Share

Bab 6 – Satu Langkah Menuju Gelap

Penulis: Pandandut
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-21 09:22:32

Surat untuk Diriku Sendiri

"Yang membuat seseorang ingin mati bukan karena ingin mengakhiri hidup, tapi karena merasa tak punya tempat di dalamnya."

Semuanya dimulai dari satu notifikasi.

Jam menunjukkan pukul 22.47 ketika ponselku bergetar pelan di sisi bantal. Cahaya layarnya memantul di dinding kamar kos yang remang. Kupikir itu pesan biasa, mungkin dari grup kelas, atau Sarah yang iseng mengirim stiker seperti biasanya.

Tapi ternyata…

Sarah.

“Nad… kamu harus lihat ini. Jangan buka kalau kamu sendiri. Please.”

Jantungku langsung berdebar tak karuan. Ujung jariku terasa dingin.

Pesan kedua datang. Sebuah tautan.

Aku membuka tanpa berpikir panjang.

Dan dunia seperti menghantamku tepat di wajah. Keras. Kejam.

---

Foto-foto diriku terpampang di layar.

Belasan.

Ada tangkapan layar dari video call-ku di kamar, saat aku sedang bersandar santai dengan pakaian santai, wajah lelah tanpa riasan. Ada cuplikan pesan-pesan pribadi—yang seharusnya hanya milik dua orang yang saling percaya.

Lalu ada yang lebih parah.

Foto tubuhku dalam pakaian tidur tipis, diambil dari sudut kamar yang sangat aku kenal… kamarku sendiri. Bahkan ada foto aku dan Reza, tertidur bersama di ranjang.

“Nggak sepolos itu ternyata si korban ini.” “Katanya dilecehkan, padahal dia yang nafsu.” “Gue nggak nyangka anak baik-baik bisa sehot ini.”

Darahku serasa berhenti mengalir. Mataku panas. Telingaku mendengung. Aku tidak tahu apakah itu suara ponsel yang terus bergetar, atau detak jantungku yang meraung minta diselamatkan.

Rasanya… seperti ditelanjangi di depan ribuan pasang mata.

Jeritanku tak terdengar. Suaraku tercekat. Tubuhku menggigil hebat, seperti habis disiram air es dan dibakar api bersamaan. Aku menjerit… tapi suara itu hanya terpantul di dinding sunyi kamar.

Beberapa menit kemudian, pintu kamarku didobrak.

Sarah masuk lebih dulu. Di belakangnya, Rina.

“NAD! Astaga… Nad! Jangan buang ponselnya!”

Tapi sudah terlambat.

Ponselku terhempas ke lantai. Layar retak. Nyaris hancur.

“Aku… aku kotor…” suaraku terisak. “Semuanya lihat, Sarah… semuanya… aku bukan manusia lagi…”

Sarah memelukku dari belakang. Tangannya gemetar. Napasnya tak beraturan.

“Kamu korban, Nad. Kamu bukan foto-foto itu. Kamu bukan tubuhmu. Kamu bukan yang mereka katakan. Kamu manusia. Kamu… tetap kamu.”

Rina duduk di pojok kamar. Memeluk lutut. Menangis dalam diam. Dia menutup laptopku sambil bergetar. Kata-kata tak lagi berguna malam itu.

---

Malam itu, aku menulis sepucuk surat. Bukan untuk orang lain. Tapi untuk dunia yang terasa terlalu sempit untuk menampungku.

“Bu… aku gagal jaga nama baik kita. Gagal menjaga tubuhku. Gagal menjaga hidupku. Maaf… aku terlalu lemah.”

Lalu aku berdiri di depan cermin.

Menatap pantulan diri. Mata sembab. Wajah hancur. Dan aku tidak tahu siapa perempuan itu.

Siapa aku sekarang?

Tubuh ini… seperti milik orang lain. Kulit ini… bukan lagi tempat yang nyaman. Mataku tidak sanggup melihat hari esok.

Aku hanya ingin hilang.

---

Sekitar pukul dua dini hari, pintu diketuk keras.

“NADIA!”

Suara itu… berat. Penuh kegelisahan. Dimas.

Aku tak menjawab. Sarah membukakan pintu.

Dimas masuk. Nafasnya memburu. Matanya merah, seperti habis menangis.

