nyaman. Beberapa menit kemudian, lelaki itu selesai dengan semua pembahasan yang ada. Cakra menatap lawannya. "Bagaimana menurut Ibu? Apakah program yang saya buat bisa diterima? Jika, Ibu setuju, bisa kita menandatangi kontrak kerja sama sekarang? Supaya besok, bisa langsung merealisasikan apa yang sudah saya jelaskan tadi." Ari terdiam, seperti memikirkan sesuatu, mungkin asih ada yang mengganjal di hati terkait proposal yang dijelaskan Cakra tadi. "Gimana, Bu? Apa perlu saya mengulang penjelasan tadi?" tanya Cakra karena Ari tak kunjung membuka suara. "Sebentar, saya masih ada hal yang peru ditanyakan, terkait rencanamu tadi." "Silakan tanyakan saja, apa yang masih mengganjal di hati Ibu." "Apa kamu akan terlibat langsung dengan rencana yang kamu paparkan tadi? Jika orang lain yang mengerjakan, saya takut nggak sebagus konsepnya." "Saya sendiri yang akan menanganinya langsung semua projek yang saya paparkan tadi. Jadi, selama enam bulan ke depan, saya berada di kantor ini setiap hari. Itupun, jika Ibu berkenan menandatangani kontrak kerja sama kita." Cakra langsung mengambil map warna hitam dari tas yang berisi perjanjian kontrak kerja sama dengan perusahaan si wanita. Lalu, menyodorkannya. Perempuan itu menganggukkan kepala. "Oke, kalau memang begitu. Jadi, bagian mana yang harus saya tanda tangani supaya besok kamu langsung merealisasikan projek tadi?" "Silakan tanda tangan di sini," pinta Cakra. Menunjukkan bagian kosong yang harus diisi oleh si perempuan dengan tanda tangannya. Setelah selesai, Cakra mengulurkan tangan. "Selamat bekerja sama. Mulai besok, saya resmi bekerja dari kantor ini. Jadi, tolong disiapkan untuk meja kerja dan juga ruangan. Tidak perlu terlalu besar. Asal ada meja, kursi sudah cukup bagi saya untuk bekerja." "Baik. Saya akan meminta orang menyiapkan semuanya." Ari menerim uluran tangan si lelaki. Keduanya berjabat seolah tak pernah ada masalah sebelumnya. "Kalau begitu, saya permisi. Untuk salinan kontrak akan segera dikirimkan ke email Ibu." "Baik." Perempuan itu mencoba bersikap profesional. Ketika Cakra pamit undur diri, Ari mengantarnya sampai pintu. Namun, ketika sang pemilik ruangan akan membukakan pintu untuk tamunya. Heels yang dikenakan menginjak sesuatu, lantai menjadi licin hingga perempuan itu limbung. Ari pun hampir terjatuh. Beruntung, gerakan tangan Cakra jauh lebih cepat menolong perempuan tersebut. Si lelaki menarik pinggang si gadis dengan kuat. Kini, keduanya menempel satu sama lain. Saling menatap tanpa mengatakan apa pun, kedua mata mereka bertemu, saling menyelami perasaan masing-masing. Cakra memalingkan muka ketika tanpa sengaja dari celah kancing kemeja si perempuan tersembul sesuatu yang seharusnya tak boleh dilihat. "Mulus banget," kata Cakra dalam hati, tetapi dia segera mengenyahkan semua pikiran kotor itu. Ari sendiri masih tertegun dan tak mampu bergerak. Perempuan itu seperti terhipnotis oleh wajah rupawan lelaki di depannya. "Mau sampai kapan Ibu menatap saya seperti ini? Terpesona? Jangan sampai jatuh cinta dengan lelaki mokondo seperti saya. Nanti, menyesal karena ternyata saingannya banyak," sindir Cakra untuk mengingatkan perkataan si perempuan sebelumnya. "Dih, kepedean," sahut Ari cepat dengan membuang wajah. Lalu, mendorong keras tubuh kekar di depanya, melepaskan diri dari pelukan si lelaki. Cakra tersenyum