Pada akhirnya buliran bening meluncur dengan derasnya, Ningroem terisak sehingga Fahmi —anaknya memeluk dirinya.
"Mama kenapa kok menangis," ucapnya polos tidak paham dengan apa yang terjadi.
"Tidak apa-apa mama hanya sedih tidak bisa bersama Aa lagi, tapi Mama usahakan akan sering datang kesini untuk bertemu Aa."
Mungkin Fahmi tidak mengerti dengan ucapannya, dia hanya memandangi wajah ibunya saja, Ningroem memberikan uang 20.000 rupiah ke tangannya.
"Aa ini buat jajan, jangan di jajanin semua, ya? kembaliannya kasih ke nenek buat besok jajan lagi."
Ningroem memeluk anaknya sekali lagi mencium kening, mengacak rambutnya pelan. Ia pasti akan sangat merindukannya nanti jika harus tinggal terpisah.
"Mama tidak menginap di sini?" tanya putra sulungnya yang tidak tahu dengan pertengkaran yang baru saja terjadi di dalam.
"Tidak Aa, Mama kan harus kerja, jika harus berangkat dari sini Mama kejauhan. Capek," jelas Ningroem.
"Oh, iya." Fahmi manggut-manggut seolah paham dengan penjelasan ibunya.
Ningroem melepaskan pelukannya dan berpamitan sekali lagi pada putranya.
"Aa, Aa," ucap Denis pada kakaknya.
"Assalamualaikum Aa, jangan nakal sama nenek. Nanti mamah kesini lagi di lain hari."
Ningroem mencium pucuk kepala putranya dengan buliran bening yang tak mau berhenti. Hatinya sungguh sesak. Fahmi hanya menatap ibunya, sebetulnya ia ingin bersama ibunya. Jika tidak takut pada ayahnya.
Ningroem berjalan meninggalkan anaknya. Fahmi hanya menatap punggung sang ibu yang terus berjalan menjauh. Ia tidak menangis, tidak juga merengek. pikirnya ibunya tidak mau menginap karena hanya main. Memang ibunya selalu seperti itu jika menemui neneknya tidak pernah menginap.
Biarlah Fahmi tidak tahu kalau ayah dan ibunya telah bercerai. Itu lebih baik untuk psikologisnya. Nanti jika sudah sedikit dewasa Ningroem baru akan menceritakannya pelan-pelan pada anaknya.
Ningroem pergi meninggalkan rumah ibu mertuanya dengan dada yang sesak karena ia tidak bisa membawa Fahmi, separuh dirinya tertinggal di sana.
Tapi tak apa Ningroem masih bisa menemuinya di lain hari, sesukanya karena seperti itu perjanjiannya.
Lelah hari ini bolak balik jalan kaki sambil menggendong Denis, yang lumayan berat. Sama seperti membawa beras 10 liter.
Setibanya dirumah Ningroem langsung menurunkan Denis dari gendongannya.
Ia membiarkan anak usia 9 bulan itu merangkak kesana-kemari sesuka hatinya. Ningroem hanya menjauhkan benda yang sekiranya berbahaya untuk putra bungsunya.
Wanita berlesung pipi kelelahan karena berjalan sekaligus menggendong Denis. Ningroem merebahkan tubuhnya yang lelah di atas karpet.
Terbayang kembali akan wajah anaknya Fahmi. Ningroem menatap foto keluarga yang tergantung di dinding, putra sulungnya terlihat lucu dan menggemaskan. Sekarang tinggalah Ningroem dan anak bungsunya Denis. Keluarganya kini terpecah menjadi dua.
Rumah kontrakan ini menjadi terasa besar, padahal aslinya kecil mungkin karena penghuninya berkurang dua orang jadi seperti besar. Tidak ada lagi gelak tawa Fahmi saat ia sedang menonton televisi.
Ningroem hanya bisa menghembuskan nafas berat. Ini sudah pilihannya. Sekarang ia harus berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri, Ia kini harus berjuang untuk bisa menghidupi hidupnya beserta satu anak yang ia bawa. Ia tidak bisa lagi bergantung mengharapkan belas kasihan dari Bram lagi.
Menjadi janda di usia muda memang berat, tetapi Ningroem harus menjalaninya demi anak dan dirinya sendiri. Mempunyai suami yang tidak bertanggung jawab itu menyiksa hati dan perasaannya.
Teng
Teng
Bunyi suara tukang nasi goreng ditabuh dari kejauhan mulai mendekat.
"Bang."
Suara seseorang memberhentikan tukang nasi goreng, Ningroem hanya melongok dari pintu kontrakannya yang terbuka.
