Home / Romansa / SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI / Bab 7 – Kebenaran Tidak Membutuhkan Saksi Untuk Menjadi Nyata

Share

Bab 7 – Kebenaran Tidak Membutuhkan Saksi Untuk Menjadi Nyata

Author: Pandandut
last update Last Updated: 2025-06-21 09:25:18

“Terkadang kebenaran tak perlu disorot atau dibela keras-keras. Ia hanya butuh waktu, keberanian, dan satu suara yang cukup kuat untuk tak lagi diam.”

Langit pagi itu kelabu. Kabut tipis masih menggantung ketika aku melangkah ke ruang konsultasi hukum universitas. Kakiku terasa berat, seolah setiap langkah menyusuri lorong kampus ini membawa jejak luka. Aku tak tahu bagaimana akhirnya aku berani datang ke sini, tapi aku tahu, aku tak bisa terus diam.

Di dalam ruangan, atmosfer terasa tegang tapi penuh harapan. Dimas berdiri di dekat jendela, menatapku seolah meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri. Di sisi meja besar, Mbak Ajeng tengah berdiskusi serius dengan seorang perempuan berpakaian formal Kak Maya, pengacara kampus.

Aku duduk perlahan. Tanganku dingin, sedikit gemetar. Dengan hati-hati, aku membuka map cokelat yang sudah lama kusimpan.

"Ini... foto-foto yang disebar tanpa persetujuan... ini chat ancaman... ini juga jejak transaksi atas namaku... dan... ini bukti dia manfaatin koneksi alm. Ayahku," ucapku pelan, nyaris seperti bisikan.

Kak Maya mengamati satu per satu dokumen dengan alis mengernyit. “Ini lebih dari cukup. Kita punya dasar hukum yang kuat. Baik untuk sidang etik maupun jalur pidana.”

Aku menunduk. Mual rasanya melihat semua ini menjadi kenyataan. Tapi Dimas menepuk bahuku dari samping.

"Kamu nggak sendiri, Nad. Mulai sekarang, semua langkahmu dilindungi. Sama kayak kamu yang akhirnya mulai melindungi hidupmu sendiri."

Setelah rapat itu, aku duduk sendirian di ruang tengah LBH kampus. Di hadapanku, ada setumpuk dokumen lain. Rasanya seperti menyentuh sejarah hidupku yang selama ini kubiarkan direbut orang lain. Ruangan itu sunyi. Hanya suara jam dinding dan detak jantungku sendiri yang kudengar.

Aku mengambil salah satu kertas, mataku terpaku pada email cetak dari akun bisnis Reza. Kalimat terakhirnya membuat napasku tercekat.

"Target: Nadia Azzahra. Supel, banyak relasi, mudah didekati. Potensial akses kampus dan logistik."

Tanganku bergetar. Tapi saat halaman dibalik, di sana ada tulisan tangan lain. Rapi, miring sedikit ke kanan.

"Untuk dia yang terlalu lembut untuk dunia yang kejam. Maaf aku terlambat, tapi aku di sini."

Aku membelalak. Aku tahu tulisan itu. Kak Ardi.

Beberapa jam kemudian, aku memberanikan diri mengetik pesan.

"Kak… kamu yang kirim email itu ke tim hukum?"

Balasan datang cepat. "Iya."

"Kenapa nggak bilang dari awal?"

"Karena aku tahu kamu nggak butuh pahlawan. Kamu butuh ruang. Dan waktu buat yakin sama dirimu sendiri."

Air mataku menetes. “Terima kasih, Kak. Karena kamu nggak nyerah sama aku, bahkan waktu aku sendiri nyaris nyerah.”

Hari itu hujan turun sejak pagi. Udara dingin membuat semua terasa lambat. Aku dan Rina duduk di dapur kos yang sempit, masing-masing memegang cangkir teh hangat. Asap teh naik perlahan, menenangkan.

“Eh, Nad... boleh aku cerita sesuatu nggak?” tanya Rina pelan.

Aku menoleh. “Boleh.”

“Waktu kamu sakit tinggi dan nggak bisa bangun dari kasur, yang kirim makanan dan vitamin ke aku buat kamu... itu Kak Ardi.”

