ログイン“S-suami?”
Dahi Cahya mengernyit. Maksudnya si Bule itu?
“Oya, tadi suami ibu memberi titipan di dalam tas. Saya disuruh mengingatkan.”
Bagian administrasi itu mengangguk hormat. Meninggalkan Cahya yang tertegun tanpa bisa berucap apapun.
Pikiran buruk tentang laki-laki itu terhapus sudah. Apalagi Cahya mendapati segepok uang di dalam tasnya.
"Wah, jangan-jangan laki-laki itu malaikat yang ditugaskan membantuku?' pikir Cahya sambil memeluk erat tas yang bertambah bobot itu. "Dia baik banget dan keren seperti malaikat."
Sementara di tempat parkir, mobil keluaran luar negeri keluar perlahan menuju jalan raya. Laki-laki berambut cokelat itu menghela napas lega. Senyumnya tersirat mengingat kecemasan saat genting tadi.
Ada rasa bahagia yang menyelusup setelah ikut mengurus administrasi dan menyisipkan uang di dalam tas wanita itu. Teringat mata wanita itu yang mengerjap seakan memohon pertolongan. Ini menjadikan lelaki itu merasa diandalkan dan berguna.
Kebosanan yang akhir-akhir ini menghantui mulai memudar. Ini seperti menjalani kehidupan yang nyata. Melihat wanita itu yang memiliki anak yang disayang, rasa khawatir sekaligus ketakutan, memicu hati lelaki itu mulai berdenyut.
Ada yang ia perjuangkan. Tidak sepertinya.
***
Entah siapa yang menolongnya. Cahya memeriksa aplikasi taxi online, yang ternyata pesanannya di-cancel. Jadi dipastikan yang membawa mereka malam itu bukan sopir taxi. Tetapi siapa?
Selama tiga hari dua malam Sakti dirawat. Setiap hari Mbok Kadek datang menjenguk membawakan makanan untuk Cahya. Ibu kost itu pun awalnya terkejut mendengar Sakti dirawat di rumah sakit ini.
“Itu artinya pertolongan dari Tuhan melalui orang itu, Mbak. Tidak ada yang terjadi di dunia ini tanpa seijin-Nya. Mbok hanya bisa membantu doa dan membantu memberi bekal untuk Mbak Cahya.”
“Terima kasih, Mbok. Ini saja sudah sangat berarti bagi saya yang bukan siapa-siapa.”
“Jangan bilang begitu, nak e. Kita ini meskipun berbeda keyakinan, tetapi tetap sodara. Harus saling tolong menolong.”
Cahya mengangguk sambil tersenyum.
"Orang itu pasti diutus Tuhan, Mbak Cahya. Maaf, jangan-jangan ini pertanda jodoh Mbak–"
"Hus! Jangan gitu nak e."
Ini keberuntungan yang menjawab doa Cahya. Namun, dia sadar betul tidak bisa mengandalkan keberuntungan semata. Dia harus bekerja untuk kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, apa yang harus bisa dikerjakan tanpa mengabaikan anaknya yang masih umur satu tahun ini?
Ini bisa, kalau dia diterima di lowongan kapan hari itu. Meskipun kemungkinan sangat kecil, karena sudah berhari-hari tidak ada kabar.
"Pasti ada jalan! Aku harus kuat demi Sakti!" ucap Cahya sambil mengepalkan kedua tangan.
***
Secercah harapan timbul, ketika ada pesan masuk di ponsel.
Panggilan wawancara untuk pekerjaan yang sempat ia pertanyakan di awal–yang punya syarat harus sudah janda.
Ia menitipkan Sakti pada ibu kosnya dan berangkat.
Cahya mengenakan baju yang sering dipakai saat bekerja dulu. Tidak bagus, tetapi bersih dan masih cukup, walaupun agak ketat sedikit. Rambutnya yang sebahu, diikat rapi ke atas. Wajahnya yang ayu dipoles make-up tipis dan memperlihatkan kesan segar.
Tempatnya tidak jauh, hanya dua puluh menit perjalanan akhirnya sampai. Bangunan yang bertuliskan perusahaan penerima tenaga kerja, terlihat beberapa orang lalu lalang di depannya. Segera dia menghampiri karyawan yang berjaga di penerimaan tamu.
Dengan memasang wajah ramah, karyawan itu bertanya ada keperluan apa. Cahya pun menunjukkan layar ponsel yang menyatakan panggilan untuk datang langsung ke tempat ini.
