"Suci!" Panggil Andhika. Namun belum ada sahutan dari istrinya. Dan ia memanggilnya lebih keras lagi. "Suciii!"
Suci baru saja masuk kamarnya lagi. Ia segera menghampiri suaminya yang sedang di kamar mandi.
"Iya, sebentar. Ada apa sih!"
"Ambilkan saya handuk, cepetan gak pake lama!" Pinta Andhika.
Suci memberikan handuk yang ia keluarkan dari lemari. Ia memberikan handuk itu sambil menutupi matanya.
"Ini, handuknya. Lain kali jangan lupa bawa handuk, dong. Masa mau mandi gak inget handuk. Ada-ada aja."
Andhika bergegas memakai handuknya lalu dia keluar kamar mandi dengan rambut yang masih dipenuhi busa sampo.
"Kamu jangan protes, ya. Saya sibuk sabunan, nih. Mumpung hari libur, kapan lagi bisa begini!"
"Iya, iya. Boleh, silakan saja. Cepat mandi lagi, kan kita mau main sama Putri," kata Suci. "Kalau udah
"Putri, ayo kan mau main bareng sama Papa sama Mama juga," sapa Andhika, ayahnya.Putri lantas berlari kemudian memeluk ayahnya. Namun, setelah kemunculan bi Lela dan bi Nani, kedua mata mereka terbelalak melihat pesona Papa ganteng nan menawan. Wajah brewoknya dan badan kekar mampu menghipnotis kaum hawa di sekitarnya."Ngapain kalian di sini? Mana ibu Marlina dan Pak Adi? Mereka udah sarapan, kan?"*Glek*Konsentrasi mereka buyar ketika tatapan maut sang majikan berbicara."Katanya mau ikut juga nemenin Putri main keluar, tapi gak biasanya Pak Andhika mau main?" Tanya bi Lela."Emang gak boleh saya nemenin Putri main? Sekali-kali, dong. Biar dia gak stress," kata Andhika.Kemudian, Suci dan kedua orang tua baru saja menghampiri. Andhika terkejut melihat ayah ibu kandungnya memakai baju kasual pula
Hari senin tiba. Sofyan bergegas memeriksa rekaman di cctv di kediamannya. Seperti biasa, Doni sang asisten setia menemani bahkan menyiapkan sarapan untuknya.Ketika di meja makan itu, Sofyan menyaksikan rekaman cctv sambil meneguk kopi. Dahinya mengernyit ketika video itu menemukan seseorang dengan jelas. Motor kuning, helm hitam dan jas dari bahan jeans biru."Apa! Dia kayak melihat sesuatu yang ditargetkan," gumam Doni."Itu dia, aku pikir begitu," tukas Sofyan.Kemudian dalam durasi berikutnya menunjukan motor itu sengaja berjalan ke pinggir. Sofyan tertegun, ia menopang dagunya kemudian menghabiskan kopi itu."Kamu habiskan kopi biar otakmu lebih gesit berpikir?" Tanya Doni."Kalau kita satukan video ini mungkin bukti bertambah tapi, belum seberapa. Wajahnya saja gak kelihatan jelas," kata Sofyan.Sofyan mengeluarkan handphone mi
Sofyan masih ingin memutar semua rekaman cctv itu di laptop miliknya setelah kepergian Andhika dan ayahnya. Sebenarnya dalam hatinya masih dipenuhi kekalutan antara pemecahan misteri penyebab kematian nenek Diana dan juga rasa cinta dan peduli terhadap wanita yang sudah dinikahi oleh orang lain.Detektif tampan dan cerdas itu hanya bisa duduk termenung, menelaah semua rekaman cctv tersebut. Video itu beberapa kali pakai zoom agar terlihat lebih jelas lagi. Dahi Sofyan mengernyit saat si pelaku menggunakan ponselnya sebelum beraksi."Sial! ternyata aku kurang teliti.""Kenapa lagi, boss? ada yang ketinggalan, ya?" tanya Doni. "Sudah aku bilang, kalau menelaah sesuatu itu harusnya dalam kondisi fresh. Segar otak segar badan segar pikiran. Tapi, aku lihat kamu barusan terbawa emosi."Mata Sofyan mendelik. Lalu ia pejamkan matanya dan bergumam dalam hatinya."Iya,
Andhika rela mengantarkan istri, anak dan ibunya ke sebuah pusat perbelanjaan meski dalam hatinya masih diliputi gundah gulana. Akhir-akhir ini ia lebih hangat, tak seperti es batu yang terus membeku. Karena perubahan sikapnya yang hanya lima persen saja mampu membuat Putri berani bercakap-cakap."Aku mau beli baju sama kuncir rambut juga, pa," ucapnya. "Tapi, temanku semuanya kalau pergi pasti antar mamanya periksa adek bayi yang di perut."Ucapan itu membuat mereka terenyuh tapi mengejutkan. Ibu Marlina menahan tawanya sedangkan Suci masih salah tingkah."Boleh, sayang. Kamu boleh beli apapun yang kamu mau," sahut Andhika, ayahnya. "Tapi untuk adik bayi kayaknya--""Nanti juga kamu punya ade bayi, sayang. Gak sabar jadi kakak, ya? sejak nenek Diana wafat di rumah dia kesepian terus," sambung ibu Marlina, omanya.Suci masih belum mau bergeming juga. Ia mencoba memper