Aku kaget. “Serius?”

“Iya. Dia W******p aku. Katanya, ‘Pastikan Nadia tetap makan. Jangan sampai dia merasa sendiri.’”

Aku menunduk. Hatiku kembali bergetar. Ternyata selama ini, ada yang menjaga dari jauh. Diam-diam, tanpa perlu diberi tahu.

Langit masih mendung saat aku menyusuri koridor kampus. Hujan sudah reda, tapi tanah masih basah dan angin masih membawa aroma daun basah. Aku duduk di tangga belakang gedung BEM, tempat yang dulu jadi pelarianku.

Suara langkah pelan menghampiri.

"Masih suka kabur ke tempat sepi, ya?"

Aku menoleh. Kak Ardi berdiri di sana, membawa roti hangat dan sebotol air mineral. Ia duduk di sampingku tanpa banyak kata. Kami hanya duduk bersebelahan, membiarkan sunyi berbicara.

“Aku tahu semua yang terjadi,” katanya akhirnya. “Termasuk malam itu.”

Aku menunduk. “Malam apa?”

“Malam kamu hampir… nyerah.”

Jantungku mencelos. Aku tak bisa menjawab.

“Waktu Rina panik karena kamu nggak buka pintu dan HP-mu mati. Dia telepon aku. Aku yang minta Satpam buka pintu. Aku yang pertama masuk ke kamarmu.”

Air mata menetes tanpa bisa kutahan.

“Nad, kamu tahu betapa hancurnya hati aku waktu ngelihat kamu rebahan lemas, kosong… kayak nggak pengen hidup lagi?”

Ia menggenggam tanganku. “Aku nggak akan maksa kamu bahagia. Tapi tolong... jangan pernah coba bunuh diri lagi.”

Aku tak mampu berkata-kata. Tangisku pecah. Ia memelukku pelan. Untuk pertama kalinya, pelukan itu tak terasa asing. Tak menghakimi. Hanya ada kehangatan.

“Selama aku hidup, aku nggak akan biarin kamu ngerasa sendirian kayak malam itu lagi.”

Hari berganti. Udara kampus terasa lebih hangat. Dimas mengajakku duduk di taman, di bawah pohon trembesi besar. Daun-daunnya berguguran pelan ditiup angin sore.

"Kamu tahu nggak, Nad, kenapa aku nggak pernah lepas dari kamu sejak hari itu?"

Aku menoleh, menatap matanya yang serius.

"Karena kamu ingetin aku sama kakakku. Dia juga pernah dilecehkan cowok yang dia pacari. Nggak ada yang percaya. Dia disalahkan. Dibilang lebay. Dan akhirnya... dia bunuh diri."

Aku memejamkan mata. Luka lama yang ternyata bukan hanya milikku.

"Dulu aku nggak bisa bantu dia. Tapi sekarang... aku janji, aku nggak akan tinggal diam. Kamu harus tetap hidup. Harus tetap ada. Ayo, aku akan nemenin kamu."

Hari sidang etik itu datang. Aula kampus dipenuhi orang. Suasananya berat dan penuh bisik-bisik. Tapi aku hanya fokus pada napasku sendiri. Dimas di sampingku, menggenggam tanganku. Sarah dan Rina duduk tepat di belakang.

Maya berdiri, menyampaikan bukti satu per satu. Suaranya tenang tapi tegas. Wajah-wajah yang semula acuh mulai menegang.

"Ini adalah bentuk eksploitasi dalam hubungan kampus. Manipulasi ekonomi, emosi, dan seksual. Bukti penyebaran konten tanpa izin, pelecehan, dan perusakan nama baik,” ujarnya.

Reza mencoba membantah, tapi suaranya tenggelam. Semua sudah terpampang jelas.

“Dengan ini, kami menyatakan Reza Akbar bersalah dan dijatuhi sanksi skorsing, denda, serta penghapusan status mahasiswa tetap.”

Suara palu sidang terdengar nyaring. Detiknya terasa seperti membelah dunia lama dan dunia baru.

Aku menunduk. Air mataku menetes. Tapi kali ini bukan karena kalah.

Aku menang.

