"Kamu bisa bicara sekarang?"Suara Rima terdengar dari balik pintu dengan nada datar dan tegas. Tidak ada kelembutan di sana, yang ada hanya nada yang menuntut jawaban cepat.Elok yang sedang duduk memandangi layar ponselnya segera bangkit. Dia menyeka matanya yang sedikit sembab dan berjalan ke pintu. Kegalauan hatinya mengenai Gilang benar-benar membuatnya ingin berteriak dan menangis keras. Akan tetapi saat ini dia hanya bisa diam. Saat pintu dibuka, Rima berdiri dengan kedua tangan disilangkan di depan dada."Ikut saya ke ruang tamu. Sekarang."Tidak banyak kata. Tidak perlu ekspresi ramah. Elok hanya bisa mengangguk pelan kemudian mengikuti langkah Rima ke ruang utama rumah besar. Di ruang tengah, sofa panjang masih berjajar rapi, dan aroma melati dari pengharum ruangan seolah makin menegaskan betapa asingnya rumah ini untuknya. "Duduk." Rima berkata tanpa senyum kemudian duduk di salah satu sofa panjang.Elok menurutinya tanpa suara. Dia duduk berseberangan dengan Rima. Di sof
Alvin menatap sahabatnya lama sebab baru kali ini dia melihat Gilang tergila-gila pada seorang wanita. Alvin dari penasaran bagaimana Elok sebenarnya. ingin sekali dia bertemu dengan Elok suatu saat nanti. “Aku tuh enggak ngerti logika cintamu, tapi aku ngerti sakitnya,” ucap Alvin karena dia permah merasakan sakit hatinya dahulu. Sebelum dia akhirnya menutup pintu hatinya untuk wanita manapun hingga batas waktu yang tidak ditentukannya. Dan kalau kamu butuh temen buat nangis, ya silakan,” lanjut Alvin lagi sebab dia tidak pernah melihat Gilang menangis selama ini. “Tapi kalau kamu balik dan makin hancur, jangan salahin siapa-siapa. Termasuk aku. Karena aku udah ingetin kamu.”Alvin ingin menghajar Gilang karena mata temannya itu sudah tertutup oleh Elok. Dia ingin memberitahukan Gilang bahwa mencintai wanita yang tidak bisa digapai itu menyakitkan akan tetapi dia mengunci mulutnya untuk dirinya sendiri. Cukuplah rahasia itu hanya dia yang tanggung. Dia tidak ingin Gilang tahu masa
"Kamu tahu, tinggal di sini itu rasanya kayak lagi nunggu kapal yang mau karam sambil pura-pura bisa berenang."Elok menatap cermin di depannya seraya membisikkan kalimat itu pada bayangannya sendiri. Mata sembab, kurang tidur tetapi tetap berdiri tegak.Pagi harinya. Elok masih mengenakan gamis yang sama sejak semalam. Dia bahkan belum sempat menyentuh susu yang dibawa Bu Rima malam sebelumnya. Susu itu dia masukkan ke dalam kulkas demi agar tidak basi. Pintu kamarnya diketuk keras hingga membuatnya terlonjak. Hari itu dia tidak melaksanakan ibadah karena sedang tamu bulanan. “Bangun! Kamu kira kamu bisa terus merenung sepanjang hari?!” suara Damar terdengar tajam dari balik pintu.Elok menutup mata kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Saya sudah bangun.”Tak ada balasan lagi dari Damar. Hanya langkah menjauh. Tapi cukup untuk membuat Elok tahu bahwa hari ini tidak akan lebih mudah dari kemarin.Kemudian, dia bergegas mandi. Pagi ini dia mesti membantu Bu Retno lag
“Rekaman kedua?” bisik Elok nyaris tidak percaya.Tangannya gemetar saat membuka email yang masuk dari Gilang. Di sana hanya ada satu tautan dan sepenggal kalimat bertuliskan [Ini yang terakhir. Aku janji.]Dia menghela napas panjang. Di satu sisi, Elok ingin menutup laptop dan membuang flashdisk itu jauh-jauh. Tapi di sisi lain, rasa ingin tahunya terlalu besar. Kalau ini benar-benar yang terakhir, maka dia perlu tahu. Bahkan dia belum menyetujui permintaan rekaman pertama mengenai investigasi Gilang. Elok bahkan tidak ingin tahu hal itu. Sudah cukup hidupnya sulit dan dia tidak ingin bertambah sulit dengan mengetahui hal yang terjadi dibalik semua hal mengenai dirinya yang selalu dipindah-pindahkan atau cepatnya operasi pengambilan ginjal. Elok membuka file yang ternyata rekaman suara.Suara Gilang terdengar pelan, lelah, dan jujur. "Aku tahu kamu marah, kecewa, bahkan mungkin ngeri karena semua ini. Tapi kamu harus tahu, Elok… aku enggak pernah punya niat buat nyakitin kamu. Ngga
"Apa kebencian harus selalu diucapkan agar bisa dipercaya?"Pertanyaan itu masih terus bergema di kepala Elok bahkan saat matahari mulai semakin meninggi. Elok duduk di sudut ranjang seraya memandangi layar laptop yang mati. Sementara flashdisk yang tadi malam memberinya harapan kini terasa seperti bara yang siap membakar tumpukan buku yang dia jadikan tempat persembunyian benda itu.Elok tahu Damar mencurigainya. Gerak-gerik Damar makin tajam dan setiap kata makin menusuk. Tapi Elok belum tahu harus berbuat apa selanjutnya. Membuka isi rekaman dari Gilang? Menghadapkan semuanya pada Rima? Atau tetap diam dan menahan semuanya sendiri?Ketukan pelan membuyarkan pikirannya diiringi suara pelan Sari memanggil namanya.“Masuk,” ucap Elok pelan.Sari muncul dengan nampan kecil berisi camilan, makanan berat, dan minuman berupa susu.“Mbak, saya taruh di sini, ya.”“Sari,” panggil Elok. Dia teringat sesuatu. “Semalam kamu lihat ada seseorang gitu di luar rumah?”Sari menatapnya bingung lalu
"Jangan dibuka sekarang, Mbak," bisik Sari buru-buru. "Tunggu malam. Saya takut ada yang tahu."Elok buru-buru mengangguk kemudian menyembunyikan flashdisk itu di bawah tumpukan buku di rak pojok kamarnya. Jantungnya masih berdebar. Dia belum tahu isinya tetapi intuisinya berkata bahwa itu bukan sekadar pesan biasa.Malam sudah mulai beranjak masuk. Setelah memastikan semua sudah tenang dan tidak ada lagi suara langkah di sekitar rumah kecil, Elok menyelipkan flashdisk ke port USB di laptop lama miliknya. Laptop bekas yang dibeli oleh Ayahnya untuk Elok sebagai hadiah ulang tahun ke-17. Laptop yang jarang dia gunakan. Terkadang Elok hanya membukanya untuk menonton sebentarlalu menutupnya lagi hanya demi benda itu tetap bisa menyala.Laptop berdengung pelan sebelum akhirnya menyala dan menampilkan wallpaper foto kedua orangtuanya. Elok membuka bagian folder lalu mencari bagian penyimpanan flashdisk. Hanya ada satu folder dengan nama Rekaman.Elok mengklik.Satu file video muncul. Dura