Share

Bab 4 – Luka Menyala Pelan

Author: Pandandut
last update Last Updated: 2025-06-21 09:21:53

Beberapa hari setelah Reza pergi, aku mengurung diri.

Bukan karena aku ingin. Tapi karena tubuhku menolak untuk bergerak. Rasanya seperti ada beban tak kasat mata yang menindih dadaku. Membuka tirai jendela pun terasa seperti tugas terberat di dunia.

Aku memandangi langit dari celah kecil di jendela. Langit biru tetap sama. Tapi bagiku, dunia terasa abu-abu. Warna-warna seolah menguap, dan yang tersisa hanya pantulan wajahku sendiri yang tak lagi kukenal.

Setiap kali melihat cermin, ada suara yang terus berbisik dalam kepalaku:

“Kenapa aku begitu mudah percaya?”

“Kenapa aku izinkan tubuhku jadi alat tukar agar dianggap cukup?”

“Kenapa aku buta begitu lama?”

Dan kata-kata Reza saat itu masih mengendap seperti racun di dasar pikiranku:

“Lo juga mau semua ini. Lo juga menikmatinya.”

Dan yang paling menyakitkan… mungkin ada benarnya.

Aku tidak menolak.

Aku bahkan menyambutnya, karena aku pikir… itulah cinta.

Tapi cinta seharusnya tidak membuatmu merasa kotor setelahnya.

---

Langkah Kecil Menuju Pertolongan

Minggu berikutnya, aku memberanikan diri datang ke ruang Unit Perlindungan Mahasiswa. Satu langkah yang rasanya seperti seribu batu menindih punggungku.

Di sana aku bertemu Mbak Ajeng, staf konseling yang sudah lama kudengar tapi baru kali ini kulihat langsung.

Kami duduk berhadapan di ruang kecil yang wangi lavender, dindingnya dipenuhi kutipan-kutipan tentang pemulihan dan keberanian. Tapi kutipan-kutipan itu terasa seperti ironi untukku.

Tanganku gemetar saat menyerahkan map hijau berisi folder. Di dalamnya ada dokumen, screenshot percakapan, bukti transfer, foto barang, dan akses akun bisnis Reza yang pernah kubuka secara diam-diam.

“Semua ini... bukti bahwa aku dimanipulasi,” kataku nyaris berbisik.

Mbak Ajeng membuka lembar demi lembar. Ia tidak terburu-buru. Matanya membaca dengan hati-hati, dan ketika ia mendongak, tatapannya tidak memihak, tidak menghakimi. Hanya... empati.

“Kamu butuh keberanian besar buat datang ke sini, Nad.”

Aku menunduk. “Tapi aku juga terlalu terlambat.”

“Tidak. Kamu datang ketika lukamu belum kering. Itu justru saat yang paling penting.”

Dan aku menangis. Bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena untuk pertama kalinya... ada seseorang yang tidak menyalahkanku.

---

Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Beberapa hari setelahnya, aku menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal:

“Mbak Ajeng bilang kamu butuh bantuan hukum. Bisa kita bicara?”

Namanya Dimas.

Aku mengenalnya hanya dari cerita orang: salah satu kakak tingkat di divisi hukum, pendiam, cerdas, dan katanya cukup idealis. Tidak terlalu aktif di permukaan, tapi selalu muncul saat dibutuhkan.

Kami bertemu di taman belakang kampus, di bawah pohon trembesi tua yang daunnya berjatuhan seperti hujan diam-diam.

“Aku bukan pengacara,” katanya, jujur. “Tapi aku paham prosedur kampus, kode etik, dan celah hukum di dalamnya. Dan menurutku, yang kamu alami bukan sekadar hubungan yang gagal. Ini manipulasi. Ini eksploitasi.”

Aku hanya mengangguk pelan. Di matanya, aku melihat ketegasan. Tapi tidak keras. Justru tenang dan... bersih.

“Aku masih bingung. Aku bahkan gak tahu harus marah ke siapa. Ke dia? Ke diriku sendiri?”

Dimas diam sejenak, lalu berkata pelan, “Kamu boleh marah ke siapa pun. Tapi jangan diam. Itu yang paling penting.”

Mulai hari itu, dia membantuku menyusun kronologi. Log pesan, alur dana, transaksi, penggunaan alamat rumah dan kosku untuk pengiriman barang, bahkan testimoni dari teman-temanku tentang bagaimana Reza menjalankan bisnisnya... atas namaku.

