Seorang pria perlente tersenyum puas setelah pesawat yang ditumpangi mendarat sempurna di Bandara I Gusti Ngurah Rai sore itu. Pria berkacamata hitam dan memakai masker tersebut turun. Ia lalu menunggu barangnya diturunkan dari bagasi pesawat sambil memainkan ponsel. Ia duduk sambil mengamati foto seorang wanita cantik bernama Elea Pramudita, artis sekaligus model yang saat ini sedang naik daun.
Adalah Brama Zack Adhlino. Pria yang tahun ini genap berusia tiga puluh tahun. Namun, masih betah melajang. Bukan karena tidak laku, melainkan karena menunggu kesiapan sang pujaan hati yang kariernya sedang bagus-bagusnya dan masih terikat kontrak untuk tidak dulu menikah.
Hubungan Brama dan Elea memang sudah menjadi konsumsi publik dan berita entertainment. Mereka menjadi idola yang dielu-elukan penggemarnya.
Brama tersenyum saat melihat story W* terakhir Elea yang menunjukkan sedang ada di sebuah hotel. Wanita itu sedang ada job pemotretan.
Setelah koper di tangan, Brama lekas memesan taksi online dan menuju hotel di mana Elea berada.
Tiba di hotel, tidak sulit bagi Brama mendapatkan informasi mengenai nomor kamar dan akses masuk ke kamar kekasihnya. Sebab, pria itu memiliki beberapa persen saham di hotel tersebut. Pegawai di sana juga sudah pasti tunduk dengan titah sang bos.
Masih dengan masker yang menempel di mulut dan kacamata hitam bertengger menutupi kedua mata, Brama menuju kamar sang kekasih. Rindu yang membuncah, membuatnya ingin segera bertemu dengan Elea.
Pintu kamar dibuka. Brama menurunkan masker, lalu memamerkan senyum yang membuat kaum Hawa meneteskan air liur. Namun, senyum itu langsung memudar saat melihat pemandangan panas di hadapan.
Di ranjang king size tersebut, dengan dua mata kepala, Brama menyaksikan Elea begitu agresif tengah bermain permainan dewasa bersama seorang pria berkepala botak. Brama tahu betul, pria itu manager artis yang menaungi Elea.
“Terus, Baby!”
Suara menjijikkan itu membuat telinga Brama terbakar. Bukan hanya telinga. Hati, otak, dan sekujur tubuhnya ikut membara dengan api amarah. Dua manusia itu belum menyadari kedatangan Brama. Telanjur nikmat.
Kaki Brama terpaku di tempat. Ia mengepalkan tangannya yang mencengkeram pegangan koper erat. Ingin rasanya pria itu menghantamkan kopernya pada dua manusia lakn*t di hadapan. Namun, Brama memilih mengambil ponsel dari saku, lantas merekam perz*naan kekasihnya. Sakit hati, pasti. Benci, sudah tentu. Brama menguatkan hati melakukan ini.
Entah pada rekaman menit ke berapa, Elea baru menyadari ada seseorang yang berdiri mematung di dekat pintu. Wanita itu menoleh.
“B-Brama,” gagap Elea. Lekas wanita itu bangkit dan mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya.
Video Brama belum diakhiri.
“Ka-kapan kamu tiba, Sayang? Ke-kenapa nggak ngasih kabar kalau mau datang?” Elea berjalan mendekati Brama.
Sementara pria lawan mainnya memunguti baju, lalu berusaha memakainya.
Wajah Brama tanpa ekspresi. Datar. Ia lalu mematikan rekamannya. Ponselnya berusaha diambil Elea, tetapi lekas dimasukkan Brama ke saku.
"Kenapa harus mengabarimu? Kalau aku kabari, pasti aku tidak akan melihat film indah tadi."
"Bram, aku–"
“Katakan sejak kapan pemgkhianatan ini terjadi?” tanya Bram dingin.
“Sayang, aku bisa–“
“Jangan sentuh aku dengan jarimu yang menjij*kkan itu!” bentak Brama saat Elea berusaha memeluknya.
“Be*ebah kamu! Mulai sekarang kuputuskan semua hubunganku denganmu. Kuharamkan kamu menemuiku, menghubungiku, atau bahkan menyebut namaku!” Telunjuk Brama tepat berada di mata kiri Elea.
Niat hati memberi kejutan dengan datang tanpa pemberitahuan, Brama justru dikejutkan dengan skandal yang kekasih.
“Bram–“
“Sudah kubilang jangan menyebut namaku lagi! Silakan dilanjutkan permainan kalian tadi! Sangat seru.”
Elea tersedu-sedu. “A-aku dipaksa sama Reno.”
