Share

Part 2

Pada akhirnya buliran bening meluncur dengan derasnya, Ningroem terisak sehingga Fahmi —anaknya memeluk dirinya.

"Mama kenapa kok menangis," ucapnya polos tidak paham dengan apa yang terjadi.

"Tidak apa-apa mama hanya sedih tidak bisa bersama Aa lagi, tapi Mama usahakan akan sering datang kesini untuk bertemu Aa."

Mungkin Fahmi tidak mengerti dengan ucapannya, dia hanya memandangi wajah ibunya saja, Ningroem memberikan uang 20.000 rupiah ke tangannya.

"Aa ini buat jajan, jangan di jajanin semua, ya? kembaliannya kasih ke nenek buat besok jajan lagi."

Ningroem memeluk anaknya sekali lagi mencium kening, mengacak rambutnya pelan. Ia pasti akan sangat merindukannya nanti jika harus tinggal terpisah.

"Mama tidak menginap di sini?" tanya putra sulungnya yang tidak tahu dengan pertengkaran yang baru saja terjadi di dalam. 

"Tidak Aa, Mama kan harus kerja, jika harus berangkat dari sini Mama kejauhan. Capek," jelas Ningroem. 

"Oh, iya." Fahmi manggut-manggut seolah paham dengan penjelasan ibunya.

Ningroem melepaskan pelukannya dan berpamitan sekali lagi pada putranya.

"Aa, Aa," ucap Denis pada kakaknya.

"Assalamualaikum Aa, jangan nakal sama nenek. Nanti mamah kesini lagi di lain hari."

Ningroem mencium pucuk kepala putranya dengan buliran bening yang tak mau berhenti. Hatinya sungguh sesak. Fahmi hanya menatap ibunya, sebetulnya ia ingin bersama ibunya. Jika tidak takut pada ayahnya.

Ningroem berjalan meninggalkan anaknya. Fahmi hanya menatap punggung sang ibu yang terus berjalan menjauh. Ia tidak menangis, tidak juga merengek. pikirnya ibunya tidak mau menginap karena hanya main. Memang ibunya selalu seperti itu jika menemui neneknya tidak pernah menginap.

Biarlah Fahmi tidak tahu kalau ayah dan ibunya telah bercerai. Itu lebih baik untuk psikologisnya. Nanti jika sudah sedikit dewasa Ningroem baru  akan menceritakannya pelan-pelan pada anaknya.

Ningroem pergi meninggalkan rumah ibu mertuanya dengan dada yang sesak karena ia tidak bisa membawa Fahmi, separuh dirinya tertinggal di sana.

Tapi tak apa Ningroem masih bisa menemuinya di lain hari, sesukanya karena seperti itu perjanjiannya.

Lelah hari ini bolak balik jalan kaki sambil menggendong Denis, yang lumayan berat. Sama seperti membawa beras 10 liter.

Setibanya dirumah Ningroem langsung menurunkan Denis dari gendongannya.

Ia membiarkan anak usia 9 bulan itu  merangkak kesana-kemari sesuka hatinya. Ningroem hanya menjauhkan benda yang sekiranya berbahaya untuk putra bungsunya.

Wanita berlesung pipi kelelahan karena berjalan sekaligus menggendong Denis. Ningroem merebahkan tubuhnya yang lelah di atas karpet. 

Terbayang kembali akan wajah anaknya Fahmi. Ningroem menatap foto keluarga  yang tergantung di dinding, putra sulungnya terlihat lucu dan menggemaskan. Sekarang tinggalah Ningroem dan anak bungsunya Denis. Keluarganya kini terpecah menjadi dua.

Rumah kontrakan ini menjadi terasa besar, padahal aslinya kecil mungkin karena penghuninya berkurang dua orang jadi seperti besar. Tidak ada lagi gelak tawa Fahmi saat ia sedang menonton televisi.

Ningroem hanya bisa menghembuskan nafas berat. Ini sudah pilihannya. Sekarang ia harus berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri, Ia kini harus berjuang untuk bisa menghidupi hidupnya beserta satu anak yang ia bawa. Ia tidak bisa lagi bergantung mengharapkan belas kasihan dari Bram lagi.

Menjadi janda di usia muda memang berat, tetapi Ningroem harus menjalaninya demi anak dan dirinya sendiri. Mempunyai suami yang tidak bertanggung jawab itu menyiksa hati dan perasaannya.

Teng 

Teng 

Bunyi suara tukang nasi goreng ditabuh dari kejauhan mulai mendekat.

"Bang."

Suara seseorang memberhentikan tukang nasi goreng, Ningroem hanya melongok dari pintu kontrakannya yang terbuka.

'rupanya Mas Dani.' Ningroem berbisik di dalam hati.

Terlihat Dani keluar diikuti istrinya dari belakang.

"Mbak," sapa Ratna yang melihat Ningroem dari pintu.

"Iya, Mbak," sahutnya hanya melongok dari pintu.

"Mau nasi goreng?" tanya Ratna menawarkan.