Langkah demi langkah, lembar demi lembar.

Aku tak pernah merasa lebih takut… tapi juga tak pernah merasa lebih teguh.

---

Kembali ke Tempat yang Pernah Menyakitkan

Sore itu, entah kenapa kakiku melangkah menuju gedung BEM. Tempat yang dulu menjadi awal semua rasa percaya diri dan juga awal semua luka.

Aku hanya ingin tahu… apakah aku masih bisa berdiri di tempat yang dulu kutinggalkan karena hinaan.

Dan di sana, aku bertemu Kak Ardi.

Dia sedang menuruni tangga. Matanya sempat ragu, lalu berubah menjadi senyum—senyum yang dulu membuatku merasa terlihat.

“Hai,” katanya pelan.

“Hai, Kak.”

Kami hanya berdiri berhadap-hadapan. Tapi waktu seolah berhenti.

“Kamu baik-baik saja, Nad?”

Aku ingin menjawab ‘iya’. Tapi untuk pertama kalinya, aku memilih jujur.

“Belum. Tapi aku sedang mencoba untuk baik-baik saja.”

Ardi mengangguk pelan.

“Kalau kamu butuh teman, aku di sini. Bukan karena kasihan. Tapi karena kamu layak ditemani... dan didampingi.”

Air mataku nyaris jatuh. Tapi kali ini, aku menahannya. Bukan karena menolak kebaikannya. Tapi karena aku ingin kuat dulu. Bukan untuk orang lain. Tapi untuk diriku sendiri.

---

Menyusun Perlawanan

Hari-hari berikutnya adalah perjalanan panjang di antara tumpukan laporan, konsultasi, dan rapat kecil. Aku dibantu Dimas, Mbak Ajeng, bahkan seorang dosen hukum yang bersedia membimbing proses penyusunan laporan ke Unit Etik Kampus dan, jika perlu, ke pihak luar.

“Kamu bukan menuntut karena dendam,” kata Dimas suatu hari. “Tapi karena kamu berhak.”

“Yang kamu perjuangkan bukan harga diri yang rusak, tapi nilai dirimu sebagai manusia.”

Dan di tengah semua tekanan, ada sesuatu yang tumbuh pelan-pelan dalam diriku: keberanian.

Aku mulai sadar... bahwa luka bukan hanya untuk disembuhkan. Tapi bisa dijadikan bukti bahwa aku pernah bertahan.

---

Di Antara Dua Lelaki yang Tidak Ingin Memilikiku

Suatu sore, aku duduk di kantin kampus bersama Dimas. Kami sedang mengulas draft pernyataan resmi untuk laporan etik.

Tiba-tiba, Kak Ardi datang dari arah luar.

“Boleh gabung?” tanyanya sopan.

Dimas mengangguk.

Ardi duduk di sampingku, menatap berkas-berkas yang terbuka.

“Jadi kamu yang bantu Nadia selama ini?” tanyanya ke Dimas.

“Iya. Kebetulan aku di Unit Hukum,” jawab Dimas, sopan.

“Terima kasih. Aku sempat khawatir... karena dia sempat hilang dari kami semua. Kalau butuh bantuan tambahan, aku juga siap. Aku juga anak hukum.”

“Aku tahu kamu anak BEM yang terkenal itu,” balas Dimas sambil tersenyum tipis.

Aku menunduk. “Aku memang sengaja menghilang, Kak.”

Mereka diam sejenak.

“Tapi sekarang kamu kembali. Dan kamu mau berjuang,” kata Dimas.

“Dan kali ini, kamu nggak sendiri,” tambah Kak Ardi.

Hatiku hangat. Untuk pertama kalinya, aku dikelilingi oleh dua laki-laki yang tidak ingin ‘memiliki’ aku. Tidak menjadikan diriku alat. Tapi ada... karena mereka menghargai aku.

Aku bukan ‘tempat’ lagi.

Aku adalah orang.

---

Aku Menulis Ulang Diriku Sendiri

Malam itu, setelah semua orang tertidur dan dunia terasa sunyi, aku membuka laptopku.

Kali ini, bukan untuk melihat bukti. Bukan untuk mencari kenangan.