Beberapa saat setelah sidang, kami berdiri di luar aula. Udara sore terasa lebih ringan. Dimas memelukku. Sarah dan Rina ikut menepuk bahuku dengan senyum lega.

Dari kejauhan, Kak Ardi berdiri bersandar di dinding. Ia tak berkata banyak, tapi saat mata kami bertemu, ia hanya menyuarakan satu kalimat dengan bibirnya.

"Kamu hidup. Itu aja udah cukup."

Aku mengangguk. Dalam diam itu, ada pengertian.

Malam harinya aku berdiri di depan cermin kamar. Wajahku masih sembab. Tapi ada cahaya baru di mataku. Aku menarik napas pelan dan berkata pada diriku sendiri:

"Nadia Azzahra. Kamu selamat. Kamu hidup. Dan kamu... cukup."

Untuk pertama kalinya sejak lama, aku mengatakannya sambil tersenyum. Dan senyum itu... milikku sepenuhnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 53 - Badai Balasan

    Pagi berikutnya datang tanpa ampun. Aku bangun sebelum matahari sepenuhnya muncul, dan mendapati perasaan resah masih menggantung di dada. Alika masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk seperti anak kecil yang kelelahan setelah perang panjang. Selimut tipis menutupi tubuhnya, dan wajahnya untuk pertama kalinya terlihat damai.Aku berjalan ke dapur, menyeduh kopi, lalu berdiri lama di depan jendela. Jakarta masih setengah terjaga. Tapi hatiku sudah bersiap untuk perang hari ini. Kami tahu mereka akan melawan balik.“Pagi,” suara berat Dimas memecah keheningan. Ia datang dari kamar, mengenakan kaus gelap dan celana training, matanya masih mengantuk tapi sorotnya tajam.“Pagi,” balasku pelan.Dia berdiri di sebelahku, lalu menyesap kopi dari cangkirku tanpa izin. “Hari ini kita harus mulai identifikasi siapa-siapa saja yang mungkin bisa kita ajak bersaksi.”Aku mengangguk. “Aku terus mikir soal mahasiswi yang dulu sempat hilang. Namanya Tania. Waktu itu dia mahasiswa FE, satu angkatan

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 52 - Keberanian

    Pagi itu, berita tentang Yusuf mulai muncul di media sosial. Bukan hanya karena video Alika, tapi juga karena beberapa akun aktivis perempuan ikut menyuarakan kasus yang selama ini dibungkam. Hashtag dengan namaku dan Alika muncul di mana-mana. Foto tangkapan layar pesan Yusuf ke Alika tersebar. Wajah tampan yang dulu dielu-elukan di kampus kini dibanjiri hujatan.Aku membuka layar ponselku sambil menyesap kopi yang bahkan tak terasa di lidah.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Dimas dari balik laptopnya. “Sebelum keluarganya mulai main kotor lagi.”“Ardi bilang pengacara mereka sudah mulai sibuk ngelobi,” tambahnya, menoleh padaku. “Kita harus siapkan konferensi pers. Bukan hanya bukti, tapi suara. Kita buat publik tahu siapa sebenarnya Yusuf dan keluarganya.”Aku mengangguk. “Kamu yakin Alika siap bicara di depan umum?”Dimas mengangguk. “Dia bilang, kalau kamu ada di sampingnya, dia siap. Kita nggak akan biarkan dia sendirian.”Aku tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo kita mulai."--

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 51 -Luka yang Tak Bisa Disembunyikan

    Langit siang itu terasa lebih muram dari biasanya, seakan menyerap semua perasaan yang tadi berkecamuk dalam ruangan sempit berjeruji besi itu. Aku melangkah keluar dari ruang kunjungan penjara dengan langkah berat. Udara terasa berbeda di luar lebih lapang, tapi juga lebih sunyi. Dimas menyusul di sampingku, diam-diam. Wajahnya tak banyak bicara, tapi aku tahu dia menahan sesuatu. Mungkin emosi. Mungkin amarah. Atau sekadar bingung harus memelukku atau membiarkanku diam. Kami berjalan sejajar, menyusuri koridor menuju pintu keluar. Tidak ada satu kata pun yang terlontar, tapi suara langkah kaki kami seakan bergema lebih keras dari biasanya. Aku akhirnya membuka suara. "Terima kasih sudah ikut masuk tadi..." suaraku lirih. Dimas mengangguk. "Aku nggak mau kamu sendirian." Aku berhenti di tangga luar gedung itu. Mataku masih terasa berat. Reza menangis. Reza meminta maaf. Reza menyebut-nyebut ibunya dan dosa-dosa masa lalunya. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenyataan. Tak ada a

