Share

Bab 3 – Cinta yang Membutakanku

Author: Pandandut
last update Last Updated: 2025-06-21 09:13:40

Semuanya terjadi perlahan, seperti kabut yang melingkupi pagi hari.

 Tak ada satu pun momen yang membuatku sadar aku sudah terlalu jauh. Tak ada tanda bahaya yang membuatku waspada. Semuanya datang dengan lembut, seperti bisikan nyaman yang menenangkan luka, tapi diam-diam merampas akal dan logikaku.

 Awalnya hanya makan siang yang kubayari.

 Lalu mulai dengan pulsa, ongkir, kuota. Beberapa kali Reza meminjam uang karena katanya om-nya belum mengirim. Selalu ada alasan. Selalu ada nada pilu yang membuatku merasa berdosa kalau menolak.

  “Lo sabar banget, Nad. Gue belum pernah ketemu cewek kayak lo. Cewek-cewek dulu paling gak tahan seminggu kalau gue mulai bokek.”

 Katanya sambil menepuk pelan pundakku. Aku tertawa hambar. Itu pujian atau sindiran? Entahlah. Tapi saat itu, hatiku hangat.

 Karena setidaknya, aku dianggap “berbeda”.

 Hari-hariku mulai berubah. Jadwalku bukan lagi tentang tugas kuliah, belajar bareng Sarah dan Rina, atau sekadar menikmati sore di perpustakaan. Semuanya mulai tentang Reza.

 “Jemput gue di depan kampus, ya.”

 “Lo lagi kosong kan jam 4? Temenin gue nganter barang dulu, yuk.”

 “Laptop lo bisa gue pinjam buat Zoom presentasi dropship-an bentar?”

 Dan aku, tanpa sadar, mengangguk.

 Aku mulai jarang bertemu Sarah dan Rina. Obrolan kami berganti jadi centang biru yang tak kunjung kubalas. Aku terlalu lelah menjelaskan kenapa waktuku selalu habis. Karena kenyataannya, semua waktuku habis untuk Reza.

 ---

 Awal Aku Kehilangan Diriku Sendiri

 Malam itu, kami habis pulang dari salah satu café murah favorit Reza. Dia tampak murung, menatap meja kosong di hadapannya seperti sedang menimbang dunia.

  “Gue capek, Nad. Semua orang cuma mau manfaatin gue. Lo doang yang gak begitu.”

 Aku mengusap lengannya, mencoba menenangkan.

 “Aku ngerti, Za. Aku juga capek. Gak banyak orang yang bisa dipercaya.”

 Dia menatapku lama. Tatapan itu seperti mengupas kulit pertahananku satu per satu. Lalu dia menarikku ke pelukannya.

 Dan aku tidak menolak.

 Malam itu, aku tidak langsung pulang.

 Kami singgah ke penginapan kecil di pinggiran kota. Ruangannya sunyi, seperti menutupi semua kebodohanku dari dunia luar.

 Semua terjadi begitu saja. Tidak ada paksaan. Tapi juga bukan karena aku sepenuhnya ingin.

 Aku hanya ingin dia tahu… apakah aku cukup berharga untuk diperjuangkan? Apakah tubuhku akan mengikat hatinya?

 Pagi harinya, dia hanya menatapku sekilas dan berkata,

  “Thanks ya, Nad. Lo ngerti gue.”

 Aku tersenyum, menahan tangis yang mulai merambat di sudut mataku.

 Aku tidak tahu lagi... mana yang normal.

 ---

 Setiap minggu, kami mengulang hal yang sama. Makan bersama, dia mengeluh soal keuangan, lalu kami tidur bersama. Tidak ada status. Tidak ada janji. Hanya rutinitas penuh ilusi.

  “Gue gak butuh status, Nad. Gue butuh yang ngerti.”

 Dan aku aku ingin menjadi itu. Aku ingin menjadi tempat pulangnya. Bahkan jika itu artinya harus kehilangan diriku sendiri.

 Aku mulai memakai uang tabunganku. Bahkan pernah menjual jam tangan pemberian almarhum Ayah satu-satunya warisan yang masih aku simpan.

 “Gue janji balikin. Ini investasi kok. Sekali aja.”

 Tapi dia tak pernah mengembalikannya.

 Dan aku tak pernah menagihnya.

 Karena di kepalaku, aku terus mengulang kata: “Dia butuh aku.”