Tapi untuk menulis sesuatu yang baru.

Aku mengetik perlahan, kalimat demi kalimat.

“Namaku Nadia. Dan ini bukan kisah cinta. Ini adalah kisah seorang perempuan yang mencoba mencintai dirinya kembali.”

“Aku pernah percaya bahwa menyerahkan segalanya adalah bukti cinta. Tapi ternyata, mencintai adalah ketika kamu tetap bisa berkata tidak, bahkan saat kamu sangat ingin dipeluk.”

“Aku belajar... bahwa tidak semua pelukan adalah rumah.”

“Tapi aku juga belajar... bahwa luka bukan akhir. Luka adalah awal dari kebangkitan.”

Babak hidupku bersama Reza... sudah selesai.

Tapi hidupku belum berakhir. Bahkan belum dimulai.

Aku mungkin belum pulih. Tapi aku tahu... aku ingin sembuh.

Dan di jalur pemulihan ini, aku tidak sendiri.

Ada Sarah yang setia. Ada Rina yang diam-diam tetap peduli. Ada Mbak Ajeng. Ada Dimas. Ada Kak Ardi.

Tapi yang paling penting: ada aku sendiri.

Aku adalah saksi hidupku sendiri.

Dan mulai hari ini... aku memilih bersaksi dengan jujur.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 53 - Badai Balasan

    Pagi berikutnya datang tanpa ampun. Aku bangun sebelum matahari sepenuhnya muncul, dan mendapati perasaan resah masih menggantung di dada. Alika masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk seperti anak kecil yang kelelahan setelah perang panjang. Selimut tipis menutupi tubuhnya, dan wajahnya untuk pertama kalinya terlihat damai.Aku berjalan ke dapur, menyeduh kopi, lalu berdiri lama di depan jendela. Jakarta masih setengah terjaga. Tapi hatiku sudah bersiap untuk perang hari ini. Kami tahu mereka akan melawan balik.“Pagi,” suara berat Dimas memecah keheningan. Ia datang dari kamar, mengenakan kaus gelap dan celana training, matanya masih mengantuk tapi sorotnya tajam.“Pagi,” balasku pelan.Dia berdiri di sebelahku, lalu menyesap kopi dari cangkirku tanpa izin. “Hari ini kita harus mulai identifikasi siapa-siapa saja yang mungkin bisa kita ajak bersaksi.”Aku mengangguk. “Aku terus mikir soal mahasiswi yang dulu sempat hilang. Namanya Tania. Waktu itu dia mahasiswa FE, satu angkatan

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 52 - Keberanian

    Pagi itu, berita tentang Yusuf mulai muncul di media sosial. Bukan hanya karena video Alika, tapi juga karena beberapa akun aktivis perempuan ikut menyuarakan kasus yang selama ini dibungkam. Hashtag dengan namaku dan Alika muncul di mana-mana. Foto tangkapan layar pesan Yusuf ke Alika tersebar. Wajah tampan yang dulu dielu-elukan di kampus kini dibanjiri hujatan.Aku membuka layar ponselku sambil menyesap kopi yang bahkan tak terasa di lidah.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Dimas dari balik laptopnya. “Sebelum keluarganya mulai main kotor lagi.”“Ardi bilang pengacara mereka sudah mulai sibuk ngelobi,” tambahnya, menoleh padaku. “Kita harus siapkan konferensi pers. Bukan hanya bukti, tapi suara. Kita buat publik tahu siapa sebenarnya Yusuf dan keluarganya.”Aku mengangguk. “Kamu yakin Alika siap bicara di depan umum?”Dimas mengangguk. “Dia bilang, kalau kamu ada di sampingnya, dia siap. Kita nggak akan biarkan dia sendirian.”Aku tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo kita mulai."--

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 51 -Luka yang Tak Bisa Disembunyikan

