Compartilhar

Status WA Ipar

Autor: Mami Lova
last update Última atualização: 2025-12-16 11:53:59

Malam itu terasa panjang sekali. Walau jarum jam di dinding IGD terus bergerak, tapi suaranya seperti ejekan. Setiap detik berlalu tanpa kabar dari Kang Helmi, itu membuatku sangat stres.

Sudah bosan aku, berkali-kali menatap layar ponsel dan memencet ikon panggilan, menunggu, mendengar nada sambung yang berakhir dengan suara operator saja.

 “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”

Kalimat itu terus berulang, seperti mantra yang membuatku jadi patung batu.

Aku mencoba mengirim pesan, 

[Kang, Hafsah sudah ditangani dokter. Tolong ke rumah sakit, aku takut sendirian.]

Tapi centangnya hanya satu.

Lalu aku kirim lagi, masih berusaha.

[Kang, tolong angkat teleponnya. Aku di ruang rawat melati 2. Hafsah butuh abinya.]

Masih tak dibaca. Jangankan dibaca, chatnya sampai pun tidak.

Sampai akhirnya aku menyerah.

Aku duduk di kursi plastik di sudut ruangan, menatap Hafsah yang tertidur di ranjang kecil. Napasnya mulai teratur, pipinya masih pucat, tapi setidaknya tak lagi muntah.

Syukurlah… ya Allah, syukurlah.

Namun di antara rasa lega, ada getir yang tak bisa kuusir.

Sebuah fakta bahwa aku sendirian.

Suamiku, sosok lelaki yang dulu kukira tempat paling aman di dunia, tak tahunya pergi begitu saja setelah marah, dan tak menunjukkan ciri akan kembali malam ini.

Sepanjang malam tidurku tidak lena, dan setiap kali aku terjaga selalu mengecek kondisi Hafsah, dan juga ponselku. Tetapi tetap saja tidak ada perubahan pada pesan-pesan yang kukirim pada kang Helmi.

Semuanya tetap centang satu.

Hafsah sempat muntah darah sekali, tapi tak banyak dan dia langsung tidur lelap setelahnya. Mungkin kondisinya makin baik.

Dugaanku ternyata benar, ketika keesokan harinya dokter mengecek kondisi anakku, dia memberikan kabar gembira.

“Sudah boleh pulang, Bu. Kondisinya stabil,” katanya ramah.

Aku mengangguk pelan dengan hati yang terasa gembira. 

“Terima kasih, Dok.”

Setelah membereskan barang, aku duduk sebentar di pinggir ranjang. Hafsah memeluk boneka kecil yang diberikan suster tadi pagi, saat visite dokter.

“Umi, kita pulang ya?” tanyanya dengan suara pelan.

Aku tersenyum, mengelus puncak kepalanya sambil menahan air mata. 

“Iya, sayang. Kita pulang. Besok-besok, jangan makan permen lagi ya? Nggak usah makan permen lagi deh.” Hafsah mengangguk patuh.

Kuselipkan ponsel ke saku, lalu membuka W******p lagi. Masih sama, pesan yang kukirim semalam belum dibaca.

Aku mengetik lagi, berharap kali ini keajaiban datang dan tiba-tiba saja chatnya dibalas. 

[Kang, Hafsah sudah boleh pulang. Tolong jemput kami, aku nggak bawa uang buat ongkos.]

Kirim.

Tunggu.

Oke centang dua! Tetapi tetap saja.. tidak dibaca.

Perlahan rasa sakit itu menjalar dari dada ke tenggorokan.

Kutelan semuanya. Aku tak boleh menangis di depan Hafsah. Walau rasanya berat, dan walau Hafsah bisa pulang sekarang, masih ada satu urusan besar yang tak bisa kuhadapi sendiri. Biaya administrasi.

Aku melangkah ke bagian administrasi dengan langkah berat, dengan cemas meremas kedua tangan sambil mendekat.

“Maaf, Bu, saya mau tanya soal pelunasan biaya IGD,” ucapku hati-hati. 

“Kemarin dibayar sebagian pakai debit orang lain. Sisanya saya mau cicil.”

Petugas itu mengecek data di komputer, lalu menatapku. 

“Sudah lunas, Bu. Semua sudah didebet hari ini.”

Aku tertegun, tak percaya. 

“Sudah… lunas?”

Dia mengangguk. 

“Iya. Nama di transaksi kemarin sama seperti yang membayar uang muka—Pak Hamzah, ya?”

Aku tercekat, mematung membisu. Hamzah lagi. Rasanya antara syukur dan malu bercampur jadi satu.

Setelah urusan selesai, aku segera mengetik pesan untuk kang Hamzah. Walau tak bisa membayar sekarang, setidaknya aku tahu terima kasih.

