LOGIN“Eva?”
Aku menoleh, dan dadaku langsung serasa berhenti berdetak.
Sosok itu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, wajar sekali suaranya begitu familiar karena aku pun masih sangat ingat setiap guratan di wajahnya itu.
Sosok tinggi dengan wajah yang tak berubah sedikit pun dari ingatanku bertahun-tahun lalu, wajah yang dulu sering terlihat lelah, dengan kantong mata hitam karena kebanyakan begadang, tetapi bibirnya selalu mengulas senyum yang menyenangkan.
Hamzah.
“Kang… Hamzah?” panggilku, dan dia tertawa lebar.
Dia berjalan mendekat, terlihat kikuk karena kedua tangannya terlihat canggung di sisi tubuhnya.
“Eva, apa kabar?”
“Kabar baik, kang. Akang sendiri? Udah lama banget enggak ketemu..” sapaku berbasa basi.
Hamzah tersenyum, dan jujur aku kagum melihat penampilannya sekarang. Kini, dia bukan lagi mahasiswa yang datang ke kantin dengan kemeja kusut dan tas penuh buku.
Penampilannya rapi, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku, jam tangan yang terlihat mahal di pergelangan, dan wibawa yang sulit dijelaskan.
Tatapan matanya tenang, tapi penuh rasa ingin tahu. Ada ketegasan di garis rahangnya, namun juga kelembutan di sudut senyumnya.
“Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Udah berapa lama kita nggak ketemu, ya?” suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat hatiku seperti diremas.
Aku tersenyum samar, “kurang tau, Kang. Empat atau lima taunan mungkin?”
Dia mengangguk, langkahnya mendekat pelan. “Aku hampir nggak yakin tadi. Tapi waktu dengar kamu dipanggil sama suster, aku langsung sadar.”
Aku menatapnya bingung, mataku masih terasa basah langsung kuseka supaya tak terlalu nampak. “Kamu ngapain di sini, Kang?”
“Antar mamaku check up,” jawabnya singkat, lalu melirik ke arah ranjang tempat Hafsah terbaring. “Anakmu, ya?”
Aku mengangguk pelan.
“Iya. Katanya dia keracunan jajanan. Baru aja dibawa ke IGD.”
Hamzah menarik napas panjang, ekspresinya berubah cemas.
“Aku tadi sempat dengar kamu dan suamimu…” ia berhenti sebentar, menimbang kata, “…berdebat di luar ruang tunggu.”
Pipiku panas seketika, malu rasanya. Tapi aku tak punya tenaga untuk membela diri dan mengelak.
“Iya, maaf kalau berisik. Aku… aku nggak bermaksud…”
“Bukan soal itu,” potongnya pelan. “Aku cuma khawatir.”
Kata itu membuat dadaku bergetar aneh, khawatir. Sudah lama sekali tak ada yang bilang begitu padaku.
Hamzah memandangi Hafsah dengan tatapan lembut, sorot mata yang biasanya hanya diberikan seorang ayah pada puterinya.
“Aku bisa bantu apa?” tanyanya lirih.
Aku buru-buru menggeleng, “nggak usah, Kang. Ini cuma soal waktu aja, lagian nanti suamiku datang kok bantu-bantu di sini.”
Dia menatapku lama, “bukan begitu, maksudnya… ehem, untuk biaya administrasinya..”
“Enggak Kang, makasih. Suamiku tadi mungkin memang marah, tapi aku yakin dia sedang cari bantuan.”
Hamzah diam, tapi tak memaksa.
Namun beberapa menit kemudian, saat aku duduk di meja administrasi dan suster menyebut jumlah tagihan awal IGD, aku langsung membeku.
Jumlahnya cukup besar. Puluhan kali lipat lebih besar dari uang terakhir yang kupunya bahkan jika uang kang Helmi masih ada.
Tanganku gemetar, suaraku nyaris tak keluar.
“Bisa… bisa saya bayar nanti? Suami saya lagi di luar, mungkin sebentar lagi datang.”
