Home / Rumah Tangga / Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar / Bab 4 - Tamu Lain Datang Ke Pesta

Share

Bab 4 - Tamu Lain Datang Ke Pesta

Author: Night Shade
last update Last Updated: 2025-04-28 11:20:07

“Mas? Tunangan?”

Elok menatap Damar. Cengkeraman di lengan Elok sudah dilepaskan Damar. Pria itu tersenyum saraya melihat para tamu undangan yang bertepuk tangan.

“Mohon maaf, istri saya sampai lupa menyampaikan pertunangan saya. Dia terlalu senang.” Damar berkata lagi. Tidak memedulikan ekspresi terkejut Elok.

‘Senang katanya?’ pikir Elok. ‘Apakah aku terlihat seperti senang?’

Hal mengejutkan itu membuat Elok diam di tempatnya berdiri. Dia baru bergerak setelah Rima menariknya turun.

“Saya perkenalkan calon istri kedua saja.” Tangan Damar terentang ke samping. “Anjani Lavanya Prasetya.”

Tepuk tangan terdengar memenuhi ruang tamu yang berukuran sangat besar itu. Mata Elok menyapu sekitar. Wajah mereka sulit dibaca bagi Elok.

Kemudian dia melihat seorang wanita tinggi semampai menggunakan gaun berwarna putih yang melekat sempurna di tubuhnya. Menurut Elok, wanita itu sangat cantik dengan rambut yang panjang bergelombang mencapai punggung.

Elok mengusap rambutnya yang pendek sebatas bahu kemudian berdehem pelan. Dia merasa minder melihat cantiknya Anjani.

Damar mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung celananya. “Maukan kamu menikah denganku?”

Anjani mengangguk.

“Dua hari lalu aku memintamu pada orang tuamu, kini aku kembali menanyakan lagi padamu. Masih mau menikah denganku?”

Damar memberikan microphone pada Anjani. “Ya,” jawabnya. “Aku tetap pada pendirianku.”

Pandangan Anjani berpindah pada Elok, begitu juga pandangan para tamu undangan. Elok mundur selangkah yang membuat Rimaa serta merta memegang lengannya. Khawatir akan melarikan diri dari ruangan itu.

Elok tidak seceroboh itu. Dia tidak akan mempermalukan keluarga Nugraha. Elok menatap balik Anjani dan Damar.

“Terima kasih,” ucap Anjani. “Kamu sudah memperbolehkan aku bersama Damar.”

Elok menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. dadanya sangat sesak. Dia ingin menangis detik itu juga akan tetapi ditahannya kuat-kuat. Dia tidak ingin melakukannya.

Elok memerhatikan Damar yang menyematkan cincin di jari manis Anjani. Cincin itu lebih bagus daripada cincin yang dipakainya saat ini. Cincin Anjani bermata biru.

Semua orang tepuk tangan termasuk Rima. Elok memilih untuk pergi dari tempat itu. Dia hanya berharap tidak ada orang yang menyadari kepergiannya.

“Ya Tuhan,” bisik Elok.

Ditepuk-tepuk dadanya ketika dia berlari menuju rumah kecil lalu duduk di terasnya. Memerhatikan bunga matahari yang ditanamnya mekar sempurna.

“Sakit banget.” Elok menangis tersedu. Air mata membasahi pipinya. “Sakit. Aku enggak ikhlas. Enggak.”

Kembali Elok menepuk-nepuk dadanya yang sangat sesak luar biasa. Dia tidak menyangka akan berakhir seperti itu kehidupannya.

“Ternyata aku berjuang sendirian.” Elok berkata lagi.

Selama ini Elok berharap Damar akan menganggapnya sebagai istri. Dia menikah atas dasar kesepakatan antara kedua belah pihak, walau begitu dia mencoba menerima Damar sebagai suaminya. Pemimpin dalam rumah tangganya.

“Aku harus bagaimana?” Elok berbisik pada dirinya sendiri.

Tidak ada jalan keluar. Dia tidak bisa kabur. Jika dia melakukannya, maka Ibunya tidak akan selamat. Dia tidak mau menjadi anak yang durhaka pada Ibunya. Dia tidak mau membuat Ibunya terbunuh secara tidak langsung.

“Di sini rupanya.”

Suara itu membuat Elok mendongak. Anjani berdiri anggun di hadapannya. Elok serta merta menghapus air matanya dengan punggung tangannya.

“Ada apa?” tanya Elok. Dia sedang tidak ingin berurusan dengan madunya Damar.

“Terima kasih.” Anjani menjawab kemudian mengangkat bahunya.

Elok membuang wajahnya. “Enggak perlu bilang itu lagi. Tadi sudah di dalam.”

Perasaannya sedang tidak baik-baik saja, jadi dia berbicara ketus pada Anjani yang menurutnya ingin mengajaknya ribut.