Tiba di rumah waktu malam hari. Andhika tak segan lagi buka-bukaan di depan istrinya. Suci saat itu sudah memakai baju tidur yang cantik dan Andhika yang melihatnya saja sudah terpancing gairahnya."Mas, kita ngopi dulu, yuk," ajak Suci."Malam begini kamu mau minum kopi? bisa begadang semalaman, kayak mau sibuk saja," kata Andhika.Suci tak menghiraukan suaminya itu. Ia tetap ke meja makan dan langsung menyeduh kopi. Tak disangka ternyata Andhika menyambanginya juga. Ia lantas duduk dan mengambil buah jeruk."Mau kopi juga?" tanya Suci."Enggak."Tiba-tiba terdengar suara bi nani yang menyambangi meja makan. "Aduh, kenapa sih malam begini rame amat, ada tikus kali, ya?"Bi Nani terkejut ketika majikannya sibuk di meja makan. Apalagi menyaksikan Suci meneguk kopi hangat."Bukan tikus, bi. Ini kita lagi mau ngemi
"Iya, aku si penabrak nenek anda. Semuanya saya lakukan karena sakit hati yang selama ini saya terima dari perlakuan bengis saat kerja di kantor Sanjaya Group," tegasnya. Andra segera menutup ponselnya. Lalu tertawa geli. Kemudian ia berbaring dan berusaha tertidur. Dalam kondisi rumah dan finansial pas-pasan, pemuda itu tetap bersikeras bersembunyi di ruko area rumah sakit dan menyamar menjadi orang biasa. Motor kuning yang sempat ia gunakan untuk menabrak nenek Diana ia simpan di kamar kosong. "Gue aman hidup di sini meski sendirian," gumamnya. Siang hari tiba. Andra pergi menemui tantenya yang bekerja di kantor BUMN. Ia disambut hangat seperti ibu menyambut anak dan mereka berdua pergi ke cafe untuk berbincang-bincang. "Aku mau cerita sama tante Rena, karena selama ini cuma tante yang sayang sama aku," kata Andra. "Mau cerita apa? k
Suci masih belum mampu melupakan kebaikan Nenek Diana. Wanita tua yang sempat kenal dengannya. Setiap menatap foto nenek kandung Andhika ada rasa bersalah yang membuncah. "Tanpamu, nek. Aku gak bakalan nikah sama Mas Andhika," gumammya. Andhika tiba-tiba muncul sambil bersedekap. Ia berkata," Ngapain kamu? Itu foto nenek saya, urus Putri, enak aja hidup santai, gak kerja, gak apa, semuanya tinggal makan, saya juga yang capek!""Siapa yang nikahin aku? Aku dipaksa, iya kan! Kalau kasus ini udah beres kita langsung cerai! Aku gak tahan punya suami kayak kamu, ganteng juga buat apa kalau galak, banyak duit juga buat apa kalau jahat gini!" Balas Suci.Andhika tersulut. Ia memegang erat bahu Suci. Tatapan matanya tajam seperti ada cahaya yang terpancar."Kamu udah berani melawan ya sama suami! Dengar! Saya sudah sayang sama kamu!" "Serius, Mas?""Seribu rius!"Jantung berdegup kencang, iramanya beriringan dengan tatapan mata yang sayu. Perlahan-lahan Andhika mengecup Suci dengan lembut
"Dia Tante Rena, kenalan aku. Tapi, katanya dia bilang istri kamu ini ngaku-ngaku asisten aku, itu Tante Rena yang bilang lo. Amit-amit deh kalau Suci jadi asisten aku, lulusan keperawatan juga bukan!" Gerutu Indah. "Suci, bener kamu ngaku-ngaku jadi asisten Indah?" Tanya Andhika. Suci mengangguk pelan. "Begitulah, tujuan aku buat melindungi diri, ya orang kalau udah tahu aku ini istri orang kaya pastinya mereka bakal julid, iya kan?" "Terus, sepenting apa Tante Rena buat kamu, Indah?" Tanya Andhika. "Ya dia pasien aku," jawab Indah. "Aku kan dokter." Kemudian, seorang perawat menghampiri Indah. Ia berkata," Bu, ada pasien yang harus diperiksa di ruang VIP." Indah menghela nafas, dia langsung pergi tanpa berucap permisi. Suci pun mendelik pada suaminya. Ada rasa cemburu yang tak sanggup dia ucapkan melalui kata-kata. Akhirnya, Suci hanya duduk di kursi tunggu sambil bersedekap. "Mas, kita kan ke sini mau nostalgia kematian nenek, kenapa jadinya begini," protes Suci. "Cuma n