'rupanya Mas Dani.' Ningroem berbisik di dalam hati.
Terlihat Dani keluar diikuti istrinya dari belakang.
"Mbak," sapa Ratna yang melihat Ningroem dari pintu.
"Iya, Mbak," sahutnya hanya melongok dari pintu.
"Mau nasi goreng?" tanya Ratna menawarkan.
"Tidak usah Mbak, saya habis makan barusan," sahut Ningroem berbohong. Padahal dirinya baru saja sampai di rumah belum sempat makan apa-apa dari siang tadi. Karena terlalu lelah dengan kejadian hari ini.
Wangi bumbu yang digoreng tercium harum menusuk hidung, perut Ningroem menjadi bunyi karena tak tahan mencium harum dari nasi goreng tersebut.
Denis naik ke pangkuannya meminta Asi menarik-narik baju bagian atas Ningroem.
Ningroem menutup pintu untuk memberinya Asi.
Tok
Tok
Pintu diketuk dari luar.
"Iya sebentar," sahut Ningroem merapikan pakaian bagian atas yang terbuka kemudian menurunkan Denis melangkah kearah pintu.
Ningroem membuka pintu, terlihat Ratna berdiri di hadapannya menyodorkan kantong plastik padanya.
"Buat Mbak," ucapnya.
"Tidak usah Mbak, aku sudah makan kok," sahut Ningroem menolak pemberiannya.
"Rezeki itu jangan ditolak pamali,"sambungnya lagi.
Ningroem terpaksa menerimanya dengan wajah memerah karena malu.
"Terimakasih Mbak, ah jadi merepotkan."
"Iya, Mungkin sekarang aku bisa menolong Mbak, mungkin esok hari Mbak yang menolongku."
Ratna berlalu dari hadapan Ningroem, Wanita berlesung pipi kembali kedalam tanpa memikirkan ucapan yang baru saja diucapkan Ratna tetangganya.
Ningroem langsung duduk di karpet, membuka bungkusan plastik yang diberikan Ratna. Nasi goreng lengkap dengan telor ceploknya.
Wanita berlesung pipit mulai memakan Nasi goreng. Menyuapi anaknya karena kebetulan nasi gorengnya tidak pedas jadi Denis bisa ikut makan.
'Alhamdulillah selalu ada rezeki yang tidak terduga yang selalu datang kepadaku,' gumam Mirna di dalam hatinya.
Rezeki Ningroem memang bagus dirinya tidak pernah kekurangan jika untuk urusan perut.
Perut sudah kenyang, Denis sudah tidur dengan pulasnya. Fahmi juga mungkin sudah tertidur di sana, semoga kamu selalu sehat dan selalu diberikan rezeki yang berlimpah. Terbesit doa untuk putra sulungnya sebelum mata Ningroem terlelap dalam dunia mimpi.
Keesokan paginya di saat Ningroem akan pergi kerja, Bu haji datang lagi kerumah. Dia datang untuk mengambil uang kontrakan yang belum sempat Ningroem bayar.
Ningroem memberikan uang kontrakan sebesar 500 ribu dan sisanya belum Ningroem bayar. Ningroem meminta keringanan untuk mencicil tiap bulannya 100 ribu, uang kontrakan satu bulan tunggakan jadi 600 ribu bulanannya selama lima bulan. Bu haji pun menyetujuinya.
Ningroem mengucapkan hamdalah dalam hati, ia sangat bersyukur pada yang kuasa karena dirinya selalu diberi kemudahan dalam setiap urusannya.
Setelah Bu haji menerima rupiah dari tangan Ningroem dan kesepakatan pun selesai. Bu haji pun berpamitan untuk pulang.
Ningroem mengunci rumahnya dan menitipkan Denis kepada Mbak Ratna, setelah menciumi pipinya beberapa kali wanita berlesung pipi melangkah meninggalkan kontrakan, untuk melakukan pekerjaannya sebagai tukang cuci gosok.
Di pertengahan jalan Ningroem bertemu dengan Yesi yang mengendarai motornya.
"Mbak", sapa seseorang dari belakang.
Ningroem menoleh ke belakang rupanya Yesi yang memanggilnya.
"Ayo naik," pintanya menepuk jok motor bagian belakang yang kosong.
"Aku kira tadi Mbak sudah jalan duluan, aku nggak enak kalau harus nebeng terus," sahut Ningroem berterus terang.
"Kita kan tinggal di kontrakan yang sama Mbak, apa salahnya aku membantumu sedikit," sahut Yesi.
