Bang Irsyad begitu terkejut setelah membuka kacamata hitam yang kugunakan. Sudah dipastikan mataku bengkak, wajahku sembab dan menyedihkan."Apa yang terjadi, Nay? Kenapa matamu sampai sembab seperti itu?" Bang Irsyad memegang bahuku. Matanya menatap sendu ke mataku.Hening.Lidahku kelu. Dadaku begitu sesak bahkan untuk sekedar bernapas. Aku kembali menghambur memeluk Bang Irsyad. Menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakitku di dada bidangnya. Bang Irsyad seakan mengerti rasa sakitku. Dia hanya memelukku erat, tanpa berkata, tanpa suara. Dia juga mengusap-usap punggungku lembut. Membuat kenyamanan seketika menyeruak dalam dada."Non, ini minumnya." Kedatangan Mbok Rum membuatku mengurai pelukan dari tubuh bang Irsyad. Wanita yang sudah bekerja hampir tiga tahun di rumah kakakku itu menyimpan dua gelas sirop jeruk di atas meja. Entah kenapa Mbok Rum selalu saja memanggilku dengan Non, padahal aku sudah menikah. Bahkan, aku sering memintanya untuk memanggilku dengan nama saja.
Bang Irsyad dan Nisa terlihat saling pandang untuk beberapa saat. Namun, sesaat kemudian mereka terlihat seperti salah tingkah. Nisa kembali berjongkok meraih bahu Mas Fahri, "Ayo, Nisa bantu Mas," ucap Nisa sambil membantu Mas Fahri berdiri.Bang Irsyad terlihat memalingkan wajahnya. Entah pernah ada hubungan apa antara Nisa dan Bang Irsyad dulu. Kenapa aku merasa belum pernah bertemu dengan Nisa. Kalau memang Nisa pernah menjadi orang yang spesial buat Bang Irsyad, dia pasti pernah memperkenalkan aku padanya.Mas Fahri terlihat memegangi perutnya. Tentu saja, dia pasti kesakitan. Bukankah Bang Irsyad dulunya pelatih bela diri saat duduk di bangku SMA? Jadi, jangan remehkan jotosannya."Berani-beraninya kamu menyakiti dan mempermainkan perasaan adikku. Dasar br*ngsek. Kamu juga telah menipu dan membohongi aku sebagai kakaknya," ujar Bang Irsyad berapi-api.Bang Irsyad terus memaki Mas Fahri. Telunjuknya tepat mengarah ke wajah Mas Fahri. Mas Fahri tak berkutik. Dia hanya diam memat
"Maaf, Non. Mbok tadi udah berusaha ngelarang masuk," tutur Mbok Rum. Wajahnya tertunduk menyiratkan penyesalan."Enggak apa-apa, Mbok." Aku berusaha membuat suasana seolah baik-baik saja.Mbok Rum berjalan ke dapur meninggalkanku yang masih terpaku menatap Mas Fahri."Nay, Mas mohon pulang, ya. Maafkan aku. Aku yakin kita bisa melewati ini bersama-sama."Aku membuang muka. Berusaha menyembunyikan netra yang mulai berkabut. "Nay." Mas Fahri semakin mendekat kemudian berniat memegang tanganku."Nay, tanganmu berdarah," pekik Mas Fahri panik.Segera kutepis tangannya."Luka ini tidak ada apa-apanya dibanding lukaku di dalam sini." Aku menepuk-nepuk dada cukup keras. Berharap himpitan batu yang begitu menyesakkan itu berkurang.Butiran-butiran yang tadi sebisa mungkin kutahan, akhirnya mengalir juga. Sakit, hatiku sungguh masih teramat sakit. BrukkTiba-tiba Mas Fahri berlutut, memegang kedua kakiku."Mas mohon maafin aku, Nay. Kalau kamu menyuruhnya bersujud di kakimu agar kamu bersed
Aku masih berusaha mencerna perkataan Bang Raka. Rasanya tidak percaya kalau Bang Irsyad yang menghamili Nisa. Tapi kenapa Nisa meminta Bang Irsyad yang harus bertanggung jawab menikahinya? Ah, sungguh ini sangat rumit. Bagaikan benang kusut yang tak tau ujungnya."Hei, kok malah ngelamun?" Ucapan Bang Raka membuyarkan lamunanku."Enggak, Bang. Aneh aja, kenapa Nisa harus meminta Bang Irsyad menikahinya kalau anak yang dikandungnya bukan anak Bang Irsyad?" Bang Raka terlihat mengangkat bahu, menandakan ia tak tahu."Kok, bisa ya, wanita se-alim Nisa hamil di luar nikah?" tanyaku penasaran."Maksudnya alim gimana?" timpal Bang Raka."Ya ... kan Nisa bajunya juga sangat tertutup dengan jilbab yang lebar.""Iyakah?" Alis Bang Raka terlihat bertaut. "Dulu, enggak tuh. Penampilannya biasa aja kayak ABG yang lainnya," lanjutnya."Masa sih, Bang? Tapi sekarang penampilannya tertutup banget.""Mungkin sekarang dia sudah berubah. Kan orang enggak ada yang tahu, hidayah munculnya kapan," jawab