Ia tidak bicara banyak. Hanya berjalan pelan. Lalu duduk di lantai, tepat di depanku. Tanpa menyentuh. Tanpa memaksa.

“Kakakku, Laras… dulu juga jadi korban. Kayak kamu. Tapi dia nggak punya siapa-siapa. Dia minum racun. Dia... nggak bangun lagi.”

Aku mulai menangis.

“Aku nggak bisa kehilangan kamu juga, Nad. Nggak setelah kamu berjuang sejauh ini.”

“Tapi aku malu, Mas… semua orang lihat… semua…”

“Yang harus malu itu mereka. Bukan kamu. Dan Reza? Dia pengecut.”

Ia mengeluarkan sebuah amplop. Di dalamnya ada puluhan screenshot akun palsu, hasil pelacakan IP address, waktu unggah, hingga data pemilik jaringan internet.

“Teman IT-ku bantu. Semua ini bisa jadi bukti hukum. Tapi kalau kamu menyerah sekarang… semuanya percuma.”

Aku menunduk.

“Aku takut…”

“Aku juga. Tapi kita bisa takut bareng. Yang penting, jangan jalan sendiri.”

---

Hari-hari setelahnya adalah neraka.

Setiap langkah di kampus terasa seperti berjalan di atas bara. Tatapan orang-orang menembus kulitku. Ada yang kasihan. Ada yang menilai. Ada yang tertawa di belakang tangan mereka.

“Itu Nadia, kan? Yang katanya korban…”

“Main korban aja biar dramatis…”

“Ya… kalau dia nggak kirim foto-foto itu, kan nggak akan nyebar…”

Rina tetap di sampingku, menatap tajam ke siapa pun yang berani mendekat. Sarah sibuk membersihkan komentarku di media sosial. Tapi tidak ada yang bisa menghapus rasa dikhianati.

Lalu ada pertemuan resmi. Dosen, birokrasi kampus, Mbak Ajeng, dan aku.

“Kami harus adil untuk semua pihak,” ucap salah satu dosen hukum. “Tanpa bukti kuat, kami tidak bisa menindak.”

Dimas meletakkan flashdisk di atas meja.

“Silakan dicek. Semua data ada di situ. Jejak digital Reza jelas. Dia unggah pakai Wi-Fi rumahnya. Jam aktif akun sesuai jam dia buka laptop.”

Mbak Ajeng menatap semua yang hadir.

“Kalau kalian diam, berarti kalian membiarkan kekerasan ini terjadi lagi. Kampus ini bukan tempat yang aman kalau korban harus membela diri sendirian.”

---

Tapi dunia tak pernah diam lama.

Reza muncul di I*******m.

“Saya difitnah. Semua bisa edit screenshot. Tapi Tuhan tahu siapa yang benar. Saya hanya ingin tenang. Dan saya doakan semoga Nadia pulih dari luka batinnya.”

Komentar pun berdatangan.

“Reza strong!” “Nadia playing victim, huh?” “Kalau nggak ada foto, nggak akan jadi masalah.”

Dunia selalu cepat berpihak pada yang tampil lebih dulu.

---

Sore itu, aku berdiri di balkon lantai empat kos. Langit jingga, tapi hatiku gelap. Angin menyentuh rambutku, dingin. Tanganku menggenggam pagar besi.

“Apa dunia akan lebih tenang kalau aku pergi?” “Apa rasa malu ini akan hilang kalau aku hilang?”

Langkah kaki di belakangku.

“NADIA!”

Dimas.

Ia berlari, matanya liar. Menarik tubuhku menjauh dari tepi pagar. Memelukku. Kencang. Tanpa kata basa-basi.

“Kalau kamu mati, semua perjuangan kamu sia-sia. Reza menang. Dan aku kehilangan kamu. Lagi.”

“Tapi aku gak kuat…”

“Kamu gak harus kuat! Kamu cuma harus tetap hidup.”

Tangisku pecah.

Untuk pertama kalinya… aku merasa dipeluk bukan karena tubuhku, tapi karena keberadaanku.

---

Malam itu, aku menulis surat lagi.

Tapi bukan untuk orang lain.

Untuk diriku sendiri.

“Nadia Azzahra: Kamu selamat hari ini. Itu sudah cukup.”

“Kamu bukan apa yang mereka lihat. Kamu adalah apa yang kamu pertahankan. Kamu hidup. Dan kamu akan terus hidup. Bukan untuk membuktikan apa pun. Tapi karena kamu layak.”

