LOGINSetelah Deni dan Yuli pergi membawa Nathan, tinggal lah Rex dan Anita berdua di ruang tamu rumah itu.
Keduanya tampak sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa mendapatkan hak asuh atas Nathan. “Yang nyebelin itu jangka waktunya cuma seminggu, ke mana coba gue harus cari cewek buat dikawinin?” Rex bergumam. Anita melirik pria itu. “Aku harus balik ke Surabaya besok,” kata Anita setengah mengusir. Rex mendongak menatap Anita. “Kamu enggak peduli banget sama Nathan ya?” Dia bangkit dari sofa. “Peduli lah, tapi aku harus kerja … aku cuma cuti tiga hari.” “Ya udah kalau gitu gini deh, siapa duluan yang bisa menemukan pasangan berarti dia yang dapet hak asuh Nathan.” Anita mendongak menatap Nathan yang berdiri menjulang di depannya. “Aku harap kamu bisa ngalah, Nathan itu keponakan aku … harus aku yang merawat Nathan, lagian kalau kamu nikah nanti—memangnya cewek kamu mau nerima Nathan?” Rex terkekeh. “Masih jauh itu mah, aku masih ingin seneng-seneng dulu … tapi aku sayang sama Nathan, aku udah kaya papanya buat Nathan.” Mereka lupa kalau Yuli sudah memberi solusi agar mereka berdua menikah saja sehingga bisa mendapatkan hak asuh bersama. “Ya udah, siapa duluan menemukan pasangan … berarti dia yang dapet hak asuh Nathan.” Anita mengulang kalimat Rex tanda dia setuju. Rex mengangguk lalu memberikan ponselnya kepada Anita. “Untuk apa?” Anita bertanya dengan kening mengkerut dalam. “Aku minta nomor hape kamu biar nanti kalau aku udah dapet calon istri bisa hubungin kamu jadi kamu enggak usah repot-repot cari cowok … ‘kan kamu benci cowok.” Rex tersenyum lebar, sejenis senyum meledek Anita. Anita membalas dengan tatapan dingin lalu meraih ponsel Rex dan mengetikan nomornya. “Apa Anwar ninggalin banyak warisan sampai kamu ngebet banget ingin hak asuh Nathan?” Mata cantik itu memicing. “Eeee … sekate-kate, gue enggak butuh warisan si Anwar kali, lo kagak tahu aja gue siapa.” Rex berujar di dalam hati. Dia memilih diam karena tidak mungkin berdebat dengan seorang wanita, apalagi wanita jutek dan ketus seperti Anita. Hanya menghabiskan energi saja. “Kamu ambil saja warisan Anwar, aku bawa Nathan,” timpal Rex dengan nada mengancam kemudian menarik langkah keluar dari rumah itu. Anita menghempaskan bokong di sofa, kepalanya menengadah bersama hembusan nafas berat. “Ke mana aku harus cari suami dalam waktu seminggu?” Anita mengesah. Sementara di luar sana, Rex merogoh saku celana sembari berjalan ke mobil mewahnya yang terparkir di depan pemakaman umum. Dia menekan nomor sekretarisnya-Tika. “Hallo, siang Pak … ada yang bisa saya bantu?” Tika menjawab panggilan tersebut. “Tik … nikah yuk?” Rex terkekeh usai bertanya demikian. “Pak … saya masih banyak kerjaan, kalau Bapak—“ Kalimat Tika terpotong. “Serius, Tik … aku harus dapet istri secepatnya, kalau enggak—Nathan dimasukin ke panti asuhan.” Blam. Terdengar suara pintu mobil tertutup, Rex sudah duduk di kabin belakang. Mobil mewah itu akan membawanya ke landasan heli. “Pak, saya mengerti kalau Bapak sayang banget sama Nathan karena terlalu dekat dengan pak Anwar tapi Pak … jangan korbankan saya.” Tika memang memiliki sikap dingin dan datar, sudah bawaan dari pabriknya seperti itu. Rex tertawa pelan. “Ya udah, cariin aku cewek yang bisa kawin kontrak selama satu setengah tahun ya … pilih beberapa kandidat dan lusa panggil mereka untuk ketemu aku.” Terdengar hembusan nafas lelah Tika di ujung panggilan sana. “Baik, Pak.” “Ih Tika, kamu lagi PMS ya?” Rex sedang menggoda sekretarisnya yang terkenal kaku itu. “Pak, ada meeting sore ini dengan pak Nicholas, sebaiknya Bapak sudah ada di kantor sebelum rapat dimulai, jadi kita harus segera sudahi percakapan ini,” kata Tika tegas. “Iya … iyaaaa ….” Rex memutus sambungan telepon. “Dasar mak Lampir,” gumam Rex misuh-misuh. *** “Ya udah, Nit … kamu terima aja lamaran pak Dekan kita,” kata Dita-sahabat Anita sesama dosen. Setelah