Aku tersadar ketika menjelang pagi. Kutatap sekeliling, aku sudah terbaring di atas ranjang dengan tubuh tertutup selimut. Teringat semalam, aku pingsan begitu saja saat baru saja akan keluar dari lift. Sepertinya Bang Raka yang membawaku ke dalam kamar.Bang Irsyad terlihat masih pulas tertidur di sisiku. Sementara Bang Raka, tidak terlihat, sepertinya dia tidur di kamarnya.Perlahan aku turun dari ranjang, kemudian melangkah menuju kamar mandi. Mengambil air wudu untuk melaksanakan salat subuh dua rakaat. Karena sepertinya waktu subuh sudah masuk.Saat keluar dari kamar mandi, Bang Irsyad sudah terbangun. Dia masih duduk di tepi ranjang."Gimana keadaan kamu sekarang, Nay?" Raut wajahnya menggambarkan kecemasan. "Abang semalaman khawatir banget sama kamu.""Sudah baikan, Bang. Mungkin cuma kecapean atau masuk angin. Soalnya kan semalam lihat pemandangan puncak dari atas hotel. Anginnya kenceng banget." Aku berusaha meyakinkan Bang Irsyad agar ia tak khawatir."Syukurlah kalau begitu
Aku sedikit terkejut dengan penawaran Bang Raka. Meskipun dari dulu kami memang dekat, tapi aku belum pernah pergi berdua saja dengannya. Apa aku nunggu Bang Irsyad saja sampai urusannya selesai? Tapi seminggu itu terlalu lama. Aku bosan di rumah sendirian, meskipun ada Mbok Rum. Kalau di kampung, aku bisa ikut ibu atau bapak ke kebun atau ke sawah."Gimana, Nay?" tanya Bang Irsyad."Gimana apanya?" jawabku pura-pura tak mengerti."Itu tawaran Raka buat nganterin kamu," tutur Bang Irsyad.Aku menatap Bang Raka, "Emang Abang ga sibuk ya? Nanti ngerepotin," ujarku."Enggak, kan pekerjaan bisa dihandle Irsyad," jawab Bang Raka sambil tersenyum ke arah Bang Irsyad.Ya, usaha cuci mobil yang dikelola Bang Irsyad memang sebagian besar modal dari Bang Raka. Makanya Bang Irsyad lebih giat mengontrol dan mengawasi usahanya itu.Di kampung, Bang Raka memang berasal dari keluarga yang berada. Orang tuanya memiliki lahan persawahan yang luas. Belum lagi toko bahan bangunan. Berbeda dengan keluar
Aku memang berniat akan bicara jujur sama ibu dan bapak. Tapi bukan sekarang. Aku ingin mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu kepada dua orang yang begitu menyayangiku itu. Apalagi sekarang aku cape banget. Hampir empat jam diperjalanan membuatku tubuhku terasa pegal-pegal."Nay, ditanya kok malah ngelamun." Ibu menepuk pundakku pelan."Maaf, Bu. Naya ga fokus." Aku pura-pura lupa pada pertanyaan Ibu. "Fahri gimana kabarnya?" Ibu mengulangi pertanyaannya."Mas Fahri ... Mas Fahri baik kok, Bu. Sehat," jawabku sambil berusaha sedikit tersenyum pada ibu. "Oh ya, Bu. Naya punya kabar gembira buat Ibu sama Bapak. Naya sedang hamil, Bu," tuturku antusias."Beneran, Nay?" tanya Ibu."Iya, Bu." Aku mengangguk meyakinkan."Masya Alloh Alhamdulillah .... Sebentar lagi Ibu akan punya cucu." Ibu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Matanya terlihat berkaca-kaca."Selamat ya, Nay." Ibu menggenggam tanganku."Selamat juga buat Ibu." "Kamu mau makan sekarang, Nay?""Enggak, Bu. Tadi di j
"Apa yang kamu katakan, Nay?" tanya Bapak sekali lagi."Iya, Pak. Mas Fahri sudah mempunyai istri. Namanya Khoirunnisa. Mereka sudah menikah selama empat tahun. Tapi karena Nisa nggak bisa punya anak, makanya Mas Fahri menikahiku," tuturku pada Bapak panjang lebar.Sementara Ibu terus mengelus punggungku. Namun kelopak matanya sudah menyimpan genangan air yang siap tumpah. Tangan Bapak terlihat mengepal kuat. Sementara tatapan matanya menyiratkan kemarahan dan kekecewaan. Ya, ini pasti menyakitkan. Bukan hanya untukku, tapi juga kedua orang tuaku. Kali ini Ibu berdiri, menghampiri bapak yang masih mematung dengan sorot mata memerah dan rahang mengeras. "Sabar, Pak. Tenang. Nanti jantungnya kumat lagi," ucap Ibu menenangkan. Lalu ibu menuntun Bapak agar kembali duduk di sofa.Ibu menyerahkan segelas air yang sudah tersedia di meja. Bapak meneguknya sampai habis. Sekarang, emosi bapak terlihat mulai mereda.Ibu kembali duduk di sampingku. "Coba ceritakan semuanya pada Ibu sama Bapak,