---

Besoknya, aku kembali ke fakultas. Bersama Mbak Ajeng, Dimas, dan beberapa mahasiswa yang bersuara. Kami menggelar forum diskusi terbuka soal kekerasan digital dan relasi yang manipulatif.

Aku tak menyangka… banyak yang datang.

Mahasiswi berdiri satu per satu. Mereka juga korban. Ada yang dilecehkan secara verbal. Ada yang disebarkan fotonya. Ada yang dicintai untuk dihancurkan.

Aku berdiri di depan mereka.

“Saya bukan korban sempurna. Saya pernah ingin mati. Tapi saya masih di sini. Saya memilih tetap di sini.”

“Karena saya percaya, kita semua berhak atas kehidupan yang tidak ditentukan oleh pelaku.”

“Jangan biarkan mereka mengubah cara kita memandang diri. Karena mereka tidak pantas punya kuasa sebesar itu.”

---

Malamnya, aku menatap cermin.

Luka itu masih ada. Tapi kini, bukan untuk disembunyikan.

Luka itu jadi saksi bahwa aku bertahan.

Luka itu jadi pintu, agar orang lain tahu: mereka tidak sendirian.

Aku bukan korban.

Aku penyintas.

Aku, Nadia Azzahra.

Dan aku masih di sini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 53 - Badai Balasan

    Pagi berikutnya datang tanpa ampun. Aku bangun sebelum matahari sepenuhnya muncul, dan mendapati perasaan resah masih menggantung di dada. Alika masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk seperti anak kecil yang kelelahan setelah perang panjang. Selimut tipis menutupi tubuhnya, dan wajahnya untuk pertama kalinya terlihat damai.Aku berjalan ke dapur, menyeduh kopi, lalu berdiri lama di depan jendela. Jakarta masih setengah terjaga. Tapi hatiku sudah bersiap untuk perang hari ini. Kami tahu mereka akan melawan balik.“Pagi,” suara berat Dimas memecah keheningan. Ia datang dari kamar, mengenakan kaus gelap dan celana training, matanya masih mengantuk tapi sorotnya tajam.“Pagi,” balasku pelan.Dia berdiri di sebelahku, lalu menyesap kopi dari cangkirku tanpa izin. “Hari ini kita harus mulai identifikasi siapa-siapa saja yang mungkin bisa kita ajak bersaksi.”Aku mengangguk. “Aku terus mikir soal mahasiswi yang dulu sempat hilang. Namanya Tania. Waktu itu dia mahasiswa FE, satu angkatan

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 52 - Keberanian

    Pagi itu, berita tentang Yusuf mulai muncul di media sosial. Bukan hanya karena video Alika, tapi juga karena beberapa akun aktivis perempuan ikut menyuarakan kasus yang selama ini dibungkam. Hashtag dengan namaku dan Alika muncul di mana-mana. Foto tangkapan layar pesan Yusuf ke Alika tersebar. Wajah tampan yang dulu dielu-elukan di kampus kini dibanjiri hujatan.Aku membuka layar ponselku sambil menyesap kopi yang bahkan tak terasa di lidah.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Dimas dari balik laptopnya. “Sebelum keluarganya mulai main kotor lagi.”“Ardi bilang pengacara mereka sudah mulai sibuk ngelobi,” tambahnya, menoleh padaku. “Kita harus siapkan konferensi pers. Bukan hanya bukti, tapi suara. Kita buat publik tahu siapa sebenarnya Yusuf dan keluarganya.”Aku mengangguk. “Kamu yakin Alika siap bicara di depan umum?”Dimas mengangguk. “Dia bilang, kalau kamu ada di sampingnya, dia siap. Kita nggak akan biarkan dia sendirian.”Aku tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo kita mulai."--

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 51 -Luka yang Tak Bisa Disembunyikan