mata kuliahnya selesai—Anita langsung curhat kepada Dita yang sudah tahu semua cerita hidupnya. Anita merotasi bola matanya. “Pak Dudi mau jadiin aku istri kedua, dia maunya kita menikah siri.” “Ih jangan mau kalau begitu.” Dita mengibaskan tangannya. “Memang aku enggak akan mau sekalipun jadi istri pertamanya atau jadi istri siapapun ….” Anita mengembuskan nafas panjang. “Kalau bukan karena Nathan,” sambung Anita melirih. “Nit … enggak semua cowok lho brengsek kaya Anwar … masih banyak cowok yang baik dan enggak semua orang kaya juga seperti keluarganya Anwar … lagian orang kaya beneran mah enggak sombong kaya begitu.” Dita mencibir. “Tahu lah, Dit … yang pasti aku pusing sekarang harus cari cowok buat dijadiin suami … mana waktunya cuma satu minggu.” Anita mengesah. “Eh … nanti malem kita clubing aja, siapa tahu ada anak orang kaya yang mabok berat terus kita bawa ke hotel, buka bajunya dan besok pagi kamu bilang kalau dia udah nidurin kamu dan harus tanggung jawab nikahin kamu.” Sorot mata Dita tampak berbinar penuh semangat ketika mengatakan ide yang menurutnya briliant itu. “Dit, kita itu berprofesi sebagai dosen … ya kali dugem terus berakhir di hotel, ngaco ah.” Anita bangkit dari kursinya, kedua tangan memeluk buku dan tas laptop. Anita siap untuk ngajar di jam keduanya hari ini. “Ya udah, nanti aku kenalin kamu sama teman aku deh …,” kata Dita, dia serius ingin membantu. “Dit … inget ya, aku itu bukan cari suami beneran, hanya suami bohongan sampai satu tahun setengah aja untuk memenuhi prosedur hak asuh Nathan … aku enggak butuh cowok, aku bisa membiayai Nathan sendirian.” “Itu yang susah Nit, kecuali kamu punya duit banyak untuk bayar orang buat pura-pura jadi suami kamu … kalau gratisan mah enggak akan ada yang mau … atau kamu mau, tubuh kamu jadi imbalannya.” “Sialan kamu, Dita … dasar sahabat lucknut.” Dita tergelak mengiringi langkah Anita keluar dari ruang dosen.“Rex?”“Yup.” Ia menegakkan badan. “Surprise.”“Maksudmu apa ‘surprise’? Kamu … dari Bandung?” “Enggak… aku dari Jakarta. Aku tadi naik pesawat pribadi seorang teman. Cepat, kan?”Teman yang Rex maksud adalah papanya yang pemilik rental privat jet.Anita mengerutkan dahi. “Pesawat pribadi? Teman kamu siapa? Sultan Andara?”Rex terkekeh. “Enggak juga sih. Cuma kenalan lama. Anggap aja bonus dari Tuhan karena aku rajin berbuat baik.”Anita memicingkan mata. “Kamu bohong.” Tidak semudah itu dia percaya.“Ya ampun, aku baru sampai dan udah diinterogasi. Kamu bisa kasih aku segelas air dulu, enggak?”Anita mendengus, tapi membuka pintu lebih lebar. “Masuk.”Rex berjalan masuk ke ruang tamu sederhana itu. Aroma sabun cuci piring samar bercampur wangi kayu tua.Ia memperhatikan sekeliling—rak buku, pot tanaman, foto keluarga kecil yang tergantung di dinding.Semuanya rapi, tapi terlalu sepi.“Tempat ini … hangat,” katanya spontan.“Dan sederhana,” balas Anita cepat. “Kamu engg
“Pak Rex, kami sudah terlalu lama menunggu kabar baik dari Anda.”Suara Deni dari Dinas Sosial terdengar tegas di ujung panggilan sana.Rex menatap layar laptopnya yang penuh laporan bisnis, tapi fokusnya sudah teralihkan.Dia menggeser kursinya, menghela napas dalam.“Tenang aja, Pak Deni. Aku lagi berusaha. Tapi hal kayak gini enggak bisa asal ambil keputusan, kan?”“Justru karena ini serius, Pak. Kami harus segera memastikan hak asuh Nathan. Kalau Bapak atau bu Anita tidak menikah dalam waktu dekat, maka hak asuh akan dialihkan ke panti asuhan.”“Jadi Anita belum menghubungi Pak Deni?” Rex bertanya memastikan.“Belum Pak … sepertinya dia juga kesulitan mencari pasangan.”Rex terdiam beberapa detik.“Jadi… masih enggak ada toleransi waktu?”“Enggak ada, Pak. Surat keputusan sementara akan keluar minggu depan.”Rex terdiam, dia sedang berpikir dan menimbang.“Saran saya masih bisa dicoba, Pak. Baik saya maupun bu Yuli tidak akan membocorkan kepada dinas kalau pernikahan P
