"Sayang...sayang...sini bentar dong?" suara Mas Yoga terdengar memanggilku dari arah luar. Padahal hari masih pagi. Aku juga baru selesai mencuci pakaian. Ngapain dia datang sepagi ini?
Aku segera membukakan pintu depan, Mas Yoga terlihat sedang berdiri di samping sebuah mobil. Dan itu bukan mobil yang biasa dia pakai.
"Ma, lihat sini. Bagus kan mobil baru mas?" senyum ceria menghiasi wajahnya. Ku lihat mobil baru yang dia maksud. BMW keluaran terbaru.
"Kamu beli mobil baru?" tanyaku sedikit penasaran.
"Bukan, ini mobil dari kantor. Karena sekarang mas sudah jadi direktur. Jadi ini mobil untuk mas pake kerja", balasnya bangga sekali. Ternyata dia sudah naik pangkat. Pak Santoso sepertinya sudah menjalankan permintaanku.
"Ooo....syukurlah. Selamat ya?" balasku lalu kembali memasuki rumah.
Mas Yoga mengikutiku ke dalam rumah.
"Kamu kok gitu ngasih selamatnya? Kayak nggak ikhlas gitu", dia menarik tubuhku hingga berbalik menghadap padany
Aku memasuki ruangan baru tempat kerjaku. Jabatan direktur sekarang ada dalam genggamanku. Aku tak menyangka sedikitpun saat Paman mengatakan bahwa pemilik saham terbesar perusahaan ini adalah mertuaku, tepatnya Ayah dari Riana.Aku merasa beruntung sekali. Tidak sia-sia semua yang aku lakukan selama ini. Kududuki kursi di belakang meja direktur. Rasanya nyaman sekali. Sudah dua hari aku menjadi direktur perusahaan ini. Sekarang, Pak Santoso pasti sudah kembali ke tempat asalnya. Dia bilang, disana juga ada perusahaan miliknya sendiri. Dia ingin fokus disana.Sekarang akulah yang berkuasa di perusahaan ini. Baru dua hari menjabat saja, semua orang di kantor ini mulai menghormatiku. Kemanapun aku pergi, mereka akan menyapa dengan hangat sambil membungkukkan badan sedikit. Rasanya begitu menyenangkan.Semua fasilitas yang biasanya dipakai oleh direktur, sekarang adalah milikku. Sekarang apapun yang aku mau akan mudah aku dapatkan. Jan
Aku memperhatikan mereka dari arah jauh. Perempuan yang bernama Riana itu masih menangis di pelukan perempuan yang menolong orang tuanya tadi. Polisi mengintrogasi penumpang mini bus satu persatu.Mereka sepertinya berbicara dengan serius. Aku sangat takut. Aku berharap kedua korban selamat. Tapi aku juga takut, jika mereka selamat. Laki-laki yang aku tabrak tadi melihat wajahku. Dia bisa memberikan keterangan pada polisi. Mungkin saja dia mengingat nomor polisi kendaraan yang aku tumpangi.Bisa mendekam di penjara aku, jika itu terjadi. Ditambah lagi aku kabur. Bagaimana ini? Langkah kakiku urung meninggalkan rumah sakit. Aku harus benar-benar memastikan keadaan mereka. Tapi, jika mereka selamat apa yang harus aku lakukan?Aku kembali mendekati ruang ICU rumah sakit, saat polisi pergi meninggalkan rumah sakit. Mungkin sekarang polisi pergi menuju tempat kejadian.Setelah polisi pergi, para penumpang mini bus meminta iz
Sejak kejadian tabrakan itu, aku selalu di hantui oleh mimpi buruk. Selalu saja tiap malam aku tersentak bangun karena mimpi-mimpi yang mengerikan itu. Sering kali wajah bapak-bapak yang ku tabrak itu seakan meminta pertanggung jawabanku.Dia sering datang dalam mimpiku, dalam wujud yang sangat mengerikan. Aku sangat ketakutan. Aku selalu takut saat malam mulai menjelma. Hingga aku sering begadang di malam hari agar dia tidak datang lagi dalam mimpiku.Tapi, apapun usaha yang aku lakukan selalu saja gagal. Tiap kali mata ini mulai terpejam, dia akan kembali datang. Menakutiku, aku sungguh tidak tahu harus bagaimana.Suatu hari, di kampus sedang ada acara seminar. Aku sebagai panitia acara sedikit sibuk di bagian pintu depan. Selain mahasiswa kampus kami yang datang, mahasiswa kampus lain juga bebas untuk mengikuti acara seminar.Dari pagi, sudah banyak peserta seminar yang datang. Ada yang baru mendaftar, ada juga yang sudah mendaftar dari jau
