"Mau apa kau datang ke sini?" Alaric menatap tajam wanita di depannya yang tak lain adalah Grace—mantan istrinya.
"Apa salahku datang? Aku hanya ingin menghadiri acara pernikahan mantan suamiku. Kau tak perlu khawatir berlebihan, Alaric!"
Jika saja bukan seorang wanita, maka sudah ia pastikan tangannya mendarat di wajah Grace. Pria itu tak suka kesenangannya diganggu, dan dengan kehadiran Grace, bisa saja membuat Isadora salah paham dan menjadikan pesta mereka acak-acakan.
"Terserah! Yang jelas, aku mau sekarang kau pergi dari tempat ini!" usir Alaric tanpa belas kasih.
Tatapan Grace seketika menyala. "Apa begini caramu memperlakukan seorang tamu?"
"Aku tak pernah mengundangmu!" tukas Alaric dengan rahang yang mengeras.
"Tapi aku adalah ibu dari darah dagingmu, Alaric! Kau tak bisa menghapus fakta itu!"
Tatapan Alaric makin menajam. Ia hendak membalas ucapan Grace, tetapi lidahnya mendadak kelu saat melihat siapa yang ada di belakang wanita itu.
"D-Dora ...," gumamnya sangat pelan.
Sementara itu, Isadora menatap keduanya santai. Memang hatinya sedikit tersentil saat tak sengaja mendengar pengakuan Grace. Ia bahkan tak pernah memikirkan wanita itu akan datang di pesta pernikahannya.
"Honey ...." Alaric segera merangkul pinggang Isadora posesif, kala wanita itu tiba di sampingnya.
Isadora hanya melirik sang suami sekilas, lalu perhatiannya jatuh pada wanita di depan. "Kau—"
"Mantan istri suamimu," potong wanita itu cepat. Ia mengulurkan tangan sembari tersenyum ramah. "Grace."
"Isadora." Isadora membalas uluran tangan itu sembari tersenyum tak kalah ramah.
"Alaric sering bercerita banyak tentangmu. Selamat, sekarang kalian benar-benar sudah bersatu."
Spontan Isadora melirik pada sang suami. Apa yang pria itu ceritakan pada Grace tentangnya?
"Ah, iya, maaf jika kedatanganku mengganggu pesta kalian. Aku hanya ingin turut menjadi saksi di hari bahagia ini."
Isadora kembali membawa tatapannya ke depan. Sejenak melupakan tentang apa yang sudah suaminya bocorkan pada Grace. "Oh, tidak. Sama sekali tidak mengganggu," tukasnya.
"Emh ... apa kau tidak mau membawa Grace ke tempat yang lebih layak, Al? Ini terlalu dekat dengan lorong menuju toilet," kata Isadora yang membuat suaminya tersadar seketika.
Sejenak Alaric mengusap tengkuknya yang tak gatal. Sebenarnya ia memang sengaja menarik Grace ke tempat ini karena cukup sepi. Tetapi, siapa sangka Isadora malah datang ke sini.
"Oh, dia bilang tidak akan lama-lama berada di sini, Sayang. Kau lihat, kan, Grace hanya sendirian. Dia meninggalkan putraku entah di mana. Pasti dia sedang mencari ibunya sekarang," alibinya.
Mata Grace seketika membola. Satu tangannya terkepal di bawah sana. "Alaric, sialan! Bisa-bisanya kau mengusirku tanpa memberi minum sedikitpun!" geram wanita itu dalam hati.
***
Malam telah larut saat pesta berakhir. Tepat pukul 12 malam, Alaric dan Isadora baru memasuki kamar pengantin. Keduanya gegas membersihkan tubuh secara bergantian, dengan Isadora yang lebih dulu.
Kini wanita dengan rambut panjang yang tergerai setengah basah itu tengah duduk di depan meja rias. Tatapannya lurus pada pantulan wajah di cermin, tetapi pikirannya tengah terbang entah ke mana.