Suara gesekan sendok di cangkir kopi terdengar samar di kafe kecil dekat kampus.Anita menatap jam tangannya. Sudah lewat dua puluh menit dari janji yang dibuat Dita.Di depannya, dua kursi di meja itu masih kosong kecuali secangkir latte yang mulai dingin.“Nit .…”Dita datang tergopoh-gopoh, wajahnya berseri-seri seperti seseorang yang baru saja menemukan harta karun.“Sorry, macet. Tapi—ya Tuhan, kamu akan sangat berterima kasih sama aku.”Anita menaikkan satu alis. “Aku akan berterima kasih sama kamu kalau kamu bawain uang satu tas.”Dita cengar-cengir. “Lebih dari itu. Aku bawain calon suami buat kamu.”Suaranya dibuat sepelan mungkin, tapi tetap cukup untuk membuat dua mahasiswa di meja sebelah melirik.“Dita!” Anita menatapnya tajam.“Tenang, Nit. Dia orang baik. Teman kuliah aku dulu. Kerja di perusahaan kontraktor, stabil, rajin ibadah, enggak suka dugem.” Dita menjelaskan cepat.Dan seolah sesuai aba-aba, seorang pria datang menghampiri.“Maaf, saya terlambat,” k
“Dari mana Rex?” Papa Nicholas bertanya ketika Rex baru saja masuk dari lantai loby sementara beliau dari basement.“Abis makan siang sama bang Ezra, Papa dari mana kok jam segini balik ke kantor?” Rex balas bertanya.“Ketemu klien tadi, mau langsung pulang tapi hape Papa ketinggalan.” “Oooo ….” “Kamu lagi rekrut sekretaris baru ya?” Papa Nicholas bertanya lagi.“Eng … enggak, kenapa memang?” Kening Rex berkerut dalam, menatap bingung sang papa.“Itu di depan, ada beberapa pelamar … kata sekuriti, kamu lagi rekruitment.”Rex menepuk jidat, dia lupa dengan pesan Tika yang tadi siang dikirim kalau ada wawancara calon istri sore ini.“I … Iya, Pa … Rex lagi cari calon is … eh, calon sekretaris.” Rex menyengir.Papa Nicholas menganggukan kepalanya.Ting …Pintu lift terbuka.“Papa duluan ya, kamu jangan ngelayap … langsung pulang, besok ikut Papa ke Bandung.” “Ngapain ke Bandung, Pa?” Rex meninggikan suara karena sang papa sudah keluar dari dalam lift.“Ada masalah di c
Setelah Deni dan Yuli pergi membawa Nathan, tinggal lah Rex dan Anita berdua di ruang tamu rumah itu.Keduanya tampak sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa mendapatkan hak asuh atas Nathan.“Yang nyebelin itu jangka waktunya cuma seminggu, ke mana coba gue harus cari cewek buat dikawinin?” Rex bergumam.Anita melirik pria itu.“Aku harus balik ke Surabaya besok,” kata Anita setengah mengusir.Rex mendongak menatap Anita. “Kamu enggak peduli banget sama Nathan ya?” Dia bangkit dari sofa.“Peduli lah, tapi aku harus kerja … aku cuma cuti tiga hari.”“Ya udah kalau gitu gini deh, siapa duluan yang bisa menemukan pasangan berarti dia yang dapet hak asuh Nathan.”Anita mendongak menatap Nathan yang berdiri menjulang di depannya.“Aku harap kamu bisa ngalah, Nathan itu keponakan aku … harus aku yang merawat Nathan, lagian kalau kamu nikah nanti—memangnya cewek kamu mau nerima Nathan?”Rex terkekeh. “Masih jauh itu mah, aku masih ingin seneng-seneng dulu … tapi aku sayang sam
“Silahkan masuk,” kata Anita sembari membuka pintu rumah kedua orang tuanya.Tadi bu Irma memberikan kunci rumah kepada Anita, semenjak kedua orang tuanya meninggal. Bu Irma dan keluarganya yang membersihkan rumah kecil di dalam gang itu.Dan tentunya Ayu yang membayar jasa mereka setiap bulannya.“Maaf sempit … tapi bersih kok,” kata Anita mempersilahkan ketiga tamunya duduk.“Saya Deni dan ini rekan saya Yuli,” kata pria berseragam dinas.Tatapan Anita lantas jatuh pada pria yang duduk di samping Yuli.Jemari pria itu digenggam Nathan, saat dalam perjalanan ke sini Nathan bangun dan tidak berhenti memandangi Rex, mungkin karena wajahnya familiar.“Gue … eh, saya … Rex Alder … saya sahabat sekaligus klien bisnisnya Anwar.” Rex mengulurkan tangan ke depan Anira.Dengan tatapan datar, Anita hanya mengangguk, seolah enggan bersalaman dengan Rex.Rex menarik tangannya kembali.“Judes banget sih.” Rex membatin.“Jadi begini Bu Anita, setelah kecelakaan … pak Anwar sempat dirawa







