Pencarian Ardi
Ardi berjalan cepat menyusuri koridor kampus, matanya menelusuri setiap sudut dengan gelisah. Setelah kejadian tadi dengan Agnes, ia tahu Nadia pasti terluka. Ia tidak bisa membiarkan Nadia merasa sendirian dalam situasi ini. Setelah bertanya kepada beberapa teman Nadia, akhirnya ia menemukannya sedang duduk di bangku kosong di sudut kampus. Namun, bukan hanya Nadia yang ada di sana. Di sampingnya, Reza duduk dengan ekspresi datar, tapi dari caranya bersandar ke belakang dengan tangan terlipat, Ardi tahu bahwa cowok itu sedang dalam mode ‘protektif’. Nadia menunduk, memainkan ujung lengan jaketnya. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menangis. Reza melirik Ardi sekilas, lalu menghela napas. "Lo nyari dia?" tanyanya tanpa basa-basi. Ardi mengangguk. "Iya." Reza memutar bola matanya sebelum berdiri. "Gue kasih kalian waktu buat ngobrol," katanya. Namun, sebelum pergi, ia menepuk bahu Ardi dengan cukup keras. "Tapi jangan bikin dia nangis lagi." Setelah berkata demikian, Reza berjalan menjauh, meskipun tidak benar-benar pergi terlalu jauh. Ardi menatap Nadia, yang masih menunduk. Ia mengambil napas dalam, lalu duduk di sampingnya dengan hati-hati. "Nadia," panggilnya pelan. Nadia mendongak perlahan, menatap Ardi dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Aku nyari kamu dari tadi," lanjut Ardi, mencoba memecah keheningan. Nadia hanya diam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Melihat gadis itu tak merespons, Ardi mengambil napas dalam. "Aku mau jelasin semuanya. Tentang Agnes, tentang aku tentang semua ini." Nadia akhirnya bersuara, suaranya terdengar datar. "Kenapa, Kak? Mau bilang kalau dia nggak sengaja ngomong gitu? Atau mau bilang aku harus ngerti keadaan?" Ardi mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Bukan, Nad. Aku tahu dia keterlaluan, dan aku benar-benar minta maaf atas semua yang dia katakan ke kamu." Nadia tersenyum tipis, tapi matanya masih penuh luka. "Kenapa Kakak minta maaf? Aku cuma orang biasa. Aku juga nggak penting bener apa yang dibilang Agnes. Jadi buat apa Kakak repot-repot?" Ardi menatapnya dalam. "Kamu penting buat aku." Nadia terdiam. Kata-kata itu terdengar tulus, tapi hatinya masih terlalu sakit untuk mempercayainya begitu saja. "Aku nggak mau punya masalah sama orang lain, Kak," ujar Nadia akhirnya. "Apalagi dengan orang seperti Agnes. Aku tahu aku bukan siapa-siapa dibanding dia, dan aku nggak mau buang energi buat hal kayak gini." Ardi menggigit bibirnya. "Jadi, kamu mau menjauh dariku karena itu?" Nadia menunduk, mengangguk pelan. "Iya, Kak. Aku cuma mau hidup tenang. Aku nggak mau ada drama. Aku cuma mahasiswa biasa yang sibuk kuliah, kerja part-time, dan mengatur keuangan biar bisa nabung. Aku nggak punya waktu buat urusan kayak gini." Ardi terdiam. Ia tahu Nadia bukan tipe orang yang suka konflik. Tapi mendengar gadis itu ingin menjauh darinya begitu saja membuat dadanya terasa sesak. "Nadia... setidaknya kasih aku kesempatan buat buktiin kalau aku nggak kayak Agnes," ucap Ardi, suaranya penuh harap Nadia tersenyum kecil, tapi senyum itu penuh kesedihan. "Aku butuh waktu, Kak." Ardi mengangguk pelan, meskipun hatinya berat. "Oke. Aku bakal kasih kamu waktu. Tapi aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku tetap ada di sini." Nadia tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, pikirannya bercampur aduk. Reza, yang masih berdiri tidak jauh dari sana, mengamati interaksi mereka dengan mata menyipit. Begitu Ardi berdiri dan pergi, cowok itu kembali mendekati Nadia, lalu duduk di sampingnya tanpa bicara. Beberapa saat kemudian, Reza akhirnya bersuara. "Lo bakal percaya dia?" Nadia menghela napas. "Gue nggak tahu, Za. Gue capek." Reza mengangguk pelan. "Gue ngerti. Tapi kalau lo butuh tempat buat cerita, lo tahu harus ke siapa, kan?" Nadia menoleh dan tersenyum tipis. "Makasih, Reza." Reza tidak menjawab, hanya mengacak rambutnya sendiri sambil bergumam, "Yaelah, jadi mellow begini." Meskipun kata-kata Reza tadi terasa menenangkan, Nadia masih menyimpan satu pertanyaan besar dalam pikirannya kenapa Reza terlihat begitu peduli padanya? Reza memang selalu ada di