Perubahan Sikap Reza
Hari-hari setelah kencan pertamanya dengan Ardi, Nadia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam lingkungannya terutama dari Reza. Biasanya, cowok itu selalu iseng mengganggunya, mengomentari hal-hal kecil, atau sekadar mengajak berdebat tanpa alasan jelas. Namun, akhir-akhir ini, Reza terasa lebih pendiam saat bersamanya. Awalnya, Nadia mengira itu cuma perasaannya saja, tapi Rina dan Sarah juga menyadarinya. "Reza kenapa, sih? Kok dia jadi agak... aneh?" tanya Nadia saat mereka bertiga duduk di taman kampus, menikmati waktu luang sebelum kelas berikutnya. Rina dan Sarah saling berpandangan sebelum Rina membuka mulut. "Yaelah, Nad. Lo beneran nggak nyadar?" "Nyadar apa?" Nadia mengernyitkan dahi. Sarah terkikik. "Dia cemburu." Nadia menatap mereka berdua dengan ekspresi skeptis. "Cemburu? Reza? Hah? Kalian bercanda, kan?" Rina menghela napas panjang. "Fix, lo clueless. Denger ya, Nad. Sejak lo jalan sama Kak Ardi, Reza keliatan beda. Biasanya dia bawel kalau lo nggak nongkrong sama kita, sekarang malah diem aja. Itu tuh tanda-tanda jelas." Nadia terdiam sejenak, mencerna perkataan sahabatnya. Masa sih? Reza cemburu? Tapi kan... dia nggak pernah ngasih tanda-tanda suka? "Atau mungkin dia cuma nggak suka Kak Ardi?" Nadia mencoba mencari alasan lain. Sarah menggeleng. "Kalau nggak suka, pasti dia udah terang-terangan ngomong ke lo atau minimal nyindir kita pas nongkrong. Tapi ini? Dia diem, tapi jelas keganggu." Nadia menggigit bibirnya. Ia tidak tahu harus merasa bagaimana. Sejak awal, ia hanya menganggap Reza sebagai teman dekat. Tidak pernah sekalipun ia berpikir bahwa ada kemungkinan Reza memiliki perasaan lebih dari itu. Namun, kalau memang benar, kenapa cowok itu tidak pernah menunjukkan apa pun sebelumnya? --- Momen Canggung di Kelas Beberapa hari kemudian, di kelas Manajemen Pemasaran, Nadia duduk di sebelah Reza seperti biasa. Tapi kali ini, suasananya terasa lebih kaku dari biasanya. Biasanya, Reza akan mengomentari materi atau sekadar mengganggunya dengan candaan tidak penting. Tapi hari ini, ia hanya diam dan fokus mencatat. Nadia menghela napas sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka percakapan. "Rez, lo kenapa sih?" tanyanya pelan. Reza menoleh sebentar, lalu kembali menatap buku catatannya. "Kenapa apanya?" "Lo kayak... berubah gitu." Reza tertawa kecil, tapi terdengar hambar. "Maksud lo?" Nadia menatapnya lekat-lekat. "Biasanya lo nggak gini. Lo diem, nggak banyak nyela gue kayak biasanya. Ada yang salah?" Reza menghela napas, menutup bukunya, lalu menatap Nadia. "Nggak ada yang salah, Nad." "Tapi lo beda." Reza terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangkat bahu. "Mungkin gue cuma lagi banyak pikiran." Nadia menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Tentang apa?" Reza sempat ragu sebelum akhirnya berkata, "Tentang lo." Jantung Nadia berdebar. "Apa maksud lo?" Reza menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Lo beneran nggak nyadar, atau pura-pura nggak nyadar?" Nadia mengerutkan kening. "Nyadar apa?" Cowok itu tersenyum tipis, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. "Lo serius mau deket sama Kak Ardi?" Nadia tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya terlalu berat untuk dijawab saat ini. "Aku... nggak tahu, Rez. Aku nyaman ngobrol sama dia, tapi—" "Tapi lo nggak yakin," potong Reza cepat. Nadia menatapnya dengan bingung. "Kenapa lo nanya kayak gitu?" Reza menghela napas panjang, lalu menatap lurus ke depan. "Nggak apa-apa. Gue cuma pengen tahu aja." Nadia bisa merasakan ada yang ditahan oleh Reza, tapi cowok itu tidak memberinya kesempatan untuk bertanya lebih jauh. "Dosen udah masuk," kata Reza pelan, mengakhiri pembicaraan mereka. --- Pesan Tak Terduga Malam harinya, saat Nadia sedang rebahan di kamar sambil scrolling media sosial, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Reza muncul di layar. Reza: Nad, bisa ketemu sebentar? Nadia