LOGINHappy Reading
***** Baru saja Cakra keluar dari ruangan Ari, ponsel perempuan itu sudah berdering. Ada panggilan masuk dari sang Nenek. Walau hatinya masih jengkel karena perbuatan elaki tadi, "Ya, Nek," ucap perempuan yang masih menyimpan jengkel pada lelaki yang baru saja pergi itu. "Ar, kamu sudah teken kontrak dengan perusahaan, Cakra, kan? Awas saja kalau kamu menolak kerja sama yang dia tawarkan dan memarahinya gara-gara masalah kemarin," tanya si nenek tanpa berniat basa-basi sama sekali. Perempuan yang baru saja bertemu dengan Cakra, mengembuskan napas. "Nenek benar-benar dibutakan oleh cinta, ya? Segitunya pengen lelaki itu ada di kantor kita. Apa, sih, hebatnya dia?" Bukannya marah, perempuan sepuh itu malah tertawa. "Nenek memang sudah dibutakan oleh ketampanan Cakra. Nenek jatuh cinta sejak pertemuan dengannya kemarin. Dia harus menjadi bagian dari keluarga kita. Awas saja kaau kamu menolak atau menghalanginya." "Nenek, ingat umur!" Si perempuan sampai berteriak mendengar pernyataan sang nenek yang tanpa malu-malu mengatakan hal itu. Bukannya malu jatuh cinta pada lelaki yang jauh lebih muda bahkan lebih pantas menjadi cucunya, si nenek malah terang-terangan menyatakan perasaannya. Berkali-kali, Ari menepuk kening dan menggelengkan kepalanya sendiri. Tak habis pikir, pelet aapa yang sudah digunakan leaki bernama Cakra itu. "Apa, sih, Ar, teriak-teriak. Memangnya kenapa? Banyak kok yang seumuran Nenek menikah dengan lelaki yang lebih muda bahkan usianya jauh di bawah Cakra. Nenek sudah lelah nyuruh kamu nikah, Ar. Daripada nenek nggak punya temen di rumah, mending Nenek melamar Cakra jadi pasangan sah. Kalau dia terima lamaran itu, kan, rumah ini bakalan rame lagi, nggak sepi seperti sekarang." "Aku bukannya nggak mau nikah, Nek. Sebentar lagi, deh, aku pasti ikah, kok." "Kebanyakan janji kamu, Ar." Sambungan terputus. Rupanya, sang nenek memutus begitu saja percakapan mereka. Ari mengumpat dengan perlakuan sang nenek. Masih kesal dengan kelakuan neneknya, pintu ruangan Ari diketuk. "Siapa? Saya sedang sibuk dan nggak menerima tamu saat ini," ucapnya keras. "Bu, ini saya, Mega," ucap seorang perempuan dari luar. "Masuk," putus Ari. Sang sekretaris masuk dengan membawa paper bag. "Bu, ini HP dan kartu baru seperti yang Ibu minta kemarin." Menyerahkan paper bag tersebut pada sang atasan. "Makasih, Ga," ucap Ari. Seketika raut wajah yang semula keruh berubah cerah lagi. "Kalau nggak ada kepentingan lagi, kamu bisa meninggalkan ruangan ini." "Sama-sama. Saya permisi kalau gitu, Bu." Mega berbalik, akan segera pergi meninggalkan ruangan tersebut. Namun, Ari membuka suara sehingga sang asisten menghentikan langkahnya. "Ada apa, Bu?" tanya Mega. "Ga, kamu masih terus menyelidiki siapa yang mencuri HP saya, kan?" "Masih, Bu. Sampai saat ini, pihak IT perusahaan masih memperbaiki rekaman pengawasan di tanggal tersebut." "Oke. Saya kira kalian lupa. Sudah hampir seminggu, tapi belum ada kabar." Ari menatap serius sang asisten. "Mana mungkin saya lupa, Bu. HP ibu kan benda yang sangat penting." Sang asisten menjeda kalimatnya. Melihat reaksi atasan perempuannya yang terkenal galak. Beberp detik tak ada tanggapan, Mega kembai