"Ayah tidak mau tahu, setelah lulus ini, kamu harus bisa mengambil hati Dion," tegas ayah.
"Aku tidak mau," jawabku. "Kamu ...." Ayah terlihat semakin marah, membuat ibu langsung menenangkannya. "Ayah tahan, tahan ayah," pinta ibu dengan lembut. Ibu melihat kearahku. "Sayang, kamu ke kamar dulu, istirahat. Ibu tahu kamu capek, dan mengenai ayah, biar ibu yang ngomong," ucap ibuku, yang hanya kutanggapi dengan anggukan. Aku terdiam di dalam kamar, ketika menatap layar ponsel. Disana terlihat pemberitahuan acara pesta perpisahan, yang diadakan oleh Ronald, salah satu anak konglomerat, yang juga bagian dari teman sekelas kami. "Apakah aku harus datang?" Aku membatin. Dan tidak lama kemudian, pintu kamarku diketuk. Setelah diketuk, pintu terbuka. Sosok ibu berdiri di depan pintu, sembari memegangi gagangnya. "Boleh ibu masuk?" tanyanya dengan lembut, sambil tersenyum kecil. Aku mengangguk, dan ibu pun masuk, satu tangan ibu, terlihat memegang sesuatu. "Ini ada undangan resmi, acara perpisahan sekolah," jelas ibu, sambil duduk disisi ranjangku, dan menyodorkan undangan yang dikemas begitu cantik. "Mengenai sikap ayah hari ini, jangan dimasukin ke hati ya, Nak. Perusahaan sedang dalam masalah, ayah perlu suntikkan dana, Nak. Makanya ayah cukup pusing, karena tidak mendapatkan suntikan dana sama sekali," ujar ibu, membuatku hanya terdiam dan menyimak. "Akan lebih baik, kamu perjelas hubungan kamu sama Dion, Nak. Dari Dion, kita kemungkinan bisa mendapatkan bantuan, kasihan ayah," lanjut ibu panjang lebar. "Aku nggak mau, Bu. Aku nggak suka Dion, dan nggak akan suka," tegasku. "Olivia, bukannya kamu sangat suka, Dion? Kamu sering cerita begitu sama ibu, apa kalian ada masalah?" "Aku sudah putuskan, untuk berhenti suka Dion, Bu." "Kenapa? Kalau kamu marah, jangan langsung memutuskan sesuatu, yang akhirnya akan kamu sesali, Nak. Dion dan kamu itu pasangan yang cocok ibu lihat." "Aku nggak suka dia, Bu. Sekarang sudah nggak mau suka, ini keputusan aku, Bu." "Apa kamu nggak sayang dan rugi? Setelah mengejar Dion bertahun- tahun," tanya ibu. Aku menggeleng. "Aku akan menyesal, jika aku tetap memilih dia," kataku, membuat ekspresi wajah ibu terlihat sulit diartikan. Hanya seperkian detik, ekspresinya kembali berubah lembut dan kalem. "Baiklah anak cantik, tidak apa. Hanya saja kasihan ayah, jika bukan kamu yang bantu siapa lagi." Ibu menunduk, menunjukkan kesedihan. Aku tidak tahu persis tujuan ibu dan ayah, yang begitu ingin aku dan Dion bersama. Yang aku tahu, ini hanya masalah bisnis. Andai mereka melihat, apa yang aku lihat. Apakah mereka tetap mau aku dan Dion bersama? Entahlah. Tapi jika aku bercerita, mereka pasti menganggap aku gila. "Bu, maafkan aku. Aku benar- benar tidak bisa," sesalku. Ibu menepuk pelan punggungku, kemudian pergi meninggalkan kamarku dengan wajah penuh kekecewaan. Disaat aku termenung dalam kegelisahan. Ponselku berdering, pesan di dalam group sekolah mulai ramai berdenting terus menerus. Disaat aku membukanya, aku mengernyit membaca obrolan di dalamnya. Mereka menjadikan aku, sebagai topik obrolan mereka, sialan. "Aku yakin, malam ini Oliv pasti datang." "Tidak mungkin, dia tidak punya muka, karena berhasil menipu Dion, dan merebut posisinya." "Dia tidak tahu malu." Dan bermacam lontaran bernada hinaan, serta ejekkan teman- teman kepadaku. "Jika dia tidak merasa salah, dia pasti akan datang tanpa beban." Ketikan itu cukup memprovokasiku. Ketikan itu