Semua ini masih terasa seperti mimpi bagi Isadora. Menjadi istri seorang Alaric Sebastian memang pernah menjadi impiannya. Tetapi itu dulu, sebelum pria itu berkhianat dan akhirnya menikah dengan Grace.
Jujur saja, jika mengingat itu, hati Isadora bak disayat sebilah pisau tajam. Tetapi, ia selalu berusaha terlihat baik-baik saja di depan semua orang agar tak dianggap lemah.
Ya, untuk apa ia lemah hanya karena seorang Alaric Sebastian?
Isadora tersadar kala sebuah kecupan lembut mendarat di puncak kepalanya. Tampak Alaric yang tengah tersenyum manis dengan bagian atas tubuh yang polos. Sontak saja hal itu membuat Isadora memalingkan wajahnya ke samping.
"Lekas kenakan pakaianmu, Al!" decaknya kesal.
"Kenapa? Aku lebih suka seperti ini."
"Tapi aku tidak menyukainya!" ketus Isadora. Ia bangkit dari duduknya dan beralih mengambil posisi berbaring di atas ranjang.
Ah, Isadora yang malang. Posisi itu justru akan sangat memudahkan Alaric untuk melancarkan aksi yang ia tunggu sejak tadi. Tanpa berkata, pria itu melempar handuk yang semula menyampir di bahu ke sembarang arah. Setelahnya, melangkah dan membaringkan diri di samping tubuh sang istri.
Isadora yang menyadari kehadiran suaminya pun berusaha menahan diri untuk tidak bergerak. Mata wanita itu tertutup rapat.
"Apakah kau sudah benar-benar tidur, Sayang? Secepat itu?" bisik Alaric yang sialnya mampu membuat tubuh Isadora merinding.
Tak mendapat respon, Alaric melingkarkan sebelah tangannya ke perut Isadora. Ia menggeser tubuh hingga sangat rapat dengan tubuh yang telah lama di rindunya.
"Aku tahu kau belum tidur, Honey."
Hampir saja Isadora menghela napas lelah mendengar panggilan suaminya yang terus berganti. Benar-benar tak beraturan!
Meski masih tak mendapat respon, Alaric sama sekali tak mau menyerah. Ia mendaratkan banyak kecupan di pipi Isadora. Ia yakin, sang istri tidak akan tahan jika diperlakukan seperti ini.
Benar saja, setelah banyak kecupan menyerang, Isadora langsung beringsut duduk dengan bibir yang mengerucut. "Kau benar-benar seperti anak kecil, Al!" geramnya sembari mengusap kasar bekas kecupan sang suami.
Alaric lebih dulu ikut mengubah posisi duduk di samping sang istri. "Bukannya yang seperti anak kecil itu kau, Sayang? Kau pura-pura tidur agar lepas dariku, bukan?"
"Aarrgh ... sial!" jerit Isadora dalam hati. Ia memalingkan wajahnya ke samping, enggan menatap sang suami.
"Kenapa? Apa ada yang tak kau suka dariku? Dari tubuhku? Katakanlah!" perintah Alaric dengan lembut.
Isadora masih belum mau menoleh. Ia tengah sibuk mengondisikan debaran jantung yang tak karuan.
"Katakan, Sayang ...." Kali ini Alaric berkata sembari menarik lembut dagu Isadora, hingga wanita itu menatapnya.
Isadora menatap mata hitam di depannya cukup lama. Kemudian, ia berkata, "A-aku tak bisa melakukannya, Al."
"Kenapa?"
"A-aku ... sedang datang bulan."
"Kau tidak sedang berbohong, kan?" serang Alaric dengan tatapan yang menajam.
"Untuk apa aku berbohong?"
Pria itu terdiam sejenak sembari membuang muka demi menghalau rasa kecewa. Setelah itu, ia kembali menatap pada Isadora. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita lakukan yang lain."
"Hah? Yang lain apa? Tolong jangan macam-macam, Al. Aku tahu kau tak akan bisa menahan diri setelahnya."
