“Yang paling kejam bukan saat seseorang menyakitimu di balik pintu tertutup. Tapi ketika dia menyeret lukamu ke tengah kerumunan, lalu menyebutnya sebagai kesalahanmu sendiri.”
--- Hari Pertama Sidang – Ruang yang Mencekik Pagi itu, udara terasa lembap dan langit seperti menggantung awan kelabu di ubun-ubunku. Di depan gedung Pengadilan Negeri, aku berdiri mematung. Bukan karena dingin, tapi karena takut. Takut menghadapi kenyataan yang selama ini kututupi dengan keberanian palsu. Tanganku menggenggam lengan Dimas. Genggaman yang tidak erat, tapi cukup untuk membuatku tidak roboh. “Kalau kamu gemetar, biar aku yang bicara duluan,” ucap Dimas pelan. Aku menggeleng. “Enggak, Mas. Aku harus bicara. Ini luka aku. Ini medan perang aku.” Kami berjalan memasuki ruang sidang. Lorong itu dingin, lampu-lampu putihnya menyilaukan, dan setiap langkah seolah menggema seperti derap perang. Di dalam, bangku-bangku telah terisi. Beberapa wartawan dengan kamera tersembunyi. Beberapa dosen hadir, katanya sebagai “pengamat etik fakultas”. Entah benar-benar mengamati atau hanya menonton drama. Dan Reza… Dia duduk di seberang. Wajah bersih, rambut tersisir rapi, jas mahal, senyum sinis terselip tipis di sudut bibirnya. Aku ingin muntah. --- “Saudari Nadia Azzahra, silakan sampaikan keterangan Anda,” suara hakim menggema. Aku berdiri. Dan anehnya… suaraku tidak bergetar. “Yang Mulia. Saya tidak berdiri di sini karena sakit hati. Saya berdiri di sini karena saya adalah korban dari relasi yang penuh manipulasi: secara emosional, ekonomi, bahkan privasi.” Beberapa wajah menegang. Reza tetap duduk tenang. Seperti aktor yang sudah hapal naskahnya. “Reza Akbar tidak pernah mencintai saya. Dia menjadikan saya investasi. Dia gunakan tubuh saya, waktu saya, uang saya bahkan rumah mendiang ayah saya untuk kepentingan bisnis dropship-nya tanpa izin.” “Saya tidak datang untuk membalas dendam. Saya datang untuk menyuarakan kebenaran.” Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang. “Saya hanya ingin menuntut hak saya. Saya hanya ingin pertanggungjawaban dan keadilan.” “Saya menolak bungkam. Karena kalau saya diam, mungkin di luar sana akan ada banyak Nadia-Nadia lain yang diperlakukan sama.” “Dan kalau hal seperti ini terus dibiarkan, saya takut dunia ini akan melahirkan lebih banyak Reza.” Setelah itu, aku duduk. Kakiku gemetar, bibirku nyaris robek karena kutahan untuk tidak menangis. Kupikir aku sudah kuat. Tapi ternyata… kebenaran tidak selalu terasa seperti kemenangan. Kadang, kebenaran adalah pisau. Yang jika tak hati-hati, bisa melukai kita lagi. --- Ketika Dunia Menjadi Neraka Dua hari setelah sidang, Instagramku berubah menjadi medan pembantaian. Semuanya bermula dari sebuah akun anonim kampus: “Nggak sepolos yang kalian kira. Bukti fisik sudah tayang.” Aku membuka unggahannya. Potongan video. Video lamaku dan Reza. Diedit, disisipkan musik dramatis, diberi caption menjijikkan: “Korbannya? Atau pelakunya? Biar publik yang nilai.” Ratusan komentar masuk. Sebagian bersimpati, tapi sebagian besar... seperti racun. “Ternyata murahan.” “Cewek sekarang banyak yang pura-pura korban.” “Gak ada asap kalau gak ada api.” Dosen wali mengirimiku pesan: “Nadia, apakah benar isi konten itu? Kita perlu bicara