[Kang Hamzah, makasih banyak ya. Ternyata semua biaya udah lunas, aku baru tahu.]

[Pokoknya aku akan bayar nanti kalau udah punya uang. Terima kasih udah nolong aku dan Hafsah.]

Kukirimkan, pesannya terkirim tapi belum dibaca. Ah biarlah, yang penting aku sudah berterima kasih.

Sambil menunggu keajaiban-siapa tahu kang Helmi membalas dan menjemput kami pulang, aku melihat-lihat status WA dan yup, status adik iparku bertengger paling atas.

Tidak ada yang aneh, hanya dia yang sedang pamer semua aktivitas hariannya bak influencer kenamaan. Makan bubur ayam, cekrek! Mengantar Shakira sekolah, cekrek! Cium tangan suami, cekrek! Semuanya diupdate, padahal siapa juga yang peduli.

Tapi tunggu..

"Ini.. bukannya kang Helmi? iya, ini kang Helmi. Aku ingat kok celana ini kan bolong sedikit pas sakunya, dan kujahit pakai benang abu, tuh.."

Aku sampai zoom in zoom out beberapa kali, memastikan jika sosok pria setengah badan yang tampil si status WA iparku adalah kang Helmi. Sebenarnya sekali lihat pun aku sudah tahu, aku kenal betul dia. Tetapi siapa tahu mataku sedang salah, kan?

"Kang Helmi duduk sama siapa?"

Ada sedikit ngilu dalam dadaku, melihat suamiku duduk berdampingan dengan seorang perempuan yang entah siapa. Lutut mereka nyaris beradu saking dekatnya mereka duduk. Caption Yuli semakin membakar kecurigaanku, [Ciee yang cinta pertama dan sejatinya baru aja selesai masa iddah. Ciee! Ciee! ada yang mau CLBK nich!]

Tanganku gemetar, apa maksud status ini?

Aku pun memutuskan untuk langsung pulang saja, walau harus jalan kaki sekalipun karena suamiku sama sekali tak ada kabar.  

Siang terasa semakin terik, rasanya membakar hatiku yang resah. Aku keluar dari rumah sakit, menggendong Hafsah yang masih lemas.

Tak ada satu pun taksi yang berhenti, lagipula di dompetku juga hanya tersisa beberapa lembar ribuan. Jangankan untuk naik taksi, uangnya bahkan tidak cukup untuk ojek online.

Jadi aku berjalan kaki saja, pelan-pelan, menapaki trotoar sambil sesekali berhenti agar Hafsah bisa istirahat di bahuku.

Udara panas, tapi dingin di dadaku lebih menyakitkan.

Aku berusaha menenangkan diri, mungkin Kang Helmi kehabisan baterai, mungkin dia sedang di luar jangkauan, mungkin dia cuma butuh waktu sendiri.

Aku terus menghibur diriku dengan kata ‘mungkin’, seolah itu bisa menutup rasa sakit karena diabaikan.

Sampai akhirnya aku berhenti di lampu merah besar di perempatan. Peluh menetes di pelipis, mataku rasanya sedikit berkunang. Sementara Hafsah bersandar di bahuku, setengah tertidur.

Aku mengangkat wajah… dan tiba-tiba jantungku berhenti berdetak.

Di seberang jalan, sebuah motor berhenti di barisan depan. Motor itu, sangat kukenal. Itu motor butut dua tak yang selalu dipakai Kang Helmi ke mana-mana dan di atasnya, jelas sekali kulihat punggung yang kukenal.

Kang Helmi.

Dia mengenakan jaket jeansnya yang sudah agak belel, celana yang sobek sakunya itu, dan di belakangnya duduk Yuli, adik perempuannya.

Di depan, sesosok anak kecil usia tujuh tahun yang tak lain adalah Shakira, anak Yuli, dia duduk di antara mereka dengan helm merah muda.

Banyak tas belanja di gantungan motor, kantong plastik warna-warni dari mal yang sering kudengar Yuli sebut kalau sedang pamer habis belanja.

Aku tertegun. 

Tanganku refleks ingin melambai, mulutku sudah siap memanggil, “Kang!”

Tapi sebelum sempat suaraku keluar, Yuli menoleh.

Tatapan kami bertemu.

Sekejap saja, tapi cukup untuk membuat darahku berdesir.

Dia jelas melihatku. Matanya melebar sedikit, lalu cepat-cepat menepuk bahu Helmi, menunjuk sesuatu di arah berlawanan.

Dan Kang Helmi… menoleh ke arah yang dia tunjuk. Bukan ke arahku.

Lampu berubah hijau dengan cepat, lalu motor mereka melaju pelan, menghilang di tikungan.

