Nenek Diana tidak tahu kalau Suci sebenarnya sudah keluar dari rumah sakit. Ia bersikeras menyuruh supirnya untuk menghentikan mobilnya di depan RS. Namun, beliau agak ragu ketika hendak keluar dari mobilnya.
"Benar di sini ada orangnya, bu?" Tanya Pak Rustam.
"Apa kita cari saja dulu di sana. Kalau gak ketemu juga mungkin bisa cari Indah. Tapi, kok hati saya kurang enak, ya? Mau ada apa ini?" Gumam beliau sembari mengusap tangannya.
Tapi, takdir baik berpihak padanya. Nenek Diana melihat Suci sedang berjalan sendirian di seberang. Matanya mendelik, batinnya sudah tidak sabar lagi untuk segera berpapasan dengan gadis yang telah menolongnya itu.
"Pak, itu dia anaknya," ucapnya sambil menunjuk ke seberang jalan.
"Iya, harus nyebrang dulu, bu. Nanti, sabar, ya?"
Pak Rustam hendak membelokan mobilnya sambil menekan klakson beberapa kali. Namun, Suci tak juga mau menoleh.
"Nah, coba tekan lagi klaksonnya, Pak."
Pak Rustam menekannya lagi saat Suci sudah berada di depan mobilnya.
"Nak, tunggu!" Teriak Nenek Diana.
Suci menoleh. Ia terkejut ketika sosok yang memanggilnya adalah seorang nenek yang telah ia tolong minggu lalu. Suci tersenyum merekah, ia lantas mendekat pada pintu mobil.
"Nenek, aku kira siapa," sahutnya.
"Mau kemana? Kok, sendirian?"
"Saya baru saja selesai ngajar. Nih, baju seragamnya masih saya pakai, biasa setelah ngajar saya kerja lagi di resto dekat rumah sakit," jawab Suci dengan lembut.
"Kalau begitu, kita makan berdua di resto tempat kamu kerja, biasa ada sesuatu buat kamu nanti," ungkapnya, lantas beliau merangkul pinggang gadis itu.
Tiba di restoran, majikannya memandang keheranan. Ia menghampiri lalu menyapa.
"Suci, kan ini belum waktunya kerja? Kok, udah datang?"
"Suci ini tamu spesial buat saya. Biasa mau makan-makan," sahut nenek Diana.
Majikannya itu mengajaknya masuk dan memilihkan kursi yang berada di pinggir kaca dinding. Sang nenek merasa senang, beliau memang menyukai pemandangan luar saat makan bersama.
"Mau pesan apa? Terserah kamu saja, anggap ini hadiah dari nenek, ya."
"Ya ampun, ibu baik banget, sih. Padahal kita cuma kenal baru satu minggu, kan?" Kata Suci.
Nenek Diana tersenyum manis. Beliau sangat ramah dan lembut. Bahkan mengusap tangan Suci dengan lembut.
"Kok, orang tua ini ramah banget, ya?" Batin Suci yang tertegun karena sentuhannya.
Nenek Diana meneguk jus yang baru saja di antarkan pelayan. Mata Suci menyipit ketika menyaksikan beliau meneguknya sampai habis.
"Kenapa? Kamu aneh, nenek biasa minum jus jeruk tiap hari di minum sampai ludes begini. Sayang banget kalau gak habis, ini kan dibeli pakai uang. Nyari uang itu susah, lo."
Sekilas dalam pikiran Suci teringat ibunya yang telah tiada. Sentuhan nenek itu memang lembut selembut ibunya dulu.
"Kemarin-kemarin ibu saya wafat, dokter menyerah dengan kondisi ibu yang sudah stadium lanjut. Jadi, ada nenek di sini aku seperti punya orang tua baru, ya?" Ucap Suci.
Nenek Diana lantas batuk-batuk. Seolah kaget dengan berita tersebut.
"Ibumu wafat? Innalilahi wainnailaihi rojiuun, kenapa nenek gak tahu? Kamu kan udah nolong nenek minggu lalu masa gak ada imbalannya sama kamu, justru pengen temui kamu di sini ya itu dia, nenek cuma mau ngucapin terima kasih," tukasnya.
Batin Suci tercekat. Mengucapkan terima kasih saja harus repot-repot bertemu seperti ini.
"Begitu, ya? Ya ampun, sampai segitunya, gak apa-apa, nek. Aku ikhlas menolong orang."
"Kamu sudah punya pacar belum?"
"Belum."
"Mau gak sama cucu saya? Kamu pasti cocok sama dia. Ganteng, cerdas, cekatan, banyak yang suka pula. Istrinya dulu meninggal karena sakit parah. Awalnya kami yang menjodohkan dia dengan wanita itu. Eh, Tuhan berkata lain. Jodohnya cuma sampai tiga tahun. Nah, anak kecil yang saya bawa itu anak kandungnya. Namanya Putri, tiap hari dia cemberut terus karena Papanya suka marah-marah," terang beliau.
"Kebetulan saya ini guru TK yang suka menangani anak. Mungkin ada beban atau ada sesuatu yang dia inginkan," kata Suci.
