Share

9.Mirip dia?

“Riana!” panggil Mayang dengan berteriak dari dalam kamar.

“Iya, Ibu.” Riana tergopoh-gopoh berlari mendekati mertuanya.

“Belikan Ibu soto ayam di depan sana, jangan pakai lama!” Mayang menyodorkan selembar uang berwarna biru.

“Iya, Bu.” Riana segera berjalan ke kamar, ia memasang jilbab instan dan jaket, lalu mengambil kunci motornya.

Motor yang sudah ada sebelum Riana menikah, motor matik menemani ke mana pun dia pergi sewaktu gadis. Riana melajukan matik pergi ke tempat yang mertuanya maksud, lumayan jauh kalau berjalan ke sana. Jadi dia memilih mengeluarkan maticnya.

Riana sudah sampai di tempat yang dia tuju, dia segera memparkirkan matiknya ke tempat parkiran. Lalu masuk ke dalam warung makan yang sangat ramai, membuat dia harus mengantri beberapa saat.

Tidak lama, tiba giliran Riana, dengan cepat wanita itu memesan satu bungkus soto. “Berapa, Pak?” tanya Riana.

“15ribu, Dek.”

“Ini uangnya.” Riana menyerahkan selembar uang berwarna biru.

Dia bergegas berjalan pulang, tidak mau membuat Mayang menjadi kesal lagi dengannya. Riana segera melajukan motornya kembali pulang tetapi, saat di pertengahan jalan yang sepi motor Riana malah mendadak mati, membuat dia menjadi kebingungan.

“Ini kenapa?” tanya Riana seorang diri.

Dia panik, tidak ada seorang pun yang lewat karena hari yang sudah mulai sore. Apa lagi jalanan yang dia lalui ini adalah sebuah perumahan elit, yang rata-rata dihuni oleh pekerja kantoran yang masih belum pulang ke rumah. Riana mencoba beberapa kali menstater motornya, berusaha untuk membuatnya hidup. Nihil, selalu saja mati, membuat dia menjadi semakin panik lantaran bingung apa yang harus dilakukan.

“Ponsel, di mana ponselku?”

Riana merogoh semua saku pakaiannya, tidak ada ponsel di sana dan seketika dia teringat kalau ponselnya sedang mengisi daya di rumah, membuatnya ingin menangis.

“Kamu kenapa?” tanya lelaki yang berada di dalam mobil mewah.

Riana terkejut karena tidak meyadari kalau ada mobil yang mendekat, “Motorku sedari tadi tidak mau nyala, Pak,” jawab Riana.

“Apa sudah Kamu engkol?” tanya lelaki berpakaian rapi dari jendela mobil.

“Belum.” Jawab Riana dengan menggelengkan kepalanya pelan.

“Coba engkol dulu, dek. Siapa tahu bisa,”

Riana mencoba mengekol motornya tetapi, ia malah kesusahan.

“Sini tak bantu.” Lelaki yang terlihat berumur 40 tahunan itu turun membantu Riana mengengkol motornya.

Riana mundur memberikan tempat untuk orang yang baik itu membantunya. Ternyata, tetap tidak bisa menyala, padahal bapak itu sampai banjir keringat mencoba sayangnya tidak bisa.

“Masih belum hidup, Pak?” terdengar suara bariton lelaki yang tampak tidak asing di telinga Riana.

“Belum, Den. Padahal sudah Bapak coba beberapa kali, tetap tidak mau nyala,”

“Coba cek bensinnya, siapa tahu bensinnya yang habis,”

Riana langsung membuka tangki bensinnya dan ya, ternyata benar kalau tangkinya kering, tidak ada setetes pun bensin yang terlihat. Membuat dia menjadi malu, wajah Riana menjadi merah dan tertunduk.

“Owalah, ternyata bensinnya habis, Dek,” kata bapak tertawa kecil.

“Maaf, ya, Pak. Aku kelupaan mengecek sebelum pergi tadi,” kata Riana menahan malu.

“Tunggu sini ya, Dek. Bapak belikan bensin dulu di depan sana,”

“Tidak usah, Pak. Siapa tahu Bapak sibuk, jadi biar Aku saja sendiri yang beli,” tolak Riana halus. Takut bapak baik hati itu akan tersinggung.

Bapak tua itu menatap kepada orang yang disebut bos di dalam mobil dan dibalas dengan anggukkan. “Nah, Dek, Bos Bapak tidak masalah kok, orang cuma sebentar,”

“Tapi, Pak, Aku jadi tidak enak,”

“Ya, tidak papalah. Tunggu di sini Bapak belikan sebentar,”

“Pak, pakai mobil ini saja, biar cepat. Jadi Saya tunggu bersama wanita ini di sini sebentar.”

