Share

Bab 6. Tragedi Itu Terjadi

    Nenek Diana tidak tahu kalau Suci sebenarnya sudah keluar dari rumah sakit. Ia bersikeras menyuruh supirnya untuk menghentikan mobilnya di depan RS. Namun, beliau agak ragu ketika hendak keluar dari mobilnya.

    "Benar di sini ada orangnya, bu?" Tanya Pak Rustam.

    "Apa kita cari saja dulu di sana. Kalau gak ketemu juga mungkin bisa cari Indah. Tapi, kok hati saya kurang enak, ya? Mau ada apa ini?" Gumam beliau sembari mengusap tangannya.

     Tapi, takdir baik berpihak padanya. Nenek Diana melihat Suci sedang berjalan sendirian di seberang. Matanya mendelik, batinnya sudah tidak sabar lagi untuk segera berpapasan dengan gadis yang telah menolongnya itu.

     "Pak, itu dia anaknya," ucapnya sambil menunjuk ke seberang jalan.

    "Iya, harus nyebrang dulu, bu. Nanti, sabar, ya?"

     Pak Rustam hendak membelokan mobilnya sambil menekan klakson beberapa kali. Namun, Suci tak juga mau menoleh. 

     "Nah, coba tekan lagi klaksonnya, Pak."

     Pak Rustam menekannya lagi saat Suci sudah berada di depan mobilnya. 

    "Nak, tunggu!" Teriak Nenek Diana.

     Suci menoleh. Ia terkejut ketika sosok yang memanggilnya adalah seorang nenek yang telah ia tolong minggu lalu. Suci tersenyum merekah, ia lantas mendekat pada pintu mobil.

     "Nenek, aku kira siapa," sahutnya.

     "Mau kemana? Kok, sendirian?"

     "Saya baru saja selesai ngajar. Nih, baju seragamnya masih saya pakai, biasa setelah ngajar saya kerja lagi di resto dekat rumah sakit," jawab Suci dengan lembut.

     "Kalau begitu, kita makan berdua di resto tempat kamu kerja, biasa ada sesuatu buat kamu nanti," ungkapnya, lantas beliau merangkul pinggang gadis itu.

     Tiba di restoran, majikannya memandang keheranan. Ia menghampiri lalu menyapa.

    "Suci, kan ini belum waktunya kerja? Kok, udah datang?"

    "Suci ini tamu spesial buat saya. Biasa mau makan-makan," sahut nenek Diana.

    Majikannya itu mengajaknya masuk dan memilihkan kursi yang berada di pinggir kaca dinding. Sang nenek merasa senang, beliau memang menyukai pemandangan luar saat makan bersama.

    "Mau pesan apa? Terserah kamu saja, anggap ini hadiah dari nenek, ya."

    "Ya ampun, ibu baik banget, sih. Padahal kita cuma kenal baru satu minggu, kan?" Kata Suci.

    Nenek Diana tersenyum manis. Beliau sangat ramah dan lembut. Bahkan mengusap tangan Suci dengan lembut.

    "Kok, orang tua ini ramah banget, ya?" Batin Suci yang tertegun karena sentuhannya.

    Nenek Diana meneguk jus yang baru saja di antarkan pelayan. Mata Suci menyipit ketika menyaksikan beliau meneguknya sampai habis.

    "Kenapa? Kamu aneh, nenek biasa minum jus jeruk tiap hari di minum sampai ludes begini. Sayang banget kalau gak habis, ini kan dibeli pakai uang. Nyari uang itu susah, lo."

     Sekilas dalam pikiran Suci teringat ibunya yang telah tiada. Sentuhan nenek itu memang lembut selembut ibunya dulu.

     "Kemarin-kemarin ibu saya wafat, dokter menyerah dengan kondisi ibu yang sudah stadium lanjut. Jadi, ada nenek di sini aku seperti punya orang tua baru, ya?" Ucap Suci. 

    Nenek Diana lantas batuk-batuk. Seolah kaget dengan berita tersebut.

     "Ibumu wafat? Innalilahi wainnailaihi rojiuun, kenapa nenek gak tahu? Kamu kan udah nolong nenek minggu lalu masa gak ada imbalannya sama kamu, justru pengen temui kamu di sini ya itu dia, nenek cuma mau ngucapin terima kasih," tukasnya.

    Batin Suci tercekat. Mengucapkan terima kasih saja harus repot-repot bertemu seperti ini.

     "Begitu, ya? Ya ampun, sampai segitunya, gak apa-apa, nek. Aku ikhlas menolong orang."