“Oh, dipaksa? J*lang, dengar. Aku ini bukan bocah yang lahir tadi siang yang bisa kamu bohongi. Aku tahu betul mana yang dipaksa, mana yang dilakukan secara suka sama suka. Kamu terlihat menikmati, dan itu kamu bilang dipaksa?” Brama bertepuk tangan.
“Setelah hubungan kita, sebentar lagi kariermu yang akan hancur. Kartu as kalian berdua ada di tanganku. Rekaman kalian bisa saja menyebar!" Brama menunjuk Elea dan Reno bergantian.
Brama berbalik, hendak membuka pintu. Namun, tubuhnya justru dipeluk dari belakang oleh Elea.
“Bram, maaf. Aku terpaksa melakukan ini. Tidak ada pilihan lain. Jangan sebarkan video tadi, kumohon,” bisik Elea disertai isak tangis.
Bibir Brama terangkat sebelah. Ia pun kembali membalik badan.
“Yakin tidak ada pilihan lain?” Brama tersenyum. Tampan sekali.
Elea mengangguk. Ia lalu menurunkan selimut yang dari tadi membungkus tubuhnya. Brama menatap tubuh indah itu.
"Bram, dulu mahkotaku sudah kamu petik. Aku sudah menyerahkan semua padamu. Untuk yang sekarang, aku melakukan karena terpaksa. Sumpah."
Brama mendekatkan wajah, lalu berbisik. “Tapi sayangnya aku sama sekali nggak tertarik dengan omong kosong dan tangis buayamu itu. Sebelum aku, tubuhmu pun mungkin biasa kamu obral. Kukira dulu tubuhmu ini premium, ternyata hanya sebatas seperti tempat sampah pria menumpahkan cairan haramnya. Kamu itu kotor, menji*ikkan. Hanya pemulung naf*u yang biasa menjamahnya.”
"Brama!" Tangan Elea terangkat, hendak menampar Brama. Namun, Brama berhasil mencekalnya.
“Tanganmu kotor. Jadi, aku nggak mau tanganmu itu menyentuh diriku.”
Brama melepaskan cekalannya kasar. “Ingatlah. Jangan pernah lagi muncul di hadapanku. Pengkhianatan adalah kartu merah untukmu. Aku sangat jij*k dan benci sama kamu.”
Pria itu lekas membuka pintu, lalu segera keluar dari sana membawa serta kopernya. Di koridor, ada seorang karyawan hotel yang kebetulan melintas.
“Kenapa keluar lagi, Sir? Biar saya bawakan kopernya,” ujar orang itu hendak mengambil alih koper Brama.
“Tidak perlu. Saya akan pergi dari sini.”
**
Malam harinya, Brama pergi ke sebuah klub setelah pindah hotel. Ia tidak sudi satu hotel dengan wanita yang telah meremuk redamkan kepercayaan dan cintanya. Ia menolak saat anak buahnya menemani ke tempat maksiat itu. Pria tersebut memilih pergi sendiri.
Brama tidak akan pernah melupakan apa yang dilihatnya tadi seumur hidup. Selama lima bulan ini, ia berada di Amerika. Di sana, ada bisnis yang tengah diurus. Beberapa hari yang lalu, orang tuanya memintanya pulang karena bisnis di tanah air ada sedikit masalah. Lalu hari ini, ia baru bisa kembali ke tanah air. Tidak langsung menemui orang tuanya, justru mendatangi kekasihnya. Namun, yang didapat justru kekecewaan.
Amarah, benci, kecewa, putus asa, berkumpul menjadi satu. Cinta yang dulu menggunung, luluh lantak seketika setelah terjadi erupsi perselingkuhan.
“Tambah lagi.” Brama meminta minuman memabukkan lagi pada bartender. Entah sudah berapa banyak minuman memabukkan yang ditenggaknya.
Sebelum mabuk berat, Brama memutuskan kembali ke hotel. Begitu tiba di hotel, pria itu berjalan sedikit terseok-seok menuju lift. Saat menunggu lift terbuka, ada seorang wanita cantik berhijab ikut menunggu. Gelagat wanita itu sangat aneh.
Pintu lift yang ditunggu akhirnya terbuka. Dua manusia berbeda jenis kelamin tersebut masuk. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Saat lift mulai naik, Brama sedikit terhuyung. Wanita yang ada di sampingnya, spontan menangkap tubuhnya.
“Hati-hati, Mas.”
Bersentuhan dengan wanita asing itu, membuat tubuh Brama mendadak kepanasan.
“Cantik, maukah menemani saya malam ini?”