berasal dari Dion, lelaki yang pernah aku gilai, dan ingin sekali aku benci. Meskipun belum bisa, tapi aku tetap mencobanya. "Dion memang baik hati, dia tidak marah, meskipun sudah dimanfaatkan Oliv." "Teman- teman jangan seperti itu, Olivia tidak bersalah. Lagi pula, sebaik- baiknya manusia, bukannya yang bermanfaat bagi sesama? Yang memiliki cinta Dion, adalah wanita yang beruntung," timpal Karina, membuatku hanya bisa mendengkus, ketika membaca ketikan mereka semua. "Mana suara Olivia? Apa dia sedang menangis dipojokkan, dan tidak berani datang malam ini, karena merasa malu dan bersalah?" Siska ikut mencibirku. "Aku sedang menyimak," ketikku pada akhirnya, "aku pasti akan datang. Untuk apa aku malu, pada sesuatu yang bahkan hanya tuduhan kalian, bukan kenyataan. Jangan menolak fakta, bahwa aku memang pintar," tegasku. "Buktikan saja, kuharap nyalimu tidak sebatas ketikan," ujar Siska membalas ketikanku.Bab87"Turun!" teriaknya lagi. Aku hanya terdiam, menatap dalam ke wajah wanita paru baya yang bergelar ibu mertua itu.Wanita yang sudah lupa asal- usulnya. Wanita yang seakan sedang berdiri tinggi di atas awan, padahal bukan siapa- siapa."Kamu tuli?" Dia kembali bersuara, dan dengan langkah yang semakin cepat, menuju ke arah kami semua berdiri."Berisik! Satpam, tahan wanita itu," tunjuk kak Dewa, ke arah ibu mertua.Seketika, wajah tua wanita itu terkejut."Kenapa saya ditahan? Memangnya kamu siapa. Ini hari penting untuk anak saya," ujar ibu mertua."Heh Mike, ngapain kamu duduk disitu?" tanya wanita itu, yang baru melihat ke arah Mike terduduk.Mike tidak menyahut."Davina? Ini ada apa, kenapa kalian berdua duduk di lantai?"Ibu mertua terlihat semakin bingung. Namun dia tidak bisa melangkah maju lagi, karena kini di hadapannya ada dua petugas keamanan menghadang."Anakku lelaki terhormat, dan menantuky wanita hebat. Apa yang telah kalian semua lakukan pada mereka? Apakah ini ul
Bab86"Hei, Mike. Kenapa kamu jadi nyalahin aku begini? Kamu dan ibumu yang mau menghadirkan aku, dengan iming- iming karir yang melejit, apa kamu lupa? Kamu jangan coba- coba seakan akan aku yang salah. Padahal kamu dan ibumu, yang menipu Rosalinda.""Diam! Busuk, kamu jangan fitnah aku." Mike berteriak panik."Aku punya semua buktinya, Mike. Semua pesan singkat yang kamu kirim, nggak pernah aku hapus. Untuk apa aku fitnah kamu, akui saja, Mike. Jadilah lelaki kali ini," ujar Davina."Rosa, Rosalinda. Tolong sayang, percaya aku, oke. Dia yang merayuku lebih dulu, aku hanya cinta kamu, aku khilaf sayang." Kini Mike menatapku, dengan tatapan memohon. Dia masih terduduk di lantai panggung, tanpa berani mendekat lagi. "Khilaf?" Aku terkekeh, mengulang kalimat khilafnya."Iya sayang. Iya, aku khilaf. Kamu percaya kan, kalau aku hanya cinta kamu. Bukan dia!" tunjuk Mike ke arah Davina."Wanita murahan seperti dia, mana cocok sama aku," lanjut Mike, sembari merendahkan Davina.Tiba- tiba D
Bab85"Siapa yang kamu katakan miskin?" Suara berat kak Dewa menggema. Aura nya menunjukkan ketegasan."Pak, jangan salah paham. Saya mengatakan wanita yang bersama anda itu, dia miskin dan tidak mempunyai keluarga.""Oh ya. Kamu beneran nggak punya keluarga?" Kak Dewa bertanya padaku. Tatapannya begitu penasaran dan cukup serius.Aku tersenyum."Ngapain ditanya, dia emang anak yatim piatu dari panti asuhan, orang tuanya tidak jelas. Entah anak hasil dari hubungan gelap, kita tidak pernah tahu." Davina bersuara lagi.Ucapan kasar dan pedasnya, membuat aku cukup terkejut, begitu juga dengan kak Dewa.Lelaki itu mengepalkan tinjunya, dan ingin sekali mengamuk."Ulangi sekali lagi," ujar kak Dewa, menatap marah pada Davina.Davina benar- benar menunjukkan wajah aslinya malam ini. Ucapan kasar dan pedasnya itu, mendapat dukungan dari Mike. Lelaki itu bahkan tidak menegur Davina sama sekali, dia membiarkan aku dihina wanita itu di depan umum malam ini.Kurasa, dia juga mungkin sudah menyera