puas bisa mengerjai perempuan yang kemarin hingga saat ini sudah menghinanya. "Rasakan pembalasanku," ucapnya dalam hati. "Bukannya kepedean, tapi wajah dan tatapan mata Ibu mengatakan semuanya. Kalau nggak terpesona, mana mungkin pipinya kemerahan gitu." Cakra sengaja mengulas senyum, menggoda Ari. "Silakan keluar sekarang," kata Ari cukup keras dengan raut salah tingkahnya membuat tawa Cakra menggema ke seluruh ruangan. "Sampai jumpa besok, Bu. Nanti malam, jangan kepikiran sama cowok mokondo kayak saya, ya." Sengaja, Cakra mengatakan hal yang memprovokasi pada si cewek jutek itu. "Awas saja kalau kepikiran, bisa-bisa mimpi basah sama saya." "Keluar!" bentak si perempuan.Happy Reading*****Menepuk kening sendiri setelah melihat wajah si nenek, mau tak mau Cakra tetap menampilkan senyuman walau sedikit enggan bertemu dengan wanita tersebut. "Nenek mau nyari siapa di sini?" tanya Cakra sedikit canggung. Kakinya bersiap melarikan diri jika jawaban si nenek sesuai dengan pemikirannya tadi. "Mau nyari siapa lagi? Pastinya, nyari kesayanganku, dong, Mas," jawab si nenek sedikit genit. Tanpa basa-basi lagi, Cakra memilih melarikan diri. Meninggalkan si nenek tanpa membalas perkataan wanita berambut putih di hadapannya. Langkah kaki si sulung begitu cepat bahkan panggilan namanya yang diteriakkan si nenek tak mampu menghentikan langkahnya. Namun, di tikungan jalan yang tak jauh dari taman, langkah Cakra terhenti karena ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang menghadangnya."Siapa kalian?" tanya Cakra dengan kening berkerut. Dia merasa tak mengenal orang-orang tersebut. Apalagi di komplek perumahannya hampir tidak ada yang memiliki pengawal maupun a
Happy Reading****Aktifitas Cakra kembali seperti semula. Setelah adanya konfirmasi dari Venya bahwa dirinya tidak pernah bertemu. Seperti biasa, sepulang kerja, dia langsung menghubungi kekasih online-nya. Kantor baru di tempat kliennya membuat sang lelaki cukup menguras tenaga. Sifat si bos wanita yang curigaan bahkan terkadang meremehkannya membuat kepala Cakra pening. Padahal dia sudah punya program sendiri untuk memajukan usaha si bos. Menatap foto profil yang dipakai sang kekasih online, Cakra menarik garis bibir tinggi-tinggi. Hamparan pasir pantai yang terkena sinar senja begitu memukau mata pemandangnya. Lekas, Cakra pun mengetikkan chat pada Venya. "Baby, gimana kalau kita video call. Sudah setahun berhubungan, tapi kamu nggak pernah mengirimkan foto atau hal lainnya yang bisa mengidentifikasi wajahmu. Nanti, kalau ketemu di jalan terus nggak saling sapa, kan, aneh. Paling parah, kalau kita ternyata bisa menjadi musuh satu sama lain di dunia nyata," tulis Cakra. Entah me
Happy Reading***** "Hilih, ngelak aja kamu. Terus, tadi ngomong apa? Sampai nyebut kata gila, kalau nggak kepikiran si nenek, kamu nggak akan ngomong gitu. Ayolah, Cak. Akui saja dengan jujur kalau kamu muai tertarik dengan lamaran si nenek itu," goda Hanif. "Dih, apa coba? Kamu salah dengar kayaknya, aku nggak ngomong apa-apa," jawab Cakra, "sudah. Nggak usah bahas masalah aku sama nenek. Jadi, mau apa kamu nyariin aku?"Cakra membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. Sudah saatnya bicara serius, bukan cuma membahas masalah pribadinya seperti tadi. Hanif pun melakukan hal yang sama seperti sahabatnya, duduk dengan posisi tegak. Tak lupa, sahabat yang sejak kuliah sudah mengenal Cakra itu mengambil map hitam di depannya. Sejak tadi, Hanif meletakkan map tersebut begitu saja, lebih tertarik mendengar cerita Cakra dengan segala kisah cita dunia maya yang dimiliki. "Aku ke sini cuma mau nyerahin berkas yang kemarin kamu minta." Lelaki berambut lurus dan hitam lebat itu menyodorkan