Suster menatapku sopan, tapi aku tahu nada ragu di suaranya.
“Ibu, maaf. Tapi untuk tindakan awal tetap harus dibayar dulu, paling tidak uang muka.”
Aku menunduk, mataku mulai panas lagi. Ya Tuhan, aku harus gimana?
Lalu suara itu terdengar di belakangku.
“Saya yang urus, Mbak.”
Aku menoleh cepat, setetes air mataku lolos. Hamzah sudah berdiri di sebelahku, menyodorkan kartu debitnya pada suster dengan tenang.
“Kang Hamzah, jangan!” seruku panik.
“Nggak usah, aku bisa cari cara.”
Dia menatapku lembut, matanya tajam tetapi entah kenapa terasa menenangkan.
“Eva, nggak apa-apa. Ini buat anakmu. Anggap aja ini hadiah pertemuan dariku buat anakmu.”
Aku menggeleng, menahan air mata.
“Aku nggak enak, sumpah. Aku… aku takut kang Helmi marah kalau tahu.”
Hamzah tersenyum kecil, tapi tatapannya serius.
“Aku nggak akan bilang siapa-siapa dan nggak berharap apa-apa. Aku cuma bantu. Anakmu itu butuh cepat ditangani, kan?”
Aku terdiam dengan tenggorokan yang terasa dicekik dari dalam. Aku tahu, di situasi ini, aku tak punya pilihan lain.
Dengan napas berat, akhirnya aku mengangguk pelan.
“Baiklah. Tapi ini nggak akan aku terima cuma-cuma. Ini hutang.. dan aku janji, aku akan ganti. Kasih aku waktu sampai akhir bulan ya, Kang?”
Hamzah menatapku lama, seolah menimbang sesuatu. “Eva, ini bukan soal uang. Aku nggak perlu diganti.”
“Tapi aku mau, Kang Hamzah,” ujarku cepat.
“Aku harus. Aku nggak mau ada salah paham.”
Dia menatapku lagi dengan sorot mata tajamnya, lalu menghela napas dan mengangguk.
“Ya sudahlah. Kalau itu bisa bikin kamu tenang.”
Ia meminta ponselku, lalu menulis sesuatu di layar.
“Ini nomorku. Simpan, nanti kabarin aja kalau kamu udah bisa ganti.”
Aku menerima kontak itu dengan tangan gemetar. Rasanya aneh melihat nama Hamzah muncul di layar ponselku lagi setelah bertahun-tahun.
Nama yang dulu begitu sering muncul di daftar panggilan saat aku masih bekerja di kantin kampus, tempat kami dulu sering bicara berjam-jam tentang hidup, cita-cita, dan hal-hal kecil yang waktu itu terasa besar.
“Terima kasih ya, Kang Hamzah,” ucapku lirih.
Dia tersenyum lembut, seperti tak bosan-bosan membuatku membongkar kembali kenangan lama di dalam otakku ini.
Semua kenangan yang telah kukubur dalam, setelah aku memutuskan untuk menerima pinangan kang Helmi.
Entah kenapa, saat ini semuanya hadir kembali tanpa permisi. Menimbulkan rasa aneh yang membuatku kebingungan, aku takut dan cemas, tapi juga merasa senang, merasa kembali muda.
“Udah lama banget, Eva. Aku nggak nyangka ketemu kamu lagi, walaupun harus di tempat dan waktu kayak gini.”
Aku hanya bisa menunduk. Dalam hati, aku tahu Tuhan sedang memainkan sesuatu yang belum kumengerti.
“Oh iya, mamamu.. di mana? Mungkin aku harus menyapa sebentar..” tanyaku basa basi lagi.
“Sudah menunggu di mobil. Nggak apa nggak usah, kasihan anakmu nggak ada yang nungguin. Kalau begitu, aku duluan ya? Semoga anakmu cepat sembuh dan kalau ada apa-apa, jangan ragu buat hubungin aku.”