    "Kamu sudah punya pacar belum?"

      "Belum."

     "Mau gak sama cucu saya? Kamu pasti cocok sama dia. Ganteng, cerdas, cekatan, banyak yang suka pula. Istrinya dulu meninggal karena sakit parah. Awalnya kami yang menjodohkan dia dengan wanita itu. Eh, Tuhan berkata lain. Jodohnya cuma sampai tiga tahun. Nah, anak kecil yang saya bawa itu anak kandungnya. Namanya Putri, tiap hari dia cemberut terus karena Papanya suka marah-marah," terang beliau.

     "Kebetulan saya ini guru TK yang suka menangani anak. Mungkin ada beban atau ada sesuatu yang dia inginkan," kata Suci.

    Nenek Diana menghela napas sebelum berbicara lagi.

    "Udah, kamu jadi istri dari cucuku saja, ya? Pasti cocok sama kamu yang lembut ini. Dia memang orangnya keras tapi penurut, siapa tahu kamu mampu meluluhkan hatinya."

     Suci menganggapnya hanya sebatas candaan saja. Dia tersenyum sembari menatap wajah sang nenek.

    "Mana mungkin ada orang kaya yang mau nikah sama orang miskol kayak aku ini. Rumah saya sudah dijual, semuanya buat bayar hutang bekas pengobatan ibu. Itu juga masih ada sisa yang harus saya cicil. Jadi, aku saat ini sedang di titik terendah. Mana ada lelaki yang mau melirik gadis yang banyak hutang."

    Nenek Diana malah menyondongkan wajahnya pada Suci yang tengah meneguk segelas jus.

    "Gak percaya keajaiban, ya? Kamu ini. Cucu saya itu ada yang suka, dia dokter di rumah sakit itu. Tapi, entah kenapa kita sekeluarga gak suka sama dia. Padahal dia cantik, lembut, ramah lagi. Tapi, nenek suka sama kamu."

     Suci tertawa geli. Ada seulas kebahagiaan tergambar di wajahnya.

    "Dibandingkan dengan aku mungkin jauh, ya. Sudah lebih dari lima tahun kami hidup susah. Jadi, ini berperan juga pada kejiwaan. Kayaknya aku belum siap nikah."

    Nenek Diana malah tertawa terbahak-bahak. Suci yang memandangnya juga ikut tertawa.

    "Itu cuma perasaan kamu saja. Aduh Suci, kalau dilihat dari wajahmu kayak orang semangat pantang menyerah. Nikah saja takut, justru enak. Gak percaya?"

     Nenek Diana lalu berbisik.

    "Nanti kamu rasakan di malam pertama."

    Seketika bibir Suci yang tersenyum lebar berubah ke semula. 

    "Gimana, ya? Belum kepikiran nikah. Gadis yang banyak hutang mana mungkin ada yang mau. Tapi, saya ini sedang menunggu orang lain. Dia masih teman dekat dari dulu, sekarang jadi anggota detektif juga punya klinik bersalin di daerah Jaksel." 

     "Daripada nunggu dia yang gak jelas meningan nikah saja sama cucu saya, udah jangan mikir yang negatif, kamu pasti cocok sama dia," pinta nenek Diana agak memaksa.

     Suci tak menganggapnya serius. Baginya itu hanya bercanda saja. Ia juga sadar akan dirinya yang jatuh miskin dan banyak hutang kemungkinan sulit mendapatkan jodoh. 

    "Aku terima nasibku. Tapi tetap ingin berusaha agar lebih baik dari segi apapun." Itulah kata-kata yang terucap dalam benaknya.

    Setelah berbincang-bincang, nenek Diana berpamitan. Suci mengantarkan beliau tepat di depan mobilnya. Ada supirnya yang menyuruhnya masuk.

    "Nenek hati-hati, ya? Jaga kesehatan," ucap Suci.

    "Iya, sayang. Pastinya kamu juga hati-hati."

    Suci berpamitan, berlalu dari hadapan nenek Diana yang hendak masuk mobil. Saat Suci menuju ke resto tempat ia bekerja, sebuah motor dengan kecepatan tinggi melintas tepat di depannya dan membuatnya berteriak.

    "Aaaarrrggh"

    "Aduh hampir saja tertabrak," gumamnya."

    *Bruk*

    Suara itu terdengar nyaring dari belakang. Seketika suara ramai terdengar bersahutan. Ada apa itu? Suci menoleh, betapa terperangahnya dia kala mendapati sosok nenek Diana terkapar dengan darah sudah berceceran.

    "Nenek!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status