Alaric makin memajukan wajahnya hingga embusan napas pria itu menerpa wajah cantik Isadora. Sejenak ia menikmati ketampanan yang terpampang di depan mata.
Cup!
Kedua mata Isadora terpejam kala Alaric mengecup lembut sudut bibirnya, hanya sebentar.
"Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tapi, aku pastikan tak akan bisa menahannya lagi di malam-malam lain. Jadi, kau harus bersiap dengan apa yang akan kulakukan nanti, Honey."
Alaric dan Isadora sama-sama terdiam di dalam mobil. Diselimuti hening sejak mereka keluar dari kafe setelah mendengar pengakuan mengejutkan dari Jessica.Sungguh semuanya terasa seperti mimpi. Semua sakit dan dendam yang dilalui Isadora bertahun lamanya, seolah tiada arti. Karena faktanya ia dan Alaric hanya dua manusia yang dipermainkan oleh tangan nakal."Aku sangat bodoh. Jika saja dulu bisa lebih teliti, mungkin kita tidak akan pernah melalui masa pahit itu, Dora," ucap Alaric lirih.Isadora tak menanggapi. Namun, pikirannya tengah kembali tertarik pada saat dalam kafe tadi."Aku ... aku yang dulu menjebak Tuan Alaric agar tidur dengan Nyonya Grace."Hanya satu kalimat, tapi mampu membuat tubuh Alaric dan Isadora seketika membeku. Keduanya menatap Jessica penuh tanda tanya."Bagaimana kau bisa mengenal Grace?" tanya Alaric. Matanya berubah tajam menatap Jessica."Tahan, Tuan. Biarkan Jessica menjelaskan semuanya lebih dulu agar tidak terjadi kesalahpahaman." Frans berusaha melera
Isadora sungguh bingung. Di satu sisi, ia ingin ikut bersama Alaric untuk menemui Frans juga Jessica. Namun di sisi lain, sulit untuknya pergi bersama pria itu.Belum lama, sang suami mengirim ulang pesan yang ia dapat dari Jessica. Dan tentu, rasa penasaran dan bingung pun seketika menyelimuti hati Isadora."Mommy ....""Ada apa?" Rayden yang melihat sang ibu bersikap aneh sejak tadi pun, tak kuat lagi menahan rasa penasaran.Isadora tersadar. Ia lupa jika di sampingnya masih ada Rayden. Wanita itu segera menggelengkan kepalanya. "Ah, tidak apa-apa, Sayang."Sebenarnya Rayden tidak percaya dengan jawaban Isadora. Namun, bocah tampan itu mengangguk saja."Apakah aku sudah terlalu lama di sini, Mommy?" tanya Rayden. Ia coba mengingat berapa lama waktu yang sudah dihabiskan dalam ruangan itu.Isadora menatap jam dinding sejenak sebelum menjawab, "Emh ... 1 jam, Ray. Kamu sudah 1 jam berada di sini. Memangnya kenapa?"Bocah itu tak lantas menjawab. Ia malah menghela napas kasar sembari m
Beberapa hari, tepatnya setelah keluar dari rumah sakit, hobi Isadora hanya menyendiri. Wanita cantik itu akan menghabiskan waktunya di dalam kamar seharian. Duduk di dekat jendela dan menatap langit hingga bosan.Seperti sekarang.Meski telah berjam-jam duduk di atas sofa single yang menghadap langsung ke jendela kamar, rasa bosan itu belum juga datang. Mau tak mau Isadora harus berdiam diri lebih lama.Setelah dunianya direnggut secara paksa, ia benar-benar kehilangan arah. Bahkan melakukan apapun rasanya sudah tak berguna.Memang, sopir truk yang menyebabkan Isadora kecelakaan sedang diproses secara hukum. Namun, itu semua tetap tak bisa mengembalikan statusnya sebagai seorang ibu."Anakku yang malang," gumamnya dengan pandangan menerawang.Tangan wanita yang mengenakan dress sederhana itu mengusap bagian perut. Tempat di mana pernah bersemayam sebuah kehidupan yang akhirnya diambil kembali secara paksa."Apa aku tidak pantas untuk bahagia, Tuhan? Mengapa kau mengambilnya dariku?"