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 50 - Mengubur Luka dengan Mata Terbuka

    Langit mendung menyelimuti Jakarta sore itu. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Di pelataran sunyi sebuah rumah tahanan negara, sebuah mobil hitam berhenti. Mesin dimatikan, namun detak jantung di dalamnya masih nyaring.Dimas duduk di kursi pengemudi. Di sebelahnya, Nadia diam menatap lurus ke depan. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.Tangannya digenggam erat oleh Dimas. Bukan sekadar genggaman, tapi janji yang tak diucapkan: Kau tidak sendirian.“Kamu yakin mau ketemu dia?” Dimas bertanya pelan, nadanya lembut tapi dalam, seolah kata-katanya disaring dari kekhawatiran.Nadia menoleh sedikit, namun tidak sepenuhnya menatap. Matanya tetap mengarah ke kejauhan. “Aku nggak datang buat dia,” ucapnya lirih. “Aku datang buat diriku sendiri.”Dimas mengangguk. Ia tahu, keputusan ini bukan sekadar keberanian ini adalah titik balik.Langkah kaki mereka menggema di lorong panjang lembaga pemasyarakatan. Bau logam, cat tembok tua, dan udara lembap m

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 49 - Luka Terbuka Lagi

    Pagi itu, tak satu pun dari kami benar-benar tidur. Telepon Dimas dan Ardi terus-menerus berdering sejak subuh. Grup W******p tim pendamping hukum tak berhenti menampilkan notifikasi. Beberapa pesan datang dari media, sisanya dari jaringan LSM yang ingin bergabung atau menawarkan dukungan. Namun yang paling mengejutkan: dua pengacara senior dari Jakarta secara sukarela menghubungi kami, mengatakan mereka siap ikut mendampingi kasus Alika pro bono. Dunia luar mulai bergerak. Tapi kami di sini… tetap terjebak di ruang yang sama ruang penuh kelelahan, trauma, dan pertanyaan yang belum terjawab. Alika duduk di depan jendela, masih dalam balutan jaket abu-abu longgar milik Dimas. Tangannya memeluk lutut, wajahnya menatap ke luar jendela apartemen seolah ingin melihat langit tapi tak sanggup menengadah. Matanya sembab, kelopak matanya bengkak, dan bibirnya pecah karena terlalu sering digigit untuk menahan tangis. Tapi tak satu pun dari kami menyuruhnya berhenti menangis. Karena kami tahu

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 48 – Ketika Kebenaran Memanggil

    Pagi berikutnya, udara Jakarta masih menyimpan sisa mendung. Tapi aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena teh hangat semalam, atau karena ciuman kecil di kening yang lebih menenangkan daripada semua obat tidur yang pernah aku coba. Aku baru saja menyelesaikan sarapan seadanya roti panggang dan telur setengah matang ketika bel apartemen berbunyi. Tiara yang membukakan pintu. Di baliknya, berdiri seorang perempuan muda berjaket denim dan ransel lusuh. Matanya cekung, wajahnya pucat. “Alika?” suaraku tercekat. Dia mengangguk pelan. “Aku… mau bantu. Tapi aku takut.” Aku langsung berlari ke arahnya, memeluk tubuh ringkih itu dengan hati-hati. “Tenang, kamu aman di sini. Kita nggak akan biarkan mereka menyentuh kamu lagi.” Tiara menutup pintu cepat, menguncinya dua kali. Dimas muncul dari kamar dengan ekspresi kaget. “Gimana dia bisa sampai sini?” Alika menunjuk ponselnya. “Ada sopir ojek online yang bawa aku. Kata kakak Rara, ini tempat paling aman buat aku sekaran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status