Share

Bab 4 : Kencan Pertama

Author: Pandandut
last update Last Updated: 2025-06-21 09:21:53

Setelah beberapa minggu semakin sering berkomunikasi, Ardi akhirnya mengajak Nadina untuk pergi bersama di akhir pekan.

"Nad, kalau besok nggak ada acara, mau nggak jalan bareng? Kita nonton terus makan."

Nadina membaca pesan itu sambil menggigit bibirnya. Sejujurnya, ia tidak menyangka Ardi akan mengajaknya jalan seperti ini. Mereka memang cukup sering mengobrol, tapi ini pertama kalinya Ardi secara langsung mengajaknya kencan.

"Boleh, Kak. Jam berapa?" balasnya singkat.

"Jam tiga sore aku jemput ya? Kita nonton dulu, habis itu makan. Kalau masih ada waktu, kita bisa jalan-jalan sebentar."

Nadina tersenyum kecil sambil mengetik, "Oke, sampai besok!"

--- Kencan Pertama

Keesokan harinya, Nadia memilih pakaian yang sedikit lebih rapi dari biasanya jeans high waist dan blouse simpel dengan sneakers putih favoritnya. Ia tidak ingin terlihat terlalu berlebihan, tapi tetap ingin tampil menarik.

Pukul tiga tepat, Ardi sudah menunggunya di depan kos dengan mobilnya. Nadine masuk dan duduk di kursi penumpang, merasa sedikit gugup.

“Kamu lama nunggu, Kak?” tanyanya.

“Nggak kok, aku juga baru sampai,” jawab Ardi santai.

Mobil melaju dengan kecepatan stabil menuju mall tempat bioskop berada. Sepanjang perjalanan, obrolan mereka mengalir dengan ringan.

“Lo lebih suka film action atau drama?” tanya Ardi ketika mereka mengantri tiket.

Nadia berpikir sejenak. “Action. Gue nggak tahan kalau nonton film drama yang terlalu mellow.”

Ardi tertawa kecil. “Cocok. Gue juga lebih suka action. Biar seru dan nggak ketiduran.”

Mereka akhirnya memilih film action yang sedang ramai dibicarakan, lalu membeli popcorn dan minuman sebelum masuk ke dalam studio.

Saat film mulai, Nadia sempat merasa canggung karena ini pertama kalinya ia pergi nonton berdua dengan seorang cowok yang sedang dekat dengannya. Namun, Ardi membuat suasana terasa santai. Sesekali, mereka saling berbisik mengomentari adegan film, membuat Nadina tertawa kecil.

“Gila, itu efek ledakannya keren banget!” bisik Nadina ketika salah satu adegan klimaks terjadi.

Ardi mengangguk. “Iya, gue sampai merinding.”

Setelah film selesai, mereka berjalan keluar dari bioskop sambil masih membicarakan adegan-adegan favorit mereka.

Mereka kemudian menuju restoran terkenal di mall itu untuk makan. Saat makanan tiba, Ardi mulai bertanya lebih dalam tentang kehidupan Nadia.

“Kamu kayaknya dekat banget sama Rina dan Sarah, ya?” tanyanya sambil menyendok makanannya.

Nadia mengangguk. “Iya, mereka udah kayak keluarga sendiri. Gue nggak bisa ngebayangin kuliah tanpa mereka.”

Ardi tersenyum. “Pasti seru ya punya sahabat yang selalu ada.”

“Banget. Kalau nggak ada mereka, mungkin gue udah stres sama tugas dan ujian,” Nadia tertawa.

Setelah makan, mereka berjalan-jalan sebentar di mall. Ardi membawa Nadia ke sebuah toko olahraga dan tiba-tiba bertanya, “Lo butuh bola basket baru nggak? Gue pengen beliin.”

Nadia terkejut. “Hah? Nggak usah, Kak. Gue masih punya.”

“Anggap aja hadiah karena lo udah naik nilainya,” ujar Ardi sambil tersenyum.

Meskipun awalnya menolak, akhirnya Nadia menerima hadiah itu dengan sedikit rasa malu.

Saat mereka kembali ke parkiran, Ardi menatap Nadia dengan tatapan yang lebih lembut. “Hari ini gue senang banget bisa jalan sama lo.”

Nadia tersenyum, sedikit merasa gugup. “Gue juga, Kak.”

Sebelum Nadine turun dari mobil saat diantar pulang, Ardi berkata, “Lain kali kita jalan lagi ya?”

Nadia mengangguk. “Pasti, Kak.”

Setelah Ardi pergi, Nadia berdiri sejenak di depan kosnya, masih merasakan sisa-sisa kebahagiaan dari kencan pertama mereka.

Di Kantin Kampus

Sementara itu, di kantin kampus, Rina, Sarah, dan Reza sedang makan siang bersama.

Sarah menyeruput minumannya sambil bertanya, “Nadia kok nggak ikut sih? Biasanya kan kalau ada waktu kosong kita nongkrong bareng.”

Rina yang duduk di sebelahnya langsung menyeringai. “Dia lagi kencan, Beb.”

Reza, yang sedang sibuk dengan ponselnya, mendongak dengan alis sedikit mengernyit. “Kencan?”