Rania menyuap makanan terakhir yang ada di piringnya. Dia telah selesai makan. Begitupun denganku."Setelah ini kamu mau kemana?" tanyaku penasaran."Pulang kayaknya, Mas. Cukup untuk hari ini", ujarnya merapikan rambutnya.Padahal aku masih pengen berduaan dengannya. Tapi sudahlah. Aku akan cari kesempatan lain untuk bisa bertemu dengannya."Bisa minta nomor handphonemu nggak? Nanti, kalau kamu mau masukin lamaran lagi, kita bisa barengan", ujarku. Padahal itu hanya modus. Aku ingin mendekatinya."Boleh, Mas", dia menyebutkan nomor handphonenya. Aku dengan sigap menyimpannya di handphoneku.Akhirnya, aku punya juga nomor handphone Riana. Dengan ini, aku tidak perlu lagi diam-diam mengikutinya.Setelah keluar dari kafe, kami berpisah. Dia kembali ke rumahnya sedangkan aku kembali ke kontrakan.Aku sangat bahagia hari ini. Akhirnya aku bisa dengan resmi berkenalan dengannya. Bahkan punya nomor handphone Riana. Kapanp
Dengan berbagai usaha, akhirnya Paman Riana mau juga menerima lamaranku. Bahkan sesuai dugaanku. Dia mencarikan aku pekerjaan di sebuah perusahaan yang sangat besar. Walau bukan perusahaan Paman. Tapi, aku bersyukur juga.Setidaknya, sekarang aku punya pekerjaan tetap. Sebulan lagi acara pernikahan ku dengan Riana. Aku segera mengabari keluarga di kampung yaitu Ibu dan Ayahku.Agar mereka datang ke kota. Untuk menghadiri acara pernikahanku. Aku yakin, mereka akan setuju dengan pilihanku."Calon istri kamu itu yatim piatu, ya?" tanya Ibu saat datang ke kontrakanku."Iya, Bu. Tapi dia punya Paman yang kaya raya. Dia punya perusahaan sendiri!" balasku meyakinkan Ibu."Tetap saja itu bukan miliknya, cuma milik Pamannya. Kenapa tidak menikah dengan pacarmu yang bernama Vani itu?" tanya Ibu sedikit curiga.Memang aku sering cerita ke Ibu tentang Vani. Karena awalnya memang aku ingin menikah dengan Vani."Nggak jadi, Bu. Ak
Rindu menatap Riana yang tergeletak diatas sofa rumahnya. Darah mengalir dari kening Riana. Rindu terlihat syok. Cepat-cepat dia memeriksa nadi Riana. Jangan sampai Riana mati di rumahnya.Rindu menarik nafas lega. Denyut nadinya masih ada. Dia hanya pingsan. Rindu langsung menyambar handphonenya, lalu menghubungi Sakti."Mas, cepetan datang ke rumahku! Riana pingsan!" ucap Rindu tergesa-gesa."Kenapa bisa pingsan? Dia ngapain ke rumahmu?" tanya Sakti tak sabaran."Mas kesini aja dulu! Aku panik sekali, cepetan!" teriak Rindu mulai tak sabaran."Tunggu sebentar!" balas Sakti.Rindu dengan cepat mematikan sambungan telpon. Duduk di sofa di depan Riana yang tergeletak tak berdaya. Kalau Riana mati bagaimana? Dia tidak mau masuk penjara.Deru sepeda motor Sakti memasuki garasi rumah Rindu. Dengan cepat Rindu membukakan pintu depan."Ayo cepetan, Mas! Aku takut dia mati!" Rindu menarik tangan Sakti memasuki ruang tamu.
Aku merasakan sakit pada kepala dan juga pergelangan tanganku. Dengan hati-hati aku membuka mata. Dengan pandangan yang masih buram, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.Aku dimana? Tanganku juga terikat kuat kebelakang kursi. Kaki juga terikat. Aku berupaya berteriak keras. Tapi hanya suara lirih yang keluar dari tenggorokanku.Tiba-tiba, aku melihat sesosok perempuan memasuki kamar. Ku pusatkan pandangan pada orang yang berjalan kearahku. Dia Rindu. Dia yang sudah membuatku seperti ini.Aku langsung berteriak keras. Memanggil nama perempuan jalang itu."Eh, sudah sadar ya?" balasnya sambil memegangi daguku."Kamu apakan saya? Lepaskan!" aku meronta sekuat tenaga."Jangan terlalu kuat meronta seperti itu, Mbak! Kasihan kandungannya, nanti keguguran lho?" ejeknya. Sambil menyilangkan tangan di pangkuannya."Cepat! Lepaskan saya! Saya tidak akan mengampuni kamu!" ujarku menatap tajam perempuan itu."Aduh.
Aku tak kuasa menolak saat tangan kekar laki-laki itu kembali menutup mulutku dengan lakban. Perutku rasanya sudah sangat kelaparan. Aku kehausan. Aku mencoba meronta-ronta humemanggil laki-laki itu. Aku tak ingin terjadi sesuatu pada bayi yang aku kandung jika tak makan sedikitpun sejak pagi.Tapi laki-laki itu tak mengubrisku sedikitpun. Dia malah asyik dengan handphone yang ada di tangannya. Tuhan, sampai kapan penderitaan ini? Aku seperti tak punya tenaga lagi.Tiba-tiba handphoneku berdering, laki-laki itu dengan sigap meraihnya dari atas meja. Dia menatapku lalu menghadapkan layar handphone padaku. Ternyata dari Mas Yoga. Aku meronta-ronta berupaya meraih handphone itu.Laki-laki itu, dengan senyuman licik menekan tombol jawab. Mendekatkan telpon itu ke telinganya."Hallo", ucapnya menjawab panggilan Mas Yoga."Tenang, jangan emosi! Dia ada bersamaku!" jawabnya lagi."Hahahahaa.....aku bukan selingkuhannya. Aku malah menyekapnya disini