Acara tour yang diadakan sebuah perusahaan besar berjalan lancar dan meriah. Acaranya berada di salah satu pantai di Bali.
Annawa Salsabila. Gadis muslimah nan cantik menjadi salah satu bagian dari acara tersebut.
“Wa, yuk ikut permainan karaoke anak-anak.” Sari, sang sahabat mendekat.
Nawa yang duduk di kursi pinggir pantai seraya menikmati langit malam, hanya menggeleng sambil tertawa. “Nggak ah. Suaraku jelek. Takutnya pas aku nyanyi, tiba-tiba datang tsunami.”
Sari ikut tertawa kecil. “Ya udah, aku gabung dulu sama anak-anak.”
Nawa mengacungkan jempol.
Sepeninggal Sari, ponsel di saku Nawa bergetar. Ada pesan dari pria spesial yang menemani pendidikan hingga kini ia sudah kerja.
“Lagi free nggak? Aku telepon, ya?”
Isi pesan itu.
Nawa pun menelepon sang pengirim pesan.
“Assalamualaikum, Mas,” sapa Nawa ketika panggilannya diangkat.
“Waalaikumussalam. Padahal aku yang mau telepon.”
Nawa tertawa.
“Lagi apa? Awas, jaga mata. Di sana pasti banyak bule cakep.”
“Sayangnya aku nggak suka sama orang luar. Suka yang lokal aja.”
Agung terkikik. “Pilihan yang tepat. Tugasku tinggal sebulan lagi, Wa. Begitu pulang, aku akan lamar kamu.”
Mata Nawa berkaca-kaca. Bahagianya membuncah. Sebuah kata keramat itu didengarnya di tempat begitu indah. “Kamu juga, jaga diri baik-baik di sana. Kutunggu niat baikmu. Semoga semuanya dilancarkan dan dipermudah.”
“Aamiin.”
“Nggak kecantol warga sana, kan? Awas saja.”
Lagi-lagi Agung tertawa. Pria yang berprofesi sebagai TNI AD tersebut gemas bukan main. “Iya. Cewek di sini cantik-cantik. Ini lagi dekat sama salah satu pribumi. Enggak enggak. Nggak akan pernah terjadi. Kamu tenang saja.”
“Awas saja kalo serong. Aku juga bisa.”
Nawa sudah tahu pasti risiko menjalin hubungan dengan pria milik negara, yang bertugas menjaga kedaulatan negeri. Ia harus sabar dengan hubungan jarak jauh. Pun harus sadar tidak menjadi prioritas sebab prioritas Agung yang utama adalah tanah air. Belum lagi pasti akan ada banyak godaan. Terutama gadis pribumi yang berdekatan langsung dengan Agung.
Agung dan Nawa bertetangga. Hanya berjarak tujuh rumah. Nawa lulusan pesantren, lalu kuliah. Sementara Agung sejak lulus SMA jarang ada di rumah karena bersekolah kedinasan. Pertemuan mereka hanya beberapa kali dalam setahun sebelum akhirnya Agung memberanikan diri menghubungi Nawa via W* yang nomornya didapat dari adiknya.
Gayung bersambut. Nawa pun merasa nyaman dengan pria itu. Sejak Nawa kuliah, keduanya dekat, saling berjanji menjaga hati untuk nanti saling memiliki secara resmi. Bukan pacaran karena Nawa sangat marah jika Agung menyebutnya pacar.
Ketika Agung dan Nawa asyik mengobrol lewat telepon, ada seorang pria memasukkan sesuatu ke botol minuman Nawa dengan hati-hati dan kewaspadaan tinggi. Wanita itu tidak menyadari sebab pria itu melakukan dari belakang Nawa duduk.
Frengki tersenyum puas setelah berhasil melakukan aksinya. Ia celingukan dan kembali memastikan tidak ada yang melihat. Pria itu lalu duduk di samping Nawa.
“Mas, udah dulu, ya,” pamit Nawa pada Agung karena merasa risi ada Frengki di sampingnya.
“Oke. Nanti aku VC kalo udah luang lagi. Jaga diri baik-baik.”
“Siap, Komandan.”
Telepon akhirnya dimatikan setelah saling lempar salam.
“Pacar?” tanya Frengki.
Nawa tersenyum. “Insyaallah calon suami, Mas.”
Frengki dan Nawa sama-sama staf. Bedanya Nawa di bagian marketing, Frengki bagian keuangan.
“Aku kira kamu masih free, Wa.” Frengki tertawa.
“Belum berpawang, tapi insyaallah sebentar lagi.”
“Sebelum janur kuning dan tenda terpasang, berarti masih bisa ditikung, dong.”
Nawa hanya tertawa. Ia yang tidak nyaman, mengambil botol minum yang sudah dibubuhi sesuatu oleh Frengki. Tanpa curiga, Nawa langsung meneguknya.
Dalam hati, Frengki bersorak bahagia. Target sudah masuk perangkap.
Sejak Nawa menjadi karyawan baru dua tahun lalu, Frengki memang menunjukkan ketertarikan pada wanita itu. Hanya saja, Nawa selalu menghindar. Beruntung mereka beda divisi.
Beberapa saat kemudian, Nawa merasakan sekujur tubuhnya terasa panas, jantungnya berdegup kencang, dan sesuatu paling keramat dalam dirinya seperti meronta-ronta ingin disentuh. Sambil mengusap wajah yang sudah penuh keringat, Nawa meleng*h.
Frengki makin kegirangan. Pasalnya, s*x drops yang dimasukkan ke minuman Nawa sudah mulai bereaksi.
“Ada apa, Wa?” tanya Frengki pura-pura.
“Enggak ada apa-apa. Hanya saja, mungkin nggak enak badan tiba-tiba. Aku balik ke hotel dulu, ya.”