“Iya, Kak Ardi ngajak dia jalan,” jawab Rina santai sambil menyendok makanannya.

Sarah langsung berseru, “Hah?! Kok dia nggak cerita? Gue kira mereka cuma ngobrol biasa doang.”

“Ya namanya juga PDKT,” Rina terkekeh. “Gue lihat sendiri tadi siang Ardi jemput dia di depan kampus.”

Reza pura-pura tidak peduli, tapi gerakan tangannya yang sebelumnya mengetik di ponsel tiba-tiba berhenti. “Oh.”

Rina memperhatikan reaksi Reza dengan penuh minat. “Lo nggak kaget?”

Reza mengangkat bahu, kembali mengetik di ponselnya. “Ngapain kaget? Biasa aja.”

“Tapi lo keliatan beda, loh,” goda Rina sambil menyenggol lengannya.

Sarah tertawa kecil. “Iya, biasanya lo paling bawel kalau Nadia nggak ikut. Ini diem aja.”

Reza mendengus pelan. “Ya suka-suka dia lah. Bukan urusan gue.”

Sarah dan Rina saling berpandangan, lalu terkekeh.

“Beb, lo sadar nggak sih?” bisik Sarah ke Rina.

Rina mengangguk dengan seringai lebar. “Iya. Dia cemburu.”

Reza melirik mereka dengan tatapan sebal. “Gue denger, tau.”

“Terus kenapa?” tanya Rina santai. “Nggak suka Nadia jalan sama Kak Ardi?”

Reza meletakkan ponselnya di meja dan menatap mereka berdua dengan ekspresi datar. “Bukan masalah suka atau nggak. Gue cuma nggak nyangka aja.”

Sarah tersenyum kecil. “Kenapa nggak nyangka? Dari awal kan Ardi udah ngasih perhatian ke Nadia”

Reza diam sejenak, lalu berkata pelan, “Ya, gue cuma... nggak nyangka Nadia bakal nerima.”

Reza langsung terdiam.

Rina dan Sarah menahan tawa melihat ekspresi cowok itu yang tiba-tiba terlihat salah tingkah.

“Nerima perhatian dari Kak Ardi,” Rina menjawab santai sambil melirik Reza.

Rina tertawa kecil. “Kenapa? Emang Nade nggak boleh dideketin orang?”

Reza menatap Nadine sebentar, lalu menghela napas. “Bukan nggak boleh. Cuma... ya udahlah.”

Sarah berbisik pelan ke Rina, “Fix, dia cemburu.”

Akhirnya Sarah dan Rina tahu kalau sebenarnya Reza tertarik dengan Nadia. Mungkin itu yang membuat Reza mengajari Nadia pelajaran yang lebih dibanding mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 11 : Malam yang Tak kembali

    Malam itu langit Jakarta mendung. Tapi di dalam apartemen Reza, semuanya hangat. Senyuman Nadia tidak pernah selembut itu. Dan Reza… Reza terlihat seperti pria yang siap menatap masa depan bersama. Mereka tertawa kecil di atas karpet, membicarakan target bisnis, liburan impian, dan mimpi-mimpi yang belum terwujud. Dan saat malam menua, obrolan menjadi bisu. Reza memegang tangan Nadia. Lalu membelai pipinya, dengan cara yang tak terburu-buru. Tatapan mereka saling bertemu dalam, lama, dan penuh isyarat. Lalu bibir mereka bersentuhan. Tidak seperti ciuman pertama. Ini bukan tentang ragu. Tapi tentang menyerah pada rasa percaya. Nadia tak mengatakan "aku siap". Tapi ia tidak mundur. Mereka melangkah ke ranjang. Bukan dengan gairah yang meledak-ledak, tapi dengan tenang dan penuh kesepakatan diam. Setiap sentuhan adalah janji tanpa kata. Setiap tarikan napas adalah harapan yang disulam perlahan. Malam itu, Nadia menyerahkan sesuatu yang tak bisa diambil ulang kepercayaan yang ut

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 11 : Jadi Diri sendiri

    Beberapa Minggu Kemudian Hidup Reza berubah lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia mulai terbuka pada teman-temannya, bahkan ikut jadi pengisi seminar kecil tentang kewirausahaan mahasiswa. Beberapa dosen mulai memperhatikannya, dan salah satu menawarkan program inkubasi bisnis dari fakultas. Nadia tak langsung kembali seperti dulu. Tapi ia hadir dalam percakapan singkat selepas kelas, dalam kehadiran diam saat Reza butuh semangat, dan dalam senyum kecil yang kini mulai muncul lagi saat mereka saling bertemu. Hubungan mereka tumbuh kembali, kali ini lebih pelan, tapi nyata. Suatu malam, setelah selesai membantu persiapan acara kampus, Reza dan Nadia duduk berdua di bangku taman dekat gedung F. Tak banyak kata, hanya obrolan ringan soal tugas dan rencana semester depan. "Lo tahu, Nad…" Reza berkata sambil menatap bintang, "Gue dulu pikir gue harus jadi orang lain biar lo suka." Nadia tersenyum tipis. "Dan sekarang?" "Kalau lo bisa terima versi Reza yang dulu, apalagi sekarang… gu

