Brama menatap sayu istrinya. “Fitnahmu sangat menyakitkan! Aku nggak pernah meladeninya apalagi sampai mengajaknya ke ranjang! Kamu berubah, Nawa! Berani-beraninya menuduh suami berzina.”“Kamu yang berubah! Daripada bicara dari tadi nggak ada ujungnya, sekarang mari kita selesaikan semuanya. Sir, sejak awal nikah kita sepakat kalau selingkuh adalah zona merah bahkan zona hitam. Tapi apa? Kamu mengingkarinya.”“Apa bedanya sama kamu? Kamu juga selingkuh!”“Enggak! Video yang kamu lihat itu hanya sebatas bercanda. Bahkan niat selingkuh pun aku nggak punya! Nggak kayak kamu yang terang-terangan di depanku saling sentuh dengan Stevie!”“Lalu karena kamu menganggapku selingkuh yang sebenarnya salah paham itu kamu minta pisah?”Nawa tertawa sumbang. “Salah paham?”Ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh meminta pisah. Semua yang diucapkannya karena pengaruh emosi. “Lalu apa ada jalan lain selain pisah? Kurasa itu keputusan tepat.”“Semua hanya salah paham, Sayang. Ayolah, cobalah mengerti. Bag
Brama mengucapkan salam ketika masuk, mengabaikan apa yang didengarnya tadi.“Pak, sudah lama di sini?” tanya Brama sambil mencium tangan mertuanya takzim.“Baru datang. Kamu juga kenapa nggak ngabari kalau Nawa sakit?”“Putri Bapak yang minta dan mengancam agar saya tidak mengabari Bapak. Saya bisa apa?” Brama tergelak. Ia lalu mendekati Zidan. Keduanya lantas saling jabat tangan.“Kukira adikku sakit karena kamu hajar,” kata Zidan. "Awas saja berani KDRT. Kita gelut."Brama kembali tertawa sambil menghampiri Nawa. Ia mengulurkan tangan. Meskipun masih marah, Nawa menerima dan mencium tangan itu. Brama lantas menyentuh pelan hidung istrinya. “Wanita manis kayak gini kok dihajar apalagi KDRT, Mas. Rugi dong.”Zidan tertawa, menepuk pundak adik iparnya.Brama duduk di bed pasien bersama Nawa. Sesekali ia merangkul istrinya yang tengah merajuk tersebut. Nawa diam dan menerima diperlakukan demikian. Jika berontak, ia takut akan ketahuan Heru dan Zidan. Sesuai prinsip pernikahan, keduanya
“Gue sedang kerja, Be*o! Lo nggak lihat? Urusan utang bisa nggak dibahas nanti!” bentak Bima kesal.“Gue maunya sekarang.” Brama lalu menatap rekan kerja sang adik. “Hei, kalian semua! Dengar! Pria ini breng*ek, punya utang banyak nggak ada niat bayar! Jadi, pecat saja dia!”“Bram, apa-apaan sih, lo!”“Sekarang biarkan saya membuat perhitungan sama pria breng*ek ini.”“Brama!”Brama hanya mengedikkan bahu. Pria itu lantas menyeret Bima menuju mobil. Dengan paksaan, akhirnya Bima duduk di kursi samping kemudi. Pria itu pasrah sebab Brama terus mengancam. Lantas, kendaraan roda empat tersebut melaju.“Lo mau menghancurkan hidup gue? Iya, gue tahu utang gue banyak, tapi nggak bisakah lo kasih gue kelonggaran, hah! Lo malah memutus rezeki gue!” Bima marah, tetapi suaranya bergetar. Perasaannya antara malu, marah, dan benci bercampur jadi satu saat melihat kakaknya.Brama masih memasang wajah datar tanpa ekspresi sambil mengemudi.“Dasar kakak gila! Harusnya gue pergi jauh dari kota ini!”
