Happy reading. Semoga masih pada setia.
“Sayang, sini!” Brama kembali melambai.Dengan sedikit didorong Bima, akhirnya Nawa berjalan pelan menuju suaminya. Tiba di hadapan Brama, tangan wanita itu dicekal erat.“Bim, lo boleh keluar.”“Habis manis sepah dibuang, njir. Gue udah kayak cecunguk lo. Untung lo lagi sakit. Kalo sehat, ogah gue lo suruh-suruh kayak gini.” Meski begitu, Bima tetap keluar ruangan.Brama tergelak. Namun, gelak tawanya berganti dengan jerit kesakitan saat Nawa mencubit dadanya.“Ya ampun, Nawa. Ini namanya KDRT. Suami sekarat malah kamu kasari. Mau dipidanakan?”“Ayo pidanakan. Aku nggak takut. Sekalian aja bikin aku jadi janda. Aku tuh benci banget sama kamu, Sir!"“Iya, Sayang maaf. Mana ngatain suaminya setan, iblis. Durhaka kamu, ya!” Brama menarik Nawa hingga wanita itu berada dalam dekapannya.“Sir itu jahat! Aku takut banget tahu nggak? Aku nggak bisa bayangin kalau sampai Sir lupa ingatan beneran.” Dalam dada bidang yang masih terbungkus baju operasi tersebut, Nawa kembali menangis.“Maaf. Aku
“Bisa iya, bisa enggak. Bolehlah dicoba dulu.”Nawa menghadiahi cubitan setelah mendengar jawaban sang suami yang tidak membuatnya puas.“Nawa! KDRT lagi!” “Sir pikir nikah itu kayak beli baju yang bisa dicoba, trus dilepas gitu aja? Kalau suka dibeli, dipakai, lalu kalau sudah bosan dibuang, gitu? Makin ke sini makin ngaco, ya!”Brama mengembuskan napas panjang, lalu menggenggam telapak tangan istrinya, lantas mengikat pandangan dengan belahan jiwanya ini.“Dengar. Awalnya aku ingin bertanggung jawab karena telah merusakmu. Tapi lama-lama sebuah rasa sialan bernama cinta justru hadir. Aku bukan anak ABG yang dalam masa menjajaki wanita. Nawa, saat itu aku sudah dewasa dan awalnya memang ingin serius dengan Elea. Tapi keseriusan itu berubah dendam saat memergokinya selingkuh, berbagi peluh dengan pria lain. Dan saat bersamaan, Tuhan kayak dengan sengaja mengirim kamu sebagai korban kemarahan saya pada makhluk bernama wanita. Makanya, sebagai jantan sejati aku harus memperbaiki apa ya
“Kalau aku belum siap?” Nawa memicing. “Aku paksa.” Brama mendekatkan wajah, lalu mengambil jarum di bawah dagu sang istri. Dua bibir mereka saling bertemu, melebur menjadi satu. Tangan Brama melepas paksa penutup kepala Nawa, melepas pula penjepit rambut. Surai hitam nan panjang yang menjadi candu Brama tergerai indah. “Sir.” Nawa melepaskan diri dengan napas terengah-engah. Sementara mata Brama sudah berkabut sayu siap menerkam istrinya. Kancing baju atasan Nawa mulai dibuka oleh sang suami. Brama juga melepas tas Nawa dan diletakkan begitu saja di lantai. “Sir! Ini di ruang tamu. Dasar nggak tahu tempat!” Nawa memukul pundak Brama. Wanita itu tergelak. Beruntung semua jendela masih tertutup rapat hingga tidak ada rasa takut kepergok orang atau takut jika ada yang mengintip. “Sudah nggak sabar, Sayang. Aku sudah lama tersiksa.” Atasan Nawa dilepas, lalu dilempar ke sembarang arah oleh Brama. Tubuh setengah polos itu lalu digandeng menuju kamar. Nawa menahan tawa. “Dasar! Ada
“Sir!” Nawa kembali memanggil.“Diam, Nawa!”Nawa kian terbahak-bahak. “Ya maaf. Ini di luar prediksi BMKG.”“Kubilang diam!”Sepertinya, sakit kepala part dua akan menyerang Brama lagi. Pria itu memilih terpejam dengan posisi telentang. Sungguh, banyak sekali halangan ibadah pengantinnya.“Bisa-bisa aku gila! Punya istri katanya bisa menghilangkan stres, nyatanya malah membuatku pusing. Lagi on, dipaksa off lagi. Jauh-jauh pergi bulan madu, tamu bulanan sialan itu malah datang! Haaah!” Brama menarik rambutnya kuat. Matanya masih tertutup.Tiba-tiba, sebuah sentuhan sangat lembut dirasakan Brama mengabsen setiap inci tubuh, membuatnya meremang. Lalu, ada beban berat yang dirasakan di atas tubuhnya.“Sayang,” panggil suara itu lirih di telinga Brama.“Ini pasti setan yang sedang menggangguku. Nawa! Keluarlah dari kamar mandi! Suamimu digoda setan!”Senjata Brama ditarik kasar sampai pria itu mengaduh kesakitan.“Aw! Setan!”“Sir! Keterlaluan istri sendiri dibilang setan!”Spontan, Bram