Aku masih berdiri di situ, menatap kosong ke arah jalan yang baru saja mereka lalui.

Suara klakson di belakang menyadarkanku, tapi tubuhku kaku.

Hafsah menggeliat di pelukanku, memanggil pelan, “mi…”

Aku menunduk, mengusap rambutnya. 

“Iya, sayang. Kita jalan lagi, ya.”

Suara sendiri yang akhirnya membuatku bergerak. Langkah demi langkah, tanpa tahu harus ke mana, selain pulang.

Pulang ke rumah yang kini rasanya asing, ke rumah yang tak lagi punya suara laki-laki yang seharusnya menemaniku dalam susah.

Aku tak tahu sampai kapan kang Helmi akan membiarkan aku sendirian, menghadapi situasi yang buruk ini. 

Okelah, tak apa jika dia tak peduli padaku. Tetapi Hafsah, bagaimana? 

Dia puterinya, anak yang sangat dia sayangi. Bisa-bisanya dia begitu tega, semalaman penuh tak menanyakan kabar, padahal jelas-jelas anaknya di rumah sakit.

Rumah sudah di depan mata, napasku rasanya mau putus saking capeknya. 

“Umi, haus..”

“Iya bentar sayang, udah sampai tuh. Kita minum di rumah, ya?” bujukku sambil mengelus kepalanya yang terkulai lemas.

Sisa beras masih berserakan di tanah, sudah mengembang karena hujan semalam. Pintu rumah pun ternyata belum dikunci, hanya ditutup sekadarnya.

“Apa kang Helmi nggak pulang, ya? Tapi tadi dia pakai jaketnya, yang baru kucuci.. berarti dia pulang.. tapi kenapa rumah nggak dikunci?”

“Hhh, ya sudahlah.. untung nggak ada barang berharga di dalam rumah.” Aku membatin.

Ketika kubuka pintu rumah, aku disajikan dengan pemandangan yang mengerikan.

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Perempuan Lain di Boncengannya..

    Hari-hariku berjalan seperti biasa, begitu datar, tanpa banyak perubahan.Satu-satunya perubahan yang terjadi adalah jumlah penghuni rumah, hanya ada aku dan Hafsah. Kang Helmi, hampir tak pernah pulang.“Mi, kok abi nggak pulang-pulang?” tanya gadis kecilku itu, sedih.Aku hanya bisa mengusap puncak kepalanya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan dia.“Abi lagi sibuk kerja, apalagi nenek juga butuh dibantu di rumahnya jadi ya abi nggak bisa sering pulang ke mari..”“Tapi kenapa nenek minta tolong abi terus? Kan ada ayahnya de shakira..”Dia memanggil anaknya Yuli dengan panggilan de, karena memang posisinya di dalam keluarga dia adalah adik sepupu Hafsah, walau usianya lebih tua.“Mungkin cuma abi yang bisa, ayahnya de shakira nggak bisa.. yang penting abi tetap sayang sama Hafsah dan sekarang Hafsah selalu sama umi, ya?”Bocah berusia tiga tahun lebih itu mengangguk, tak menanyakan ayahnya lagi walaupun dia terlihat kecewa dan bertanya-tanya.Setiap hari aku mencari banyak aktivit

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Duda Baru

    Sudah tiga malam berturut-turut Kang Helmi tak pulang.Awalnya aku gelisah, setiap kali terdengar suara motor di depan rumah, aku menengok cepat, berharap itu dia. Tapi lama-lama aku berhenti berharap.Bahkan Hafsah juga tak menanyakan abinya, seolah dia sudah paham apa yang terjadi. Mungkin memang sudah waktunya aku belajar untuk tidak peduli walau nafkah kami pun tak terpenuhi. Syukurlah aku bukan perempuan yang menggantungkan kebutuhan hanya pada suami, tetapi Allah memberkahi aku dengan kemampuan usaha sendiri.Jadi untuk kebutuhan harianku dengan Hafsah, aku terpaksa membongkar tabungan. Tak masalah, lagipula itu hasil kerjaku sendiri. Semoga kelak bisa menabung lagi untuk masa depan Hafsah, walau harus terseok-seok.Pagi ini, setelah menyiapkan sarapan Hafsah dan membereskan rumah seadanya, aku menyibukkan diri.Ada tetangga depan rumah, Bu Rani, yang mampir sambil membawa katalog panci dan alat dapur.“Eva, tolong cariin presto ya di online shop. Yang bagus, tapi murah. Aku p

