Diana kembali luruh saat tubuhnya sempurna masuk ke dalam kamar. Kejadian demi kejadian yang menimpa akhir-akhir ini membuat fisik dan jiwanya lelah. Belum hilang trauma akibat perbuatan Desta, ia harus menanggung rasa sama akibat pria asing yang berpura-pura menjadi pahlawannya.
Siapa sangka pria itu tega menjebak dirinya. Jiwanya yang belum stabil kini kembali terguncang. Dulu, setiap kali ia memiliki masalah dengan rekan kerjanya karena beda pendapat atau karena ada yang sengaja menjegalnya, ia akan mengadu pada sang ibu.Dipangkuannya ia akan menceritakan semuanya. Lalu ibu akan membelai surainya sembut dengan nasehat-nasehat yang selalu menenangkan. Namun sepertinya saat ini hal itu tak akan bisa ia lakukan lagi.Orang yang menjadi sandarannya, telah membenci. Menjauhi dan membangun benteng tinggi-tinggi. Cukup lama ia merenungi nasibnya. Andai ia tak punya iman, mungkin sudah dari awal ia berteriak pada kedua orang tuanya dan mengatakan kalau diaDiana tampak kebingungan dengan kedatangan dua perias ini. Belum sempat ia membantah, salah seorang diantara mereka sudah menariknya dan mendudukkan di kursi yang berada di depan meja rias. Tanpa aba-aba, keduanya langsung gerak cepat melakukan tugasnya. Seorang yang berbaju hijau meraih tangan Diana dan mencoretkan sesuatu membentuk lukisan indah di telapak tangannya. Diana menduga itu semacam hiena.Sementara seorang lagi langsung memoleskan sesuatu di wajahnya. Diana yang masih shock dan belum paham dengan apa yang terjadi, hanya bisa bergeming dan mengikuti arahan mereka. "Mbak Diana ini sudah cantik loh, wajahnya juga bersih alami. Tinggal dipoles dikit aja sudah seperti bidadari," ucap wanita berbaju maroon tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah Diana yang memang sudah cantik. "Eh, bentar deh, Mbak. Kenapa tiba-tiba aku dirias begini? Kalian salah orang. Yang mau menikah bukan aku loh. Tapi Meta, adikku!" seru Diana tanpa sadar.
"Cantik," ucap Desta tanpa sadar yang masih bisa ditangkap telinga Diana. Seketika gadis itu menatapnya bingung. Lalu menunduk kembali. "Tolong siapapun jelaskan apa yang sedang terjadi sekarang? Kenapa aku ada di hadapan laki-laki ini?" teriak Diana dalam hati. Ingin rasanya gadis itu berlari meninggalkan tempat itu agar tidak menjadi pusat perhatian seperti saat ini. Namun suara MC sekali lagi membuatnya mendongak. Ia menatap horor pria di depannya saat tiba-tiba tangannya diraih olehnya. Sebuah cincin bermata biru emerald tersemat indah di jari manisnya. Untuk sesaat ia hanya bisa memandang takjub benda itu. Pikirannya kosong. Hingga ia sadar kalau kini ia sudah menjadi istri seorang Desta Dirgantara. "Tapi kenapa aku yang jadi istrinya? Bagaimana dengan Meta?"Desta menyodorkan tangan kanannya. Seperti robot yang sudah diseting sedemikian rupa, Diana mengikuti instruksi MC dengan kaku. Tak ada ekspresi apapun yang terlihat dari wajah cantik
"Lo tahu, sebenarnya gue tertekan dengan pernikahan ini. Apalagi Meta sudah bisa memaafkan gue. Bukankah seharusnya menikahinya saja tanpa harus tersiksa selama setahun ke depan?"Tubuh Daniel berjengkit kaget. "Maksud Lo, pernikahan ini hanya sementara? Untuk apa?""Ya, begitulah. Bapak yang meminta. Karena ... Gue telah melecehkannya," lirih Desta. Ada seberkas sesal terpancar dari hatinya. Namun hanya sekilas. Pria itu sangat pandai menutupi suasana hati dengan ekspresi dinginnya. "Lalu apa yang akan Lo perbuat setahun ke depan?"Senyum sinis tercetak di sudut bibir Desta. Tatapannya menerawang jauh. Dahinya mengkerut seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat besar. "Gue akan membuat pernikahan ini seperti neraka baginya. Karena dia, gue harus kehilangan waktu setahun ke depan."Tanpa Desta sadari, kedua tangan Daniel mengepal kuat. Rahangnya mengeras. Pria itu sedang menahan gejolak emosi karena mendengar ucap