secara formal.” Formal? Setelah aku dihancurkan, ditelanjangi, dimanfaatkan, dipermalukan, lalu... aku yang harus menjelaskan? Aku muntah di kamar mandi. Lututku lemas. Tanganku mencakar lantai seperti ingin mengelupas semua dosa dari kulitku. Sarah menemukan aku terkapar. “Nadia, jangan begini. Ini bukan salahmu.” “Aku kotor, Sar… Semua orang lihat aibku… Semua orang hakimi aku…” “Mereka nggak tahu kamu. Tapi aku tahu kamu.” “Mungkin mereka benar. Mungkin memang aku bodoh. Terlalu percaya…” --- Sementara itu, Dimas membaca grup Telegram fakultas. Sebuah P*F anonim menyebar: “Fakta Alternatif: Siapa Sebenarnya Nadia?” Isinya? Tuduhan. Fitnah. Screenshot yang sudah dimanipulasi. Cerita palsu. Analisis bodoh dari akun fake. Dimas duduk terdiam di tangga lorong hukum. Dalam pikirannya, wajah kakaknya muncul—Laras. Laras yang dulu juga dihancurkan oleh video. Dihina. Disebarkan. Sampai suatu hari ditemukan tergeletak di kamar dengan botol racun di tangan. Laras tidak mati. Tapi juga tidak pernah benar-benar hidup lagi. “Aku nggak bisa selamatin Kak Laras… Tapi kali ini... aku nggak akan tinggal diam.” --- Sore itu, aku keluar. Ingin melihat langit. Ingin memastikan dunia masih ada. Aku duduk di bangku dekat pohon akasia. Pohon tempat aku dulu membaca puisi waktu ospek. Tempat pertama kali aku merasa diterima. Kini… hanya bayangan masa lalu yang seolah menertawakanku. Dimas datang. Diam-diam. Duduk di sampingku. Di tangannya ada teh jahe dalam cup kertas. “Aku pikir kamu butuh ini.” Aku menatapnya. Wajahku sembab. Rambutku kusut. Tapi dia tidak menjauh. “Aku capek, Mas…” “Aku tahu. Dan aku nggak akan bilang ‘semangat’. Karena kamu nggak harus kuat terus.” “Aku pengen hilang aja…” Dimas menghela napas. “Kakakku juga pernah bilang gitu. Sebelum dia minum racun.” Aku menoleh cepat. Mata Dimas merah. Tapi suaranya stabil. “Laras… kakakku. Dia hidup. Tapi sampai sekarang, dia nggak pernah bicara lagi.” “Dunia ini gak adil, Nad. Tapi kamu gak sendirian. Aku di sini. Aku akan bantu sebisaku.” Tangisku pecah. Tapi kali ini... bukan karena lemah. Tapi karena ada yang percaya padaku. Aku kira setah semua itu Reza akan berhenti. Ternyata Reza belum selesai. Di grup pertemanan, dia menyusun skenario: “Bikin video lanjutan. Narasinya ganti. Bilang aja dia unstable. Cari tahu mantan-mantannya. Siapa tahu ada aib.” “Lo gak takut kena pasal?” tanya Aldi. “Siapa yang bisa buktiin? Semua akun fake. Semua pakai VPN. Gue aman. Yang rusak tetap dia.” --- Dari kejauhan, seseorang memperhatikan semua ini. Kak Ardi. Dia tidak datang ke sidang. Tapi malam itu, ia menemuiku di parkiran kampus. “Nad... Aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi aku nemu sesuatu.” Dari tasnya, ia mengeluarkan hard disk. “Ini dari komputer lama sekretariat. Waktu itu Reza sempat pakai ruangan itu buat simpan data bisnis dropship-nya. Aku pikir ini nggak penting. Tapi saat aku cek ulang... dan ternyata diluar dugaan Nad. Kamu bisa lihat sendiri.” Ia memberiku folder berisi data. Dokumen transaksi. Bukti aliran dana. File metadata. Dan satu folder cache video. Semua terekam dari HP milik Reza. Bukan dari milikku. “Semua ini bisa jadi bukti kuat. Untuk membersihkan namamu. Untuk menunjukkan siapa pelakunya yang sebenarnya.” Aku