Share

10.Mengintip di belakang

Riana merasa soto yang dia makan sangat enak, ia bahkan menghabiskan kuahnya sampai tidak tersisa. Setelah menyantapnya sampai habis, dia bersendawa karena merasa kenyang.

“Alhamdulillah, enak sekali,” Riana mengucapkan rasa syukur.

Riana mulai berpikir makan malam nanti apa, ia tidak mungkin menyuguhkan telur dadar kepada suami atau mertuanya. Tetapi, seketika dia teringat kalau uang kembalian soto tadi masih banyak, Riana akan mengatakan kalau ingin membeli lauk makan malam dengan uang ini. Karena kalau tidak, nanti malah dibilang lancang oleh mertuanya.

“Ibu!” Riana memanggil mertuanya dengan suara nyaring di depan pintu.

“Em,” Mayang menyahut dengan bergumam, ia malas menjawab karena sedang telponan dengan seseorang.

“Aku pakai uang Ibu ini ya, bua beli lauk dan sayur untuk makan malam nanti,” kata Riana.

“Iya,”

Mayang padahal tidak mendengarnya dengan jelas, ia hanya sekedar menjawab ‘iya’ saja. Karena tidak mau mendengar ocehan Riana lagi.

Sedangkan Riana, ia bersorak riang lantaran mendapatkan uang belanja sebesar 35ribu. Dia selalu mendapatkan uang 20ribu sehari, walau beras dan segala macam bumbu dapur terpenuhi. Tetap saja mana cukup uang 20ribu itu untuk tiga kali makan.

Riana bergegas menuju ke warung berada tidak jauh dari rumah, hanya beberapa meter saja sudah sampai di sana. Warung yang ia datangi menjual sangat lengkap, segala macam ada di sana.

“Bu, beli lauknya setengah, kangkung dan tempenya, ya!” Riana berucap saat sudah sampai di warung.

“Tumben, Riana, beli lauk dan sayur?” Ibu Juleha pemilik warung bertanya lantaran penasaran.

“Iya, Bu, mumpung ada uang lebih,” jawab Riana.

“Padahal suamimu loh seorang manajer, masa iya istrinya makan telur saja tiap hari nanti bisulan loh,”

Bukan maksud ibu Juleha mengatakan hal yang menyakitkan, hanya saja dia kasihan dengan Riana. Wanita muda itu terlihat kurus, bahkan wajahnya terlihat lesu, makanya ia mencoba beberapa kali menasihati wanita malang yang berada di hadapannya ini.

“Mungkin uangnya terpakai, Bu,” bela Riana.

“Tapi, mertuamu selalu pergi jalan setiap hari loh, Riana. Bukan maksud Ibu buruk, hanya saja Kamu masih muda, Kamu bisa mendapatkan hidup yang lebih layak. Mumpung belum terlambat, nanti menyesal dikemudian hari.” Ibu Juleha mengelus pundak Riana pelan, ia berusaha menasehati wanita itu.

Riana diam, ia merasa ada benarnya perkataan ibu yang berada di depannya ini. Tetapi, ia memilih menyangkal semuanya di dalam pikiran, dia masih mencintai Reynald dan percaya bahwa suatu hari suaminya akan berubah.

“Ambilkan saja yang Aku minta tadi, Bu,” pinta Riana lembut.

Ibu Juleha menghela napas panjang, ia tahu kalau Riana tidak akan mendengarkan apa yang dia katakan. Hanya saja, perasaan kasihan setiap kali melihat wanita itu, membuatnya menjadi tidak tega.

“Maafkan perkataan Ibu tadi, ya. Ibu hanya mengkhawatirkan Kamu saja.” Juleha memberikan belanjaan Riana.

Riana menganggukkan kepalanya, ia mengambil plastik berisi belanjaan lalu membayar dan pamit pergi.

Sepanjang jalan, ia terus melamun, sampai tidak sadar kalau ada motor yang lewat. “Astaghfirullah, hampir saja.”

.

“Assalamualaikum.” Riana membuka pintu perlahan, seperti biasa tidak ada orang yang menjawab salamnya.

Dia melangkah ke dapur untuk segera memasaknya, karena hari sudah sangat sore, takut Reynald keburu datang. Saat melawati kamar Mayang, ia mendengar suara tertawa dari dalam sana, siapa lagi kalau bukan mertuanya. Tetapi, ia memilih untuk tidak menguping, sebab itu tindakan yang kurang ajar.