Nenek Diana menghela napas sebelum berbicara lagi.
"Udah, kamu jadi istri dari cucuku saja, ya? Pasti cocok sama kamu yang lembut ini. Dia memang orangnya keras tapi penurut, siapa tahu kamu mampu meluluhkan hatinya."
Suci menganggapnya hanya sebatas candaan saja. Dia tersenyum sembari menatap wajah sang nenek.
"Mana mungkin ada orang kaya yang mau nikah sama orang miskol kayak aku ini. Rumah saya sudah dijual, semuanya buat bayar hutang bekas pengobatan ibu. Itu juga masih ada sisa yang harus saya cicil. Jadi, aku saat ini sedang di titik terendah. Mana ada lelaki yang mau melirik gadis yang banyak hutang."
Nenek Diana malah menyondongkan wajahnya pada Suci yang tengah meneguk segelas jus.
"Gak percaya keajaiban, ya? Kamu ini. Cucu saya itu ada yang suka, dia dokter di rumah sakit itu. Tapi, entah kenapa kita sekeluarga gak suka sama dia. Padahal dia cantik, lembut, ramah lagi. Tapi, nenek suka sama kamu."
Suci tertawa geli. Ada seulas kebahagiaan tergambar di wajahnya.
"Dibandingkan dengan aku mungkin jauh, ya. Sudah lebih dari lima tahun kami hidup susah. Jadi, ini berperan juga pada kejiwaan. Kayaknya aku belum siap nikah."
Nenek Diana malah tertawa terbahak-bahak. Suci yang memandangnya juga ikut tertawa.
"Itu cuma perasaan kamu saja. Aduh Suci, kalau dilihat dari wajahmu kayak orang semangat pantang menyerah. Nikah saja takut, justru enak. Gak percaya?"
Nenek Diana lalu berbisik.
"Nanti kamu rasakan di malam pertama."
Seketika bibir Suci yang tersenyum lebar berubah ke semula.
"Gimana, ya? Belum kepikiran nikah. Gadis yang banyak hutang mana mungkin ada yang mau. Tapi, saya ini sedang menunggu orang lain. Dia masih teman dekat dari dulu, sekarang jadi anggota detektif juga punya klinik bersalin di daerah Jaksel."
"Daripada nunggu dia yang gak jelas meningan nikah saja sama cucu saya, udah jangan mikir yang negatif, kamu pasti cocok sama dia," pinta nenek Diana agak memaksa.
Suci tak menganggapnya serius. Baginya itu hanya bercanda saja. Ia juga sadar akan dirinya yang jatuh miskin dan banyak hutang kemungkinan sulit mendapatkan jodoh.
"Aku terima nasibku. Tapi tetap ingin berusaha agar lebih baik dari segi apapun." Itulah kata-kata yang terucap dalam benaknya.
Setelah berbincang-bincang, nenek Diana berpamitan. Suci mengantarkan beliau tepat di depan mobilnya. Ada supirnya yang menyuruhnya masuk.
"Nenek hati-hati, ya? Jaga kesehatan," ucap Suci.
"Iya, sayang. Pastinya kamu juga hati-hati."
Suci berpamitan, berlalu dari hadapan nenek Diana yang hendak masuk mobil. Saat Suci menuju ke resto tempat ia bekerja, sebuah motor dengan kecepatan tinggi melintas tepat di depannya dan membuatnya berteriak.
"Aaaarrrggh"
"Aduh hampir saja tertabrak," gumamnya."
*Bruk*
Suara itu terdengar nyaring dari belakang. Seketika suara ramai terdengar bersahutan. Ada apa itu? Suci menoleh, betapa terperangahnya dia kala mendapati sosok nenek Diana terkapar dengan darah sudah berceceran.
"Nenek!"
Motor yang baru saja melintas telah menabrak beliau. Pelaku terpental ke tengah jalan tapi nenek Diana tergeletak di samping mobilnya, pintu mobil agak retak pula. Banyak orang mengerumuni tempat itu, lantas Suci bergegas menghampiri, ia bertekuk lutut sembari memeluk badan nenek Diana yang sudah berlumuran darah. Rasa paniknya mulai melanda tak terbendung lagi untuk menangis meratapi insiden kecelakaan ini "Nenek!" Dan orang yang mengerumuni mereka bertanya-tanya. "Bu, dia nenekmu ya?" "Punya nenek kok dibiarkan sendirian?" "Panggil ambulans saja. Rumah sakit dekat! Cepat!"
