Share

Part 4

Jika keadaannya demikian rasanya nggak mungkin Mbak Ratna bisa hamil. kasihan sungguh nasib kedua pasangan ini. Ningroem membatin dalam hati.

Kenapa juga aku memikirkannya? Nasibku juga sama menyedihkannya dengan mereka.  hanya berbeda permasalahannya saja. Setiap-tiap orang pasti punya masalah. Tinggal bagaimana caranya diri kita untuk menyingkapi masalah tersebut dengan baik. Aku juga mengambil keputusan sebagai janda karena menurutku baik.

Baik untukku namun, tidak untuk anakku. Tapi, ya memang tidak ada lagi jalan selain ini. Lagi-lagi Ningroem berbicara dengan hatinya sendiri. Membatin sembari berjalan tak terasa akhirnya ia sampai juga di tempat kerjanya. 

Ningroem membuka pintu gerbang yang tidak di kunci. Ia langsung menuju ke tempatnya kerja di bagian belakang.

Ningroem langsung memisahkan pakaian yang berwarna dan yang putih untuk di giling, sedangkan yang kemarin kering siap untuk di gosok. Ningroem langsung menata pakaian kering di atas meja gosok, kemudian mulai menggosoknya satu persatu.

"Ning, sudah selesai?" tanya Bu Halimah padanya

"Belum Bu," sahut Ningroem memalingkan wajahnya untuk melirik Bu Halimah. Rupanya Bu haji membawakan nampan yang berisi sarapan untuknya.

"Ini ibu bawakan kopi dan pisang goreng dimakan, ya?"

Bu Halimah meletakkan nampan kecil di atas meja, yang letaknya di sudut ruangan.

"Terimakasih Bu."

Ningroem meneruskan menggosok baju hingga selesai. Sesekali mengecek cucian yang harus dibilas kemudian lanjut untuk di keringkan, setelah selesai baru Ningroem langsung menjemurnya. Sekitar tengah hari barulah pekerjaannya betul-betul selesai.

Ningroem meneguk kopi yang disuguhkan Bu Halimah sambil meluruskan kedua kakinya di lantai keramik,  kakinya terasa pegal dan kesemutan karena terlalu lama duduk melipat kedua kakinya.

Wanita berlesung pipi menggigit pisang goreng untuk mengganjal perut yang mulai terasa lapar, karena tenaga habis dipakai menggosok baju.

Setelah dirasa cukup kenyang,hidangan pun telah habis Ningroem lahapnya. Ia pun menghampiri Bu Halimah yang sedang berada di ruang tengah, sedang menonton televisi bersama anak dan suaminya.

"Bu, bu, " sapa Ningroem.

"Iya." Wanita paruh baya itu menoleh ke arah Ningroem.

"Saya pamit pulang."

"Sudah selesai."

"Sudah Bu."

"Tunggu sebentar."

Bu Haji bangun dari duduknya, melangkah ke arah dapur, tak berapa lama ia menghampiri Ningroem dengan kantong plastik hitam di tangannya. Kemudian disodorkannya pada wanita berlesung pipi.

"Ini ada sedikit makanan, terimalah."

"Terimakasih."

Ningroem memang tidak pernah menolak pemberian siapapun. Ia menghargainya walaupun entah isinya apa. Suka ataupun tidak dirinya tetap menerimanya.

Ningroem menerima kantong plastik tadi sehingga berpindah tangan. Kemudian ia segera berlalu dari hadapan Bu Halimah setelah mengucapkan salam.

"Alhamdulillah selalu dimudahkan rezeki setiap pulang dari rumah ini tak pernah pulang dengan tangan kosong, semoga Bu haji selalu diberikan keberkahan karena telah menolongku." Ningroem membatin sekaligus mendoakan Bu Halimah yang telah baik padanya.

Ningroem mempercepat langkah kakinya, supaya cepat sampai di rumah karena kangen dengan Denis ---putranya.

Ningroem juga teringat pada perbincangan tadi pagi yang tertunda dengan Ratna, yang membuatnya penasaran sebenarnya tetangganya itu ingin membicarakan tentang apa?

Dari kejauhan terlihat Mbak Tini yang sedang menggendong Denis, tetapi mereka tidak melihat Ningroem. Wanita berlesung pipi berjalan menuju ke arah mereka.

"Denis."

Denis dan Mbak Tini langsung menengok ke arah asal suara Ningroem.

"Sudah pulang, Mbak?"

"Iya Mbak."

Kedua tangan Denis di angkat minta di gendong oleh Ningroem. Wanita berlesung pipi mengambilnya dari gendongan Tini, kemudian berjalan beriringan untuk pulang menuju ke rumahnya Ningroem.  

Setelah sampai di rumah, Ningroem  mengajak Tini untuk singgah terlebih dahulu. Setelah menurunkan Denis dari gendongannya. Ningroem melangkah masuk ke dalam untuk mengambil amplop dan memberikannya ke tangan Tini. Mengucapkan terimakasih karena sudah menjaga Denis. Tak lama wanita ramping itu berpamitan untuk pulang.