Acara tour yang diadakan sebuah perusahaan besar berjalan lancar dan meriah. Acaranya berada di salah satu pantai di Bali.Annawa Salsabila. Gadis muslimah nan cantik menjadi salah satu bagian dari acara tersebut.“Wa, yuk ikut permainan karaoke anak-anak.” Sari, sang sahabat mendekat.Nawa yang duduk di kursi pinggir pantai seraya menikmati langit malam, hanya menggeleng sambil tertawa. “Nggak ah. Suaraku jelek. Takutnya pas aku nyanyi, tiba-tiba datang tsunami.”Sari ikut tertawa kecil. “Ya udah, aku gabung dulu sama anak-anak.”Nawa mengacungkan jempol.Sepeninggal Sari, ponsel di saku Nawa bergetar. Ada pesan dari pria spesial yang menemani pendidikan hingga kini ia sudah kerja.“Lagi free nggak? Aku telepon, ya?”Isi pesan itu.Nawa pun menelepon sang pengirim pesan.“Assalamualaikum, Mas,” sapa Nawa ketika panggilannya diangkat.“Waalaikumussalam. Padahal aku yang mau telepon.”Nawa tertawa.“Lagi apa? Awas, jaga mata. Di sana pasti banyak bule cakep.”“Sayangnya aku nggak suka
Nawa mulai terbangun dari tidur saat alarm di ponselnya berbunyi. Matanya mengerjap, tubuhnya terasa sakit semua. Ia mendesis saat merasakan sesuatu yang aneh pada inti tubuhnya. Wanita itu pun lalu membuka matanya secara sempurna. Nawa meraba tubuh, hanya terbungkus selimut. Di antara sadar dan belum, Nawa mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum tidur. Setelah ingat segalanya, ia spontan terduduk. Air matanya berhamburan keluar membasahi pipi. Nawa mengambil ponsel, lalu mematikan alarm penanda datangnya salat Subuh. “Astagfirullah. Apa yang aku lakukan semalam? Bod*h! B*doh! Bo*oh!” Nawa memukuli tubuhnya sendiri sambil terus menangis. Pandangan Nawa mengedar ke seisi kamar. Sebuah kamar yang luas dan sangat mewah dari kamar yang ditempati bersama rekannya. Di kamar yang dipesankan perusahaan untuk tour, satu kamar diisi empat orang dengan dua ranjang. Kamar ini berbeda jauh. Nawa juga tidak mendapati pria yang bersamanya semalam ada di kamar tersebut. "Apa mungkin ada di kam
Seharian, Nawa tidak keluar kamar sama sekali. Ia sendian di kamar. Ia juga melewatkan kegiatan seru bersama teman-temannya. Sari sebenarnya ingin menemani, tetapi Nawa menolak. Selain karena tidak ingin menghambat kesenangan sang teman, ia juga masih ingin sendiri.Kasus pencarian Nawa tidak dilanjut karena Nawa sudah ditemukan. Beruntung sang manajer tidak memarahi setelah tahu kondisi Nawa yang lemas. Lebih tepatnya pura-pura sakit dan lemas.Nawa merasa dirinya kotor. Ia masih malu dan belum siap menghadapi dunia. Meskipun hanya dirinya dan pria asing itu yang tahu, tetap saja rasanya masih kikuk jika mengingat dosa-dosanya semalam.“Wa, kamu oke?” Agung mengirim pesan. Pria yang saat ini bertugas di perbatasan Indonesia timur tersebut merasa khawatir karena tidak biasanya Nawa mengabaikan dirinya sejak semalam.“Aku agak nggak enak badan. Kemarin jatuh dari kamar mandi, pingsan di sana nggak ada yang tahu. Makanya semalam aku nggak angkat telepon Mas Agung.” Nawa membalas. Terpak
PT. Sun Zack Diamond Group atau yang biasa disebut Sunmond adalah perusahaan yang bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Atau perusahaan yang bergerak di bidang penyedia produk untuk konsumen. Perusahaan ini berkembang pesat dan bersaing dengan produk luar seperti Unalaver maupun produk dalam negeri seperti Wangs. Tahun ini, Sunmond menjadi perusahaan lokal terbesar kedua di dalam negeri menurut pasar bisnis. Ada beberapa cabang Sunmond Grup di antaranya Sunmond Food yang memproduksi makanan seperti mi instan, kecap, penyedap rasa, es krim, dan sebagainya. Lalu ada Sunmond Care yang memproduksi seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, sampo, dan masih banyak lagi. Ada lagi Sunmond Beauty yang berfokus pada kecantikan seperti skincare, lipstik, parfum, dan lain-lain. Perusahaan yang diwariskan secara turun-temurun itu kini dipegang oleh Boby Zack Aldhlino, orang tua Brama Zack Adhlino. Brama termasuk anak yang keluar jalur. Ia sama sekali tidak tertarik dengan bisn