    Langit siang itu terasa lebih muram dari biasanya, seakan menyerap semua perasaan yang tadi berkecamuk dalam ruangan sempit berjeruji besi itu. Aku melangkah keluar dari ruang kunjungan penjara dengan langkah berat. Udara terasa berbeda di luar lebih lapang, tapi juga lebih sunyi. Dimas menyusul di sampingku, diam-diam. Wajahnya tak banyak bicara, tapi aku tahu dia menahan sesuatu. Mungkin emosi. Mungkin amarah. Atau sekadar bingung harus memelukku atau membiarkanku diam. Kami berjalan sejajar, menyusuri koridor menuju pintu keluar. Tidak ada satu kata pun yang terlontar, tapi suara langkah kaki kami seakan bergema lebih keras dari biasanya. Aku akhirnya membuka suara. "Terima kasih sudah ikut masuk tadi..." suaraku lirih. Dimas mengangguk. "Aku nggak mau kamu sendirian." Aku berhenti di tangga luar gedung itu. Mataku masih terasa berat. Reza menangis. Reza meminta maaf. Reza menyebut-nyebut ibunya dan dosa-dosa masa lalunya. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenyataan. Tak ada a

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 50 - Mengubur Luka dengan Mata Terbuka

    Langit mendung menyelimuti Jakarta sore itu. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Di pelataran sunyi sebuah rumah tahanan negara, sebuah mobil hitam berhenti. Mesin dimatikan, namun detak jantung di dalamnya masih nyaring.Dimas duduk di kursi pengemudi. Di sebelahnya, Nadia diam menatap lurus ke depan. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.Tangannya digenggam erat oleh Dimas. Bukan sekadar genggaman, tapi janji yang tak diucapkan: Kau tidak sendirian.“Kamu yakin mau ketemu dia?” Dimas bertanya pelan, nadanya lembut tapi dalam, seolah kata-katanya disaring dari kekhawatiran.Nadia menoleh sedikit, namun tidak sepenuhnya menatap. Matanya tetap mengarah ke kejauhan. “Aku nggak datang buat dia,” ucapnya lirih. “Aku datang buat diriku sendiri.”Dimas mengangguk. Ia tahu, keputusan ini bukan sekadar keberanian ini adalah titik balik.Langkah kaki mereka menggema di lorong panjang lembaga pemasyarakatan. Bau logam, cat tembok tua, dan udara lembap m

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 49 - Luka Terbuka Lagi

    Pagi itu, tak satu pun dari kami benar-benar tidur. Telepon Dimas dan Ardi terus-menerus berdering sejak subuh. Grup W******p tim pendamping hukum tak berhenti menampilkan notifikasi. Beberapa pesan datang dari media, sisanya dari jaringan LSM yang ingin bergabung atau menawarkan dukungan. Namun yang paling mengejutkan: dua pengacara senior dari Jakarta secara sukarela menghubungi kami, mengatakan mereka siap ikut mendampingi kasus Alika pro bono. Dunia luar mulai bergerak. Tapi kami di sini… tetap terjebak di ruang yang sama ruang penuh kelelahan, trauma, dan pertanyaan yang belum terjawab. Alika duduk di depan jendela, masih dalam balutan jaket abu-abu longgar milik Dimas. Tangannya memeluk lutut, wajahnya menatap ke luar jendela apartemen seolah ingin melihat langit tapi tak sanggup menengadah. Matanya sembab, kelopak matanya bengkak, dan bibirnya pecah karena terlalu sering digigit untuk menahan tangis. Tapi tak satu pun dari kami menyuruhnya berhenti menangis. Karena kami tahu

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 48 – Ketika Kebenaran Memanggil

    Pagi berikutnya, udara Jakarta masih menyimpan sisa mendung. Tapi aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena teh hangat semalam, atau karena ciuman kecil di kening yang lebih menenangkan daripada semua obat tidur yang pernah aku coba. Aku baru saja menyelesaikan sarapan seadanya roti panggang dan telur setengah matang ketika bel apartemen berbunyi. Tiara yang membukakan pintu. Di baliknya, berdiri seorang perempuan muda berjaket denim dan ransel lusuh. Matanya cekung, wajahnya pucat. “Alika?” suaraku tercekat. Dia mengangguk pelan. “Aku… mau bantu. Tapi aku takut.” Aku langsung berlari ke arahnya, memeluk tubuh ringkih itu dengan hati-hati. “Tenang, kamu aman di sini. Kita nggak akan biarkan mereka menyentuh kamu lagi.” Tiara menutup pintu cepat, menguncinya dua kali. Dimas muncul dari kamar dengan ekspresi kaget. “Gimana dia bisa sampai sini?” Alika menunjuk ponselnya. “Ada sopir ojek online yang bawa aku. Kata kakak Rara, ini tempat paling aman buat aku sekaran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status