"Oh, ini Mbak Cahya, ya. Sudah ditunggu di dalam. Mari saya antar," ucapnya dengan ramah.
Masih dengan keraguan, wanita yang sedang memperjuangkan nasibnya pun mengikuti langkah kaki yang mendahuluinya. Suara sepatu berhak tinggi, kontras dengan langkah senyap kaki Cahya yang menggunakan sepatu flat.
Bayangan yang sempat terlintas di kepala Cahya tentang perusahaan penyalur tenaga kerja dengan cerita seram, sementara terbantahkan. Tidak ada tanda-tanda aneh yang mematik curiga.
Dia masih ingat teman sekampung yang direkrut oleh perusahaan sejenis ini. Temannya itu mendapatkan perilaku tidak nyaman dari karyawan lainnya. Kadang, dimintai uang rokok atau pun mendapatkan perlakuan tidak senonoh yang berdalih sebagai tanda ucapan terima kasih.
Namun, sepanjang langkah ini memasuki bangunan ini, semua terlihat profesional. Seperti di kantor pada umumnya, karyawan di sini berpakaian rapi dan sibuk di depan layar komputer.
"Kami menyalurkan tenaga profesional untuk dalam ataupun luar negeri, Mbak Cahya. Sementara, sih, kesibukan berkurang banyak karena pengiriman karyawan ke luar negeri di hentikan. Untungnya, mereka yang sudah di sana tidak dipulangkan," jelasnya sekilas, menunjukkan perusahaan ini bukan penyalur tenaga kerja sembarangan.
"Kami masih fokus pada pelatihan tenaga dulu. Jadi setelah keadaan mereda, mereka sudah siap kirim. Mbak Cahya tunggu di sini dulu, saya akan panggil sebentar lagi," ucapnya, kemudian meninggalkan Cahya yang masih mencerna setiap apa yang dikatakan.
‘Mungkin ini, perusahaan yang biasanya diceritakan oleh teman-teman ketika aku masih bekerja sebagai waitres dulu,’ bisiknya dalam hati sambil mengedarkan pandangan.
"Mbak Cahya. Silahkan masuk!"
Ada dua wanita sekitar berusia empat puluh tahunan, yang menyambutnya. Dari penampilan, mereka bukan orang biasa. Baju yang dikenakan terlihat menunjukkan kelasnya, disempurnakan dengan dandanan yang begitu elegan.
"Mbak Cahya, ini Bu Sulastri pimpinan di perusahaan ini, dan beliau Bu Hanum yang akan merekrut Mbak Cahya."
Mata perempuan muda itu sekilas memindai Bu Hanum yang duduk begitu anggun di depanku. Wanita yang berusia sekitar lima putuh tahunan itu, menunjukkan wajah ramah, dengan menampilkan senyuman.
"Mbak Cahya, saya sudah menerima surat lamarannya. Saya ajukan pertanyaan boleh, ya. Kita santai saja, kok," ujar Bu Hanum sebelum memulai wawancara.
Banyak yang dia ajukan pertanyaan, dari latar belakang keluarga, pengalaman kerja, dan seputar keluarga Cahya.
Senyum Cahya terbersit dengan sendirinya, ketika Bu Hanum mengatakan jumlah gaji yang akan diterima termasuk fasilitas yang akan dia dapatkan. Itu kalau Cahya menerima tawaran pekerjaan ini. Lumayan besar untuk keadaan seperti sekarang.
"Pekerjaan yang harus saya lakukan apa, Bu Hanum?"
"Begini, Mbak Cahya. Saya ini sebenarnya hanya seorang karyawan. Yang memperkerjakan kita Nyonya William. Beliau yang membutuhkan bantuan Mbak Cahya."
"Bantuan? Bantuan apa?" tanyanya dengan mengernyit.
Bu Hanum menatap Cahya lekat sebelum bertanya, “Berapa usia anak Mbak Cahya?”