“Baiklah. Katakan di mana posisi yang kamu inginkan.” Boby tersenyum. Pria blasteran itu cukup lega sang putra mau menerima tawarannya.“Marketing,” jawab Brana tanpa ragu.“Kenapa harus di bagian marketing? Bram, masalah kita di bagian keuangan. Kalau kamu ingin mengungkap lingkaran hitam para tikus itu, masuk di bagian keuangan!”“Daddy-mu benar, Bram. Masuklah ke bagian keuangan biar kamu lebih tahu detail bagaimana mereka mengelola dan melaporkan keuangan. Sebenarnya kami akan langsung menunjukmu sebagai Presdir di sana.” Gahayu, mommy-nya ikut bersuara.“Aku sudah bilang, aku mau membantu asal aku dibebaskan memilih posisi.” Brama meradang.“Bram, apa kata orang-orang kalau kamu ada di posisi rendah?” Gahayu kembali mengompori.Seperti biasa, Brama masih tetap terlihat tenang.Dari Bali, siang harinya Brama langsung bertolak menuju kota seribu industri, di mana pusat Sunmond Grup dan rumah orang tuanya berada.Di Tangerang, letak pabrik Sunmond Food dan Sunmond Beauty. Sementara
Selama sehari cuti, Nawa tidak melakukan apa pun di kamar kos-kosannya. Ia hanya menangis sampai matanya bengkak. Atau hanya rebahan dan kalau senggang ditemani Agung. “Nggak kerja?” tanya abdi negara itu melalui panggilan video. “Dikasih libur habis refreshing.” Nawa lagi-lagi berbohong. “Sudah periksa, kan?” tanya Agung. Nawa mengangguk. “Mana coba lihat obatnya.” “Gitu amat, sih? Mentang-mentang ngasih transferan.” Agung tergelak. “Buat memastikan kalo transferannya tepat sasaran. Takutnya malah kamu gunakan CO keranjang orange atau keranjang kuning.” “Emang boleh?” Agung tergelak. Nawa pun mengambil Paracet*mol, antibiotik, dan vitamin yang kemarin dibeli di Bali. “Itu aja obatnya? Dikit amat.” “Ya, karena memang aku nggak kenapa-napa. Emang dasar Mas aja yang lebay.” “Bukan lebay, tapi buat memastikan kesehatanmu. Rontgen atau CT Scan lengkap juga gih.” “Mas, jangan berlebihan.” “Nawa–“ “Aku nggak apa-apa, beneran. Aku yang jatuh, aku yang tahu kondisi diriku send
Tangan Nawa gemetar. Dadanya naik turun menormalkan keterkejutan.“Astagfirullah. Jangan-jangan ... pria asing itu yang mengirim paket ini?”Cepat-cepat Nawa membungkus kembali semua isi paketnya, lalu membuangnya ke tempat sampah luar kamar.Nawa kembali tersedu-sedu. Entah apa maksud pengirim paket itu, tetapi yang pasti hidupnya mulai sekarang tidak lagi tenang sama seperti dulu. Ia harus kuat dengan serangan teror yang mungkin akan kembali lagi.Sesak dada Nawa rasanya hingga kesulitan bernapas. Ia tidak tahu harus berbagi masalah ini dengan siapa. Jika berbagi pada sahabatnya, bisa saja nanti malah tambah runyam. Aibnya bisa menyebar. Namun, ketika memendam sendiri seperti ini, ia tidak kuat dengan tekanan demi tekanan yang ada.Nawa bukan wanita bebas yang mungkin jika melakukan z*na tidak merasa menyesal. Ia beda. Wanita itu terbiasa hidup dalam lingkungan pesantren, keluarga yang menekankan hal keagamaan, juga selalu berusaha menjaga diri. Sekali kecolongan, Nawa terus memikir
“Nawa!” pekik Frengki.Sama halnya dengan Frengki, Brama bergumam sangat lirih menyebut nama wanita ayu itu.Brama sejenak mematung. Ketika melihat Nawa, ingatannya tertuju pada malam panasnya bersama wanita itu. Nawa saat itu terlihat begitu seksi. Sekarang Nawa berpenampilan tertutup. Mata Brama mengabsen seluruh inci tubuh Nawa dari balik kacamata tebalnya.“Ada apa ini?” Nawa mendekat.“Oh, nggak ada apa-apa. Ini hanya membetulkan kemeja si Brama yang berantakan.” Frengki yang awalnya mencengkeram kerah kemeja Brama, ganti mengelus kerah itu.“Aku nggak buta, ya, Mas. Aku tahu kalo Mas Frengki sedang berlagak menjadi preman. Dan apa kamu karyawan baru?” Nawa menatap Brama.“Iya.” Brama mengedip, memastikan sudah memakai softlens agar Nawa tidak mengenali warna matanya.“Mas Frengki, jangan lagi, ya? Soalnya aku pernah ada di posisi dia yang di-bully pas awal-awal kerja. Rasanya tertekan. Harusnya Mas Frengki yang udah senior, ngasih contoh yang baik. Dibimbing, Mas, jangan disiksa