“Cuma mau tegaskan kalau mulai detik ini Damar bakalan sering-sering sama aku. Bukan sama kamu.”

Nada ucapan Anjani yang terkesan mengejek itu membuat Elok mengepalkan tangannya. Dia ingin menjawab bahwa dirinya sudah terbiasa dengan hal itu akan tetapi ditahannya. Damar sering meninggalkannya berhari-hari. Dia sudah tidak kaget lagi.

“Kalau ada yang bicara itu ditatap. Bukannya begitu!” nada Anjani meninggi.

“Anjani! Ada apa?”

Suara Damar membuat Elok menoleh. Matanya menatap Damar yang berjalan cepat ke arah mereka berdua.

“Kenapa?” dia bertanya pada Anjani penuh perhatian. “Elok buat masalah?”

Anjani mengangguk. “Istri tua kamu tuh enggak mau kuajak ngobrol. Ketus banget.” Lalu kaki itu menjejak dua kali ke tanah. “Aku kan cuma mau kenal.”

Damar menatap Elok. Tatapan itu tajam menusuk. “Elok, seperti itu sikap kamu sama Anjani yang mau kenal kamu? Hah?”

Elok menatap keduanya. Dia tidak percaya Anjani mencari muka di depan Damar. “Saya bukan—”

“Enggak perlu alasan. Sudah jelas!” Suara Damar pun meninggi. “Anjani baik sama kamu. Kenapa kamu malah sikapnya begitu? Sama saja dengan bentuk wajahmu. Buruk!”

Ucapan itu menohok dadanya. Sakit sekali.

“Ternyata kamu di sini, ya! Damar sialan!”

Elok menatap orang yang berjalan tergesa dengan nada marah luar biasa itu. Dia hapal wajah itu. Dia selalu bertemu di toko. “Gilang?” bisiknya tidak percaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 148 - Satu Hari, Seribu Nafas Baru

    “Gilang…” suara Elok lirih, parau, ketika membuka matanya pagi itu. Dia menoleh ke arah pintu kamar, seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata.Gilang muncul dengan langkah tenang sambil membawa dua cangkir teh. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Iya. Aku di sini. Kamu aman.”Elok menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya di tepi ranjang. “Rasanya… aneh. Bangun tidur tanpa dengar suara Mama Rima yang ngetok pintu, tanpa harus buru-buru ke dapur.”“Kalau gitu, mulai biasakan. Karena mulai hari ini, kamu enggak lagi bangun untuk mereka,” jawab Gilang sambil menyerahkan secangkir teh hangat. “Aku buat teh. Minum dulu.”Elok menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap uapnya yang mengepul. “Terima kasih, Lang. Aku… masih belum percaya semua ini nyata.”“Percaya saja,” Gilang menepuk bahunya lembut. “Karena sekarang kamu bener-bener bebas.”Udara pagi masuk lewat jendela rumah tua itu, membawa aroma kayu lama bercampur embun. Elok duduk di kursi rotan di ruang tamu, sesekali m

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 147 - Gugur Sebuah Nama

    “Dengan ini, majelis hakim memutuskan… perkawinan antara penggugat Elok Puspa Keinan dan tergugat Damar Arya Nugraha dinyatakan putus karena perceraian.”Kalimat itu menggema di ruang sidang yang hening. Elok menunduk, kedua tangannya meremas ujung kerudungnya hingga kusut. Hatinya bergetar hebat. Seolah setiap kata yang keluar dari mulut hakim itu menjadi palu yang menghancurkan dinding terakhir kehidupannya yang lama.Dia tahu, sejak awal tidak ada cinta. Pernikahan itu lahir dari paksaan, luka, dan tekanan. Tapi tetap saja, mendengar kata ‘putus’ begitu resmi dari mulut hakim, seakan-akan sesuatu yang besar dalam hidupnya ikut runtuh.“Sidang selesai. Panitera akan menyerahkan salinan putusan dalam waktu dekat,” ucap hakim menutup persidangan.Elok mengangguk lemah, tidak mampu berkata apa-apa. Saat ia berdiri, langkahnya terasa goyah. Gilang yang sejak tadi menunggu di kursi pengunjung langsung menghampiri.“Elok,” bisiknya lembut sambil menyodorkan sebotol air. “Minum dulu. Kamu

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 146 - Sidang Tanpa Kehadiran