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 10 : Janji yang Tak Selesai

    Sejak hari itu, Reza tak lagi melihat Nadia sesering dulu. Ia mencoba menghubungi, tapi pesan-pesannya hanya dibaca, tak pernah dibalas. Di kampus, Nadia bersikap biasa, tapi ada jarak yang jelas. Tak ada lagi obrolan panjang di kantin, atau sekadar duduk diam di taman bersama. Namun Reza tidak tinggal diam. Ia mulai memperbaiki sikapnya. Ia berhenti menerima traktiran siapa pun. Mulai membawa bekal dari rumah, dan terlihat lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus, terutama yang berkaitan dengan sosial dan kewirausahaan. Ia bahkan mulai mengajar adik tingkat tentang manajemen keuangan sederhana. Banyak yang memuji perubahan Reza, tapi ia hanya berharap satu hal: dilihat kembali oleh Nadia. Sampai akhirnya, suatu sore, Nadia menerima sebuah pesan singkat dari Reza. > Reza: "Besok sore, dateng ke aula belakang gedung F kalau kamu masih punya sedikit rasa percaya. Cuma lima belas menit. Kalau kamu nggak datang, gue ngerti." Nadia menatap pesan itu lama. Rasa kecewa masih ada

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 9 : Dibalik Senyuman Reza

    Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Pikirannya terus memutar kejadian demi kejadian. Kebaikan Reza, perhatian yang ia berikan, semua tampak begitu tulus. Tapi kenapa ada rasa ganjil yang makin lama makin sulit diabaikan? Keesokan harinya, di kampus, Nadia memilih untuk menyendiri di perpustakaan. Ia butuh waktu memikirkan semuanya. Namun, tak lama kemudian, Rina datang menghampiri, membawa dua cup kopi instan. "Aku tahu kamu pasti di sini," katanya sambil menyerahkan satu cup pada Nadia. Nadia tersenyum tipis. "Thanks, Rin." Rina duduk di sampingnya, lalu bertanya hati-hati, "Kamu lagi mikirin Reza, ya?" Nadia menoleh, kaget. "Kok kamu tahu?" "Karena kamu akhir-akhir ini kayak… terlalu mikirin dia. Dan kamu beda. Terlihat bingung." Nadia menghela napas. Ia akhirnya menceritakan semua—tentang pengakuan Reza, kebiasaan makan yang berubah, tapi juga soal hal-hal mencurigakan yang ia lihat belakangan ini. Rina mendengarkan tanpa menyela, lalu berkata pelan, "Nad, kamu tahu kan, aku

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 8 : Kesulitan Reza

    Sejak insiden dengan Ardi dan Agnes, Nadia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Reza. Awalnya, ia berpikir bahwa kedekatan mereka hanya sebatas persahabatan, tetapi semakin hari, Reza semakin menunjukkan perhatian lebih kepadanya. Ia selalu ada, mendengarkan keluh kesahnya, dan entah bagaimana, kehadiran Reza membuatnya merasa lebih nyaman. Namun, semakin dekat dengan Reza, Nadia mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Suatu siang, saat mereka duduk di kantin bersama Sarah dan Rina, Nadia menyadari bahwa Reza hanya membeli air mineral. "Za, lo nggak makan?" tanyanya sambil menatap cowok itu dengan alis berkerut. Reza tersenyum tipis. "Nggak laper." Sarah yang duduk di seberang langsung menimpali. "Hah? Lo tadi pagi juga nggak makan pas di kelas, kan?" Rina mengangguk setuju. "Iya, biasanya lo yang paling doyan makan. Ada apa sih?" Reza hanya terkekeh dan mengangkat bahu. "Lagi nggak nafsu aja, guys." Namun, Nadia merasa ada yang janggal. Ini bukan pertama kaliny

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 7 : Penjelasan

    Pencarian Ardi Ardi berjalan cepat menyusuri koridor kampus, matanya menelusuri setiap sudut dengan gelisah. Setelah kejadian tadi dengan Agnes, ia tahu Nadia pasti terluka. Ia tidak bisa membiarkan Nadia merasa sendirian dalam situasi ini. Setelah bertanya kepada beberapa teman Nadia, akhirnya ia menemukannya sedang duduk di bangku kosong di sudut kampus. Namun, bukan hanya Nadia yang ada di sana. Di sampingnya, Reza duduk dengan ekspresi datar, tapi dari caranya bersandar ke belakang dengan tangan terlipat, Ardi tahu bahwa cowok itu sedang dalam mode ‘protektif’. Nadia menunduk, memainkan ujung lengan jaketnya. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menangis. Reza melirik Ardi sekilas, lalu menghela napas. "Lo nyari dia?" tanyanya tanpa basa-basi. Ardi mengangguk. "Iya." Reza memutar bola matanya sebelum berdiri. "Gue kasih kalian waktu buat ngobrol," katanya. Namun, sebelum pergi, ia menepuk bahu Ardi dengan cukup keras. "Tapi jangan bikin dia nangis lagi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status