“Mommy,” jawab Brama. Ia juga memperlihatkan layar ponselnya pada sang istri yang masih berkedip.“Angkatlah.”Brama menggeleng. “Pasti mau mengacaukan kesenangan kita.”“Sir. Kumohon.” Nawa menyentuh lengan Brama, mengelusnya pelan. Yang Nawa pikirkan, ia tidak mau menjadi penyebab seorang anak mengabaikan ibunya. Brama mengembuskan napas panjang.“Baiklah. Tapi nggak di sini. Nanti kalau mommy bilang macam-macam, kamu dengar dan sakit hati. Aku nggak mau itu terjadi karena akan mengacaukan mood kamu. Bisa-bisa aku yang rugi. Untuk saat ini, aku butuh kamu yang ceria, seksi, dan ... nakal kayak tadi.” Mata Brama mengerling nakal.Nawa tergelak. “Ya udah. Sana angkat dulu.”Brama menjauh. Nawa menatap punggung pria itu sambil tersenyum.Dulu, Brama sangat menyebalkan. Namun, sekarang prianya itu sangat manis, lembut, dan tiap kali berdekatan jantungnya berdebaran. Semua mungkin karena the power of love. Nawa pun jatuh dalam pesona pria tampan tersebut. Apalagi setelah menyerahkan mah
Tangan Nawa terlepas dari lengan suaminya. Wanita itu tersenyum kecut. Ini baru datang saja sudah disuguhi ejekan pembuka yang sangat lezat. Belum nanti kalau mereka sudah membaur. Mungkin ada menu utama dan penutup yang lebih dahsyat.Gahayu dan gengnya posisinya duduk membelakangi hingga tidak sadar anak dan menantunya datang.“Sayang ....” Brama menatap istrinya sendu. Ia mencekal telapak tangan sang istri, menyatukan kembali dengan telapak tangannya.Sementara Gahayu masih menggibah Nawa dengan mulut pedasnya.“Sir, a-aku pergi saja dari sini. Daripada diusir paksa. Sir saja lanjutkan sendiri tanpa aku.” Suara Nawa bergetar. Sebenci itu Gahayu pada dirinya sampai menjelek-jelekkan di hadapan orang banyak.“Ya, setelah ini kita pergi. Tapi sebentar, aku mau ngasih hadiah dulu ke Mommy.”“Aku tunggu di sana.” Nawa menunjuk tempat agak jauh seraya berusaha melepaskan genggaman tangan sang suami.“Kamu nggak akan ke mana-mana. Tetap di sini.” Tangan itu tidak dibiarkan terurai.“Tapi–
“Su-suaminya kakakmu? Kak Brenda? Datangi dia, Sir!” pekik Nawa tertahan. Ia sedikit ngeri melihat adegan panas di depan sana.“Biar jadi urusan mereka berdua. Tugasku hanya mencari bukti buat dikirim ke Brenda,” sahut Brama sambil terus merekam.“Nggak pengen mukul dia gitu? Keterlaluan kelakuan mereka.”“Hanya mengotori tanganku saja. Sebenarnya pengen, tapi malaslah. Biar Brenda sendiri yang menangani suaminya.”Pria dan wanita yang tengah beradegan tidak seharusnya itu tidak sadar jika ada yang mengabadikan hal menjijikkan mereka. Tempatnya memang tidak di tempat terbuka, melainkan di sebuah pojok yang tidak terlihat orang. Brama masih mengarahkan mata ponsel.“Dasar nggak tahu tempat. Menjijikkan. Apa nggak punya uang buat chek-in?” ujar Brama seraya menahan amarah.“Lah iya ya. Emang dia kere?”Brama hanya menatap sekilas pada sang istri.“Sayang.”“Apa?”“Mereka memancing libi*oku.”Nawa memukul pelan pundak suaminya sambil menahan tawa.“Otaknya Ya Allah. Mesumnya nggak ada ob
Bukannya berhenti, Brama justru bertindak lebih jauh. Pria itu menggigit pelan tengkuk sang istri yang tertutup pasmina.“Ebuseet! Malah pamer! Di sini ada Bocil wey!” pekik Bima sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Namun, sela-selanya merenggang hingga masih bisa melihat adegan m*sum kakaknya.Nawa terus melepaskan diri, lalu memukul pelan pundak Brama setelah berhasil. “Sir! Nggak sopan!”“Biar dia nggak punya pikiran buat nikung kamu lagi. Dia itu pura-pura cupu padahal sudah suhu, Sayang. Entah sudah berapa gadis yang hilang kegadisannya di tangan pria tengil ini.” Brama merangkul sang adik dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri menggandeng Nawa, membawa dua orang penting dalam hidupnya itu untuk masuk rumah.“Fitnah itu, kakak ipar! Jangan percaya!”Nawa hanya terbahak-bahak.Jika Brama berhadapan dengan orang lain terkesan cuek, dingin, dan kaku. Berbeda dengan Bima yang sangat hangat dan pandai bicara. Jadi, hanya dengan cara bicara saja bisa dilihat siapa yang buaya