berkata, "Saya permisi jika nggak ada hal lain lagi." "Silakan. Terima kasih, ya, Ga." Sang asisten cuma menganggukkan kepala sebagai jawabannya. ***** Saat ini, Cakra sudah sampai di tempat kerjanya semula. Dia mulai menyalakan laptop dan bersiap untuk mengerjakan pekerjaan yang semat tertunda karena harus datang ke kantor si bos galak. Besok, untuk sementara ruangannya akan berpindah ke perusahaan gadis jutek yang dia temui tadi. Di tengah-tengah pekerjaannya, si lelaki kembali teringat pada Ari dan segala perkataan serta ejekan yang membuat Cakra geleng-gelen kepala. "Amit-amit kalau sampai punya istri kayak Bu Ari. Duh, bisa-bisa tiap hari tensi darah naik. Cantik, sih, tapi juteknya minta ampun. Pantas saja nggak laku-laku, kelakuannya kayak gitu. Nggak ada kalem-kalemnya," gumam Cakra sendirian sampai-sampai tak menyadari jika ada yang masuk ke ruangannya. "Baru datang langsung grundel. Ngomelin siapa, sih?" tanya salah satu sahabat sekaligus rekan kerja Cakra. "Itu, lho. Klien baru kita yang katanya cantik. Duh amit-amit, dah. Biarpun cantik, tapi kalau kelakuan kayak gitu. Males juga yang mau kena dekat." Tubuh Cakra bergerak jijik, membayangkan jika dia dekat dengan Ari. Suara tawa terdengar, rekan kerja Cakra terkikik mendengar ceritanya. "Jangan suka ngatain perempuan yang jelek-jelek kayak tadi. Kalau dicatat malaikat dan pada akhirnya Allah menakdirkan kalian jadi pasangan, kamu bisa apa?" ucap lelaki berbadan lebih pendek dari Cakra yang kini sudah berdiri di sampingnya. Cakra menutup mulut sahabatnya dengan tangan kanan. "Amit-amit, jangan sampai deh. Doa itu yang baik-baik. Masak aku kamu doakan nikah sama perempuan modelan kayak bos galak itu, sih," kata Cakra, "kamu nggak bakalan ngomong kayak tadi kalau ketemu sama cewek yang namanya Ari itu. Buh, orangnya super nyebelin." Kedua bahu Cakra terangkat, tubuhnya bergerak, menunjukkan rasa jijik pada perempuan bernama Ari tersebut. "Sstt. Pamali ngatain orang. Udah nggak usah bahas cewek itu. Gimana proyekmu? Lancar?" "Lancar, tapi, ya, gitu." "Gitu, gimana? Sudah tanda tangan kontrak?" tanya si rekan, penasaran. "Sudah, cuma aku nggak tahu bakalan bisa tahan, apa nggak kerja sama bareng perempuan itu." "Memangnya kenapa?" Mengalirlah cerita Cakra yang membuat tawa rekan kerjanya menggema di ruangan tersebut. Namun, tawa itu harus terhenti karena ponsel sang pemilik ruangan berdering berkali-kali. "Angkat saja, Cak." "Nomor nggak dikenal, males," jawab Cakra, acuh. "Ish, kamu nih. Siapa tahu klien baru, kan, lumayan, nambah job," saran rekan kerja Cakra. "Iya ... iya. Aku angkat sekaran." Mengikuti saran rekannya, Cakra mengangkat panggilan di ponselnya. "Halo, Mas. Ini Venya. Maaf, beberapa hari ini nggak bisa menghubungi. HP-ku hilang," kata seorang perempuan di seberang sana tanpa mengucapkan salam atau sapaan serta perkenalan diri. "Hah? Siapa ini? Asal mangap aja, deh. Aku nggak kenal, ya." "Mas, ini Venya. Masak sudah lupa sama suaraku, sih." Cakra menepuk kening. " Gimana nggak lupa, kita kan nggak tiap hari telponan. Paling cuma chat aja yang sering." "Iya, Mas. Maaf," ucap perempuan yang menelpon Cakra tadi. Cakra mencoba mengenyahkan masalah mereka