Khailas masih berdiri di hadapan Lura, menatapnya dengan sabar seolah menunggu kelanjutan kalimat yang sempat tertahan. Ia tidak terburu-buru, tidak memaksa, tapi juga tidak beranjak. Tatapan mata pria itu membuat Lura gugup, seperti tak bisa berpaling.Lura mengalihkan pandangan, menatap salah satu pot bunga lavender yang berjajar rapi di sepanjang pinggiran rumah kaca. Bibirnya sempat terbuka, tapi ia urungkan. Ini bukan waktu yang tepat, pikirnya.Tapi karena Khailas tidak beranjak dan tetap menunggu, akhirnya Lura menarik napas pelan lalu berkata, “Aku sebenarnya ingin bertanya… minggu ini, kau sibuk?”Khailas menaikkan sebelah alisnya, ekspresinya tetap tenang.“Kalau tidak sibuk,” lanjut Lura hati-hati, “aku ingin mengajakmu ke Pulau Cermai. Di sana akan ada festival bunga dan buah, hanya seminggu, dan aku sudah lama ingin melihatnya. Tapi kalau kau sibuk, tidak usah. Tidak perlu dipaksakan…”Nada suara Lura melemah di akhir kalimat. Ia tidak ingin terdengar memohon, tapi sorot
Rumah kaca itu, yang sebelumnya hangat dan bersahabat, perlahan berubah menjadi ruang yang dipenuhi suhu baru—panas, lembap, dan menggema dengan napas dua tubuh yang menyatu. Aroma tanah basah dari pot-pot porselen dan harum bunga yang merekah malam itu seolah berubah menjadi saksi bisu dari sebuah momen pelepasan yang mendalam.Lura bersandar di dada Khailash, tubuhnya masih bergetar dalam pelukan yang tidak memberi ruang bagi jarak. Ia tidak lagi berpikir. Tidak lagi mencoba melawan apa pun. Hanya merasakan. Membiarkan dirinya hanyut oleh ritme yang tercipta dari gerakan mereka berdua.Khailash menggenggam pinggul Lura erat, mengangkat sedikit tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai kaca dingin yang berkilau. Ia memberinya bukan sekadar tubuh, tapi ledakan rasa yang menahun. Setiap desah Lura membuat napas Khailash semakin berat, tapi ia tetap menjaga kendali. Membiarkan istrinya tiba di puncak rasa yang hanya bisa dicapai dengan kepercayaan sepenuh jiwa.Lura menjerit tertahan, kepala
Pipi Lura merona. Ia tahu dirinya tampak terpesona, dan yang lebih membuatnya malu, Khailash sadar betul akan itu. Tatapan pria itu menusuk masuk ke dalam dirinya, seolah membaca tiap helai ketertarikan yang belum sempat disembunyikan. Senyum canggung Lura muncul tanpa bisa ia tahan, membuat Khailash tersenyum kecil… bukan mengejek, tapi seperti seorang raja yang tahu ia telah menaklukkan wilayah baru tanpa perlu berperang.Tanpa berkata apa-apa, Khailash mengangkat tangannya, lalu dengan dua jari, menjepit dagu Lura secara lembut namun tak terbantah. Ia mengangkat dagu itu sedikit, membuat wajah mereka saling berhadapan. Lura menahan napasnya.Dan ciuman itu terjadi.Tak bisa dihindari. Tak bisa ditolak. Bibir Khailash menempel di bibir Lura, pelan namun penuh penguasaan. Awalnya seperti sentuhan ringan yang meminta izin, lalu berubah menjadi dalam, dalam sekali. Intensitasnya mengalir cepat—seperti arus deras yang tak bisa dihentikan. Lura mengangkat tangannya, meremas dada Khailash
Lura menoleh pelan, menatap wanita anggun di sampingnya yang bicara dengan suara halus namun percaya diri. Wanita itu kembali berbicara dengan sopan, “Kalau kau tidak keberatan, bolehkan aku lihat model pin yang kau pegang?”Lura mengalihkan pandangannya pada pin elegan yang tengah ia pertimbangkan. Sebuah pin dasi berbentuk ramping dengan ukiran garis minimalis dan sedikit aksen obsidian gelap di tengah—kesan klasik tapi berwibawa, seperti pria yang ingin ia hadiahkan.Ia menatap pin itu sejenak, lalu mengangguk dan menyerahkannya pada si wanita.Pramuniaga yang sedari tadi berdiri di dekat mereka segera menambahkan penjelasan, “Itu salah satu keluaran terbaru, Nona. Limited edition. Untuk store kami, hanya ada satu.”Mata si wanita berbinar mendengar penjelasan itu. Senyum di wajahnya melengkung sempurna, lalu ia menatap Lura lagi dengan ekspresi ragu, seperti tengah menimbang etika sosial dan rasa ingin memiliki yang tak bisa ia sembunyikan. “Sayang sekali, ya… tinggal satu untuk s
“Selamat siang, ada paket makan siang untuk Nona Allura.”Suara pria dari depan pintu kaca membuat salah satu staf toko—wanita muda berseragam putih krem berpinggiran emas—menoleh. Ia adalah penjaga kasir sekaligus resepsionis showroom perhiasan Azmara yang terkenal ketat dalam menerima tamu dan kiriman. Posturnya tegap, tutur katanya lembut, wajahnya menawan, sesuai dengan standar butik perhiasan kelas dunia yang mereka jaga.Wanita itu melangkah mendekati pria berseragam kurir dengan wajah bersih dan rapi, lalu berkata, “Atas nama siapa, ya?”Kurir itu tersenyum ramah namun menjawab singkat, “Anonym. Pihak restoran hanya menyebutkan bahwa saya harus memberikannya langsung pada Nona Allura. Tidak boleh diwakilkan.”Alis si wanita mengernyit. Suaranya agak kaku saat berkata, “Maaf, kami tidak bisa menerima sembarang paket. Terutama yang tidak menyebutkan pengirimnya.”Senyum kurir itu masih bertahan, kali ini dengan nada percaya diri ia berkata, “Bahkan dari Numero Uno Restaurant?”Se
Lura mengangguk pelan, mempersilakan. “Kau boleh pergi.”Begitu staf menutup pintu dan suasana kembali hening, Lura menyiapkan diri. Ia menarik nafas panjang, lalu berdiri. Ia sudah tahu siapa yang akan datang. Dan ia berharap, semoga dirinya cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan dikatakan lelaki itu—lelaki yang pernah ia panggil ayah.Kuncoro berdiri di hadapannya, mengenakan setelan abu gelap dan tatapan dingin yang penuh penilaian. Wajahnya tidak menyembunyikan amarah. Sorot matanya tajam, seolah hendak membelah keberadaan Lura hanya dengan pandangan.Dengan langkah tenang, ia mendekat ke meja Lura. Nadanya dingin, tanpa basa-basi.“Demi posisi manajer, kau rela mempermalukan keluarga sendiri. Aku tak menyangka kau bisa serendah dan semurah ini, Lura.”Kalimat itu menghantam. Tapi Lura hanya menatapnya lurus, menahan napas sesaat, lalu menjawab dengan nada tenang:“Posisi ini,” ujarnya sambil menepuk meja kerjanya pelan, “jauh lebih terhormat daripada menjadi istri Danu Pra