"Aku sungguh takut kalau Mbak nantinya meminta balas jasa, aku tak bisa membalasnya."
"Jangan berpikir terlalu rumit selama kita bisa saling bantu kenapa tidak. Dah ayo naik," pinta Yesi sekali lagi.
Ningroem pun menghampiri Yesi.
"Baiklah," sahut Ningroem singkat ia pun akhirnya mau menumpang di jok motor Yesi, menuju ke tempat kerjanya yang sama.
Tak terasa mengendarai motor sambil mengobrol, akhirnya sampai juga di tempat tujuan yang sama.
Ningroem turun dari motor Yesi. Sementara Yesi memarkirkan motornya, setelah selesai ia menghampiri Ningroem. Melangkah bersama menuju rumah yang sama hanya beda tempat kerja saja, Ningroem di belakang di tempat nyuci dan gosok, sedangkan Yesi di tempat pembuatan kue.
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Ningroem memalingkan tatapannya dari penjual pop es. Wanita itu tidak menyangka jika dirinya akan bertemu dengan Bram di wahana bermain. "E—eee, sama anak-anak," sahut Ningroem tergagap. Pria itu melangkah mendekati Ningroem. "Sama anak-anak!" Pria itu tertegun untuk sesaat karena tidak melihat Fahmi dan juga Denis ikut bersamanya. "Mereka ada di dalam sedang bermain," jelas Ningroem. "Aku membeli makanan untuk mereka karena takut merekaerasa lapar karena capek asyik bermain," pungkas Ningroem kemudian. "Ohh, boleh Mas ikut bergabung?" Belum sempat menjawab pertanyaan Bram, ibu penjual pop es memberikan tiga gelas pop es yang dipesannya. Ningroem menerima dan membayar pesanannya. "Boleh, kamu kan ayahnya." Bram mensejajarkan langkahnya dengan langkah Ningroem, wanita itu berhenti di penjual sosis untuk mengambil pesanannya. Setelah melangkah beberapa langkah Ningroem berhenti di Abang penjual martabak tadi ia juga memesan martabak manis dengan toping keju untuk dirin
"Mas, tunggu dulu. Aku takut."Dani melumat bibir Ningroem, "Mas akan melakukan dengan hati-hati."Ningroem merasa tegang, ini hari pertama setelah dirinya melahirkan rasanya miliknya merasa seperti perawan kembali rapat karena sudah di jahit. Wanita itu takut melakukan hubungan badan seperti saat memulai malam pertama."Jangan tegang," ucap Dani berbisik di telinga Ningroem, hingga membuat sekujur tubuhnya merinding. Ningroem menarik nafas dalam menghembuskannya perlahan . Wanita itu betul-betul takut dan tegang hingga. Dirinya tidak bisa menikmati pergulatan pertamanya, hanya fokus untuk menghilangkan rasa sakit saat memulainya."Mas, pelan, aku takut jahitannya robek.""Hem, kau seperti perawan. Dek." Kesat dan sempit sekali."Ningroem tersipu, Dani menaikturunkan tubuh di atas Ningroem. Wanita yang berada di bawah kunjungannya semakin erat meremas sprei menahan sakit. Namun, sesaat kemudian rasa cermas dan takut berangsur hilang tergantikan oleh nikmatnya hentakan yang di berikan
"Maksud Mas, apa?" Ratna merasa tak mengerti dengan perkataan Suaminya. "Ah, sudah lah lupakan kata-kata Mas, barusan." Dani tak ingin membuat hati Ratna gundah sehingga, pria itu meninggalkan Ratna yang masih berdiri mematung di hadapannya. Dani melangkah menuju box bayi yang di dalamnya terbaring putra kecilnya yang lucu. Dalam hati ia merasa kasihan pada Ningroem yang harus mengalah. Merelakan bayinya untuk tetap berada di sini. Tentu saat ini Ningroem sedang bersedih saat ini. Tidak ada teman untuk berbagi. Dani menyentuh pipi Yuda dengan telunjuknya, "Anak ayah baik-baik disini, ya bersama bunda Ratna." Dani berbicara pada Bayi Yuda yang tertidur dengan pulasnya. "Yang malam ini bolehkah aku menemani Ningroem? Pasti ia sangat sedih harus berpisah dengan bayinya." Dani meminta izin pada Ratna untuk menemani Ningroem istri keduanya. "Silahkan saja kalau pun tak kembali ke sini aku rela, karena aku sudah menukarmu dengan Yuda." "Apa, Yank. Memangnya aku barang yang bisa k
