LOGINKumandang azan yang menandakan waktu magrib terdengar di telinga Cakra. Tergesa, si sulung mengambil ponsel hendak mengirimkan chat pada sang pujaan. Namun, ketika teringat pertemuannya dengan Venya tadi siang, Cakra menghentikan gerakan jemarinya.
"Astagfirullah. Kenapa aku bisa lupa. Mana mungkin aku masih ingin berhubungan dengan perempuan yang pantas menjadi nenekku," gumam Cakra. Selesai menjalankan semua ritual serta kewajibannya pada Sang Pencipta. Cakra termenung, biasanya di jam-jam seperti sekarang, si sulung selalu menghubungi Venya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah pulang dan free. Lalu, keduanya akan menelepon menceritakan semua kejadian yang telah dilalui seharian. Namun, semua itu tak lagi bisa dilakukan oleh lelaki dengan potongan rambut upper cut tersebut. Cakra menghela napas panjang. Merebahkan tubuhnya setelah melipat sajadah, dia harus membiasakan diri dengan segala aktifitas hariannya tanpa kehadiran Venya lagi. Walau bagaimanapun perasaan yang sudah berkembang selama setahun itu tidak mudah dihilangkan begitu saja. "Kenapa, sih, kamu harus berbohong padaku, Ve? Padahal aku tulus mencintaimu. Andai umurmu nggak setua itu, meski wajahmu jelek, aku tetap akan menerimanya. Tapi ...." Cakra menyandarkan kepalanya. Memejamkan mata dan mengingat setiap momen yang telah dilewati bersama Venya. "Astagfirullah," ucap Cakra beberapa saat ketika bayangan wajah si nenek terlintas apalagi saat perempuan sepuh tersebut melamarnya. Terlalu banyak memikirkan kisahnya dengan Venya, tanpa terasa kedua indera Cakra menutup sempurna. Dia pun terlelap dengan sendirinya. Suara panggilan Arimbi disertai ketukan pintu yang cukup keras mampu membuka mata Cakra. Lelaki itu bergegas membuka pintu kamar sebelum sang ratu di rumahnya mengeluarkan taring. "Mama," ucap Cakra sambil menguap. "Bangunin anaknya kayak ada kebakaran aja." "Kamu kalau nggak dibangunin seperti itu, pasti masih molor." Arimbi berkacak pinggang dengan mata mendelik. Cup .... Cakra mencium pipi mamanya untuk menghentikan kemarahan dan ternyata berhasil. Arimbi berhenti menasihati dan tersenyum manis. Si sulung paling tahu caranya mengubah kemarahan sang mama. "Cepet mandi sana. Adik sama Papa sudah nungguin," titah Arimbi, masih dengan mode galak, tetapi cuma pura-pura saja. "Iya. Nggak sampai dua menit sudah selesai." "Tumben mbangkong. Biasanya bangun lebih dulu dari yang lain?" Cakra menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Susah, ah. Kalau Mama ngomel terus, aku nggak bakalan bisa cepat ngerjain semua." Segera menutup pintu membuat Arimbi berteriak keras. Rutinitas pagi keluarga Cakra, selalu diawali dengan salat subuh. Untuk para lelaki, mereka akan pergi berjamaah di Musala, sedangkan Arimbi cukup di rumah saja. Setelahnya, barulah mereka sarapan dan memulai segala aktivitas masing-masing. Seperti pagi ini, Cakra tergesa-gesa menghabiskan sarapannya karena sudah mendapat telepon dari sang atasan. "Tumben, Mas?" tanya Kresna. Pasalnya, si sulung adalah yang paling santai dalam hal pekerjaan. Biasanya dia berangkat belakangan setelah papa dan adiknya. Namun, hari ini lain. "Ada proyek baru, Dik. Jadi, harus datang lebih pagi. Kata si bos, kliennya kali ini adalah orang yang paling tepat waktu. Telat sedetik saja bisa gagal