Bab84"Jadi, cuma kamu yang pantas?""Rosa! Aku dan Davina datang ke acara penting perusahaan, juga karirku. Kenapa sih kamu egois begini.""Ros. Siapa dia?" tanya kak Dewa. Dia memang tidak tahu, kalau lelaki di depan kami ini adalah Mike."Saya suaminya." Mike menyahut."Suami Rosa?" Kak Dewa memperlihatkan ekspresi terkejut. Namun detik berikutnya, terlihat wajah marahnya, yang membuatku seketika memegang tangan kak Dewa, memberinya isyarat untuk tenang."Kenapa? Anda tidak malu, membawa wanita bersuami ke acara ini?""Kalau Rosa istri anda, terus wanita ini siapa?" tanya kak Dewa dengan tenang."Ini bukan urusan anda, sebaiknya jangan ikut campur." "Oh ya. Oke." Kak Dewa memilih diam."Rosa, pulang. Jangan buat aku malu," pinta Mike."Kak, aku lapar," rengekku pada kak Dewa, dan mengabaikan titah dari Mike."Ayo." Kak Dewa tersenyum sembari memegang tanganku dengan sengaja."Rosa! Kamu benar'benar keterlaluan. Aku nggak akan maafin kamu," ujar Mike memberi peringatan.Aku dan kak
Bab83"Jika memang itu yang terbaik, mari berpisah, Mike. Kurasa, aku tidak kamu butuhkan lagi.""Mike, jangan emosi. Kasihan Rosalinda, jika kamu ceraikan dia, dia akan jadi pengemis nantinya," kata Davina, yang kini memegangi tangan Mike di hadapanku dengan berani."Aku tidak perduli, Vin. Dia sudah keterlaluan menghina kamu, aku nggak suka." Dua sejoli ini, berdrama di depanku, memuakkan."Aku nggak apa- apa, Mike. Wajar dia hina aku, karena aku tidak memiliki kejelasan status sama kamu.""Ceraikan aku dulu, baru kamu tuntut status," timpalku."Rosalinda. Kalau kamu terus melawan Mike, aku nggak bisa bantu lagi.""Memangnya kamu bantu apa? Bantu merusak, bukannya sudah tercapai?""Ros. Jaga ucapan kamu," bentak Mike lagi."Rosa. Aku tidak pernah ada niat merusak, aku hanya kasihan sama ibu, yang begitu ingin punya menantu karir sepertiku. Dan juga pengen punya cucu, karena aku tidak mandul gitu, Ros.""Kalau kamu peduli ibu, pinta saja sama Mike, untuk segera ceraikan aku, beres!"
Bab82"Kenapa diam?" tanyaku lagi, merasa mulai kehilangan rasa sabar."Tidak perlu teriak- teriak, Ros. Aku dan Davina memang dekat, apa salahnya?" "Ya, kalau cuma teman, kenapa harus dia yang kamu bawa?""Kenapa hal begini harus debat, Ros? Davina itu cantik, dia juga teman satu perusahaan sama aku. Aku nggak akan malu bawa dia, malah saling bangga."Aku mengernyit."Jadi, aku nggak cantik, nggak menarik dan tidak membanggakan?""Sudahlah, capek. Ngomong sama wanita pengangguran, tahunya cuma nuntut saja, capek."Aku tersentak, mendengar ucapan pedasnya. Tidak kusangga, ternyata dia mulai tega mengucapkan kata- kata yang menyakitkan. Andai saja dia tahu siapa aku, entah apa dia masih berani berkata remeh semacam ini."Wanita pengangguran? Banyak menuntut? Rupanya kamu benar- benar tidak layak di pertahankan.""Maksud kamu apa, Rosalinda? Bukannya bersukur, karena hidup denganku, kamu jadi enak. Punya segalanya, jauh dengan masa lalumu, anak yatim."Gila, benar- benar ucapannya sema