Yuksel membalas tatapan sang ayah. "Setelah berpuluh tahun, aku menemukannya. Kau berniat langsung memisahkan kami, Ayah?"
Pangeran kelima mendengkus. "Dia mandul! Apa yang kau harapkan dari wanita yang mandul hah!"Yuksel menyeringai. "Bagaimana pun, hanya dia yang bisa memenuhi kebutuhan biologisku sebagai pria. Aku tidak akan menceraikannya."Mendengar hal itu, Pangeran kelima tak lagi mendebat. Soal ranjang, tentunya jauh lebih mengerti ketimbang sang anak yang baru pertama kali merasakan kehangatan seorang wanita. Mata pangeran kelima menatap pada Kimberly yang masih tidur nyenyak."Rumor tentangnya telah beredar di kediaman ini, pastikan kau membersihkannya jika ingin mempertahankan anak dari Count Barnes ini," ujar pangeran kelima mulai melangkah pergi dan diikuti oleh dokter kerajaan.Yuksel menatap pada Aiden serius. "Perintahkan pelayan untuk membantuku mandi dan berpakaian besok di kamar ini.""Ya Grand Duke?"Mata Yuksel menjadi tajam. "Kau mau menyampaikan perintah dengan tubuh lengkap, atau tanpa kepala?""Ah baik Grand Duke," ujar Aiden mulai keluar dari kamar milik Kimberly.***Kimberly terbangun dari tidurnya. Sempat ia tersenyum karena sudah lama tak tidur dengan nyenyak. Namun, senyumnya perlahan luntur saat merasakan ada tangan yang sedang mengelus bibirnya. Terburu mata Kimberly terbuka dan menjauh saat menemukan Yuksel berbaring di sebelahnya."Yuksel, apa yang kau lakukan di kamarku?"Dahi Yuksel mengerut. "Kau panggil aku apa?""Apa semalam kau tidur di sini?" Dan Kimberly mengabaikan pertanyaan Yuksel.Mata Yuksel menatap pakaian tidurnya yang sedikit terbuka. "Semalam menikmati, masa paginya langsung dicampakkan."Kimberly tertegun. Semalam! Di dalam kolam! Mata Kimberly menatap sengit pada Yuksel yang sudah menyeringai. Semalam, pria dingin ini kembali menyentuhnya. Entah Kimberly bisa jalan atau tidak nantinya. Sementara di luar kamar, terdengar begitu ramai, membuat Kimberly menoleh. Namun, Yuksel langsung memeluknya secara tiba-tiba. Tangan yang memakai sarung tangan ini mengusap wajahnya."Yuksel apa yang kau--""Grand Duke, kami akan masuk."Semua pelayan pribadi Yuksel nampak terkejut begitu mendapati pemandangan tak biasa di hadapan mereka. Kemudian kepala pelayan langsung berbalik, otomatis semua pelayan lainnya melakukan hal yang sama. Bibir tersenyum lebar karena merasa pada akhirnya sang Grand Duke mencapai masa kejayaan."Kami akan kembali lagi kalau Grand Duke memanggil," ujar kepala pelayan."Tidak perlu. Lakukan pekerjaanmu sekarang," titah Yuksel dengan nada datar."Baik Grand Duke.""Sebagian pelayan, bantu Kimberly bersiap juga.""Ya Grand Duke?"Mata Yuksel menatap tajam. "Kau tidak mendengarku? Madam Ane?""Ah tentu saja Grand Duke, mereka akan membantu Nona Kimberly," sahut Madam Ane, kepala pelayan pribadi Yuksel."Kau yang membantu Kimberly," putus Yuksel melangkah pergi ke ruang mandi.Meski Madam Ane sedikit terkejut. Pasalnya kali pertama sang kepala pelayan melayani orang lain selain Grand Duke sendiri. Tapi, Madam Ane tak ada pilihan untuk menolak. Dan mulai membantu Kimberly bangun dari ranjang."Ah, tunggu sebentar. Pinggangku," keluh Kimberly cukup lantang membuat Yuksel di dalam ruang mandi menyeringai.Madam Ane adalah kepala pelayan sekaligus penggosip terbaik di dalam kediaman pangeran kelima. Para istri tak pernah mendapat giliran melayani, tapi mereka telah tahu bagaimana stuktur tubuh Yuksel. Itu karena Madam Ane yang menjual informasi. Dan tujuan dari turunnya perintah Madam Ane melayani Kimberly adalah ... rumor soal bandit itu tersingkirkan. Dan setelah ini, gosip tentang Yuksel bermalam bersama Kimberly akan menyebar.Madam Ane menatap setiap lekuk tubuh Kimberly dan tersenyum. "Pantas saja Grand Duke menyukai Nona, ternyata Nona memiliki tubuh yang bagus."Kimberly menoleh. "Apa Yuksel benci tubuh yang jelek?""Ya Nona?""Apa saja yang dia benci? Katakan padaku," pinta