mendapatkan proyek," jelas Cakra. Dia sudah berdiri dan bersiap menyalami tangan kedua orang tuanya. "Bagus itu, biar kamu lebih menghargai waktu, Mas," sahut Arimbi. "Wah, jarang-jarang ada bos seperti itu. Kalau perempuan dan belum menikah wajib kamu dekati, Mas. Dia bisa mengontrol kamu yang sering telatan," tambah Sapta membuat anggota keluarga lainnya tertawa. "Ejek terus," jawab Cakra, tetapi lelaki itu tidak marah sama sekali. Suasana seperti ini sudah hal biasa di keluarganya. Saling mengejek satu sama lain tanpa berniat menjatuhkan. Sekedar untuk menghangatkan suasana kekeluargaan di antara mereka. "Hati-hati di jalan, Mas. Nggak usah ngebut. Jaga keselamatan. Ingat, Mama masih pengen gendong cucu darimu," nasihat Arimbi ketika putranya berjalan menjauhi meja makan. Cakra menjawab dengan mengangkat tangan dan menyatukan jempol serta telunjuknya. Setelahnya, dia pergi dengan mengendarai motor karena tidak ingin terjebak macet. Kurang dari sepuluh menit, lelaki itu sudah sampai di kantor, tetapi sang atasan malah menyuruhnya untuk mendatangi klien mereka di tempat kerjanya. "Elah, Pak. Tahu gitu saya langsung ke alamat ini saja. Biar nggak ngabisin bensin," gerutu Cakra. Dia berani protes karena sang atasan adalah kakak kelas dan juga teman satu organisasi ketika meraih gelar sarjana. "Protes aja. Sana samperin dia di kantornya. Siapa tahu dari klien akan jadi pasangan," seru sang atasan penuh semangat. Sebenarnya di perusahaan itu tidak ada atasan atau bawahan karena mereka mendirikan perusahaan tersebut secara bersama-sama. Cuma lelaki yang dipanggil bos itu menyetorkan modal lebih banyak dari lainnya. "Memangnya dia cewek dan belum nikah?" Cakra mulai kepo. "Yup. Pepet aja, Cak. Setahuku, umurnya nggak beda jauh denganmu dan dari desas-desus yang aku dengar, keluarga sudah mendesaknya nikah. Siapa tahu kalian berjodoh, kan, sama-sama jomblo." Si bos tertawa setelah mengatakan jomblo. "Duh, malah diperjelas." Cakra memasang tampang melas. "Bisa nggak, sih. Nggak usah nyebut kata jomblo." "Kalau nggak jomblo, apa namanya?" Si bos terkikik. "Aku nggak jomblo, cuma terlalu idealis saja soal pasangan. Makanya, belum ketemu sama cewek yang diharapkan," jelas Cakra. Si bos mengeraskan tawa. "Sana pergi keburu telat, dia ngambek nanti." "Oke, deh. Doakan berhasil, ya. Jadi, kita bisa tetap mempertahankan nama baik perusahaan pemasaran dan iklan ini," ucap Cakra. "Insya Allah, usaha kita akan tetap yang terbaik dan semakin baik lagi." Memasuki sebuah mall yang cukup besar di kota tersebut, Cakra sempat melirik ke segala arah sebelum memutuskan naik ke kantor pengelola. Di lantai 4, tepatnya di depan resepsionis, Cakra mengatakan maksud dan tujuannya. "Silakan, Pak. Sudah ditunggu oleh Ibu," ucap sang resepsionis. "Terima kasih." Cakra berjalan mengikuti sang resepsionis. Beberapa orang sempat menatapnya aneh. Cakra sampai salah tingkah dibuatnya, takut jika ada yang salah dengan pakaian ataupun penampilannya. Di depan pintu berwarna gading, resepsionis tersebut berhenti karena ada asisten si bos. "Mbak, ini utusan Pak Hardinata, kantor pemasaran yang terkenal itu," terang si resepsionis. "Oke." Sang asisten mengangkat wajah dan menatap lelaki di depannya. Keningnya berkerut dengan mata menyipit. "Lha, kok?" "Ada apa, Mbak?" tanya