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Cemburu Buta

    “Kenapa kamu chattingan sama lelaki lain, Eva?!”Suara Kang Helmi bergema keras di ruang tamu. Tangannya masih menggenggam ponselku erat, wajahnya merah padam, napasnya tersengal karena marah.Aku terpaku beberapa detik, mencoba mengatur napas, tapi sebelum sempat bicara, kata-katanya menghantamku lagi seperti cambuk.“Kamu ini gatal, ya?! Ditinggal semalam aja, bukannya introspeksi diri, malah asik chattingan sama lelaki! Kamu tuh harusnya malu!”Aku menatapnya tak percaya. Ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba pecah.Semua kesabaran yang selama ini kutahan meledak seperti balon yang akhirnya tak kuat menampung udara.“Yang harusnya malu itu kamu, Kang!” suaraku meninggi tanpa sadar.Dia menatapku tajam, tapi aku tak berhenti.“Semalam kamu ke mana waktu aku panik di rumah sakit?! Waktu Hafsah muntah darah lagi, waktu aku nggak tahu harus ngapain, waktu aku nggak punya uang sepeser pun?!”“Kamu di mana, Kang?! Di mana kepala keluarga yang katanya mau jadi pelindung itu?!”Helmi

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Dusta Demi Dusta

    “Huekk!”Spontan kututup hidungku, perut yang kosong dan kelelahan, ditambah aroma busuk yang menguar membuatku nyaris tak mampu menahan muntah.“Bau Mi..” Hafsah pun mengeluh.Kuminta dia berdiri di teras, sementara aku masuk ke dalam rumah sambil menutupi hidung dengan ujung kerudung.“Astagfirullahaladzim.. kang Helmi, kamu pulang tapi kamu nggak ngepel bekas muntahan Hafsah semalam. Keterlaluan banget..” bisikku geram.Bekas muntahan Hafsah berceceran di depan tv, karena bercampur darah yang sudah lebih dari 24 jam, aromanya sangat memualkan.Sambil menahan kecewa dan tanda tanya, kubersihkan bekas muntahan itu dan mengepel lantainya sampai bersih.Hafsah duduk di luar sambil menonton Youtube, syukurlah dia anteng dan tidak mengeluh sakit. Sehingga aku tenang beres-beres.Rumah sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam di dinding yang pelan, berpadu dengan napas kecil Hafsah yang akhirnya terlelap setelah semalaman menahan sakit.Rumah sudah selesai kuberesk

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Status WA Ipar

    Malam itu terasa panjang sekali. Walau jarum jam di dinding IGD terus bergerak, tapi suaranya seperti ejekan. Setiap detik berlalu tanpa kabar dari Kang Helmi, itu membuatku sangat stres.Sudah bosan aku, berkali-kali menatap layar ponsel dan memencet ikon panggilan, menunggu, mendengar nada sambung yang berakhir dengan suara operator saja. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”Kalimat itu terus berulang, seperti mantra yang membuatku jadi patung batu.Aku mencoba mengirim pesan, [Kang, Hafsah sudah ditangani dokter. Tolong ke rumah sakit, aku takut sendirian.]Tapi centangnya hanya satu.Lalu aku kirim lagi, masih berusaha.[Kang, tolong angkat teleponnya. Aku di ruang rawat melati 2. Hafsah butuh abinya.]Masih tak dibaca. Jangankan dibaca, chatnya sampai pun tidak.Sampai akhirnya aku menyerah.Aku duduk di kursi plastik di sudut ruangan, menatap Hafsah yang tertidur di ranjang kecil. Napasnya mulai teratur, pipinya masih pucat, tapi setidaknya tak lagi muntah.Syukurlah… ya

  • Dimanjakan Duda Saat Suami Terpikat Janda   Pakai Uangku Dulu

    “Eva?”Aku menoleh, dan dadaku langsung serasa berhenti berdetak.Sosok itu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, wajar sekali suaranya begitu familiar karena aku pun masih sangat ingat setiap guratan di wajahnya itu.Sosok tinggi dengan wajah yang tak berubah sedikit pun dari ingatanku bertahun-tahun lalu, wajah yang dulu sering terlihat lelah, dengan kantong mata hitam karena kebanyakan begadang, tetapi bibirnya selalu mengulas senyum yang menyenangkan.Hamzah.“Kang… Hamzah?” panggilku, dan dia tertawa lebar.Dia berjalan mendekat, terlihat kikuk karena kedua tangannya terlihat canggung di sisi tubuhnya.“Eva, apa kabar?”“Kabar baik, kang. Akang sendiri? Udah lama banget enggak ketemu..” sapaku berbasa basi.Hamzah tersenyum, dan jujur aku kagum melihat penampilannya sekarang. Kini, dia bukan lagi mahasiswa yang datang ke kantin dengan kemeja kusut dan tas penuh buku.Penampilannya rapi, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku, jam tangan yang terlihat mahal di pergela

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status