Tidak pernah terbesit sedikit pun di hati Alaric jika ia akan benar-benar dipisahkan dari Isadora sejak hari itu. Dunianya kembali hancur. Malah lebih hancur karena kini ia tahu sang istri tidak bersalah.Setelah dipaksa pergi oleh Julian dari rumah sakit, ia langsung pulang ke rumah dan menginterogasi Wienny."Maafkan saya, Tuan. Tapi ... saya terpaksa melakukan itu."Sungguh alasan yang sangat klasik dan tak ingin Alaric dengar sama sekali."Langsung saja. Siapa yang menyuruhmu? Lalu bagaimana kau bisa masuk ke rumahku?" cecar Alaric kala itu.Seketika Wienny tertunduk. Kedua tangannya saling meremas karena gugup. Wajahnya sudah basah oleh air mata sesal karena telah salah memercayai orang.Ya, Grace bilang bahwa ia akan aman. Tidak mungkin semuanya terbongkar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya."Jika saya jujur ... apakah Tuan akan melepaskan saya?" tanya wanita itu dengan nada putus asa."Aku tidak memintamu bertanya!" Alaric paling tidak suka dengan orang yang banyak berbicar
Isadora dan Frans melerai pelukan. Keduanya kompak menoleh ke arah pintu ruangan. Seketika itu juga, jantung Isadora berdegup kencang. Sementara Frans justru tersenyum senang."Syukurlah Jessica berhasil membuat Alaric bisa masuk ke sini," gumamnya dalam hati. Setelah ini, ia harus mengucapkan banyak terima kasih pada Jessica.Alaric masih berdiri dengan tatapan lurus pada Isadora. Percayalah, kedua lututnya begitu bergetar hingga sulit untuk digerakkan."D-Dora ...."Hanya nama itu yang bisa ia sebut di setiap langkah lemahnya. Melihat Alaric yang kian mendekat, segera Frans berdiri dan pergi. Meninggalkan dua manusia itu di dalam ruangan untuk menyelesaikan kesalahpahaman.Langkah Alaric tiba di samping bangsal Isadora. Ditatapnya wajah sang istri yang basah, dan itu sungguh membuat hatinya sakit tak terkira."D-Dora ....""Al ...."Alaric tak mampu menahan lagi. Ia peluk tubuh wanita tercintanya itu. "M-maafkan aku, Dora. Aku yang salah. Maafkan aku ...."Isadora tak mengeluarka
Hancur sehancur-hancurnya. Itulah yang dirasakan Alaric sekarang. Pria yang tampak kacau itu hanya bisa terduduk lemas di lantai setelah mengetahui sebuah fakta mengejutkan."Kau tahu? Saat kau mengusir putriku, dia sedang mengandung anakmu! Anakmu, Alaric! Dan kau lihat akibatnya? Sekarang putriku sudah kehilangan calon anaknya!"Kalimat yang diucapkan Julian ratusan menit lalu, masih terdengar menggelegar di telinga Alaric. Rentetan kata demi kata yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. "Kenapa kau tidak memberitahuku, Dora? Kenapa kau tidak bilang bahwa sedang mengandung calon anak kita?" gumamnya dengan suara lirih.Alaric menyesal. Sangat ... menyesal. Namun, penyesalan itu sungguh tak ada artinya sekarang. Semuanya sudah terlambat."Aku bersumpah, tidak akan pernah membiarkan putriku kembali, bahkan bertemu dengan pria brengsek sepertimu!" Kalimat yang Julian ucapkan dengan penuh amarah tadi, berhasil membuat Alaric menjadi manusia rapuh. Bagaimana tidak? Di tengah kondi