Cakra tanpa rasa curiga sedikitpun. Sang asisten segera menggelengkan kepala, mengenyahkan segala macam pikiran buruknya. "Mari silakan masuk, Pak. Ibu sudah menunggu di dalam." "Apa dia lupa sama aku?" tambah sang asisten dalam hati. "Bukankah dia cowok yang kemarin?" Cakra menganggukkan kepala. Sopan, dia menyapa perempuan yang duduk membelakanginya saat ini. "Selamat pagi, Bu," ucap Cakra sekali lagi ketika sapaannya tadi tidak ditanggapi. Sang pemilik ruangan memutar kursi hingga kini berhadapan dengan Cakra. "Kamu?" ucap mereka bersamaan. Saling terkejut karena bisa bertemu lagi.Happy Reading*****Menepuk kening sendiri setelah melihat wajah si nenek, mau tak mau Cakra tetap menampilkan senyuman walau sedikit enggan bertemu dengan wanita tersebut. "Nenek mau nyari siapa di sini?" tanya Cakra sedikit canggung. Kakinya bersiap melarikan diri jika jawaban si nenek sesuai dengan pemikirannya tadi. "Mau nyari siapa lagi? Pastinya, nyari kesayanganku, dong, Mas," jawab si nenek sedikit genit. Tanpa basa-basi lagi, Cakra memilih melarikan diri. Meninggalkan si nenek tanpa membalas perkataan wanita berambut putih di hadapannya. Langkah kaki si sulung begitu cepat bahkan panggilan namanya yang diteriakkan si nenek tak mampu menghentikan langkahnya. Namun, di tikungan jalan yang tak jauh dari taman, langkah Cakra terhenti karena ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang menghadangnya."Siapa kalian?" tanya Cakra dengan kening berkerut. Dia merasa tak mengenal orang-orang tersebut. Apalagi di komplek perumahannya hampir tidak ada yang memiliki pengawal maupun a
Happy Reading****Aktifitas Cakra kembali seperti semula. Setelah adanya konfirmasi dari Venya bahwa dirinya tidak pernah bertemu. Seperti biasa, sepulang kerja, dia langsung menghubungi kekasih online-nya. Kantor baru di tempat kliennya membuat sang lelaki cukup menguras tenaga. Sifat si bos wanita yang curigaan bahkan terkadang meremehkannya membuat kepala Cakra pening. Padahal dia sudah punya program sendiri untuk memajukan usaha si bos. Menatap foto profil yang dipakai sang kekasih online, Cakra menarik garis bibir tinggi-tinggi. Hamparan pasir pantai yang terkena sinar senja begitu memukau mata pemandangnya. Lekas, Cakra pun mengetikkan chat pada Venya. "Baby, gimana kalau kita video call. Sudah setahun berhubungan, tapi kamu nggak pernah mengirimkan foto atau hal lainnya yang bisa mengidentifikasi wajahmu. Nanti, kalau ketemu di jalan terus nggak saling sapa, kan, aneh. Paling parah, kalau kita ternyata bisa menjadi musuh satu sama lain di dunia nyata," tulis Cakra. Entah me
Happy Reading***** "Hilih, ngelak aja kamu. Terus, tadi ngomong apa? Sampai nyebut kata gila, kalau nggak kepikiran si nenek, kamu nggak akan ngomong gitu. Ayolah, Cak. Akui saja dengan jujur kalau kamu muai tertarik dengan lamaran si nenek itu," goda Hanif. "Dih, apa coba? Kamu salah dengar kayaknya, aku nggak ngomong apa-apa," jawab Cakra, "sudah. Nggak usah bahas masalah aku sama nenek. Jadi, mau apa kamu nyariin aku?"Cakra membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. Sudah saatnya bicara serius, bukan cuma membahas masalah pribadinya seperti tadi. Hanif pun melakukan hal yang sama seperti sahabatnya, duduk dengan posisi tegak. Tak lupa, sahabat yang sejak kuliah sudah mengenal Cakra itu mengambil map hitam di depannya. Sejak tadi, Hanif meletakkan map tersebut begitu saja, lebih tertarik mendengar cerita Cakra dengan segala kisah cita dunia maya yang dimiliki. "Aku ke sini cuma mau nyerahin berkas yang kemarin kamu minta." Lelaki berambut lurus dan hitam lebat itu menyodorkan
