Share

Diminta Menjadi Madu
Diminta Menjadi Madu
Penulis: Kinan Kinanti

Part 1

Ningroem mengetuk pintu rumah ibu mertuanya dengan tangannya sendiri.

Tangannya gemetar, hatinya  berdebar tak menentu. Dalam hati Ningroem merasa takut untuk menemui Bram. Tetapi karena didukung dengan keadaannya sekarang yang tak jelas. Ia harus berani untuk menentukan nasibnya, juga nasib kedua anaknya.

Ningroem sudah mengetuk pintu berkali-kali. Namun, tidak ada tanda jika pintu akan terbuka. Entah beliau pergi kemana atau mungkin beliau sedang tidur siang sehingga tidak mendengar ketukan di pintu.

Ningroem masih mematung di depan pintu. Wanita berlesung Pipit itu  sedikit melamun, ia teringat pada nasib kedua anaknya.

Fahmi sudah satu hari di sini, anak sulungnya diambil darinya tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Ningroem baru sempat  menemuinya sekarang karena ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Suaminya ---Bram sudah satu bulan tidak pulang ke rumah menelantarkan dirinya juga anak bungsunya. Wanita berlesung Pipit masih diam saja. Sebenarnya Ningroem sengaja diam saja supaya ia mudah untuk meminta cerai, ia merasa tak tahan lagi hidup tanpa diberikan nafkah lahir oleh suaminya. Ningroem tak ingin ada ribut-ribut malu sama tetangga.

Ningroem masih mematung di depan pintu hingga kakinya terasa pegal, Sehingga dirinya tidak hanya mengetuk pintu, tetapi mengucapkan salam dengan suara yang cukup  keras. Besar harapannya bisa bertemu dengan ibu mertuanya.

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam."

Terdengar sahutan dari dalam yang diikuti dengan suara langkah kaki yang mendekat. Ningroem menarik nafas lega. Menunggu ibu mertua untuk membukakan pintu.

Wanita paruh baya itu tersentak kaget ketika melihat Mirna berdiri di depan pintu dari kaca jendela. Bu Mumun —ibu mertua pun mempercepat langkah kakinya menuju ke arah pintu untuk membuka pintu yang tertutup.

Setelah pintu terbuka Bu Mumun langsung memeluk menantunya. 

Wanita berlesung pipit tercengang mendapat perlakuan yang diberikan ibu mertuanya itu. Tidak biasanya tiba-tiba memeluk hangat seperti itu. Biasanya ia memeluknya ketika lebaran saja saat bermaaf-maafan.

Sesaat kemudian keduanya saling melerai pelukannya.

Bu Mumun mengambil Denis dari gendongan Mirna kemudian  diciumnya pipinya berkali-kali hingga Denis menangis karena risih.

Ningroem mencium punggung tangan ibu mertuanya sebagai tanda bakti padanya.

"Maaf ya Bu, Ning jadi merepotkan ibu dengan adanya Fahmi di sini."

Ningroem berusaha membuka pembicaraan.

"Tidak apa-apa Ning, ibu malah senang dia ada di sini. Serasa ada hiburan," timpal Bu Mumun.

"Mas Bram ada disini gak Bu?"

Ningroem mencoba menanyakan keberadaan Suaminya barangkali saja dugaannya benar. Jika Bram ada di rumah ibunya.

"Iya dia ada di sini sudah sebulan, apa kamu ribut dengannya?" tanya Bu Mumun menyelidik menatap menantunya yang masih berdiri.

"Bicara di dalam saja, malu sama tetangga," pinta Bu Mumun pada Ningroem.

Wanita berlesung Pipit melangkah masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Yang tidak begitu luas tetapi cukup rapi. 

"Iya Bu, sebenarnya Mas Bram nyuruh saya kerja.  Dia sengaja tidak memberikan nafkah kepada kami," jelas Ningroem terus terang. Karena ia tidak bisa berbasa-basi.

Wanita berlesung Pipit berhenti bicara sesaat karena tanpa sengaja butiran bening jatuh di pipinya. ia sudah tak kuat untuk menahannya lagi sehingga terisak. 

"Kontrakan saja Ningroem belum  di bayar  masih nunggak satu bulan, Bu. Karena Mas Bram di sini terus."

Dada Ningroem kian sesak seperti terhimpit batu, ketika terus menceritakan keadaan dirinya.

"Sekarang Ning kerja Bu, untuk membayar kontrakan dan makan sehari-hari. alhamdulilah ketemu. Walaupun Ning harus menitipkan Denis pada orang lain."

Ningroem kian sesenggukan menceritakan keadaan dirinya.

Bu Mumun —mertuanya mengusap punggung menantunya, ia ikut prihatin dengan keadaannya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa ia tahu sipat anaknya memang keras kepala tidak bisa diberikan nasehat. 

"Ning bukannya ibu membiarkannya berlaku demikian, sebenarnya ibu juga sudah menasehatinya untuk pulang ke rumahmu tetapi dia tidak mau dengar malah memarahi ibu. Jadi ibu malas."

"Tidak apa Bu, Ning hanya ingin mengambil Fahmi untuk saya bawa pulang sekarang. Ning tidak bisa jika harus hidup tanpanya," jelas Ningroem mengutarakan maksud dari kedatangannya pada Bu Mumun.