 Dan aku terlalu takut kehilangan satu-satunya yang membuatku merasa dilihat.

 ---

Suatu sore, Sarah datang ke kosanku. Sudah lama kami tidak bertatap muka langsung. Wajahnya masih sama lembut, khawatir, tapi tidak menghakimi.

 “Nad, kamu nggak pernah ikut kita makan lagi. Rina juga bingung. Kamu kenapa sih?”

 Aku menarik napas panjang. “Aku sibuk, Sar.”

  “Sibuk sama Reza?”

 Aku terdiam. Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan yang terlalu tepat.

 “Kita bukan musuh Reza, Nad. Tapi kamu berubah banget. Kamu kayak... bukan kamu. Dan jujur, aku khawatir sama kamu.”

 Aku nyaris menangis. Tapi hanya bisa berkata pelan, “Terima kasih sudah peduli.”

 Setelah Sarah pulang, aku menangis sendirian.

 Tapi tetap... keesokan harinya, aku kembali ke sisi Reza.

 Karena hanya dia yang kupikir tidak menuntutku jadi orang lain. Atau... mungkin itulah yang ingin aku yakini.

 ---

 Beberapa minggu setelahnya, aku tak sengaja bertemu Kak Ardi di perpustakaan.

 Dia menatapku seperti seseorang yang mencoba membaca kembali puisi yang pernah disukainya, tapi sudah robek setengah.

  “Kamu kelihatan beda, Nad."

 Aku tersenyum hambar. “Maksudnya?”

  “Dulu kamu ceria. Sekarang... kamu kayak hidup tapi nggak hadir.”

 Aku ingin menjawab. Tapi bibirku kelu. Karena dalam diamku, aku tahu dia benar.

  “Kalau kamu butuh teman ngobrol, aku masih di sini,” katanya pelan. “Walau kamu udah nggak ke BEM lagi.”

 Aku hanya bisa mengangguk.

 Aku ingin bilang: aku menjauh bukan karena dia. Tapi karena diriku sendiri. Karena aku percaya... kata-kata Agnes dulu itu benar.

 Bahwa aku tak cukup baik untuk dicintai oleh orang seperti Kak Ardi.

 ---

 Suatu malam, Reza tertidur di kosanku. Aku ingin mengerjakan tugas, tapi melihat laptopku masih login dengan akun emailnya. Entah mengapa, jariku mengarah ke tab yang terbuka. Email. Folder: Bisnis.

 Aku klik.

 Dan dunia yang kukira penuh cinta... mulai runtuh pelan-pelan.

 Invoice.

 Laporan penjualan.

 Kontrak kerja sama dengan supplier.

 Dan semuanya... atas namaku.

 Alamat pengiriman: rumahku. Kosku. Nomor HP-ku.

 Reza bukan hanya jualan kecil-kecilan. Dia sudah punya sistem. Sudah punya penghasilan bulanan. Dan semua fasilitasnya... berasal dariku.

 Hatiku seperti diiris perlahan.

 Tapi aku tidak langsung marah. Tidak juga konfrontasi.

 Aku hanya mematikan layar laptop. Lalu duduk diam di pojok kamar. Dan menangis tanpa suara sampai pagi.

 ---

 Keesokan harinya, aku berdiri di depan cermin.

 Aku melihat diriku sendiri.

 Tubuh yang kupikir sedang mencintai... ternyata hanya sedang dimanfaatkan.

 Wajah yang kupikir sedang dicintai... ternyata hanya digunakan sebagai topeng empati.

 Aku bukan pacar.

 Bukan partner.

 Bukan pendamping.

 Aku hanyalah tempat.

 Tempat Reza menaruh beban.

 Dan tempat dia mengambil segalanya.

 Air mataku jatuh.

 Dan untuk pertama kalinya... aku merasa benar-benar sendiri.

 ---

 Beberapa hari kemudian, aku mengajak Reza bicara. Di taman kampus. Tempat yang dulu memberiku rasa hangat bersama Kak Ardi.

 “Aku tahu kamu nggak bangkrut, Reza.”

 Dia terdiam.

  “Aku tahu kamu pakai nama dan alamatku buat bisnis kamu.”

 Masih tidak menjawab.

  “Tapi yang lebih menyakitkan... aku tahu aku hanya tempat buat kamu. Kamu nggak pernah cinta sama aku.”

 Akhirnya dia mendengus, lalu menatapku tajam.