Sepulang dari pasar Dani menyempatkan untuk membeli kue, teringat akan Ningroem sedari tadi hatinya berdebar-debar terus. Dani tidak mengerti padahal dia tidak merasa sakit atau pun tidak enak badan. Apakah ada yang salah dengan jantungnya sehingga detaknya tidak seperti biasanya. Dani tidak memperdulikan detak jantungnya. Nanti juga kembali normal seperti biasa, kemarin juga sempat berdebar tetapi hilang dengan sendirinya. Semoga hari ini pun jantungnya baik-baik saja. Dani terus memacu motor maticnya hingga sampai di sebuah toko kue, setelah memarkirkan motornya pria itu turun melangkah masuk. Dani melihat-lihat aneka kue yang berderet rapi di meja, juga di etalase. "Mbak, saya mau ini dua." Tunjuk Dani pada kue brownies yang berbaris di etalase toko. Pegawai segera mengemas kue yang di minta Dani, setelah mengemasnya Dani segera membayarnya di kasir. Hari sudah semakin sore ketika Dani keluar dari toko kue tersebut. Baru saja hendak keluar dari toko tiba-tiba hujan turun de
Pagi harinya Ningroem merasa terbebas dari rasa meriang yang menyerangnya tadi malam, kini Kedua gunungnya meneteskan ASI dengan lancar. Hingga membasahi Bra, tembus ke baju yang dikenakannya. Jika orang lain tak pernah pakai Bra ketika memberikan ASI pada anaknya. Lain halnya dengan dirinya yang risih jika harus berpakaian tanpa Bra apalagi dua gunungnya terlihat menjulang padat dan meneteskan ASI hingga bajunya basah. Ningroem lebih nyaman mengganti sumpalan pada kedua Bra-nya dari pada bajunya harus basah terkena Air ASI-nya yang meninggal bau amis. Singkat cerita sudah dua bulan Ningroem berada di rumah Ratna. Ningroem merasa dirinya sudah sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa lagi. Ningroem memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ratna, untuk membicarakan sesuatu hal yang penting menyangkut dirinya dan juga putranya yang diberi nama oleh Ratna, Yuda putra Pratama. "Masuk!" Ningroem menekan gagang pintu untuk membuka pintu, melangkah masuk. Ratna yang sedang menyisir r
Ningroem tidak dapat lagi membendung air matanya. Ia menangis terisak di dalam mobil. Dirinya tak menyangka akan berpisah dengan anak dalam waktu dekat. Bayinya masih sangat kecil masih sangat membutuhkan dirinya. Tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk Yuda. Anak yang baru berusia dua bulan darah dagingnya sendiri dari lelaki yang menjadi Suaminya. Pak supir yang tak tega mencoba menghibur Ningroem. "Sabar Mbak, segala sesuatu tentunya ada balasannya. Aku juga tak menyangka jika Bu Ratna akan berbuat nekat seperti ini. Menyuruh Mbak untuk meninggalkan bayimu di sini." Ningroem tidak menanggapi ucapan pak supir di depannya. Hatinya masih sangat pilu mengingat bayinya yang ia tinggalkan di rumah Ratna. Sang supir pun tidak sakit hati karena ucapannya tidak mendapatkan tanggapan. Ia sangat paham pada wanita yang duduk di jok belakang. Pak supir bersimpati padanya tetapi tidak ia bisa berbuat apa-apa sehingga sang supir hanya fokus lagi ke jalan raya yang berada di depannya. "
Pagi harinya ketika Adzan subuh berkumandang, Ningroem memberanikan diri untuk membersihkan badannya yang lengket. Ningroem tidak ingin membangunkan Ratna yang masih tertidur pulas, bersama ibunya di tempat tidur sebelah yang kosong karena tidak ada Pasien lain. Sedangkan Dani tidur di atas tikar yang dibawanya dari rumah. Ningroem melihat sekilas pada box bayi yang ada di samping tempat tidurnya. Dilihatnya bayinya masih tertidur pulas. Ia pun perlahan beranjak dari tempatnya semula. Berjalan pelan menuju kamar mandi, yang masih ada di pojok kamarnya. Karena tangan Ningroem tidak di infus. Ia menjadi lebih leluasa untuk melakukan aktivitasnya. Hanya saja bagian intinya yang masih terasa sakit Karena baru satu hari melahirkan. Ningroem memasuki kamar mandi dengan hati-hati. Kemudian melepaskan pakaiannya satu-persatu dari tubuhnya. Menghidupkan kran air, membasuh tubuhnya dari kepala hingga badannya sesuai nasehat yang diberikan Ibunya ketika ia melahirkan anak pertamanya. "Ndok j