Bu Mumun tidak bisa berkata apa-apa, karena memang Ningroem ibunya wajar saja jika dia ingin membawanya pulang kembali.

"Tidak enak saja, biarkan Fahmi di sini, kamu bawa Denis saja," timpal  Bram yang tiba-tiba muncul dari arah luar menjawab ucapan Ningroem.

Ningroem dan Bu Mumun menoleh ke arah pintu melihat Bram yang baru saja datang entah dari mana.

"Apa hak mu?" Ningroem langsung berdiri ketika mendengar suara Bram yang menjawab permintaannya.

Spontan Ningroem bertanya tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Sehingga Bram lebih berani menjawab semua pertanyaan darinya.

"Aku kan bapaknya jadi bolehlah dia sama aku, toh dia juga sudah besar!"

"Kalau mau seperti itu baiklah ceraikan aku dulu, asalkan aku bisa menjenguknya tak apa," timpal Ningroem lebih berani lagi,  melangkah mendekati suaminya yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mirna merasa panas dan terbakar emosi.

Bram yang terlanjur terbakar emosi langsung menjawab tantangan Ningroem.

"Aku talak kamu sekarang juga," ucapnya dengan suara lantang, Bram terbawa emosi tanpa berpikir terlebih dahulu.

"Terimakasih kamu sudah menalakku,  jadi tanggung jawabmu atas diriku sudah tidak ada, aku bisa hidup lebih baik tidak tersiksa lagi lahir batin atas ulah dan sikapmu itu, Mas."

Ningroem merasa lega sekaligus sedih karena ia harus berpisah dengan putra sulungnya ---Fahmi.

Bu Mumun —ibunya Bram tidak setuju dengan ucapan anaknya sehingga ia menyuruh Bram untuk menarik ucapannya kembali yang baru saja diucapkannya.

"Bram apa-apaan ucapanmu itu,  kamu menceraikan istrimu apa salahnya? Tarik kata-kata itu kembali." ucap Bu Mumun dengan mata yang membulat sempurna.

"Ibu tidak usah ikut campur ini urusan aku sama Ningroem. Aku sudah capek memberikan dia nafkah terus-terusan. Aku ingin bersantai, menikmati uangku sendiri," sahut putranya tanpa beban.

"Apa-apaan ucapanmu itu Bram, mengapa dulu kamu menikahinya dan sekarang ingin mencampakkannya?" Bu Mumun mengingatkan Bram ketika putranya meminta untuk melamar Ningroem dan menikahinya. Namun, sekarang putranya malah mencampakkan wanita yang benar-benar telah sabar mendampingi putranya itu. 

"Aku capek banting tulang tapi tidak ada hasil yang bisa kunikmati, biarkan sekarang dia yang cari uang untuk hidupnya sendiri."

Bu Mumun hanya bisa diam, dadanya pun ikut sesak mendengar perkataan yang terlontar dari bibir putranya.

"Oke. Kalau kamu seperti itu aku ingatkan kamu hari Rabu ini. Jam 02.00 siang, kamu mengatakan cerai, ibumu sebagai saksinya. Baiklah aku pulang aku masih bisa ketemu Fahmi itu kesepakatannya," ucap Ningroem lantang dengan buliran yang terus meluncur membasahi pipi mulusnya, yang tak bisa dibendung lagi.

Denis menangis melihat kami bertiga berebut kata, Ningroem mengambilnya putranya yang dalam gendongan Bu Mumun ---mertuanya berpamitan pulang. Ia sudah tak ingin berlama-lama sehingga membuat kewarasannya hilang.

"Ibu titip Fahmi ya, insyaallah kalau ada rezeki saya akan membantu biaya untuk mencukupi kebutuhan Fahmi."

"Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa mempertahankan rumah tanggamu."

Bu Mumun memeluk Ningroem dengan buliran bening yang terus meluncur dari sudut matanya.

"Tidak apa Bu, mungkin sudah jalan hidup Ning harus seperti ini," sahut Ningroem dengan suaranya yang terdengar parau karena menangis.

Buliran bening terus mengalir membasahi pipi Ningroem, sesekali ia menyekanya dengan punggung tangannya. Tetapi buliran bening itu malah semakin deras mengalir di pipinya.

Ningroem berusaha bersikap tegar, Ia tak ingin terlihat lemah di mata Bram.

Ningroem membalikan tubuhnya  berjalan keluar dari rumah ibu mertuanya.

Wanita berlesung Pipit menghampiri Fahmi yang masih bermain di halaman. Sebelum langkahnya sampai berhadapan dengan putranya Ningroem menghapus buliran bening yang terus menetes di pipinya. Wanita berlesung Pipit mendongakkan wajahnya menatap langit berwarna biru, kemudian  menarik nafasnya dalam. Ia tak mau jika Fahmi melihatnya menangis.

"Aa, Mama pulang dulu ya, kalau Aa kangen sama Mama, Aa minta sama nenek untuk mengantarkan ke rumah  Mama, ya?"

Ningroem berbicara parau tak kuasa menahan sesak didada yang kian menghimpit. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status