langsung merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ini pertama kalinya Reza mengajaknya bertemu secara khusus, tanpa Rina dan Sarah. Nadia: Dimana? Reza: Cafe deket kampus. Gue udah di sini. Tanpa berpikir panjang, Nadia langsung bangkit dan bersiap. Ia tidak tahu apa yang akan dibicarakan Reza, tapi firasatnya mengatakan ini bukan hal biasa. Ketika tiba di cafe, ia menemukan Reza sudah duduk di salah satu sudut, memainkan sedotan di gelasnya. Nadia duduk di hadapannya. "Ada apa, Rez?" Reza menatapnya dengan serius. "Gue nggak mau muter-muter lagi." Nadia mengernyitkan dahi. "Maksud lo?" Cowok itu menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Gue suka lo, Nad." Dunia Nadia seperti berhenti sejenak. "Apa?" "Sejak lama," lanjut Reza. "Tapi gue pikir lo nggak bakal lihat gue lebih dari sekadar temen. Jadi gue tahan. Gue pikir, ya udah, asal lo bahagia, gue bakal diem aja." Nadia masih terdiam, tidak tahu harus merespons bagaimana. "Tapi pas lo mulai deket sama Kak Ardi, gue sadar kalau gue nggak bisa terus pura-pura nggak peduli." Reza tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di matanya. "Jadi, gue cuma mau bilang sekarang. Biar lo tahu." Nadia meremas tangannya sendiri di bawah meja. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendengar ini dari Reza. "Aku..." Suaranya hampir bergetar. "Aku nggak tahu harus bilang apa, Rez." Reza mengangguk pelan. "Nggak apa-apa. Gue juga nggak maksa lo buat jawab sekarang." Hening sesaat. "Tapi gue cuma mau lo tahu, sebelum lo beneran ngasih hati lo ke orang lain," tambah Reza. Nadia menatapnya dalam-dalam. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi saat ini, ia hanya bingung harus bagaimana. Perasaan yang selama ini ia pikir hanya sebatas pertemanan... ternyata Reza merasakan hal yang lebih dari itu. Dan sekarang, ia harus mencari tahu apa yang seharusnya ia lakukan.Malam itu langit Jakarta mendung. Tapi di dalam apartemen Reza, semuanya hangat. Senyuman Nadia tidak pernah selembut itu. Dan Reza… Reza terlihat seperti pria yang siap menatap masa depan bersama. Mereka tertawa kecil di atas karpet, membicarakan target bisnis, liburan impian, dan mimpi-mimpi yang belum terwujud. Dan saat malam menua, obrolan menjadi bisu. Reza memegang tangan Nadia. Lalu membelai pipinya, dengan cara yang tak terburu-buru. Tatapan mereka saling bertemu dalam, lama, dan penuh isyarat. Lalu bibir mereka bersentuhan. Tidak seperti ciuman pertama. Ini bukan tentang ragu. Tapi tentang menyerah pada rasa percaya. Nadia tak mengatakan "aku siap". Tapi ia tidak mundur. Mereka melangkah ke ranjang. Bukan dengan gairah yang meledak-ledak, tapi dengan tenang dan penuh kesepakatan diam. Setiap sentuhan adalah janji tanpa kata. Setiap tarikan napas adalah harapan yang disulam perlahan. Malam itu, Nadia menyerahkan sesuatu yang tak bisa diambil ulang kepercayaan yang ut
Beberapa Minggu Kemudian Hidup Reza berubah lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia mulai terbuka pada teman-temannya, bahkan ikut jadi pengisi seminar kecil tentang kewirausahaan mahasiswa. Beberapa dosen mulai memperhatikannya, dan salah satu menawarkan program inkubasi bisnis dari fakultas. Nadia tak langsung kembali seperti dulu. Tapi ia hadir dalam percakapan singkat selepas kelas, dalam kehadiran diam saat Reza butuh semangat, dan dalam senyum kecil yang kini mulai muncul lagi saat mereka saling bertemu. Hubungan mereka tumbuh kembali, kali ini lebih pelan, tapi nyata. Suatu malam, setelah selesai membantu persiapan acara kampus, Reza dan Nadia duduk berdua di bangku taman dekat gedung F. Tak banyak kata, hanya obrolan ringan soal tugas dan rencana semester depan. "Lo tahu, Nad…" Reza berkata sambil menatap bintang, "Gue dulu pikir gue harus jadi orang lain biar lo suka." Nadia tersenyum tipis. "Dan sekarang?" "Kalau lo bisa terima versi Reza yang dulu, apalagi sekarang… gu