Ningroem merebahkan tubuhnya di karpet, Karena capek dan lelah.  wanita berlesung pipi membiarkan Denis memberantakan mainan. Ningroem hanya mengawasinya, hampir terlelap namun, kedua matanya kembali terbuka karena terkejut dengan ucapan salam seorang pria di luar sana.

Terpaksa Ningroem bangkit dari tidurnya untuk membuka pintu.

Terlihat di sana Dani sedang berdiri dengan sebuah kantong plastik di tangannya.

"Ning, ini untukmu."

Suami Ratna menyodorkan kantong plastik ke arah Ningroem. Ia menerimanya dengan senang hati.

"Wah terimakasih, sebaiknya ini untuk istrimu saja Mas bukan di berikan padaku."

Ningroem merasa tak enak sehingga menolaknya dengan halus.

"Untuk Ratna sudah ada bagiannya," sahut Dani yang langsung pergi setelah menjawab pertanyaan darinya.

"Baiklah, terimakasih banyak Mas."

Ningroem menerimanya, Dani segera berlalu dari hadapannya.

Ningroem membuka kantong plastik yang baru saja diterimanya, isinya 4 bungkus mie dan 4 butir telur.

Alhamdulillah selalu ada rezeki yang tak terduga. Ningroem menaruhnya ke belakang.

Menggendong Denis untuk di mandikan karena hari sudah sore.

Setelah selesai Ningroem menidurkannya baru kemudian dirinya mandi dan shalat Ashar.

"Mbak, Mbak."

Panggil seseorang dari sebelah rumah dengan suara agak keras

"Iya, Mbak ada apa?"

Ningroem menjawab dari dalam rumahnya.

"Kesini sebentar!" panggil Ratna dari rumahnya.

Ningroem meninggalkan Denis yang sedang tertidur pulas di kamarnya. Menuju ke sebelah rumah untuk menemui Ratna yang memanggilnya.

Ningroem melongok dari balik pintu dan memanggilnya.

"Mbak ada apa ya?" tanya Ningroem dari ambang pintu.

"Sini Masuk Mbak, Mas Dani gak ada kok," pinta Ratna dari dalam rumah.

Ningroem melangkah masuk menemui Ratna yang masih rebahan di kursi, karena luka bekas operasinya belum sembuh betul.

Wanita berlesung pipi duduk di bangku sebelah Ratna.

"Anakmu mana Mbak?"

"Tidur."

"Ya sudah, kita bisa leluasa berbincang."

Dahi Ningroem mengkerut, sebenarnya ia sudah penasaran dari tadi pagi dan baru bisa bertemu Ratna sore ini. Ratna masih berputar- putar saja bicaranya tidak langsung kepada pokok pembicaraan. Ningroem masih menjadi pendengar yang baik mendengarkan semua curhatan tetangganya itu.

"Mbak, tahukan aku sangat ingin mempunyai anak, tapi kondisiku seperti ini. Rahimku diangkat sedangkan rahim adalah tempat untuk si jabang bayi bersemayam, kalau sudah seperti ini —"

"Sudah Mbak jangan berpikir terlalu keras, Mbak 'kan belum begitu sehat, nanti lukanya robek lagi terguncang-guncang karena tangis Mbak," sahut Ningroem mengusap-usap bahunya.

"Mbak nasibku sungguh malang sudah tujuh tahun ini aku menantikan seorang bayi, tapi tak kunjung datang dan Allah malah memberikanku penyakit seperti ini. rasanya aku sudah tak ada artinya untuk Mas Dani," ucapnya menangis sesenggukan tak kuasa lagi menahannya.

"Jangan bicara seperti itu Mbak, Mbak lebih beruntung dari nasib saya janda anak dua pontang-panting sendirian  untuk mencari rezeki demi diri, anak dan tempat tinggal."

Mbak Ratna menatapku dengan linangan air mata di pipinya.

"Mbak, mau kan menolongku?"

"Mbak mau ke kamar mandi? Mari saya antar?"

Ningroem bangkit berdiri dari duduknya namun, Mbak Ratna menarik tangannya kembali untuk tetap duduk. Wanita berlesung Pipi hanya bisa menurut saja. Ia pun meletakkan bokongnya kembali di kursi yang semula didudukinya.

"Bukan itu, aku tidak ingin ke kamar mandi tetapi ingin memintamu untuk menjadi maduku bisa kan, Mbak?"

Ningroem membulatkan mulutnya, ia sungguh kaget dengan apa yang baru saja di dengarnya.

Ratna baru saja meminta aku untuk jadi madunya, tidak. Tidak Walaupun aku bisa memberikan anak tapi aku sama sekali tidak terpikirkan kalau harus menjadi madu dari seseorang. Apa lagi yang meminta adalah Ratna tetangganya yang sudah berlaku baik padanya setiap saat.

Mana mungkin aku menyanggupinya, mana mau Mas Dani sama Aku yang seperti ini keadaannya, wajah tanpa perawatan beda dengan Mbak Ratna yang bersih terawat.

Jika pun Mas Dani setuju dengan ucapan Ratna. Aku tidak serta Merta menerimanya. Tidak aku tidak ingin melukai hati siapapun. Seperti aku sedang bermimpi.

Ningroem mencubit punggung tangannya sendiri. Namun, terasa sakit. Itu berarti ucapan Mbak Ratna memang betul bukannya mimpi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status