yang jarang melakukan panggilan audio. Dia lebih tertarik pada penjelasan si perempuan tadi."Kamu yakin, HP-mu hilang dan belum menghubungi aku sama sekali?" Suara Cakra meninggi. "Sangat yakin, Mas. Sudah hampir seminggu dan belum ketemu HP itu. Jadi, terpaksa aku ganti baru. Save nomorku, ya." "Lalu, siapa yang ketemuan sama aku kemarin?" "Hah? Ketemuan gimana maksudmu, Mas?"Happy Reading*****Menepuk kening sendiri setelah melihat wajah si nenek, mau tak mau Cakra tetap menampilkan senyuman walau sedikit enggan bertemu dengan wanita tersebut. "Nenek mau nyari siapa di sini?" tanya Cakra sedikit canggung. Kakinya bersiap melarikan diri jika jawaban si nenek sesuai dengan pemikirannya tadi. "Mau nyari siapa lagi? Pastinya, nyari kesayanganku, dong, Mas," jawab si nenek sedikit genit. Tanpa basa-basi lagi, Cakra memilih melarikan diri. Meninggalkan si nenek tanpa membalas perkataan wanita berambut putih di hadapannya. Langkah kaki si sulung begitu cepat bahkan panggilan namanya yang diteriakkan si nenek tak mampu menghentikan langkahnya. Namun, di tikungan jalan yang tak jauh dari taman, langkah Cakra terhenti karena ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang menghadangnya."Siapa kalian?" tanya Cakra dengan kening berkerut. Dia merasa tak mengenal orang-orang tersebut. Apalagi di komplek perumahannya hampir tidak ada yang memiliki pengawal maupun a
Happy Reading****Aktifitas Cakra kembali seperti semula. Setelah adanya konfirmasi dari Venya bahwa dirinya tidak pernah bertemu. Seperti biasa, sepulang kerja, dia langsung menghubungi kekasih online-nya. Kantor baru di tempat kliennya membuat sang lelaki cukup menguras tenaga. Sifat si bos wanita yang curigaan bahkan terkadang meremehkannya membuat kepala Cakra pening. Padahal dia sudah punya program sendiri untuk memajukan usaha si bos. Menatap foto profil yang dipakai sang kekasih online, Cakra menarik garis bibir tinggi-tinggi. Hamparan pasir pantai yang terkena sinar senja begitu memukau mata pemandangnya. Lekas, Cakra pun mengetikkan chat pada Venya. "Baby, gimana kalau kita video call. Sudah setahun berhubungan, tapi kamu nggak pernah mengirimkan foto atau hal lainnya yang bisa mengidentifikasi wajahmu. Nanti, kalau ketemu di jalan terus nggak saling sapa, kan, aneh. Paling parah, kalau kita ternyata bisa menjadi musuh satu sama lain di dunia nyata," tulis Cakra. Entah me
Happy Reading***** "Hilih, ngelak aja kamu. Terus, tadi ngomong apa? Sampai nyebut kata gila, kalau nggak kepikiran si nenek, kamu nggak akan ngomong gitu. Ayolah, Cak. Akui saja dengan jujur kalau kamu muai tertarik dengan lamaran si nenek itu," goda Hanif. "Dih, apa coba? Kamu salah dengar kayaknya, aku nggak ngomong apa-apa," jawab Cakra, "sudah. Nggak usah bahas masalah aku sama nenek. Jadi, mau apa kamu nyariin aku?"Cakra membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. Sudah saatnya bicara serius, bukan cuma membahas masalah pribadinya seperti tadi. Hanif pun melakukan hal yang sama seperti sahabatnya, duduk dengan posisi tegak. Tak lupa, sahabat yang sejak kuliah sudah mengenal Cakra itu mengambil map hitam di depannya. Sejak tadi, Hanif meletakkan map tersebut begitu saja, lebih tertarik mendengar cerita Cakra dengan segala kisah cita dunia maya yang dimiliki. "Aku ke sini cuma mau nyerahin berkas yang kemarin kamu minta." Lelaki berambut lurus dan hitam lebat itu menyodorkan