Dengan emosi yang naik pitam Andhika mendekat pada gadis yang tengah menyaksikan kesedihan mereka. Matanya terbelalak kala mata coklatnya melihat Suci yang tampak anggun dan berwajah lembut, ia dekati dengan bahasa tubuh yang amat ditakuti. "Oh, jadi wanita ini yang ditemui nenek," batinnya. "Gadis kampung pasti hidupnya susah, kenapa nenek ambisius ingin ketemu dia?" Dan Andhika pun berdiri dengan menyedekapkan tangan tepat di hadapan Suci. "Siapa kamu?" Tanya Andhika. "Katanya dia yang baru saja ditemui nenek," sahut Indah. "Oh jadi kamu yang sudah me
"Beneran, kamu masih ingat sama tante?" "Benar, tante. Aku ingat waktu tante melawan orang jahat itu, kan? Yang pakai silat," ucapnya dari bibir mungilnya. Suci tertawa geli mendengar celotehan kecil dari gadis imut di hadapannya itu. "Terus om ini siapa? Pacar tante, ya?" "Oh, dia teman tante, sayang. Om Sofyan, dia detektif. Tahu gak detektif itu apa? Ayo, coba tebak?" "Mana aku tahu, tante. Tapi, sekarang nenek sudah meninggal, dia katanya mau ke surga, nanti aku sama siapa? Sama omah saja gak rame." Wajah gadis kecil itu mendadak suram, menunduk dan tampak cemberut. Suci tetap membalas dengan senyuman hangatnya. Dan menjawab dengan singkat. "Iya, sayang. Nenek mau ke surga." Tiba-tiba Andhika muncul
Satu minggu setelah kematian nenek Diana, pihak kepolisian menghubungi Sofyan untuk menindak lanjuti kasus penyebab kecelakaan. Pelaku sama sekali belum ditemukan, apalagi sudah beredar kabar di media bahwa kasus ini adalah kecelakaan misterius. "Bagaimana ini? Aku belum bisa berbuat banyak. Aku terlalu fokus sama penagih hutang, hampir gak punya waktu buat urus ini urus itu, mana berat badanku makin hari makin berkurang," keluh Suci. "Pasti ada jalannya. Suatu hari pasti ketemu siapa pelakunya, aku kan detektif, masa gak percaya," kata Sofyan. Tentunya Suci belum mampu ikhtiar sendiri. Kekalutan hatinya masih menyerang dirinya, namun karena semangatnya dia mampu menghadapi yang terjadi saat ini.
ketika Suci duduk kursi panjang di luar ruangan itu. Ia membuka botol minuman kemudian diteguknya hingga habis. "Segarnya. Aku sekarang udah lega. Sidang ini masih lanjut?" "Sampai tuntas mungkin dua atau tiga kali lagi," jawab Sofyan. "Sofyan. Doakan aku, ya. Semoga bisa bayar semua hutang aku yang segunung, mungkin dalam waktu dekat ini aku mau berangkat buat kerja di luar negeri," kata Suci. "Serius? Kerja di sana perlu tenaga besar, mental juga siap sedia. Kamu sanggup?" "Ya sanggup, dong. Siapa yang mau bayar hutang aku yang banyak itu coba? Daripada aku stress lebih baik kerja, kan? Memang berat tapi mau giman
"Bagaimana dengan fotonya? Kalian sudah ambil beberapa pose, kan?" Tanya Adhika pada bodyguard pribadinya. Salah satu bodyguard memberikan hasil potret kepada majikannya itu. Seketika wajah Andhika kembali sumringah. "Bagus!" "Kalau boleh tahu, kenapa Anda lakukan ini?" "Sebarkan ini di media sosial, aku ingin membuktikan bahwa CEO kaya raya seperti aku mampu berbuat baik pada siapapun meski pada musuhnya, kalian tahu? Namaku harus bersih! Kalian sama sekali gak merasakan sakit hati saya karena kehilangan orangtua," sahutnya. Semua bodyguard menepuk kening karena mendapati kebodohan majika
Kabar tentang gugatan seorang kaya raya pada gadis miskin itu sudah tersebar di media televisi dan jaringan sosial. Pihak wartawan dan netizen bahkan mengolok-olok sikap konyol sang penggugat yang dirasa memalukan. Tak ayal, ini membuat Andhika menjadi sangat gusar. Pada berita di televisi itu menayangkan sosok Suci sedang duduk di kursi persidangan yang tunduk setia mendengar vonis dari hakim. Sedangkan Andhika terlihat sedang bersedekap sembari menengadahkan kepala sehingga tampak angkuh. "Sialan! Siapa yang nyebarin berita ini! Dasar wartawan sialan, urusan mereka juga bukan, ngapain ikut campur masalah gue!" Keluhnya. Dan seorang reporter itu menegaskan bahwa aksi tersebut hanyal
"Aku harus ke agen penyalur TKI sekarang juga. Mudah-mudahan bisa diterima," gumam Suci sembari merapikan bajunya di depan cermin. Pintu terketuk. Ia lantas membukanya dan penampakan seorang wanita dewasa seperti toko emas berjalan tengah berdiri dengan tatapan mata yang tajam. "Ibu Arin?" "Kamu Suci, ya? Anak ibu Kana yang pernah pinjem duit buat berobat," ucapnya. "Iya, bu. Almarhum ibu saya masih punya hutang, ya? Tapi, saat ini belum bisa membayar, kalau begitu minta nomer hape saja ya bu, biar nanti saya hubungi kalau sudah bekerja di luar negeri," pinta Suci dengan lembut.