memeluk folder itu seperti memeluk harapan yang selama ini kutinggalkan. --- Aku Bangkit Malam itu, aku kembali menulis di jurnal. Kali ini dengan tangan yang tidak lagi gemetar. “Tubuhku mereka hakimi. Hatiku mereka robek. Tapi satu hal yang tidak bisa mereka curi: kebenaran.” “Aku bukan korban yang akan diam. Aku bukan boneka yang bisa mereka lempar ke publik lalu menonton dari kejauhan.” “Aku adalah Nadia Azzahra. Dan ini belum selesai.”Pagi berikutnya datang tanpa ampun. Aku bangun sebelum matahari sepenuhnya muncul, dan mendapati perasaan resah masih menggantung di dada. Alika masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk seperti anak kecil yang kelelahan setelah perang panjang. Selimut tipis menutupi tubuhnya, dan wajahnya untuk pertama kalinya terlihat damai.Aku berjalan ke dapur, menyeduh kopi, lalu berdiri lama di depan jendela. Jakarta masih setengah terjaga. Tapi hatiku sudah bersiap untuk perang hari ini. Kami tahu mereka akan melawan balik.“Pagi,” suara berat Dimas memecah keheningan. Ia datang dari kamar, mengenakan kaus gelap dan celana training, matanya masih mengantuk tapi sorotnya tajam.“Pagi,” balasku pelan.Dia berdiri di sebelahku, lalu menyesap kopi dari cangkirku tanpa izin. “Hari ini kita harus mulai identifikasi siapa-siapa saja yang mungkin bisa kita ajak bersaksi.”Aku mengangguk. “Aku terus mikir soal mahasiswi yang dulu sempat hilang. Namanya Tania. Waktu itu dia mahasiswa FE, satu angkatan
Pagi itu, berita tentang Yusuf mulai muncul di media sosial. Bukan hanya karena video Alika, tapi juga karena beberapa akun aktivis perempuan ikut menyuarakan kasus yang selama ini dibungkam. Hashtag dengan namaku dan Alika muncul di mana-mana. Foto tangkapan layar pesan Yusuf ke Alika tersebar. Wajah tampan yang dulu dielu-elukan di kampus kini dibanjiri hujatan.Aku membuka layar ponselku sambil menyesap kopi yang bahkan tak terasa di lidah.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Dimas dari balik laptopnya. “Sebelum keluarganya mulai main kotor lagi.”“Ardi bilang pengacara mereka sudah mulai sibuk ngelobi,” tambahnya, menoleh padaku. “Kita harus siapkan konferensi pers. Bukan hanya bukti, tapi suara. Kita buat publik tahu siapa sebenarnya Yusuf dan keluarganya.”Aku mengangguk. “Kamu yakin Alika siap bicara di depan umum?”Dimas mengangguk. “Dia bilang, kalau kamu ada di sampingnya, dia siap. Kita nggak akan biarkan dia sendirian.”Aku tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo kita mulai."--
Langit siang itu terasa lebih muram dari biasanya, seakan menyerap semua perasaan yang tadi berkecamuk dalam ruangan sempit berjeruji besi itu. Aku melangkah keluar dari ruang kunjungan penjara dengan langkah berat. Udara terasa berbeda di luar lebih lapang, tapi juga lebih sunyi. Dimas menyusul di sampingku, diam-diam. Wajahnya tak banyak bicara, tapi aku tahu dia menahan sesuatu. Mungkin emosi. Mungkin amarah. Atau sekadar bingung harus memelukku atau membiarkanku diam. Kami berjalan sejajar, menyusuri koridor menuju pintu keluar. Tidak ada satu kata pun yang terlontar, tapi suara langkah kaki kami seakan bergema lebih keras dari biasanya. Aku akhirnya membuka suara. "Terima kasih sudah ikut masuk tadi..." suaraku lirih. Dimas mengangguk. "Aku nggak mau kamu sendirian." Aku berhenti di tangga luar gedung itu. Mataku masih terasa berat. Reza menangis. Reza meminta maaf. Reza menyebut-nyebut ibunya dan dosa-dosa masa lalunya. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenyataan. Tak ada a