Cahya tidak langsung menjawab. Namun, karena atmosfer wawancara ini begitu profesional, Cahya kemudian menjawab dengan sikap serupa.“Satu tahun lebih. Tapi dia anak yang tidak rewel. Jadi saat saya bekerja, saya pastikan dia tidak mengganggu.”“Tidak apa-apa. Saya mengerti sangat anak umur satu tahun membutuhkan perhatian. Dia mulai jalan, berbicara, dan melakukan sesuatu yang sering bikin ibunya pusing, ya?” Bu Hanum tertawa kecil.“I-iya. Tapi dia–”“Tidak apa-apa. Kalau kamu diterima, kalian nanti akan kami siapkan tempat tinggal. Dan, anak kamu juga kami siapkan baby sister. Jadi kamu tidak usah khawatir”“.…”Cahya pun bingung tapi tidak bisa berkata-kata. Dia tidak merasa dia seberharga itu dengan mendapat fasilitas ini.“Apakah Mbak Cahya membawa dokumen yang diminta?”“Ah, ya.” Cahya meraih ke dalam map yang ia bawa. "Ini buku kesehatan anak saya." Ia meyodorkan buku berwarna merah muda. Buku kesehatan yang dikeluarkan oleh Bu Bidan.Wanita tua itu mengangguk-angguk setelah
“S-suami?”Dahi Cahya mengernyit. Maksudnya si Bule itu? “Oya, tadi suami ibu memberi titipan di dalam tas. Saya disuruh mengingatkan.”Bagian administrasi itu mengangguk hormat. Meninggalkan Cahya yang tertegun tanpa bisa berucap apapun.Pikiran buruk tentang laki-laki itu terhapus sudah. Apalagi Cahya mendapati segepok uang di dalam tasnya."Wah, jangan-jangan laki-laki itu malaikat yang ditugaskan membantuku?' pikir Cahya sambil memeluk erat tas yang bertambah bobot itu. "Dia baik banget dan keren seperti malaikat."Sementara di tempat parkir, mobil keluaran luar negeri keluar perlahan menuju jalan raya. Laki-laki berambut cokelat itu menghela napas lega. Senyumnya tersirat mengingat kecemasan saat genting tadi.Ada rasa bahagia yang menyelusup setelah ikut mengurus administrasi dan menyisipkan uang di dalam tas wanita itu. Teringat mata wanita itu yang mengerjap seakan memohon pertolongan. Ini menjadikan lelaki itu merasa diandalkan dan berguna.Kebosanan yang akhir-akhir ini men
Jantung Cahya sontak berdebar lebih cepat. Namun, ia berusaha tenang.“Mungkin mau tumbuh gigi, Mbok.” Ibu muda itu menjawab lembut.“Takut aku. Tadi sebelum tidur tidak apa-apa. Bangun tidur badannya panas.” “Anak kecil biasa gini. Semoga tidak ada apa-apa,” ucap Cahya yang sebenarnya dia berbicara dengan dirinya sendiri. Mencoba membuat hatinya tenang meskipun kekhawatiran pun mencuat kuat.Anak berumur satu tahun itu membuka matanya, kemudian tersenyum seakan senang merasakan dalam gendongan ibunya.“Sakti, ini ibu, Nak. Ini ibu belikan bubur dan jeli kesukaan Sakti. Bangun dulu, ya.”Tubuh kecil itu menggeliat. “Cakti mo bobok.”Cahya tersenyum dan mengangguk. “Ya udah kalau begitu. Bobok ya, Sayang.”“Badannya panas,” gumam Cahya sambil meletakkan punggung tangan di dahi anaknya.Buru-buru dia mengambil sapu tangan berbahan handuk yang sebelumnya direndam air hangat. Katanya, ini akan memicu keringat sehingga menurunkan suhu tubuh. Namun, untuk sekian lama panas tidak berkurang
[Dibutuhkan segera: tenaga kerja wanita.Syarat utama: janda mati yang mempunyai tanggungan anak balita.]Dahi Cahya berkerut setelah membaca iklan di situs lowongan pekerjaan. Dilihat dari sisi mana pun, lowongan ini aneh.Apakah pemasang iklannya mencari kesempatan untuk beramal kepada janda dan anak yatim?Walaupun ini sesuai yang wanita ini butuhkan, tetapi ada keraguan dalam hati Cahya. Apalagi saat membaca fasilitas yang akan ia dapatkan.[Gaji melebihi UMR, tinggal dalam, dan kebutuhan harian sudah ditanggung.]Jika bukan karena ada niat khusus, tidak mungkin kan fasilitasnya sebagus ini? Untuk janda beranak satu dan di masa ketika orang sedang kesulitan cari kerja pascapandemi pula.Namun, menelisik perusahaan ini sepertinya terpercaya dan bukan perusahaan penipuan yang berkedok mencari tenaga kerja. Banyak komentar yang menyatakan ini benar, dan Cahya pun tahu di mana letak kantor perusahaan itu.Setelah memantapkan diri, wanita beranak satu ini mengisi biodata dan meng-klik







