"Ranggi, kalau suatu hari nanti aku menyakitimu, bagaimana?"Angin menerpa wajah Mentari yang membuka kaca helmnya. Saat ini dia dan Ranggi sedang berboncengan mengelilingi kota hanya untuk jalan-jalan. Mereka mengunjungi satu per satu tempat hits meskipun hanya sebentar."Kalau yang menyakitiku itu kamu, Sunshine, aku tidak masalah," sahut pria itu sambil menoleh sekilas."Aku serius, Ranggi.""Aku juga serius, Sunshine. Memangnya hal menyakitkan apa yang akan kamu lakukan?" Ranggi balik bertanya.Mentari mengeratkan pelukannya ke pinggang Ranggi. "Aku bilang kalau.""Satu-satunya yang akan menyakitiku itu kalau kamu pergi dariku dengan sengaja," ucap Ranggi sambil menghentikan motornya di parkiran sebuah taman.Keduanya lantas turun. Ranggi menggengam tangan sang istri saat mereka berjalan menyusuri taman yang dipenuhi anak muda tersebut. Ada yang berkelompok, menyendiri, atau berpasangan seperti mereka."Kita foto dulu di sana," ujar Mentari seraya menunjuk spot foto berupa dinding
"Mbak Tari?"Mentari mengangguk. "Pesanan saya sudah bisa dibawa, Mbak?" tanyanya."Sudah, Mbak," ucap perempuan bernama Ratu itu. Dia ke dalam rumahnya sebentar, lalu kembali membawa box berisi empat cup strawberry cream cheese.Mentari sengaja memesan dessert dari Ratu hanya untuk bertemu dengannya secara langsung. Mentari ingin tahu siapa Ratu sebenarnya. Namun, dia ternyata tidak pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya. Reaksi yang ditunjukkan Ratu juga biasa saja. Tidak ada yang mencurigakan."Mbak Ratu pernah dengar soal Sasi Dessert?" tanya Mentari memancing.Ratu tampak berpikir sejenak. "Tidak, Mbak," jawabnya."Yang viral di aplikasi X, loh, Mbak."Ratu menggeleng. "Saya tidak punya aplikasi itu, Mbak. Jadinya tidak tahu apa yang viral. Memangnya kenapa, Mbak?"Ekspresi Ratu terlalu tenang. Mentari tidak bisa mendeteksi kebohongan dari sorot maupun raut wajahnya. "Tidak. Saya pikir Mbak tahu, so
Dulu Reta hanya marah karena sang papa sering menjadi alasan mamanya menangis. Namun, setelah dia beranjak dewasa dan tahu arti sebuah perselingkuhan, kemarahan itu berkembang menjadi rasa benci yang teramat dalam.Suri sering mengingatkannya agar tidak menyimpan dendam. Akan tetapi, salahkan Panca yang menampakkan diri di hadapan Reta lagi. Kemunculannya membuat luka Reta kembali menganga. Perbuatan buruk sang papa kembali menghantam ingatan. Menjadi mimpi buruk saat pria itu melakukan kekerasan terhadap mamanya.Hari ini Panca berusaha menemui Reta untuk yang kesekian kali dalam satu bulan ini. Anehnya, Panca selalu menunggu Reta di gerbang sekolah. Dia sengaja melakukan itu agar pertemuan ayah dan anak itu bisa disaksikan oleh orang banyak, sehingga Reta bisa lebih menjaga sikap. Jika Panca ke rumah, pastilah Reta tidak akan ragu mengusirnya meski dengan kekerasan sekalipun.Kemarin-kemarin Reta hanya mengabaikannya. Namun, sekarang dia sudah sangat muak. Kesabarannya habis begitu
Mentari langsung membuang muka, menyembunyikan wajah agar Panca tidak melihat, apalagi mengenalinya. Sementara Reta justru mendengkus kasar. Dia tahu ini bukan kebetulan. Panca pasti sengaja merencanakannya. Pria itu memaanfaatkan Reta yang sedang gencar mempromosikan jualan Mentari di media sosialnya."125 ribu untuk tiga cup," ucap Reta dingin seraya mengulurkan dus kemas.Gadis itu memindai sebentar keadaan kediaman Panca. Ternyata memang sudah menjadi gembel. Seharusnya Panca bisa lebih berhemat."Tidak mau masuk dulu, Nak?" Pria itu bertanya."Bayar sekarang atau aku bawa lagi?" Reta sangat malas berbasa-basi."Barangkali kamu ingin mendengar penjelasan tentang yang Papa ucapkan waktu itu."Dugaan Reta benar. Panca memancingnya ke tempat ini. Mungkin dia belum tahu alamat rumah Reta."Oke, kalau memang tidak jadi dibeli. Menyusahkan orang saja," ujar Reta sambil memutar tubuh.Namun, Panca tidak membiarkannya pergi begitu saja. Pria itu menahan Reta di pundaknnya. "Kiani, kamu ha