Kuanggukkan kepala pelan, walau jelas aku tak akan melakukannya. Aku masih punya suami, kenapa harus minta tolong pada orang lain?
Hamzah menatapku sekali lagi, lalu berjalan pelan ke arah ruang tunggu, meninggalkanku dengan Hafsah yang masih terbaring lemah.
Sementara aku berdiri di situ, antara lega, takut, dan bingung. Aku tak salah menerima bantuan dari lelaki lain, kan?
Kondisinya sangat mendesak dan suamiku tak tahu ke mana. Aku bukan selingkuh, sungguh! Walaupun tak bisa kupungkiri jika dahulu hubungan kami lebih dari sekadar teman, sebelum aku dan kang Helmi menjalin rasa.
Hari-hariku berjalan seperti biasa, begitu datar, tanpa banyak perubahan.Satu-satunya perubahan yang terjadi adalah jumlah penghuni rumah, hanya ada aku dan Hafsah. Kang Helmi, hampir tak pernah pulang.“Mi, kok abi nggak pulang-pulang?” tanya gadis kecilku itu, sedih.Aku hanya bisa mengusap puncak kepalanya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan dia.“Abi lagi sibuk kerja, apalagi nenek juga butuh dibantu di rumahnya jadi ya abi nggak bisa sering pulang ke mari..”“Tapi kenapa nenek minta tolong abi terus? Kan ada ayahnya de shakira..”Dia memanggil anaknya Yuli dengan panggilan de, karena memang posisinya di dalam keluarga dia adalah adik sepupu Hafsah, walau usianya lebih tua.“Mungkin cuma abi yang bisa, ayahnya de shakira nggak bisa.. yang penting abi tetap sayang sama Hafsah dan sekarang Hafsah selalu sama umi, ya?”Bocah berusia tiga tahun lebih itu mengangguk, tak menanyakan ayahnya lagi walaupun dia terlihat kecewa dan bertanya-tanya.Setiap hari aku mencari banyak aktivit
Sudah tiga malam berturut-turut Kang Helmi tak pulang.Awalnya aku gelisah, setiap kali terdengar suara motor di depan rumah, aku menengok cepat, berharap itu dia. Tapi lama-lama aku berhenti berharap.Bahkan Hafsah juga tak menanyakan abinya, seolah dia sudah paham apa yang terjadi. Mungkin memang sudah waktunya aku belajar untuk tidak peduli walau nafkah kami pun tak terpenuhi. Syukurlah aku bukan perempuan yang menggantungkan kebutuhan hanya pada suami, tetapi Allah memberkahi aku dengan kemampuan usaha sendiri.Jadi untuk kebutuhan harianku dengan Hafsah, aku terpaksa membongkar tabungan. Tak masalah, lagipula itu hasil kerjaku sendiri. Semoga kelak bisa menabung lagi untuk masa depan Hafsah, walau harus terseok-seok.Pagi ini, setelah menyiapkan sarapan Hafsah dan membereskan rumah seadanya, aku menyibukkan diri.Ada tetangga depan rumah, Bu Rani, yang mampir sambil membawa katalog panci dan alat dapur.“Eva, tolong cariin presto ya di online shop. Yang bagus, tapi murah. Aku p
“Kenapa kamu chattingan sama lelaki lain, Eva?!”Suara Kang Helmi bergema keras di ruang tamu. Tangannya masih menggenggam ponselku erat, wajahnya merah padam, napasnya tersengal karena marah.Aku terpaku beberapa detik, mencoba mengatur napas, tapi sebelum sempat bicara, kata-katanya menghantamku lagi seperti cambuk.“Kamu ini gatal, ya?! Ditinggal semalam aja, bukannya introspeksi diri, malah asik chattingan sama lelaki! Kamu tuh harusnya malu!”Aku menatapnya tak percaya. Ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba pecah.Semua kesabaran yang selama ini kutahan meledak seperti balon yang akhirnya tak kuat menampung udara.“Yang harusnya malu itu kamu, Kang!” suaraku meninggi tanpa sadar.Dia menatapku tajam, tapi aku tak berhenti.“Semalam kamu ke mana waktu aku panik di rumah sakit?! Waktu Hafsah muntah darah lagi, waktu aku nggak tahu harus ngapain, waktu aku nggak punya uang sepeser pun?!”“Kamu di mana, Kang?! Di mana kepala keluarga yang katanya mau jadi pelindung itu?!”Helmi