  “Lo pikir cinta itu butuh status? Lo juga mau semua ini. Bahkan lo juga menikmati tidur bareng gua.”

 Aku menatapnya balik. Tidak dengan air mata. Tapi dengan luka yang sudah terlalu penuh untuk dibendung.

  “Aku mau cinta. Tapi ternyata aku hanya berharap pada orang yang menjadikan aku alat.”

 Reza berdiri. Senyum dingin menghiasi wajahnya.

  “Terserah lo, Nad. Lo bisa main drama. Tapi gue gak nyesel. Gue dapet apa yang gue mau. Koneksi bokap lo dan tubuh lo juga.”

 Dia pergi.

 Dan kali ini... aku tidak mengejarnya.

 Aku hanya duduk.

 Dan menangis seperti anak kecil yang kehilangan semua.

 ---

 Hari itu aku kembali ke kos. Membuka semua folder, foto, screenshot, dan nota yang selama ini kusimpan. Semua tentang Reza.

 Aku menghapus satu per satu.

 Tanganku gemetar. Tapi mataku kering.

 Aku tidak menangis lagi.

 Karena tangisanku sudah habis.

Ini bukan tentang melupakan.

 Tapi tentang menyudahi.

 Menutup pintu yang tak pernah membawaku ke rumah mana pun.

 Menanggalkan mimpi palsu tentang cinta dan kebersamaan.

 Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

 Tapi satu yang pasti: aku harus mulai dari diriku sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 53 - Badai Balasan

    Pagi berikutnya datang tanpa ampun. Aku bangun sebelum matahari sepenuhnya muncul, dan mendapati perasaan resah masih menggantung di dada. Alika masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk seperti anak kecil yang kelelahan setelah perang panjang. Selimut tipis menutupi tubuhnya, dan wajahnya untuk pertama kalinya terlihat damai.Aku berjalan ke dapur, menyeduh kopi, lalu berdiri lama di depan jendela. Jakarta masih setengah terjaga. Tapi hatiku sudah bersiap untuk perang hari ini. Kami tahu mereka akan melawan balik.“Pagi,” suara berat Dimas memecah keheningan. Ia datang dari kamar, mengenakan kaus gelap dan celana training, matanya masih mengantuk tapi sorotnya tajam.“Pagi,” balasku pelan.Dia berdiri di sebelahku, lalu menyesap kopi dari cangkirku tanpa izin. “Hari ini kita harus mulai identifikasi siapa-siapa saja yang mungkin bisa kita ajak bersaksi.”Aku mengangguk. “Aku terus mikir soal mahasiswi yang dulu sempat hilang. Namanya Tania. Waktu itu dia mahasiswa FE, satu angkatan

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 52 - Keberanian

    Pagi itu, berita tentang Yusuf mulai muncul di media sosial. Bukan hanya karena video Alika, tapi juga karena beberapa akun aktivis perempuan ikut menyuarakan kasus yang selama ini dibungkam. Hashtag dengan namaku dan Alika muncul di mana-mana. Foto tangkapan layar pesan Yusuf ke Alika tersebar. Wajah tampan yang dulu dielu-elukan di kampus kini dibanjiri hujatan.Aku membuka layar ponselku sambil menyesap kopi yang bahkan tak terasa di lidah.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Dimas dari balik laptopnya. “Sebelum keluarganya mulai main kotor lagi.”“Ardi bilang pengacara mereka sudah mulai sibuk ngelobi,” tambahnya, menoleh padaku. “Kita harus siapkan konferensi pers. Bukan hanya bukti, tapi suara. Kita buat publik tahu siapa sebenarnya Yusuf dan keluarganya.”Aku mengangguk. “Kamu yakin Alika siap bicara di depan umum?”Dimas mengangguk. “Dia bilang, kalau kamu ada di sampingnya, dia siap. Kita nggak akan biarkan dia sendirian.”Aku tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo kita mulai."--

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 51 -Luka yang Tak Bisa Disembunyikan