    “El, sudah siap?” suara Gilang terdengar pelan, hati-hati, ketika mobil berhenti di depan gedung pengadilan agama.Elok menarik napas dalam-dalam. Jemarinya dingin, padahal udara Jakarta siang itu panas terik. Dia mengangguk pelan sambil menatap bangunan bercat putih itu—tempat yang akan menentukan nasibnya. “Aku… enggak tahu bisa disebut siap atau enggak. Tapi aku enggak mau mundur lagi.”Gilang tersenyum tipis lalu meraih tangan Elok sebentar. “Enggak ada yang minta kamu sempurna hari ini. Yang penting, kamu berani. Dan itu sudah cukup.”Elok menunduk berusaha menahan gemetar. Sejak semalam dia tidak bisa tidur. Kata ‘cerai’ begitu berat di telinganya, meski hatinya tahu itulah jalan keluar.Ruang sidang tidak terlalu besar. Dindingnya polos dengan lambang negara terpampang jelas di belakang kursi hakim. Elok duduk di sisi penggugat bersama kuasa hukumnya sementara kursi di sisi tergugat kosong.Hakim memasuki ruangan, suara palu diketuk. “Sidang perkara perceraian atas nama Elok P

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 145 - Damar Tidak Siap Kehilangan

    “Mas, apa yang sebenarnya kau lakukan tadi?” suara Anjani menusuk tajam, terdengar dari balik pintu kamar ketika Damar baru saja masuk. Tubuh lelaki itu masih tegang, napasnya memburu, wajahnya merah padam karena emosi.Damar melempar jasnya sembarangan ke kursi. “Jangan tanya macam-macam, Anjani. Aku lagi enggak mau dengar ocehanmu.”Anjani melipat tangannya di dada. “Enggak mau dengar? Kau habis bentak-bentak Gilang sampai suara kalian terdengar ke seluruh rumah. Dan aku yang harus menanggung malu di depan pembantu-pembantu.”Damar menoleh tajam. “Kau pikir aku peduli?” balasnya kesal. “Itu semua salahmu! Kalau saja kau lebih menjaga Elok, dia enggak akan sampai kabur seperti ini!”Mata Anjani melebar, lalu ia tertawa kecil. Tawa dingin dan penuh sindiran. “Jadi sekarang salahku? Kau yang dari dulu enggak pernah bisa mengendalikan hatimu sendiri, Mas. Kau kira aku enggak tahu? Kau mulai goyah, kan? Mulai menyukai Elok yang kau hina-hina dulu.”Damar mendengus kasar mendengar ocehan

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 144 - Surat Gugatan, Surat Keberanian

    “Lang, kamu yakin mau datang sendiri?” suara Elok terdengar cemas dari seberang telepon. Napasnya terdengar tidak tenang.Ini adalah pagi hari berikutnya. Setelah pembicaraan kemarin malam, Elok memutuskan untuk tidur di rumah orang tuanya. Pagi setelah sarapan nasi uduk, Gilang berangkat menuju rumah besar itu. “Enggak usah ikut.”Begitu yang Gilang ucapkan ketika dia hendak bersiap-siap ganti gamis. Gilang menggenggam ponselnya erat. Dia sedang berdiri di trotoar seberang rumah besar itu, menatap bangunan yang dulu juga sempat dia tinggali. “Elok, aku harus. Gugatan ini enggak bisa diwakilkan lewat orang lain. Kalau aku kirim pengacara, mereka bisa pura-pura enggak tahu. Aku mau mereka dengar langsung.”Elok terdiam sesaat. “Aku takut… kamu tahu sendiri, Damar dan Papamu enggak akan tinggal diam.”Gilang menarik napas panjang, lalu menatap ke arah pagar hitam menjulang. “Biar aku yang hadapi. Kamu sudah terlalu lama menanggung semuanya sendirian. Kali ini, biarkan aku berdiri di d

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 143 - Buku Luka

    “Aku masih ingat hari itu,” ucap Elok pelan, suaranya hampir tenggelam. “Hari pernikahan. Semua orang bilang aku beruntung… dapat Mas Damar. Tapi aku tahu, Lang… aku sama sekali enggak pernah setuju. Aku cuma tunduk. Aku pikir kalau aku nolak, Ibu yang sakit makin disakiti. Jadi aku diam.”Elok duduk di lantai ruang tamu, cahaya lampu yang redup memantulkan bayangan di wajahnya. Di tangannya, buku nikah bersampul hijau itu terbuka, memperlihatkan lembaran yang menuliskan nama dirinya dan Damar berdampingan. Suaranya pecah di ujung kalimat. Elok memejamkan mata, dan ingatannya berputar saat dia memakai gaun putih yang dikenakannya kala itu dan wajah Damar yang dingin saat mengucapkan ijab kabul, serta tatapan penuh tekanan dari Arya dan Rima yang duduk di kursi keluarga. Semua serba indah di mata tamu, tapi baginya itu adalah penjara.Tangannya menggenggam buku nikah itu lebih erat. “Sejak hari itu… aku enggak pernah merasa jadi diriku sendiri lagi.”Gilang duduk di sampingnya lalu di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status