Langit mendung menyelimuti Jakarta sore itu. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Di pelataran sunyi sebuah rumah tahanan negara, sebuah mobil hitam berhenti. Mesin dimatikan, namun detak jantung di dalamnya masih nyaring.Dimas duduk di kursi pengemudi. Di sebelahnya, Nadia diam menatap lurus ke depan. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.Tangannya digenggam erat oleh Dimas. Bukan sekadar genggaman, tapi janji yang tak diucapkan: Kau tidak sendirian.“Kamu yakin mau ketemu dia?” Dimas bertanya pelan, nadanya lembut tapi dalam, seolah kata-katanya disaring dari kekhawatiran.Nadia menoleh sedikit, namun tidak sepenuhnya menatap. Matanya tetap mengarah ke kejauhan. “Aku nggak datang buat dia,” ucapnya lirih. “Aku datang buat diriku sendiri.”Dimas mengangguk. Ia tahu, keputusan ini bukan sekadar keberanian ini adalah titik balik.Langkah kaki mereka menggema di lorong panjang lembaga pemasyarakatan. Bau logam, cat tembok tua, dan udara lembap m
Pagi itu, tak satu pun dari kami benar-benar tidur. Telepon Dimas dan Ardi terus-menerus berdering sejak subuh. Grup W******p tim pendamping hukum tak berhenti menampilkan notifikasi. Beberapa pesan datang dari media, sisanya dari jaringan LSM yang ingin bergabung atau menawarkan dukungan. Namun yang paling mengejutkan: dua pengacara senior dari Jakarta secara sukarela menghubungi kami, mengatakan mereka siap ikut mendampingi kasus Alika pro bono. Dunia luar mulai bergerak. Tapi kami di sini… tetap terjebak di ruang yang sama ruang penuh kelelahan, trauma, dan pertanyaan yang belum terjawab. Alika duduk di depan jendela, masih dalam balutan jaket abu-abu longgar milik Dimas. Tangannya memeluk lutut, wajahnya menatap ke luar jendela apartemen seolah ingin melihat langit tapi tak sanggup menengadah. Matanya sembab, kelopak matanya bengkak, dan bibirnya pecah karena terlalu sering digigit untuk menahan tangis. Tapi tak satu pun dari kami menyuruhnya berhenti menangis. Karena kami tahu
Pagi berikutnya, udara Jakarta masih menyimpan sisa mendung. Tapi aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena teh hangat semalam, atau karena ciuman kecil di kening yang lebih menenangkan daripada semua obat tidur yang pernah aku coba. Aku baru saja menyelesaikan sarapan seadanya roti panggang dan telur setengah matang ketika bel apartemen berbunyi. Tiara yang membukakan pintu. Di baliknya, berdiri seorang perempuan muda berjaket denim dan ransel lusuh. Matanya cekung, wajahnya pucat. “Alika?” suaraku tercekat. Dia mengangguk pelan. “Aku… mau bantu. Tapi aku takut.” Aku langsung berlari ke arahnya, memeluk tubuh ringkih itu dengan hati-hati. “Tenang, kamu aman di sini. Kita nggak akan biarkan mereka menyentuh kamu lagi.” Tiara menutup pintu cepat, menguncinya dua kali. Dimas muncul dari kamar dengan ekspresi kaget. “Gimana dia bisa sampai sini?” Alika menunjuk ponselnya. “Ada sopir ojek online yang bawa aku. Kata kakak Rara, ini tempat paling aman buat aku sekaran