sekitarnya, selalu bersikap santai, dan terkadang terkesan cuek. Namun, akhir-akhir ini, ia mulai menunjukkan perhatian lebih. Nadia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul setiap kali Reza bersikap begitu. Nadia menghela napas pelan. "Za, boleh gue tanya sesuatu?" Reza yang sedang memainkan botol minumnya menoleh. "Apaan?" Nadia menatapnya serius. "Kenapa lo sepeduli itu sama gue?" Reza terdiam sesaat, ekspresinya sulit dibaca. Ia lalu mengangkat bahu. "Emang salah kalau gue peduli?" "Bukan gitu," Nadia menggeleng. "Tapi… lo beda. Biasanya lo cuek, tapi belakangan ini lo kayak selalu ada buat gue. Ada sesuatu yang gue nggak tahu?" Reza menatapnya dalam, lalu tersenyum miring. "Lo emang nggak sadar, atau pura-pura nggak sadar?" Nadia mengerutkan kening. "Maksud lo?" Reza mendesah pelan, lalu bersandar ke bangku. "Dari awal gue kenal lo, gue tahu lo cewek yang mandiri. Lo bisa urus diri lo sendiri, bisa ngatur keuangan lo dengan baik. Bahkan kalau temen-temen lo kehabisan uang jajan, lo masih punya tabungan buat bertahan. Gue kagum sama itu." Nadia tidak menyangka Reza memperhatikan hal itu. "Terus?" tanyanya, masih belum mengerti. Reza mengusap tengkuknya sebelum melanjutkan. "Tapi gue juga tahu lo sering terlalu keras sama diri lo sendiri. Lo nggak pernah minta tolong ke orang lain, seolah-olah lo harus bisa ngelakuin semuanya sendiri. Lo bahkan nggak sadar kalau kadang lo butuh orang buat sandaran." Nadia menggigit bibirnya, merasa tersentuh dengan kata-kata itu. "Dan mungkin," Reza melanjutkan, "gue pengen jadi orang itu buat lo." Nadia membelalakkan mata, tidak menyangka Reza akan mengatakan sesuatu seperti itu. "Za, lo serius?" Reza tertawa kecil, meskipun matanya tetap serius. "Menurut lo?" Nadia menatapnya lama. Ada sesuatu dalam tatapan Reza yang membuat dadanya terasa sesak. Ia ingin percaya, tapi ada keraguan dalam dirinya. "Gue butuh waktu," katanya akhirnya. Reza mengangguk. "Gue tahu. Dan gue nggak akan maksa. Tapi satu hal yang lo harus tahu, Nad…" Nadia menatapnya dengan penuh tanya. Reza tersenyum kecil. "Gue nggak peduli kalau lo mau menjauh dari Ardi atau nggak. Tapi gue nggak akan biarin lo menjauh dari gue." Nadia menelan ludah. Ia tidak tahu harus merasa bagaimana. Satu hal yang pasti, Reza bukan hanya sekadar teman biasa lagi dalam hidupnya.Malam itu langit Jakarta mendung. Tapi di dalam apartemen Reza, semuanya hangat. Senyuman Nadia tidak pernah selembut itu. Dan Reza… Reza terlihat seperti pria yang siap menatap masa depan bersama. Mereka tertawa kecil di atas karpet, membicarakan target bisnis, liburan impian, dan mimpi-mimpi yang belum terwujud. Dan saat malam menua, obrolan menjadi bisu. Reza memegang tangan Nadia. Lalu membelai pipinya, dengan cara yang tak terburu-buru. Tatapan mereka saling bertemu dalam, lama, dan penuh isyarat. Lalu bibir mereka bersentuhan. Tidak seperti ciuman pertama. Ini bukan tentang ragu. Tapi tentang menyerah pada rasa percaya. Nadia tak mengatakan "aku siap". Tapi ia tidak mundur. Mereka melangkah ke ranjang. Bukan dengan gairah yang meledak-ledak, tapi dengan tenang dan penuh kesepakatan diam. Setiap sentuhan adalah janji tanpa kata. Setiap tarikan napas adalah harapan yang disulam perlahan. Malam itu, Nadia menyerahkan sesuatu yang tak bisa diambil ulang kepercayaan yang ut
Beberapa Minggu Kemudian Hidup Reza berubah lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia mulai terbuka pada teman-temannya, bahkan ikut jadi pengisi seminar kecil tentang kewirausahaan mahasiswa. Beberapa dosen mulai memperhatikannya, dan salah satu menawarkan program inkubasi bisnis dari fakultas. Nadia tak langsung kembali seperti dulu. Tapi ia hadir dalam percakapan singkat selepas kelas, dalam kehadiran diam saat Reza butuh semangat, dan dalam senyum kecil yang kini mulai muncul lagi saat mereka saling bertemu. Hubungan mereka tumbuh kembali, kali ini lebih pelan, tapi nyata. Suatu malam, setelah selesai membantu persiapan acara kampus, Reza dan Nadia duduk berdua di bangku taman dekat gedung F. Tak banyak kata, hanya obrolan ringan soal tugas dan rencana semester depan. "Lo tahu, Nad…" Reza berkata sambil menatap bintang, "Gue dulu pikir gue harus jadi orang lain biar lo suka." Nadia tersenyum tipis. "Dan sekarang?" "Kalau lo bisa terima versi Reza yang dulu, apalagi sekarang… gu