Happy Reading*****Hening sejenak, tiba-tiba saja merasakan udara di sekitarnya mencekik leher. Sekujur tubuhnya merinding, membayangkan wajah si nenek yang kemarin bertemu dengannya. "Mas, halo. Kamu masih di sana, kan? Kamu dengar pertanyaan ku tadi, kan?" tanya si perempuan di seberang sana. "Eh, iya," sahut Cakra tergagap. "Jadi, bukan kamu yang ketemuan sama aku kemarin atau kamu ada nyuruh orang untuk ketemuan sama aku?" "Mas, ih. Ada-ada saja ngomongnya. Gimana bisa ketemuan atau nyuruh orang buat ketemuan sama Mas? Seharian kemarin, aku ngurus masalah keluarga," jelas perempuan di seberang sana. "Nggak bisa ngapa-ngapain atau keluar.""Benarkah?" "Hu um," jawab sang perempuan d seberang sana. Ingin rasanya Cakra berteriak sekencang mungkin. Antara bahagia sekaligus bingung mendengar penjelasan kekasih online-nya. "Kamu yakin, Baby?""Harus berapa kali aku menjelaskannya, Mas. HP-ku hilang nggak tahu di mana. Mungkin saja, seseorang telah menemukannya, lalu menghubungimu.
Happy Reading*****Baru saja Cakra keluar dari ruangan Ari, ponsel perempuan itu sudah berdering. Ada panggilan masuk dari sang Nenek. Walau hatinya masih jengkel karena perbuatan elaki tadi,"Ya, Nek," ucap perempuan yang masih menyimpan jengkel pada lelaki yang baru saja pergi itu."Ar, kamu sudah teken kontrak dengan perusahaan, Cakra, kan? Awas saja kalau kamu menolak kerja sama yang dia tawarkan dan memarahinya gara-gara masalah kemarin," tanya si nenek tanpa berniat basa-basi sama sekali. Perempuan yang baru saja bertemu dengan Cakra, mengembuskan napas. "Nenek benar-benar dibutakan oleh cinta, ya? Segitunya pengen lelaki itu ada di kantor kita. Apa, sih, hebatnya dia?"Bukannya marah, perempuan sepuh itu malah tertawa. "Nenek memang sudah dibutakan oleh ketampanan Cakra. Nenek jatuh cinta sejak pertemuan dengannya kemarin. Dia harus menjadi bagian dari keluarga kita. Awas saja kaau kamu menolak atau menghalanginya." "Nenek, ingat umur!" Si perempuan sampai berteriak mendeng
Happy Reading*****"Ih, amit-amit. Kok, bisa aku ketemu lagi sama kamu," ucap Cakra lirih. Badannya bergerak, menggeliat seperti jijik terhadap perempuan di depannya. "Oo ... Jadi, kamu orang yang direkomendasikan Pak Hardinata. Kok nggak cocok sama sekali, sih, sama cerita beliau. Aku kira, orang yang direkomen sama beliau itu bakalan waw gitu. Ternyata cuma lelaki ...," ejek perempuan dengan kemeja ketat berwarna putih serta rok motif bunga mawar, membungkus tubuh indah di depan Cakra."Cuma apa? Lanjutkan saja ejekanmu." Entah mengapa suara Cakra meninggi. Tiap kali bertemu dengan perempuan di depannya, si lelaki selalu emosi. Seperti ada yang mendorongnya untuk terus marah. "Dasar cowok mokondo," hina si perempuan. "Kayaknya kamu nggak cocok sama pekerjaan ini. Aku yakin, ilmu pemasaran yang kamu miliki cuma digunakan untuk memikat cewek-cewek seperti pada nenek.""Iich, kamu." Telunjuk Cakra mengacung ke wajah si perempuan. Emosi Cakra makin terpancing dengan kalimat tadi. "Ka