“Siap, Bos.” Bapak itu segera masuk ke dalam mobil dan mobil pun melaju membelikan bensin untuk Riana.

Riana menoleh, memandang lelaki yang terbilang masih muda di sampingnya. “Wira?” tanya Riana tidak percaya.

“Maaf, Anda mengenal Saya?” tanya lelaki tampan berjas heran.

Riana menelisik penampilan lelaki yang berada di depannya dari bawah sampai ke atas. “Mungkin Aku salah orang, maaf.” Riana tertunduk, ia merasa malu karena salah mengira lelaki yang berada di depannya ini adalah Wira, temannya dulu.

Karena Wira yang di kenal Riana adalah lelaki culun lengkap dengan kacamata tebal yang selalu lelaki itu pakai. Sedangkan lelaki yang ada di depannya ini, terlihat sangat tampan, bertubuh tegap dengan memakai setelan jas berserta jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Walau sekilas ada kemiripan dari mereka berdua tetapi, itu mungkin hanya perasaannya saja.

Riana merasa kikuk berada berduaan dengan lelaki asing di sampingnya, ia berharap bapak tadi segera datang kemari. Benar saja, tidak lama mobil mewah yang dikendarai bapak tadi akhirnya kembali, membuat ia menjadi senang.

“Maaf, ya, Dek. Bapak lama.” Bapak itu menyerahkan jerigen bensin kepada Riana.

“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah mau Aku repotin.” Riana mengambil jerigen bensin dari tangan Bapak supit itu.

“Langsung coba hidupin ya, Dek!”

Riana mengisi tangki bensin yang kosong, lalu menstater motornya. “Alhamdulillah, akhirnya bisa!” pekik Riana senang.

“Alhamdulillah,” syukur bapak supir.

“Kalau begitu kita bisa pergi, Pak,”

“Baik, Den. Kami pergi dulu ya, Dek, lain kali jangan lupa lihat tangki bensinya dulu sebelum pergi,”

“Tunggu, Pak! Ini uang Bapak tadi Aku ganti.” Riana menyodorkan uangnya.

Bapak baik hati yang belum diketahui namanya siapa, menolak pemberian Riana dan pamit pergi.

“Syukur alhamdulillah Aku bertemu dengan orang baik.” Riana segera melajukan motornya pulang.

.

“Lama banget, Riana! Kenapa sih setiap kali di suruh pasti lama? Lelet banget jadi orang!” teriakan Mayang menyambut kedatangan Riana.

“Maaf, Bu. Tadi di jalan motornya mati, habis bensin.” Riana menuang soto ke dalam mangkuk.

“Halah, alasan saja. Memang Kamu orangnya lelet, tidak bisa diandalkan. Coba saja Reynald menikah dengan wanita lain, bukan Kamu!”

Mayang mendekati meja makan, ia menyentuh mangku berisi soto pembelian Riana. “Apa ini?!” Mayang bertanya dengan nada tinggi.

“Itu soto yang Ibu pesan,”

“Iya, Aku tahu kalau ini soto. Tapi, kenapa sudah dingin?” Mayang sangat kesal, ia tidak bisa menahan emosinya lantaran tahu pesanannya menjadi dingin.

“Itu masih hangat, Bu,” sanggah Riana, karena saat ia menuangkan ke dalam mangkuk masih terasa hangat.

“Ini sudah dingin, Riana. Aku tidak mau menyantap makanan dingin, pasti tidak enak!” tolak Mayang dengan raut kesal, lantaran ia sudah sangat lapar sekali sedari tadi.

“Biar Aku panaskan sebentar, Bu. Jadi Ibu tunggu saja di sini.” Riana dengan cepat mengambil mangkuk untuk memanaskan sotonya.

“Tidak usah, buang saja soto itu!” Mayang beranjak dari kursinya langsung masuk ke dalam kamar.

“Padahal masih hangat, tidak terlalu dingin. Kalau begitu, lebih baik Aku saja yang memakannya,” lirih Riana, dia menatap hidangan yang sangat menggugah jiwa itu sambil meneguk ludah beberapa kali.

Raisya_J

Terima kasih sudah mampir, jika anda menyukainya tambahkan ke daftar pustaka untuk dibaca lagi dan mohon tinggalkan komentar supaya author lebih bersemangat. Sekali lagi terima kasih

| 2
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mamah Wirda
bagus, menguras emosi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status