“Huekk!”Spontan kututup hidungku, perut yang kosong dan kelelahan, ditambah aroma busuk yang menguar membuatku nyaris tak mampu menahan muntah.“Bau Mi..” Hafsah pun mengeluh.Kuminta dia berdiri di teras, sementara aku masuk ke dalam rumah sambil menutupi hidung dengan ujung kerudung.“Astagfirullahaladzim.. kang Helmi, kamu pulang tapi kamu nggak ngepel bekas muntahan Hafsah semalam. Keterlaluan banget..” bisikku geram.Bekas muntahan Hafsah berceceran di depan tv, karena bercampur darah yang sudah lebih dari 24 jam, aromanya sangat memualkan.Sambil menahan kecewa dan tanda tanya, kubersihkan bekas muntahan itu dan mengepel lantainya sampai bersih.Hafsah duduk di luar sambil menonton Youtube, syukurlah dia anteng dan tidak mengeluh sakit. Sehingga aku tenang beres-beres.Rumah sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam di dinding yang pelan, berpadu dengan napas kecil Hafsah yang akhirnya terlelap setelah semalaman menahan sakit.Rumah sudah selesai kuberesk
Malam itu terasa panjang sekali. Walau jarum jam di dinding IGD terus bergerak, tapi suaranya seperti ejekan. Setiap detik berlalu tanpa kabar dari Kang Helmi, itu membuatku sangat stres.Sudah bosan aku, berkali-kali menatap layar ponsel dan memencet ikon panggilan, menunggu, mendengar nada sambung yang berakhir dengan suara operator saja. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”Kalimat itu terus berulang, seperti mantra yang membuatku jadi patung batu.Aku mencoba mengirim pesan, [Kang, Hafsah sudah ditangani dokter. Tolong ke rumah sakit, aku takut sendirian.]Tapi centangnya hanya satu.Lalu aku kirim lagi, masih berusaha.[Kang, tolong angkat teleponnya. Aku di ruang rawat melati 2. Hafsah butuh abinya.]Masih tak dibaca. Jangankan dibaca, chatnya sampai pun tidak.Sampai akhirnya aku menyerah.Aku duduk di kursi plastik di sudut ruangan, menatap Hafsah yang tertidur di ranjang kecil. Napasnya mulai teratur, pipinya masih pucat, tapi setidaknya tak lagi muntah.Syukurlah… ya
“Eva?”Aku menoleh, dan dadaku langsung serasa berhenti berdetak.Sosok itu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, wajar sekali suaranya begitu familiar karena aku pun masih sangat ingat setiap guratan di wajahnya itu.Sosok tinggi dengan wajah yang tak berubah sedikit pun dari ingatanku bertahun-tahun lalu, wajah yang dulu sering terlihat lelah, dengan kantong mata hitam karena kebanyakan begadang, tetapi bibirnya selalu mengulas senyum yang menyenangkan.Hamzah.“Kang… Hamzah?” panggilku, dan dia tertawa lebar.Dia berjalan mendekat, terlihat kikuk karena kedua tangannya terlihat canggung di sisi tubuhnya.“Eva, apa kabar?”“Kabar baik, kang. Akang sendiri? Udah lama banget enggak ketemu..” sapaku berbasa basi.Hamzah tersenyum, dan jujur aku kagum melihat penampilannya sekarang. Kini, dia bukan lagi mahasiswa yang datang ke kantin dengan kemeja kusut dan tas penuh buku.Penampilannya rapi, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku, jam tangan yang terlihat mahal di pergela