"Tidak usah Mbak, saya habis makan barusan," sahut Ningroem berbohong.  Padahal dirinya baru saja sampai di rumah belum sempat makan apa-apa dari siang tadi. Karena terlalu lelah dengan kejadian hari ini.

Wangi bumbu yang digoreng tercium harum menusuk hidung, perut Ningroem menjadi bunyi karena tak tahan mencium harum dari nasi goreng tersebut.

Denis naik ke pangkuannya meminta Asi menarik-narik baju bagian atas Ningroem.

Ningroem menutup pintu untuk memberinya Asi.

Tok  

Tok 

Pintu diketuk dari luar.

"Iya sebentar," sahut Ningroem merapikan pakaian bagian atas yang terbuka kemudian menurunkan Denis melangkah kearah pintu.

Ningroem membuka pintu, terlihat Ratna berdiri di hadapannya menyodorkan kantong plastik padanya.

"Buat Mbak," ucapnya.

"Tidak usah Mbak, aku sudah makan kok," sahut Ningroem menolak pemberiannya.

"Rezeki itu jangan ditolak pamali,"sambungnya lagi.

Ningroem terpaksa menerimanya dengan wajah memerah karena malu.

"Terimakasih Mbak, ah jadi merepotkan."

"Iya, Mungkin sekarang aku bisa menolong Mbak, mungkin esok hari Mbak yang menolongku." 

Ratna berlalu dari hadapan Ningroem, Wanita berlesung pipi kembali kedalam tanpa memikirkan ucapan yang baru saja diucapkan Ratna tetangganya.

Ningroem langsung duduk di karpet, membuka bungkusan plastik yang diberikan Ratna. Nasi goreng lengkap dengan telor ceploknya.

Wanita berlesung pipit mulai memakan Nasi goreng. Menyuapi anaknya karena  kebetulan nasi gorengnya tidak pedas jadi Denis bisa ikut makan.

'Alhamdulillah selalu ada rezeki yang tidak terduga yang selalu datang kepadaku,' gumam Mirna di dalam hatinya.

Rezeki Ningroem memang bagus dirinya tidak pernah kekurangan jika untuk urusan perut.

Perut sudah kenyang, Denis sudah tidur dengan pulasnya. Fahmi juga mungkin sudah tertidur di sana, semoga kamu selalu sehat dan selalu diberikan rezeki yang berlimpah. Terbesit doa untuk putra sulungnya sebelum mata Ningroem terlelap dalam dunia mimpi.

Keesokan paginya di saat Ningroem akan pergi kerja, Bu haji datang lagi kerumah. Dia datang untuk mengambil uang kontrakan yang belum sempat Ningroem bayar.

Ningroem memberikan uang kontrakan sebesar 500 ribu dan sisanya belum Ningroem bayar. Ningroem meminta keringanan untuk mencicil tiap bulannya 100 ribu, uang kontrakan satu bulan tunggakan jadi 600 ribu bulanannya selama lima bulan. Bu haji pun menyetujuinya.

Ningroem mengucapkan hamdalah dalam hati, ia sangat bersyukur pada  yang kuasa karena dirinya selalu diberi kemudahan dalam setiap urusannya.

Setelah Bu haji menerima rupiah dari tangan Ningroem dan kesepakatan pun selesai. Bu haji pun berpamitan untuk pulang.

Ningroem mengunci rumahnya dan menitipkan Denis kepada Mbak Ratna, setelah menciumi pipinya beberapa kali wanita berlesung pipi  melangkah meninggalkan kontrakan, untuk melakukan pekerjaannya  sebagai tukang cuci gosok.

Di pertengahan jalan Ningroem bertemu dengan Yesi yang mengendarai motornya.

"Mbak", sapa seseorang dari belakang.

Ningroem menoleh ke belakang rupanya Yesi yang memanggilnya.

"Ayo naik," pintanya menepuk jok motor bagian belakang yang kosong.

"Aku kira tadi Mbak sudah jalan duluan, aku nggak enak kalau harus nebeng terus," sahut Ningroem berterus terang.

"Kita kan tinggal di kontrakan yang sama Mbak, apa salahnya aku membantumu sedikit," sahut Yesi.

"Aku sungguh takut kalau Mbak nantinya meminta balas jasa, aku tak bisa membalasnya."

"Jangan berpikir terlalu rumit selama kita bisa saling bantu kenapa tidak. Dah ayo naik," pinta Yesi sekali lagi. 

Ningroem pun menghampiri Yesi.

"Baiklah," sahut Ningroem singkat ia pun akhirnya mau menumpang di jok motor Yesi, menuju ke tempat kerjanya yang sama.

Tak terasa mengendarai motor sambil mengobrol, akhirnya sampai juga di tempat tujuan yang sama.

Ningroem turun dari motor Yesi. Sementara Yesi memarkirkan motornya, setelah selesai ia menghampiri Ningroem. Melangkah bersama menuju rumah yang sama hanya beda tempat kerja saja, Ningroem di belakang di tempat nyuci dan gosok, sedangkan Yesi di tempat pembuatan kue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status