Irene tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Ia duduk di hadapan Khailas, seperti masa-masa lalu yang pernah mereka habiskan dalam diam dan percakapan yang tak pernah sembarangan. Tapi kali ini berbeda. Sangat berbeda. Tidak ada keteduhan dalam tatapan Khailas. Tidak ada sisa-sisa kasih yang pernah tumbuh, atau rasa bersalah atas kisah mereka yang karam tanpa pamit.Yang ada hanyalah dingin yang membekukan.Pertemuan ini diminta oleh Khailas sendiri, melalui asistennya yang datang dengan sopan tapi tegas, menyerahkan jadwal dan lokasi. Irene pikir, walaupun hanya sekilas, bahwa mungkin, hanya mungkin, pria itu ingin memperbaiki sesuatu. Atau sekadar menjalin kembali percakapan yang dewasa tentang masa lalu yang pernah mereka bagi sebelum dan sesudah perpisahan.Namun yang terjadi justru lebih menyakitkan dari sekadar penolakan.“Jauhi Allura.”Dua kata. Dua kata yang menghantam lebih keras daripada kalimat panjang penuh penjelasan.Khailas mengucapkannya dengan tenang, tap
Belum sempat Danu mencerna kalimat terakhir yang diucapkan Lura, tentang kebebasan dan ketenangan yang kini dimilikinya, tubuhnya ditarik kasar dari arah belakang. Ia kehilangan keseimbangan, langkahnya terseret, lalu tubuhnya terdorong menabrak dinding. Kerah bajunya dicekal kuat oleh tangan kekar yang dingin dan tanpa ampun.Sebelum ia sempat menoleh, satu pukulan keras menghantam sisi wajahnya.Bughh!Kepalanya terputar, rasa perih menyebar cepat. Ia berdiri dalam keadaan limbung, kaget, tak siap, belum sempat menyiapkan sikap defensifnya. Dan sebelum bisa bertanya siapa yang menyerangnya, suara tenang namun tajam dan dingin terdengar di telinganya:“Kenali aku. Bukankah selama ini kau sangat ingin tahu siapa pria di belakang Allura?”Seketika darah Danu membeku. Suara itu…Tidak asing. Bahkan sangat familiar.Tapi otaknya menolak untuk mempercayai kenyataan. Itu mustahil. Tidak mungkin…Namun realita segera membantah penyangkalannya, karena satu pukulan lagi menghantam perutnya de
Di salah satu sudut gelap sebuah klub malam yang bising dan dipenuhi lampu berkedip, Danu duduk lunglai di sofa kulit hitam. Botol-botol minuman keras berserakan di atas meja bundar di depannya, sebagian sudah kosong, sebagian masih setengah penuh tapi tak lagi menyegarkan. Asap rokok, parfum, dan bau alkohol bercampur menjadi kabut tipis yang membekap udara. Musik dentum memekakkan telinga, tapi suara-suara itu hanya jadi gema hampa di kepala Danu.Ia meneguk habis satu gelas bourbon, pahitnya bahkan tak terasa di lidahnya yang mati rasa. Luka tembak di kakinya kembali berdenyut, mengingatkan bahwa ia pernah menjadi sasaran. Tapi rasa nyeri itu tak cukup mengalahkan perih yang menggerogoti dadanya sejak pertemuannya dengan Lura siang tadi.Wajah Lura kembali muncul di kepalanya. Tatapan wanita itu. Tenang. Dingin. Tanpa bekas kekaguman. Tanpa jejak cinta.Itu yang membuatnya nyaris menggila.Danu mencengkram rambutnya sendiri, geram. Ia membayangkan ulang momen singkat itu. Lura tida
Langkah Lura terhenti seketika. Nafasnya tercekat. Suara yang memanggil namanya itu terlalu dikenal, terlalu akrab, dan terlalu menyakitkan untuk dilupakan. Ia tidak langsung menoleh. Tubuhnya membeku, seperti tidak percaya bahwa suara itu bisa muncul di tempat umum seperti ini, di tengah keramaian pusat perbelanjaan yang modern dan terang.Perlahan, Lura berbalik. Dan disanalah dia.Danu.Penampilannya berantakan. Rambut yang biasanya tertata rapi kini acak-acakan, jas mahalnya lusuh, kemeja dalamnya terbuka dua kancing, dan wajahnya… Tuhan, wajah itu menyimpan amarah, kelelahan, dan kehancuran yang nyaris tak bisa disembunyikan. Tak ada lagi pria flamboyan penuh percaya diri yang pernah ia kenal dulu.Hanya pria yang kalah oleh hidup, atau mungkin oleh dirinya sendiri.Lura mengerjap. Wajahnya dingin. Tanpa rasa bersalah. Tatapannya tajam. Waspada. Ia melirik kanan dan kiri, menghitung kemungkinan. Tempat ini cukup ramai, tapi tak cukup aman jika Danu nekat menyerangnya. Meski kemun
Khailas menggenggam tangan Lura lebih erat saat mereka melangkah perlahan menuju rumah, membiarkan langkah Lura memimpin tempo. Jalan yang biasanya hanya sekadar akses kini menjadi saksi tenang akan keintiman dua insan yang sedang berusaha memahami satu sama lain, menyembuhkan, dan menyusun ulang harapan dalam diam.Malam semakin dingin, tapi jas yang menyelimuti tubuh Lura menghalau angin dengan hangat khas pria yang kini menggenggamnya. Namun bukan jas itu yang membuat Lura merasa aman. Bukan genggaman itu semata yang membuat jantungnya perlahan tenang.Pria di sampingnya. Sosok itu. Suaranya yang tenang, kehadirannya yang konsisten, dan kesediaannya membuka diri meski sedikit demi sedikit, semua itu adalah kehangatan paling nyata.Khailas menatap ke depan sejenak, lalu akhirnya membuka suara.“Aku tidak suka membahas masa lalu. Bukan karena ingin menyembunyikannya. Tapi karena aku benar-benar tidak lagi hidup di dalamnya,” ucapnya dengan nada datar, tapi penuh makna. “Aku memilihm
Lura menghela napas berat. Pundaknya sedikit turun, dan wajahnya tampak menegang. Ia duduk dengan lutut rapat di atas sofa panjang ruang kerja kakek, sementara cahaya matahari sore menyusup lembut lewat kisi-kisi jendela. Tangannya menggenggam secangkir teh yang sudah lama tak disentuh. Ia menunduk, seolah tengah merangkai kata yang tepat agar tidak terdengar lancang.“Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, Kek,” ucap Lura akhirnya, suaranya pelan dan penuh kehati-hatian. “Aku tahu ini mungkin bukan hal yang pantas untuk dibicarakan… terutama dengannya… atau bahkan kepada Kakek. Tapi aku… aku merasa tak tenang jika tidak mencari tahu.”Tuan besar, lelaki tua yang masih tegap dengan rambut perak dan sorot mata tajam namun penuh kasih, memutar sedikit tubuhnya agar menghadap cucu mantunya itu. Ia tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Lura lekat-lekat, mencoba menyelami kegelisahan yang bersembunyi di balik mata bening itu. Sejenak, ia menarik napas panjang, lalu berkata lembut,“Ap