Tanpa menunggu jawaban Frengki, Nawa sedikit berlari menuju hotel tempat rombongan menginap yang tidak jauh dari pantai.
Frengki pun mengekor di belakang. Namun, tiba-tiba ia ditarik rekannya.
“Ayo ikut klubing. Aku bayarin. Siapa tahu ada L* bohay.”
Tubuh Frengki langsung ditarik hendak dimasukkan mobil.
“Enggak. Kalian aja. Aku mau ke kamar bentar. Ada keperluan,” tolak Frengki. Sesekali ia melihat ke arah Nawa berjalan tadi yang sudah tidak terlihat sosoknya.
“Jangan terlalu lugu, Ki. Udah, kamu tinggal ikut dan menikmati.”
“Tap-tapi.” Frengki terus menolak, tetapi rekan-rekannya tetap memaksanya masuk mobil rental yang di dalamnya sudah ada beberapa rekan yang lain.
“Turunin, woey! Aku masih ada urusan penting!” Penolakan Frengki tidak diindahkan kawan-kawannya. Mobil tetap berjalan.
“Si*l!” umpat Frengki dalam hati.
Lalu di sinilah Nawa sekarang. Di dalam lift berdua dengan pria asing yang tengah mabuk. Pria itu Brama. Sementara tubuh Nawa sendiri terus bereaksi hebat setelah obat perangs*ng dimasukkan Frengki ke dalam minumannya. Apalagi tubuhnya dengan pria itu menempel erat sebab Nawa masih menopang tubuh Brama.
“Cantik, maukah menemani saya malam ini?” goda Brama yang wajahnya masih tertutup masker.
“Masnya pasti mabuk. Ingat nomor kamarnya nggak?” tanya Nawa.
“209."
Tubuh yang mulai kepanasan, inti tubuh yang meronta-ronta, membuat Nawa tidak bisa berpikir jernih. Sebenarnya ia bisa saja meminta tolong karyawan hotel untuk mengantarkan pria asing ini ke kamarnya. Namun, Nawa justru melakukannya sendiri. Rasa takut sudah tidak ada lagi.
Pintu lift terbuka, tiba di mana unit kamar Brama berada. Meskipun mabuk, pria itu masih sadar dan waras. Ia hanya ingin mengerjai gadis cantik yang terlihat salihah yang kini tengah membantunya berjalan.
Dengan sempoyongan, Nawa kembali memapah Brama mencari kamar nomor 209. Begitu tiba, Brama mengeluarkan cardlock pada sensor sampai akhirnya pintu terbuka. Brama masih sempat menutup pintu.
Nawa masih membantu merebahkan Brama di ranjang.
“Sudah sampai. Saya keluar, Mas,” pamit Nawa. Namun, Brama justru menarik tubuh gadis itu hingga terjatuh dalam dekapan. Posisi Nawa ada di atas.
“M-mas, apa-apaan ini? Lepas!” Nawa berusaha berontak.
“Temani saya.” Brama menurunkan masker yang dari tadi menutupi wajah.
Untuk sesaat, Nawa terperangah. Wanita ayu itu takjub dengan ciptaan Allah yang menurutnya paripurna dari segi rupa. Apalagi warna mata pria ini berbeda dengan warna mata pada umumnya. Pandangan keduanya terkunci.
Pun dengan Brama yang sejak bertemu di lift tadi tertarik dengan wanita tertutup ini. Menurutnya, kecantikan Nawa alami, bukan polesan seperti Elea yang bersahabat dengan mekap tebal. Apalagi pakaian Nawa yang tertutup, membuatnya penasaran.
“Kamu sangat cantik. Siapa namamu?” tanya Brama, belum mengalihkan tatapan matanya. Tangannya ikut mengabsen setiap inci tubuh Nawa.
“Sa-saya Nawa.”
Efek obat perangs*ng, bisikan setan, sentuhan Brama, dan ketertarikan dengan ketampanan pria di bawahnya, membuat Nawa lupa diri.
“Kita buat malam ini begitu indah,” ujar Brama lagi.
Nawa menggeleng, menangis. Sisi hatinya takut dengan laknat Allah, sisi lainnya mendamba sebuah kenikmatan.
“Sa-saya takut, Mas. Kita nggak saling kenal sebelumnya.” Nawa berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.
“Kamu tenang saja. Saya akan bermain bersih tanpa meninggalkan bekas dalam dirimu.”
Nawa masih menggeleng. “Ti-tiba saya merasakan sesuatu yang aneh, yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya saat saya masih di pantai tadi.”
“Apa itu?” Brama memicing. Ia memang mabuk, tetapi sekali lagi masih waras.
“Semacam hawa panas, jantung berdebar, dan ... dan rasanya ingin dibelai, ingin dipuaskan. Saya nggak tahu kenapa.” Nawa terus menangis.
Brama melepaskan pelukan. Ia mulai tahu apa yang terjadi dengan gadis ini. Nawa pun terduduk di bibir ranjang.
“Mau saya bantu menuntaskannya?”
Nawa diam.
“Kita akan saling menguntungkan. Kamu terbantu, saya juga.”
Nawa menggeleng, masih menangis. “Saya masih suci, Mas. Saya bukan wanita mura*an, saya tidak mau berz*na. Tapi rasa aneh ini terus mengganggu saya.”
“Sudah saya katakan, akan saya bantu. Bagaimana?”
Setelah berpikir cukup lama dan mulai tidak bisa mengendalikan diri, Nawa akhirnya mengangguk.
“Tapi berjanjilah, jangan pernah menyesal telah menyetujuinya, Nawa.”
Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi
“Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana
Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg
“Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di
“Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me
“Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d
Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke
“Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa
“Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg