"Iya, Ma," balas Renjana mengangguk. "Nanti Jana telpon mereka."Endah tersenyum. Selain sedang berusaha menjadi mertua yang baik untuk sang menantu, sekarang memang sudah saatnya juga ia menjalin hubungan besan yang baik dengan Amaris.Mengingat bagaimana dulu hubungan mereka pernah bersinggungan, cukup buruk. Endah sempat membenci Amaris sewaktu masih menjalin hubungan dengan Bumi, pun Amaris juga berlaku sama. Tak pernah terjadi interaksi ramah di antara mereka, meskipun beberapa kali bertemu.Ada jeda beberapa detik bagi Endah sampai ia kembali berbicara. Kali ini pandangannya tertuju pada Bumi. "Tolong kamu bawa ke kamar semua barang-barang ini," perintahnya sambil menunjuk apa saja yang terletak di meja.Lalu, pandangan itu berpindah. Endah menatap Renjana. "Ayo, mama bantu ke kamar, Nak. Kamu masih tetap perlu istirahat yang cukup."Walau jujur saja ada rasa tak enak di hati, Renjana tetap menerima uluran tangan mama mertuanya. Lebih tak enak juga jika ia sampai tega menolak ni
Setelah tiga hari dengan sabar mendekam di ruang rawat, Renjana baru diperbolehkan pulang keesokan harinya. Sempat-sempatnya ia berekspektasi hanya sehari saja akan berada di sana, tapi ternyata di hari ke empat barulah benar-benar diizinkan dokter untuk pulang.Pascakritis, keadaannya sudah pulih seperti sedia kala. Hanya saja yang masih perlu diperhatikan sekarang adalah pemulihan pasca melahirkan.Selama berada di sana, Bumi yang mengurus semua, bahkan memang dari awal ialah yang melakukan itu.Sesekali juga Bumi harus berganti peran dengan Suriya dan Amaris jika memang keadaan memaksanya untuk pergi bekerja, atau kalau Hans tiba-tiba menelpon karena ada hal mendesak yang mengharuskannya pergi.Jika tak penting-penting sekali, ia tetap menemani istrinya selama dua puluh empat jam.Bukan karena kepribadiannya yang terlalu protektif, tapi Bumi hanya patuh saja, sebab Renjana sempat berkata jika Bumi selalu berada di sisinya, maka kemungkinan untuk sembuh pasti lebih cepat.Sikap perh
Masih dalam suasana yang sama, tautan bibir mereka belum terlepas. Dengan mata terpejam, keduanya masih gencar saling membalas, tapi dengan gerakan lebih tenang, lebih lembut dari ciuman-ciuman sebelumnya yang pernah terjadi. Kali ini Bumi tak terdorong berlaku dominan. Meskipun memang nyala hasratnya selalu berujung terpantik hingga menuntut sebuah pelampiasan, tapi untuk ciuman kali ini, ia berusaha menekan nafsu itu. Nafsu yang selalu saja membuatnya lupa diri sesaat. Renjana beralih mengalungkan kedua tangan di leher suaminya ketika mulai terbawa arus. Kemudian, ia lebih mendongkak saat pergulatan bibir mereka semakin dalam. Selang beberapa detik kemudian, Bumi membawa satu tangannya yang menganggur, menyusup ke dalam pakaian perempuan itu. Mengincar punggung dan setelah ia dapatkan, telapak tangannya meraba-raba pelan di sana. Dalam keadaan tak sadar, Renjana spontan saja mengeluarkan erangan halus. Sebuah reaksi kecil karena belaian telapak tangan Bumi yang menenangkan d
Renjana terbangun begitu kecupan lembut yang cukup lama terasa di dahinya.Sementara Bumi yang menangkap pergerakan pelan istrinya, sedikit terkejut. Ia bergegas menarik kembali wajahnya."Pagi," sapanya tersenyum saat Renjana sudah membuka kelopak mata.Tak ada balasan. Renjana hanya menggeliat pelan karena tak nyaman. Lalu, ia menutup mata lagi. Mengabaikan sejenak keberadaan Bumi di sisinya."Sudah jam tujuh. Masih ngantuk ya?" Bumi yang tak tahan berdiam diri beralih mengusap pipi itu."Iya," balasnya serak. "Semalam susah tidur.""Mikirin apa?""Nggak mikirin apa-apa. Cuma emang lagi susah tidur aja.""Kirain karena kepikiran saya.""Dih PD banget.""Kan bisa saja kamu tiba-tiba kangen."Renjana mengulum senyum. "Nggak tuh. Mana ada kangen.""Tapi kemarin pas mau saya tinggal, ada loh yang nangis-nangis.""Ih, nggak usah diingetin! Malu tauk!"Bumi tertawa pelan. Kemudian, ia beralih duduk. Mengambil satu tangan Renjana. Mengenggamnya. "Tadi saya sudah bertemu dokter, katanya kam
"Kamu bisa sabar sedikit?" Henry langsung berbisik pada Rebecca, putrinya setelah mendengar rengekan barusan. Nada suaranya penuh dengan ketegasan. "Tolong berlaku sopanlah pada tamu papi! Yang ada di depan kita ini suami kakak kamu. Kalau kamu mau usaha kita untuk untuk bertemu dia berhasil, buang sikap tidak sopanmu seperti tadi!"Rebecca membuang napas dongkol. Ia balas berbisik pada pria paruh baya itu. "Papi kenapa nggak bilang sih dari awal? Kalau tau gitu aku bakal kalem."Interaksi bisik-bisik antara ayah dan anak di depan itu rupanya cukup menyita perhatian Bumi, dan karena itu satu hal lagi ia dapati tentang perbedaan Rebecca dan Renjana, yaitu terletak pada sikap.Jika Renjana sedikit ceplas-ceplos, ngambekan dan manja seperti anak kecil, Rebecca justru bisa bersikap dewasa sesuai penampilannya sekarang. Hanya saja, Bumi kurang menyukai sikap tak sopan perempuan itu seperti tadi."Ah, Pak Bumi maaf sekali atas sikap tidak sopan putri saya barusan," kata Henry tak enak. "Dia
"Biarkan suamimu pergi untuk menyelesaikan urusannya." Suara Amaris yang terdengar langsung memecah suara tangis Renjana yang heboh.Begitu membawa pandangan ke sumber suara itu, didapatinya Amaris yang berpenampilan rapi tengah berdiri di ambang pintu. Tak hanya seorang diri, melainkan bersama Suriya. Hubungan mereka lumayan membaik karena Amaris sendiri yang mendatangi wanita tua itu untuk memohon supaya mengikutinya ke rumah sakit."Oma dan mamamu yang akan tinggal di sini sampai besok," tambah Suriya. "Jadi biarkan Bumi pergi dulu. Kasihan ... dia juga tidak mungkin memprioritaskan kamu terus."Ucapan dua orang berbeda usia itu berhasil menyugesti Renjana. Membuat pikirannya jadi terbuka. Ia yang merasa bersalah segera menghentikan tangis. Kemudian, bergegas mengurai pelukan."Maafin aku ...," lirihnya berusaha menyeka pipi sampai kering. "Aku udah egois.""Saya maklumi," balas Bumi. Ia tersenyum, lalu membungkuk sejenak supaya bisa sejajar dengan wajah istrinya itu. "Sama mama d