08XX : [Wah, Tari. Kejutan apa ini? Kamu menikah dengan mantan adik iparku?]Mentari spontan menelungkupkan layar ponselnya ke dada. Tanpa perlu menebak, dia langsung tahu siapa yang mengirim pesan itu meskipun Panca memakai nomor baru.Perempuan itu membasahi bibir. Jantung mendadak berdebar keras. Dia lantas menghela napas beberapa kali untuk menenangkan diri. Ibu jarinya bergerak memencet tombol on/off agar ponselnya mati. Namun, Mentari yakin Panca akan tetap mengganggunya. Panca tidak akan melepaskannya begitu saja."Wajah kamu pucat. Kamu baik-baik saja, kan, Sunshine?" tanya Ranggi yang baru kembali dari kamar mandi.Mentari sebisa mungkin membentuk senyuman tulus. "Iya," jawabnya seraya mengangguk pelan.Namun, Ranggi tetap ingin memastikan. Dia segera menempelkan telapak tangannya di kening Mentari, kemudian turun ke leher perempuan itu. Ranggi lantas mendudukkan dirinya di samping sang istri. "Kamu pasti mengkhawatirkan Sasi, kan?"Sebelum pesan dari Panca datang, Mentari me
Mentari hanya bisa berpegangan erat pada tambang yang melingkar di pelampung ban yang dia naiki. Pekikkannya sesekali terdengar saat dia melewati jalur sungai yang cukup curam menurutnya, karena Ranggi justru tertawa geli melihat reaksi Mentari."Ranggi! Aku mau berhenti di sini saja," seru perempuan itu, lalu menjerit saat pelampung bannya menabrak batu kali. Dia nyaris saja terguling."Sebentar lagi sampai ke vila, Sunshine. Semangat! Masa mau kalah sama anak kecil?"Mentari mendengkus kesal. Seumur hidup, ini pertama kalinya dia mencoba wahana river tubing atas bujukan Ranggi. Meskipun sungainya tidak terlalu dalam, tetap saja Mentari takut. Beruntung jembatan kayu yang berada tepat di depan vila sudah kelihatan. Mentari akhirnya bisa menghela napas lega saat bokongnya terangkat dari pelampung."Seru, kan?" Ranggi bertanya sambil merangkul pundaknya.Mentari tersenyum paksa. "Seru karena kamu bisa menertawai aku!""Aduh, si cantik marah." Ranggi mencubit pipi istrinya.Hari ini ada
"Apa, Sunshine? Kamu akan mencari pekerjaan?" Ranggi memutar tubuhnya, menghadap Mentari yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang."Iya," jawab Mentari sambil menahan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya agar tidak merosot.Ranggi mengurungkan niatnya yang hendak ke kamar mandi. Dia kembali duduk di dekat sang istri. "Apa uang yang selama ini aku kasih ke kamu itu kurang?"Perempuan itu menggeleng. "Ini bukan soal uang nafkah, Ranggi. Kamu tahu, kan, selama belasan tahun aku terbiasa mencari uang sendiri. Jadi, saat aku tidak memilikinya, seperti ada yang kurang."Apa yang Mentari katakan tidak sepenuhnya sebuah kebohongan. Dia memang tidak betah jika tidak mempunyai uang hasil keringatnya sendiri. Akan tetapi, itu bukan alasan utama."Tidak boleh," kata Ranggi tegas, "Memangnya kamu mau kerja apa dan di mana, Sunshine? Berbisnis dari rumah saja banyak yang memusuhi kamu."Mentari menghela napas. Dia belum kepikiran sampa
Mentari berhasil membuktikan diri di hari pertama dia bekerja. Mentari yang sudah terbiasa menghias kue tidak perlu beradaptasi terlalu lama. Dia juga lega karena tidak menerima tatapan kebencian dari rekannya yang lain. Mereka semua bekerja sama untuk memuaskan keinginan pelanggan.Keahlian Mentari membuatnya dipercaya Chloe di bagian kue pengantin. Dia sangat senang kue buatannya selalu mendapat pujian, meskipun pujian itu bersifat umum untuk tempat kerjanya. Rekannya yang lain juga profesional.Chloe sendiri lebih sibuk mengurusi request pemesan yang terkadang aneh. Hari ini juga dia dan tim harus membuat kue duplikat salah satu produk dari suatu merk kecantikan. Chloe lumayan kesulitan menyesuaikan ini dan itu."Ranggi, hari ini aku lembur, ya," ucap Mentari kepada suaminya di telepon."Lagi?" Ranggi terdengar tidak suka."Iya. Di sini sedang kebanjiran pesanan. Semua pegawai juga lembur. Tidak mungkin aku sendiri yang pulang, apalagi aku punya tanggung jawab besar untuk kue penga