Sejak hari itu, Reza tak lagi melihat Nadia sesering dulu. Ia mencoba menghubungi, tapi pesan-pesannya hanya dibaca, tak pernah dibalas. Di kampus, Nadia bersikap biasa, tapi ada jarak yang jelas. Tak ada lagi obrolan panjang di kantin, atau sekadar duduk diam di taman bersama. Namun Reza tidak tinggal diam. Ia mulai memperbaiki sikapnya. Ia berhenti menerima traktiran siapa pun. Mulai membawa bekal dari rumah, dan terlihat lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus, terutama yang berkaitan dengan sosial dan kewirausahaan. Ia bahkan mulai mengajar adik tingkat tentang manajemen keuangan sederhana. Banyak yang memuji perubahan Reza, tapi ia hanya berharap satu hal: dilihat kembali oleh Nadia. Sampai akhirnya, suatu sore, Nadia menerima sebuah pesan singkat dari Reza. > Reza: "Besok sore, dateng ke aula belakang gedung F kalau kamu masih punya sedikit rasa percaya. Cuma lima belas menit. Kalau kamu nggak datang, gue ngerti." Nadia menatap pesan itu lama. Rasa kecewa masih ada
Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Pikirannya terus memutar kejadian demi kejadian. Kebaikan Reza, perhatian yang ia berikan, semua tampak begitu tulus. Tapi kenapa ada rasa ganjil yang makin lama makin sulit diabaikan? Keesokan harinya, di kampus, Nadia memilih untuk menyendiri di perpustakaan. Ia butuh waktu memikirkan semuanya. Namun, tak lama kemudian, Rina datang menghampiri, membawa dua cup kopi instan. "Aku tahu kamu pasti di sini," katanya sambil menyerahkan satu cup pada Nadia. Nadia tersenyum tipis. "Thanks, Rin." Rina duduk di sampingnya, lalu bertanya hati-hati, "Kamu lagi mikirin Reza, ya?" Nadia menoleh, kaget. "Kok kamu tahu?" "Karena kamu akhir-akhir ini kayak… terlalu mikirin dia. Dan kamu beda. Terlihat bingung." Nadia menghela napas. Ia akhirnya menceritakan semua—tentang pengakuan Reza, kebiasaan makan yang berubah, tapi juga soal hal-hal mencurigakan yang ia lihat belakangan ini. Rina mendengarkan tanpa menyela, lalu berkata pelan, "Nad, kamu tahu kan, aku
Sejak insiden dengan Ardi dan Agnes, Nadia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Reza. Awalnya, ia berpikir bahwa kedekatan mereka hanya sebatas persahabatan, tetapi semakin hari, Reza semakin menunjukkan perhatian lebih kepadanya. Ia selalu ada, mendengarkan keluh kesahnya, dan entah bagaimana, kehadiran Reza membuatnya merasa lebih nyaman. Namun, semakin dekat dengan Reza, Nadia mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Suatu siang, saat mereka duduk di kantin bersama Sarah dan Rina, Nadia menyadari bahwa Reza hanya membeli air mineral. "Za, lo nggak makan?" tanyanya sambil menatap cowok itu dengan alis berkerut. Reza tersenyum tipis. "Nggak laper." Sarah yang duduk di seberang langsung menimpali. "Hah? Lo tadi pagi juga nggak makan pas di kelas, kan?" Rina mengangguk setuju. "Iya, biasanya lo yang paling doyan makan. Ada apa sih?" Reza hanya terkekeh dan mengangkat bahu. "Lagi nggak nafsu aja, guys." Namun, Nadia merasa ada yang janggal. Ini bukan pertama kaliny
Pencarian Ardi Ardi berjalan cepat menyusuri koridor kampus, matanya menelusuri setiap sudut dengan gelisah. Setelah kejadian tadi dengan Agnes, ia tahu Nadia pasti terluka. Ia tidak bisa membiarkan Nadia merasa sendirian dalam situasi ini. Setelah bertanya kepada beberapa teman Nadia, akhirnya ia menemukannya sedang duduk di bangku kosong di sudut kampus. Namun, bukan hanya Nadia yang ada di sana. Di sampingnya, Reza duduk dengan ekspresi datar, tapi dari caranya bersandar ke belakang dengan tangan terlipat, Ardi tahu bahwa cowok itu sedang dalam mode ‘protektif’. Nadia menunduk, memainkan ujung lengan jaketnya. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menangis. Reza melirik Ardi sekilas, lalu menghela napas. "Lo nyari dia?" tanyanya tanpa basa-basi. Ardi mengangguk. "Iya." Reza memutar bola matanya sebelum berdiri. "Gue kasih kalian waktu buat ngobrol," katanya. Namun, sebelum pergi, ia menepuk bahu Ardi dengan cukup keras. "Tapi jangan bikin dia nangis lagi.