Happy Reading*****Hening sejenak, tiba-tiba saja merasakan udara di sekitarnya mencekik leher. Sekujur tubuhnya merinding, membayangkan wajah si nenek yang kemarin bertemu dengannya. "Mas, halo. Kamu masih di sana, kan? Kamu dengar pertanyaan ku tadi, kan?" tanya si perempuan di seberang sana. "Eh, iya," sahut Cakra tergagap. "Jadi, bukan kamu yang ketemuan sama aku kemarin atau kamu ada nyuruh orang untuk ketemuan sama aku?" "Mas, ih. Ada-ada saja ngomongnya. Gimana bisa ketemuan atau nyuruh orang buat ketemuan sama Mas? Seharian kemarin, aku ngurus masalah keluarga," jelas perempuan di seberang sana. "Nggak bisa ngapa-ngapain atau keluar.""Benarkah?" "Hu um," jawab sang perempuan d seberang sana. Ingin rasanya Cakra berteriak sekencang mungkin. Antara bahagia sekaligus bingung mendengar penjelasan kekasih online-nya. "Kamu yakin, Baby?""Harus berapa kali aku menjelaskannya, Mas. HP-ku hilang nggak tahu di mana. Mungkin saja, seseorang telah menemukannya, lalu menghubungimu.
Happy Reading*****Baru saja Cakra keluar dari ruangan Ari, ponsel perempuan itu sudah berdering. Ada panggilan masuk dari sang Nenek. Walau hatinya masih jengkel karena perbuatan elaki tadi,"Ya, Nek," ucap perempuan yang masih menyimpan jengkel pada lelaki yang baru saja pergi itu."Ar, kamu sudah teken kontrak dengan perusahaan, Cakra, kan? Awas saja kalau kamu menolak kerja sama yang dia tawarkan dan memarahinya gara-gara masalah kemarin," tanya si nenek tanpa berniat basa-basi sama sekali. Perempuan yang baru saja bertemu dengan Cakra, mengembuskan napas. "Nenek benar-benar dibutakan oleh cinta, ya? Segitunya pengen lelaki itu ada di kantor kita. Apa, sih, hebatnya dia?"Bukannya marah, perempuan sepuh itu malah tertawa. "Nenek memang sudah dibutakan oleh ketampanan Cakra. Nenek jatuh cinta sejak pertemuan dengannya kemarin. Dia harus menjadi bagian dari keluarga kita. Awas saja kaau kamu menolak atau menghalanginya." "Nenek, ingat umur!" Si perempuan sampai berteriak mendeng
Happy Reading*****"Ih, amit-amit. Kok, bisa aku ketemu lagi sama kamu," ucap Cakra lirih. Badannya bergerak, menggeliat seperti jijik terhadap perempuan di depannya. "Oo ... Jadi, kamu orang yang direkomendasikan Pak Hardinata. Kok nggak cocok sama sekali, sih, sama cerita beliau. Aku kira, orang yang direkomen sama beliau itu bakalan waw gitu. Ternyata cuma lelaki ...," ejek perempuan dengan kemeja ketat berwarna putih serta rok motif bunga mawar, membungkus tubuh indah di depan Cakra."Cuma apa? Lanjutkan saja ejekanmu." Entah mengapa suara Cakra meninggi. Tiap kali bertemu dengan perempuan di depannya, si lelaki selalu emosi. Seperti ada yang mendorongnya untuk terus marah. "Dasar cowok mokondo," hina si perempuan. "Kayaknya kamu nggak cocok sama pekerjaan ini. Aku yakin, ilmu pemasaran yang kamu miliki cuma digunakan untuk memikat cewek-cewek seperti pada nenek.""Iich, kamu." Telunjuk Cakra mengacung ke wajah si perempuan. Emosi Cakra makin terpancing dengan kalimat tadi. "Ka