Nawa terpejam, menitikkan air mata di samping pusara Agung. Setelah dari makam sang ibu, seperti biasa ia menyempatkan diri singgah di makam abdi negara ini. “Aku tuh egois, Mas. Saat bahagia sama Sir Brama, aku nggak mikirin kamu. Tapi kalau lagi sedih gini, kamu orang pertama yang kuingat. Aku jahat banget ya.” Nawa tertawa sumbang.Dari belakang, Brama menatap cemburu. Meskipun Agung sudah tiada, Brama justru melihat dari sudut berbeda. Keduanya berhadapan, Agung sedang menatap dan menikmati kecantikan istrinya. Atau bahkan mengelus wajah cantik Nawa. Brama menggeleng, mengusir pikiran gila itu. Ia pun mendekat.“Aku kangen sama kamu.” Ucapan Nawa terlontar ketika Brama tepat berada di belakangnya.Pria itu ingin mengelus kepala Nawa, tetapi urung. Kata kangen yang diucapkan istrinya itu untuk siapa? Ah, jelas bukan untuknya.Nawa terisak-isak. Ia sampai tidak menyadari ada suami yang berdiri di belakangnya.“Saat sekarat kemarin, aku lihat kamu sama ibu. Aku berpikir, mungkin aku
“Oh, punya anak duda? Lalu kamu juga masih ngarep dijadikan mantu sama dia?” tanya Brama seraya mengangguk-angguk. Ia bersedekap dan menatap tajam istrinya.“Sir tahu sendiri, kan, sikapnya beliau sama aku kayak apa? Baiknya nggak ketulungan pokoknya. Aku yakin beliau masih mengharapkanku jadi bagian keluarganya.” Nawa sengaja memanas-manasi. Bisa dibilang, ajang balas dendam secara halus.Telinga Brama mulai terbakar.“Jadi, ceritanya istri dari kakaknya Mas Agung itu meninggal nggak lama setelah kita nikah. Dia kerja di perusahaan batu bara di Kaliman–““Informasimu sangat nggak penting,” potong Brama. Ia menyerobot kasar makanan di kantong plastik dari tangan istrinya. Tanpa banyak kata, ia langsung masuk ke rumah.“Sir, mau kamu bawa ke mana!” pekik Nawa seraya mengejar.“Mau kubuang. Aku bisa membelikan yang lebih mahal, lebih enak, dan lebih sehat dari bubur sampah ini.”“Sir, jangan!”“Apa ini ribut-ribut?” tanya Heru yang keluar dari kamar.“Bubur dari Tante Nurul mau dibuang
Pandangan Nawa memang menatap jalanan ramai yang tampak di luar jendela, tetapi sejatinya pandangannya kosong. Pandangan hampa itu seiring pikiran yang bergemuruh layaknya jalanan padat yang tengah dilihatnya. Silih berganti masalah berseliweran dalam benak.Meskipun sudah berdamai dengan Brama, ada masalah yang masih membuatnya sesak. Terutama masalah kehamilan.Tiap bulan, Nawa selalu kontrol untuk program hamil. Semua dinyatakan sehat dan subur. Obat dan vitamin juga sudah rutin dikonsumsi. Sampai beberapa kali ganti dokter pun, semua dinyatakan baik-baik saja. Namun, tamu bulanannya juga masih rutin menghampiri.Setiap datang bulan, Nawa selalu murung. Kadang seperti mengalami gejala depresi. Mengamuk sendiri, menangis sendiri, menyakiti diri sendiri. Itu dilalui selama hampir setahun ini tanpa sepengetahuan Brama. Jika di hadapan sang suami, ia akan bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. Padahal sebenarnya ia tersiksa, merasa tidak percaya diri, dan menyalahkan diri sendiri k
Beberapa minggu berlalu. Hari-hari dilalui dengan kebahagiaan dan berusaha melupakan pahitnya pertengkaran di masa lalu. Baik Nawa maupun Brama lebih berhati-hati dalam menjalani hari, berharap terhindar dari masa kelabu.Sampai pada akhirnya, Nawa mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya.“Sir, ayo kita pijat perut biar sehat dan aku segera hamil.”“Apa!”Nawa mengulangi dengan takut.“Nggak usah neko-neko! Apalagi sampai pijat perut. No! Aku melarang kamu melakukan itu!”“Tapi, Sir–““Sudah berapa kali aku ngomong, anak itu bukan prioritas penting! Jadi jangan menyusahkan diri sendiri atau nyari penyakit! Kamu pikir nggak bahaya? Kalau sakit, siapa yang susah? Aku, kamu juga!”Nawa menunduk, cemberut.Brama mengembuskan napas panjang. “Nawa, sudah ratusan kali aku bilang, jangan terlalu stres mikir punya anak! Tapi kamu ... susah sekali diingatkan!”“Aku hanya berusaha, Sir. Tapi kamu malah marah.”“Jelas marah karena usahanya di luar nalar dan bahaya kayak gini! Jangan apa-apaka
“Setelah sekian lama, kenapa kamu bertanya lagi tentang mereka?” tanya Brama.“Penasaran aja. Hubungan Sir sama mereka baik, kan?”“Baik. Tapi hanya baik sama Bima dan nggak pernah bahas betina. You know betina? Kamu sama Stevie. Karena kalau sudah bahas kalian, ujungnya kami bertengkar.”“Berarti Sir tahu tempat tinggal mereka?”Brama mengangguk. "Tahu. Ruko itu pun aku yang kasih."“Ayo kita ke sana.”“Ngapain?”“Pengen lihat mereka, tapi lihat dari jauh aja, nggak usah turun.”“Buat apa?”“Pengen aja. Cuma pengen lihat kalau mereka sehat.”"Jangan bilang kalau kamu kangen pengen ketemu Bima?"Nawa memukul pelan lengan suaminya. "Pikirannya buruk terus sama aku! Heran! Ya udah, nggak jadi."Brama terpingkal-pingkal. Meski begitu, ia melajukan mobil ke ruko berlantai dua milik Bima."Ngapain ke sini? Ayo pulang," sungut Nawa.“Katanya pengen lihat mereka. Itu tempat tinggal mereka." Brama menunjuk salah satu ruko. "Dia membuka jasa fotokopi sama jasa print kayak Mas Zidan. Sudah puny