    Langit siang itu terasa lebih muram dari biasanya, seakan menyerap semua perasaan yang tadi berkecamuk dalam ruangan sempit berjeruji besi itu. Aku melangkah keluar dari ruang kunjungan penjara dengan langkah berat. Udara terasa berbeda di luar lebih lapang, tapi juga lebih sunyi. Dimas menyusul di sampingku, diam-diam. Wajahnya tak banyak bicara, tapi aku tahu dia menahan sesuatu. Mungkin emosi. Mungkin amarah. Atau sekadar bingung harus memelukku atau membiarkanku diam. Kami berjalan sejajar, menyusuri koridor menuju pintu keluar. Tidak ada satu kata pun yang terlontar, tapi suara langkah kaki kami seakan bergema lebih keras dari biasanya. Aku akhirnya membuka suara. "Terima kasih sudah ikut masuk tadi..." suaraku lirih. Dimas mengangguk. "Aku nggak mau kamu sendirian." Aku berhenti di tangga luar gedung itu. Mataku masih terasa berat. Reza menangis. Reza meminta maaf. Reza menyebut-nyebut ibunya dan dosa-dosa masa lalunya. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenyataan. Tak ada a

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 50 - Mengubur Luka dengan Mata Terbuka

    Langit mendung menyelimuti Jakarta sore itu. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Di pelataran sunyi sebuah rumah tahanan negara, sebuah mobil hitam berhenti. Mesin dimatikan, namun detak jantung di dalamnya masih nyaring.Dimas duduk di kursi pengemudi. Di sebelahnya, Nadia diam menatap lurus ke depan. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.Tangannya digenggam erat oleh Dimas. Bukan sekadar genggaman, tapi janji yang tak diucapkan: Kau tidak sendirian.“Kamu yakin mau ketemu dia?” Dimas bertanya pelan, nadanya lembut tapi dalam, seolah kata-katanya disaring dari kekhawatiran.Nadia menoleh sedikit, namun tidak sepenuhnya menatap. Matanya tetap mengarah ke kejauhan. “Aku nggak datang buat dia,” ucapnya lirih. “Aku datang buat diriku sendiri.”Dimas mengangguk. Ia tahu, keputusan ini bukan sekadar keberanian ini adalah titik balik.Langkah kaki mereka menggema di lorong panjang lembaga pemasyarakatan. Bau logam, cat tembok tua, dan udara lembap m

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 49 - Luka Terbuka Lagi

    Pagi itu, tak satu pun dari kami benar-benar tidur. Telepon Dimas dan Ardi terus-menerus berdering sejak subuh. Grup W******p tim pendamping hukum tak berhenti menampilkan notifikasi. Beberapa pesan datang dari media, sisanya dari jaringan LSM yang ingin bergabung atau menawarkan dukungan. Namun yang paling mengejutkan: dua pengacara senior dari Jakarta secara sukarela menghubungi kami, mengatakan mereka siap ikut mendampingi kasus Alika pro bono. Dunia luar mulai bergerak. Tapi kami di sini… tetap terjebak di ruang yang sama ruang penuh kelelahan, trauma, dan pertanyaan yang belum terjawab. Alika duduk di depan jendela, masih dalam balutan jaket abu-abu longgar milik Dimas. Tangannya memeluk lutut, wajahnya menatap ke luar jendela apartemen seolah ingin melihat langit tapi tak sanggup menengadah. Matanya sembab, kelopak matanya bengkak, dan bibirnya pecah karena terlalu sering digigit untuk menahan tangis. Tapi tak satu pun dari kami menyuruhnya berhenti menangis. Karena kami tahu

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 48 – Ketika Kebenaran Memanggil

    Pagi berikutnya, udara Jakarta masih menyimpan sisa mendung. Tapi aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena teh hangat semalam, atau karena ciuman kecil di kening yang lebih menenangkan daripada semua obat tidur yang pernah aku coba. Aku baru saja menyelesaikan sarapan seadanya roti panggang dan telur setengah matang ketika bel apartemen berbunyi. Tiara yang membukakan pintu. Di baliknya, berdiri seorang perempuan muda berjaket denim dan ransel lusuh. Matanya cekung, wajahnya pucat. “Alika?” suaraku tercekat. Dia mengangguk pelan. “Aku… mau bantu. Tapi aku takut.” Aku langsung berlari ke arahnya, memeluk tubuh ringkih itu dengan hati-hati. “Tenang, kamu aman di sini. Kita nggak akan biarkan mereka menyentuh kamu lagi.” Tiara menutup pintu cepat, menguncinya dua kali. Dimas muncul dari kamar dengan ekspresi kaget. “Gimana dia bisa sampai sini?” Alika menunjuk ponselnya. “Ada sopir ojek online yang bawa aku. Kata kakak Rara, ini tempat paling aman buat aku sekaran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status