"Kenapa kamu menatapku seperti menatap hantu? Apa saya sejelek itu di matamu?""Bu--bukan gitu, tapi kenapa tidur di sampingku?""Emangnya saya harus tidur di mana? Kita sudah menikah, dan di sini hanya ada satu ranjang."Diana menyadari apa yang dikatakan Desta memang benar adanya. Menghembuskan napas perlahan lalu melirik jam dinding yang terus berdetak. Netranya membelalak kala melihat jarum jam menunjuk angka 2.30 dini hari. Apakah suaminya baru masuk kamar jam segini? "Baiklah. Silahkan tidur. Maaf, sudah mengganggu," lirihnya lalu menuju kamar mandi. Desta menatap heran pada istrinya yang lebih memilih meninggalkannya ke kamar mandi. Tak mau ambil pusing, pria itu memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Dia sendiri tak paham dengan jalan pikirannya. Kenapa ia harus repot-repot tidur di kamar Diana, padahal ia sangat membencinya. Sisi lain hatinya khawatir jika istri barunya akan mengira bahwa dirinya menerima pernikahan ini. Cukup lama ia b
Pagi ini, sarapan pertama Desta dengan keluarga barunya. Semua sudah duduk melingkar di depan meja makan. Bapak dan Ibu makan dalam diam. Seolah enggan mengeluarkan suara saat ada Diana di antara mereka. Sementara Meta tampak sibuk mencari perhatian Desta. Ia mengambilkan nasi dan lauk untuk Desta. Bahkan sesekali ia berceloteh mengatakan makanan kesukaan pria itu seolah ingin menunjukkan pada Diana bahwa ialah yang paling tahu soal Desta. Diana yang merasa diabaikan mempercepat makannya agar bisa segera pergi dari sini. Sesekali Desta melirik istrinya saat mantan kekasihnya dengan sengaja menampilkan kemesraan di hadapannya. "Mau tambah lagi, sayang? Cumi asam manis kesukaanmu masih belum tersentuh lo," ucap Meta dengan suara yang sengaja dibuat manja. Desta merasa tak nyaman dengan perlakuan berlebihan Meta. Meski di hatinya masih ada nama gadis itu, tapi ia masih memiliki perasaan untuk tidak melukai istrinya di depan keluarga. "Tidak. Aku
Setelah melalui drama pagi hari, akhirnya Desta membawa istrinya ke rumah yang ditinggalinya selama ini. Sebagai istri, Diana tak mampu menolak. Ia hanya mengikuti saja kemauan sang imam. Di sinilah mereka sekarang. Di depan rumah besar berlantai dua dengan pilar-pilar besar yang membuat kesan mewah dan megah. Halamannya cukup luas dan sejuk. Di tengah-tengah halaman itu terdapat air mancur yang dikelilingi taman bunga. Sementara di sisi kanan dan kiri taman itu terdapat jalan berliku dengan paving block menuju garasi. Semua halaman yang tidak di paving, sengaja ditanami rumput jepang yang menutupi seluruh tanah. Tampak menghijau dan segar dipandang mata. Untuk sesaat Diana menikmati pemandangan indah ini dengan decak kagum. "Sepertinya aku akan betah di sini," ucap Diana dalam hati. "Selamat datang, Nona Diana. Mari saya antar ke kamar," ucap seorang pria berseragam satpam mengagetkan Diana. Ia menatap sekeliling, sudah tak ada Desta di sana.
"Saya bik Ijah, Non. Pembantu di sini. Saya sudah dua puluh tahun kerja dengan den Desta. Selamat datang di rumah ini, Non. Semoga betah.""Ah, i--iya, Bik. Saya Diana."Terjawab sudah apa yang mengganjal di dalam pikiran Diana. Melihat betapa ramahnya wanita tersebut, Diana yakin kalau orang yang mengaku pembantu itu pasti orang baik. Setidaknya dia bisa berbincang nantinya kalau dirinya butuh teman."Iya, saya sudah tahu, Non. Den Desta bilang kalau kemarin sudah menikah dan akan membawa istrinya kemari. Selamat ya, Non atas pernikahannya. Semoga langgeng," ucap bik Ijah membuat hati Diana mencelos. Namun dalam hati tetap mengaminkan doa itu. "Non Diana mau sarapan apa, biar sekalian bik Ijah buatin?""Nggak usah, Bik. Biar Diana buat sendiri aja, sekalian buatin sarapan untuk Mas Desta."Wanita setengah baya itu menunjukkan beberapa lembar roti panggang isi selai strawberry dan selai kacang kesukaan Desta. Diana memilih untuk
Pria berjambang tipis itu mencoba menghentikan Diana dengan mencekal lengannya. Tentu saja hal itu membuat sang gadis semakin geram dan ketakutan. Bayangan kejadian di apartemen beberapa waktu lalu terus berputar bak kaset rusak. "Lepasin!" Diana mencoba menghentak tangannya agar cekalan itu lepas. Namun ia salah, tangan kekar pria itu makin menguat hingga membuatnya meringis kesakitan. "Dengerin aku dulu, baru nanti kulepas."Menghembuskan napas lelah, perempuan berhijab itu mengangguk lemah. Tak ingin terlibat masalah lagi dengan pria ini. Namun nasib membawanya untuk kembali bertemu. "Baiklah. Tapi tolong lepaskan tanganmu!""Oke, oke. Aku tak akan menyentuhmu. Sekarang bisakah kita bicara dengan nyaman?" Daniel berjalan menuju kursi panjang di dekat air mancur diikuti Diana dari belakang. Entah mengapa gadis itu mengekor meski sebagian hatinya was-was bukan main. Namun ketika ia memutar bola matanya ke sekeliling terlihat