    Langit siang itu terasa lebih muram dari biasanya, seakan menyerap semua perasaan yang tadi berkecamuk dalam ruangan sempit berjeruji besi itu. Aku melangkah keluar dari ruang kunjungan penjara dengan langkah berat. Udara terasa berbeda di luar lebih lapang, tapi juga lebih sunyi. Dimas menyusul di sampingku, diam-diam. Wajahnya tak banyak bicara, tapi aku tahu dia menahan sesuatu. Mungkin emosi. Mungkin amarah. Atau sekadar bingung harus memelukku atau membiarkanku diam. Kami berjalan sejajar, menyusuri koridor menuju pintu keluar. Tidak ada satu kata pun yang terlontar, tapi suara langkah kaki kami seakan bergema lebih keras dari biasanya. Aku akhirnya membuka suara. "Terima kasih sudah ikut masuk tadi..." suaraku lirih. Dimas mengangguk. "Aku nggak mau kamu sendirian." Aku berhenti di tangga luar gedung itu. Mataku masih terasa berat. Reza menangis. Reza meminta maaf. Reza menyebut-nyebut ibunya dan dosa-dosa masa lalunya. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenyataan. Tak ada a

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 50 - Mengubur Luka dengan Mata Terbuka

    Langit mendung menyelimuti Jakarta sore itu. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Di pelataran sunyi sebuah rumah tahanan negara, sebuah mobil hitam berhenti. Mesin dimatikan, namun detak jantung di dalamnya masih nyaring.Dimas duduk di kursi pengemudi. Di sebelahnya, Nadia diam menatap lurus ke depan. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.Tangannya digenggam erat oleh Dimas. Bukan sekadar genggaman, tapi janji yang tak diucapkan: Kau tidak sendirian.“Kamu yakin mau ketemu dia?” Dimas bertanya pelan, nadanya lembut tapi dalam, seolah kata-katanya disaring dari kekhawatiran.Nadia menoleh sedikit, namun tidak sepenuhnya menatap. Matanya tetap mengarah ke kejauhan. “Aku nggak datang buat dia,” ucapnya lirih. “Aku datang buat diriku sendiri.”Dimas mengangguk. Ia tahu, keputusan ini bukan sekadar keberanian ini adalah titik balik.Langkah kaki mereka menggema di lorong panjang lembaga pemasyarakatan. Bau logam, cat tembok tua, dan udara lembap m

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 49 - Luka Terbuka Lagi

    Pagi itu, tak satu pun dari kami benar-benar tidur. Telepon Dimas dan Ardi terus-menerus berdering sejak subuh. Grup W******p tim pendamping hukum tak berhenti menampilkan notifikasi. Beberapa pesan datang dari media, sisanya dari jaringan LSM yang ingin bergabung atau menawarkan dukungan. Namun yang paling mengejutkan: dua pengacara senior dari Jakarta secara sukarela menghubungi kami, mengatakan mereka siap ikut mendampingi kasus Alika pro bono. Dunia luar mulai bergerak. Tapi kami di sini… tetap terjebak di ruang yang sama ruang penuh kelelahan, trauma, dan pertanyaan yang belum terjawab. Alika duduk di depan jendela, masih dalam balutan jaket abu-abu longgar milik Dimas. Tangannya memeluk lutut, wajahnya menatap ke luar jendela apartemen seolah ingin melihat langit tapi tak sanggup menengadah. Matanya sembab, kelopak matanya bengkak, dan bibirnya pecah karena terlalu sering digigit untuk menahan tangis. Tapi tak satu pun dari kami menyuruhnya berhenti menangis. Karena kami tahu

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 48 – Ketika Kebenaran Memanggil

    Pagi berikutnya, udara Jakarta masih menyimpan sisa mendung. Tapi aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena teh hangat semalam, atau karena ciuman kecil di kening yang lebih menenangkan daripada semua obat tidur yang pernah aku coba. Aku baru saja menyelesaikan sarapan seadanya roti panggang dan telur setengah matang ketika bel apartemen berbunyi. Tiara yang membukakan pintu. Di baliknya, berdiri seorang perempuan muda berjaket denim dan ransel lusuh. Matanya cekung, wajahnya pucat. “Alika?” suaraku tercekat. Dia mengangguk pelan. “Aku… mau bantu. Tapi aku takut.” Aku langsung berlari ke arahnya, memeluk tubuh ringkih itu dengan hati-hati. “Tenang, kamu aman di sini. Kita nggak akan biarkan mereka menyentuh kamu lagi.” Tiara menutup pintu cepat, menguncinya dua kali. Dimas muncul dari kamar dengan ekspresi kaget. “Gimana dia bisa sampai sini?” Alika menunjuk ponselnya. “Ada sopir ojek online yang bawa aku. Kata kakak Rara, ini tempat paling aman buat aku sekaran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status