Sejak hari itu, Reza tak lagi melihat Nadia sesering dulu. Ia mencoba menghubungi, tapi pesan-pesannya hanya dibaca, tak pernah dibalas. Di kampus, Nadia bersikap biasa, tapi ada jarak yang jelas. Tak ada lagi obrolan panjang di kantin, atau sekadar duduk diam di taman bersama. Namun Reza tidak tinggal diam. Ia mulai memperbaiki sikapnya. Ia berhenti menerima traktiran siapa pun. Mulai membawa bekal dari rumah, dan terlihat lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus, terutama yang berkaitan dengan sosial dan kewirausahaan. Ia bahkan mulai mengajar adik tingkat tentang manajemen keuangan sederhana. Banyak yang memuji perubahan Reza, tapi ia hanya berharap satu hal: dilihat kembali oleh Nadia. Sampai akhirnya, suatu sore, Nadia menerima sebuah pesan singkat dari Reza. > Reza: "Besok sore, dateng ke aula belakang gedung F kalau kamu masih punya sedikit rasa percaya. Cuma lima belas menit. Kalau kamu nggak datang, gue ngerti." Nadia menatap pesan itu lama. Rasa kecewa masih ada
Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Pikirannya terus memutar kejadian demi kejadian. Kebaikan Reza, perhatian yang ia berikan, semua tampak begitu tulus. Tapi kenapa ada rasa ganjil yang makin lama makin sulit diabaikan? Keesokan harinya, di kampus, Nadia memilih untuk menyendiri di perpustakaan. Ia butuh waktu memikirkan semuanya. Namun, tak lama kemudian, Rina datang menghampiri, membawa dua cup kopi instan. "Aku tahu kamu pasti di sini," katanya sambil menyerahkan satu cup pada Nadia. Nadia tersenyum tipis. "Thanks, Rin." Rina duduk di sampingnya, lalu bertanya hati-hati, "Kamu lagi mikirin Reza, ya?" Nadia menoleh, kaget. "Kok kamu tahu?" "Karena kamu akhir-akhir ini kayak… terlalu mikirin dia. Dan kamu beda. Terlihat bingung." Nadia menghela napas. Ia akhirnya menceritakan semua—tentang pengakuan Reza, kebiasaan makan yang berubah, tapi juga soal hal-hal mencurigakan yang ia lihat belakangan ini. Rina mendengarkan tanpa menyela, lalu berkata pelan, "Nad, kamu tahu kan, aku
Sejak insiden dengan Ardi dan Agnes, Nadia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Reza. Awalnya, ia berpikir bahwa kedekatan mereka hanya sebatas persahabatan, tetapi semakin hari, Reza semakin menunjukkan perhatian lebih kepadanya. Ia selalu ada, mendengarkan keluh kesahnya, dan entah bagaimana, kehadiran Reza membuatnya merasa lebih nyaman. Namun, semakin dekat dengan Reza, Nadia mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Suatu siang, saat mereka duduk di kantin bersama Sarah dan Rina, Nadia menyadari bahwa Reza hanya membeli air mineral. "Za, lo nggak makan?" tanyanya sambil menatap cowok itu dengan alis berkerut. Reza tersenyum tipis. "Nggak laper." Sarah yang duduk di seberang langsung menimpali. "Hah? Lo tadi pagi juga nggak makan pas di kelas, kan?" Rina mengangguk setuju. "Iya, biasanya lo yang paling doyan makan. Ada apa sih?" Reza hanya terkekeh dan mengangkat bahu. "Lagi nggak nafsu aja, guys." Namun, Nadia merasa ada yang janggal. Ini bukan pertama kaliny
Pencarian Ardi Ardi berjalan cepat menyusuri koridor kampus, matanya menelusuri setiap sudut dengan gelisah. Setelah kejadian tadi dengan Agnes, ia tahu Nadia pasti terluka. Ia tidak bisa membiarkan Nadia merasa sendirian dalam situasi ini. Setelah bertanya kepada beberapa teman Nadia, akhirnya ia menemukannya sedang duduk di bangku kosong di sudut kampus. Namun, bukan hanya Nadia yang ada di sana. Di sampingnya, Reza duduk dengan ekspresi datar, tapi dari caranya bersandar ke belakang dengan tangan terlipat, Ardi tahu bahwa cowok itu sedang dalam mode ‘protektif’. Nadia menunduk, memainkan ujung lengan jaketnya. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menangis. Reza melirik Ardi sekilas, lalu menghela napas. "Lo nyari dia?" tanyanya tanpa basa-basi. Ardi mengangguk. "Iya." Reza memutar bola matanya sebelum berdiri. "Gue kasih kalian waktu buat ngobrol," katanya. Namun, sebelum pergi, ia menepuk bahu Ardi dengan cukup keras. "Tapi jangan bikin dia nangis lagi.