“Alhamdulillah, hari ini bisa makan enak walau sederhana. Pasti mas Reynald sama ibu lahap makannya,” Riana bergumam seorang diri, ia terlihat sangat senang sekali hari ini.

Riana adalah wanita yang selalu berpikiran positif, ia teringat pesan kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Tidak lama setelah ia lulus SMA, kedua orang tuanya meninggal dunia, membuatnya harus tinggal sebatang kara. Untung saja dia selalu mendapatkan beasiswa, andai tidak pasti Riana memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya.

Dia tidak mungkin mau membebankan pamannya, yang sudah baik menampung setelah kematian orang tua. Sedangkan pamannya memiliki istri yang tidak menyukainya, karena Riana bukanlah dari kalangan berada, keluarga Riana sangat sederhana. Tidak seperti pamannya, mereka sangat kaya, hanya saja istri atau bibinya adalah orang pelit. Dia tidak mau membiayai kuliah Riana, menampung saja sangat berat.

Sang paman Jodi, tidak bisa berkutit lantaran istrinya lah yang membuatnya bisa menikmati menjadi orang kaya. Makanya ia tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa mendoakan Riana supaya keponakan satu-satunya bisa bertahan dengan pilihan yang dia buat. Kuliah sambil bekerja setengah hari, sangat melelahkan sekali bagi Riana. Tetapi, ia tidak sedikit pun mengeluh, karena ibu Riana selalu berharap dirinya bisa lulus kuliah.

.

Suara mobil terdengar dari dapur, Riana baru saja selesai menata semua hidangan yang dia masak di meja. Dia segera berlari ke arah pintu, menyambut suaminya yang sudah pulang dari kerja dengan senyum merekah. Pintu terbuka, dia mendapati suaminya yang tengah asyik memainkan ponsel, bukannya masuk ke dalam.

“Mas,” panggil Riana lembut.

“Ah, Riana!” Reynald kaget melihat Riana berada di depannya, padahal ia tidak mengetuk pintu.

“Kenapa diam di luar? Ayo masuk.” Riana menggandenga lengan Reynald mengajaknya masuk ke dalam.

Reynald malah menepisnya. “Kamu belum mandi?” Reynald bertanya sambil menutup hidungnya.

“Belum, Mas, Aku baru saja selesai masak.” Riana mundur menjauh dari suaminya, ada perasaan sedih di dalam lubuk hati wanita itu.

“Kalau belum mandi, jangan dekat-dekat!” Reynald berjalan menjauh sambil menggerutu.

“Maaf.” Riana menundukkan kepalanya.

Reynald masuk ke dalam kamar, ia malah berbaring di ranjang membalas pesan dari Diandra. Sesekali senyum akan terukir di bibir lelaki yang sudah menikah itu, senyum yang seharusnya hanya untuk sang istri.

“Mas, Kamu tidak mandi dulu?” Riana bertanya saat melihat suaminya berbaring di kamar.

Bahkan lelaki itu malah tidak melepaskan sepatu dan kaus kakinya, rupanya setelah masuk ia langsung berbaring.

“Kamu saja duluan, Aku mau berbaring sebentar,” Reynald menjawab tanpa menoleh, ia masih asyik dengan ponsel di tangannya.

Riana mengambil handuk, ia masuk ke kamar mandi dengan pikiran berkecamuk karena melihat suaminya sedari semalam selalu memainkan ponselnya. Ponsel tidak lepas dari tangan lelaki itu, bahkan Reynald selalu kedapatan tersenyum sendirian seperti orang sedang kasmaran.

[ Diandra, Kamu selalu membuat Aku rindu ]

[ Padahal kita baru tadi siang bertemu, masa Kamu sudah rindu? ] balas Diandra.

[ Wajah cantikmu memang membuatku selalu terbayang, makanya walau sebentar Aku menjadi merindukanmu ]

[ Kamu ini bisa saja ] Diandra malah membalas dengan memasukkan stiker penuh cinta.

'Astaga! Dia membuatku menjadi berbunga-bunga saja. '

Batin Reynald bersorak girang, ia tidak sadar kalau ada Riana yang mengintip di belakangnya.

Raisya_J

Terima kasih sudah membaca

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status