Happy Reading*****Hening sejenak, tiba-tiba saja merasakan udara di sekitarnya mencekik leher. Sekujur tubuhnya merinding, membayangkan wajah si nenek yang kemarin bertemu dengannya. "Mas, halo. Kamu masih di sana, kan? Kamu dengar pertanyaan ku tadi, kan?" tanya si perempuan di seberang sana. "Eh, iya," sahut Cakra tergagap. "Jadi, bukan kamu yang ketemuan sama aku kemarin atau kamu ada nyuruh orang untuk ketemuan sama aku?" "Mas, ih. Ada-ada saja ngomongnya. Gimana bisa ketemuan atau nyuruh orang buat ketemuan sama Mas? Seharian kemarin, aku ngurus masalah keluarga," jelas perempuan di seberang sana. "Nggak bisa ngapa-ngapain atau keluar.""Benarkah?" "Hu um," jawab sang perempuan d seberang sana. Ingin rasanya Cakra berteriak sekencang mungkin. Antara bahagia sekaligus bingung mendengar penjelasan kekasih online-nya. "Kamu yakin, Baby?""Harus berapa kali aku menjelaskannya, Mas. HP-ku hilang nggak tahu di mana. Mungkin saja, seseorang telah menemukannya, lalu menghubungimu.
Happy Reading*****Baru saja Cakra keluar dari ruangan Ari, ponsel perempuan itu sudah berdering. Ada panggilan masuk dari sang Nenek. Walau hatinya masih jengkel karena perbuatan elaki tadi,"Ya, Nek," ucap perempuan yang masih menyimpan jengkel pada lelaki yang baru saja pergi itu."Ar, kamu sudah teken kontrak dengan perusahaan, Cakra, kan? Awas saja kalau kamu menolak kerja sama yang dia tawarkan dan memarahinya gara-gara masalah kemarin," tanya si nenek tanpa berniat basa-basi sama sekali. Perempuan yang baru saja bertemu dengan Cakra, mengembuskan napas. "Nenek benar-benar dibutakan oleh cinta, ya? Segitunya pengen lelaki itu ada di kantor kita. Apa, sih, hebatnya dia?"Bukannya marah, perempuan sepuh itu malah tertawa. "Nenek memang sudah dibutakan oleh ketampanan Cakra. Nenek jatuh cinta sejak pertemuan dengannya kemarin. Dia harus menjadi bagian dari keluarga kita. Awas saja kaau kamu menolak atau menghalanginya." "Nenek, ingat umur!" Si perempuan sampai berteriak mendeng
Happy Reading*****"Ih, amit-amit. Kok, bisa aku ketemu lagi sama kamu," ucap Cakra lirih. Badannya bergerak, menggeliat seperti jijik terhadap perempuan di depannya. "Oo ... Jadi, kamu orang yang direkomendasikan Pak Hardinata. Kok nggak cocok sama sekali, sih, sama cerita beliau. Aku kira, orang yang direkomen sama beliau itu bakalan waw gitu. Ternyata cuma lelaki ...," ejek perempuan dengan kemeja ketat berwarna putih serta rok motif bunga mawar, membungkus tubuh indah di depan Cakra."Cuma apa? Lanjutkan saja ejekanmu." Entah mengapa suara Cakra meninggi. Tiap kali bertemu dengan perempuan di depannya, si lelaki selalu emosi. Seperti ada yang mendorongnya untuk terus marah. "Dasar cowok mokondo," hina si perempuan. "Kayaknya kamu nggak cocok sama pekerjaan ini. Aku yakin, ilmu pemasaran yang kamu miliki cuma digunakan untuk memikat cewek-cewek seperti pada nenek.""Iich, kamu." Telunjuk Cakra mengacung ke wajah si perempuan. Emosi Cakra makin terpancing dengan kalimat tadi. "Ka