Kimberly."Kenapa Nona bertanya begitu? Dan kenapa Nona memanggil Grand Duke hanya dengan namanya saja?" Madam Ane terlihat kaget.Kimberly justru makin antusias. "Apa ada istri yang pernah diceraikan olehnya? Dan kalau boleh tahu alasannya karena apa?"Tiba-tiba saja pintu ruang mandi terbuka lebar. Yuksel telah berpakaian lengkap berwarna dongker. Ya, Kimberly lupa kalau pria dingin ini masih ada di kamarnya. Mata Yuksel menatap tajam dengan kaki berjalan mendekatinya."Aku sering menceraikan para istriku," ujar Yuksel memberi tahu, sementara Madam Ane memilih sedikit mundur."Biasanya kau menceraikan mereka karena apa?" tanya Kimberly semakin antusias.Yuksel menyeringai. "Karena kematian."Kimberly langsung membisu. Yuksel telah mengetahui kelemahannya yang akan mundur ketika sudah membahas masalah kematian. Yuksel kini membantunya mengeringkan rambut yang sedikit basah setelah mandi di ruang tidur.Tiba-tiba saja pintu kamar Kimberly terbuka. Terlihat Emma masuk begitu saja tanpa mengetuk terlebih dahulu. Bahkan Emma terlihat bahagia, namun wajah menjadi tertunduk saat melihat siapa yang berdiri di belakangnya."Selamat pagi Grand Duke," sapa Emma dengan hormat."Lancang sekali. Siapa namamu? Kenapa kau masuk tanpa mengetuk pintu!" Madam Ane terlihat marah dan ingin menghajar Emma."Ah dia pelayanku, dia biasa seperti itu, jangan sakiti dia," ujarnya terburu sebelum Emma kena pukul.Madam Ane melirik sebentar ke arah Yuksel. Namun Yuksel nampak tak peduli dan hanya sibuk mengeringkan rambutnya. Hal itu membuat Madam Ane sedikit menjauhkan diri dari Emma."Ada apa? Kenapa kau datang dengan wajah gembira begitu?" tanya Kimberly penasaran.Emma tersenyum. "Ayah dan kakak Nona berkunjung ke mari, bukankah itu bagus?"Seketika wajah Kimberly menegang mendengar bahwa keluarga Count Barnes datang untuk bertemu. Bagi Kimberly itu bukanlah hal yang bagus, melainkan sebuah petaka. Sementara Mata Yuksel menelisik ekspresinya dari pantulan cermin."Suruh mereka pulang, dan katakan Kimberly sedang tidak enak badan," titah Yuksel pada Emma yang langsung mengangguk."Tidak," sergahnya cepat, "aku akan menemui mereka."Ruang pertemuan khusus lady. Kini Kimberly mulai berjalan masuk ketika pintu terbuka. Mata Kimberly langsung menemukan dua sosok pria sudah duduk di sofa panjang. Ash Barnes, kakak laki-laki pertamanya dan satu lagi adalah Aaron Barnes, ayah dari Kimberly. Mulanya mereka berdua tersenyum ceria dan bersiap berdiri hanya untuk memeluk tubuhnya. Tapi, ketika pintu tertutup. Wajah mereka berdua langsung menjadi serius dan mata menyorot benci. Apalagi pada Emma yang berdiri di belakangnya."Hei babu kecil. Kembalilah bekerja," tegas Ash, kakak pertamanya."Dia di sini karena mengikutiku, sebenarnya apa yang membuatmu tidak nyaman dengan kehadirannya?" tanya Kimberly mulai duduk di hadapan ayahnya."Tidakkah masalah tato itu sangat rahasia? Kau yakin ingin pembantu kecilmu ini ikut mendengar?" Setelah lama membisu, akhirnya Aaron Barnes bicara.Mendengarnya, Kimberly langsung menghela napas dan melirik pada Emma. "Kau bisa menunggu di luar.""Baik Nona."Dengan penuh hormat, Emma mulai ber
Jari jemari yang tersembunyi oleh sarung tangan itu. Mulai mengusap permukaan pedang yang sedikit memantulkan cahaya pada wajah. Sorot mata Yuksel tak main-main, tertuju sangat tajam ke arah Ash dan Aaron."Jadi, siapakah di antara kalian berdua yang mencekik Kimberly?"Ash melirik takut ke arah sang ayah. Reputasi Yuksel selama bergabung di medan perang, membuat siapa pun merinding hanya dengan menyimak cerita. Apalagi sekarang, telinga bakal mendengar langsung suara gemerincing pedang yang menebas layaknya angin bergerak."Mana ada ayah yang mencoba membunuh anaknya sendiri, begitu pula dengan kakaknya. Bukankah begitu, Kimberly?" tanya Aaron dengan nada santai.Kimberly yang masih membutuhkan tempat pulang ketika diceraikan. Tentunya langsung mengangguk antusias. Meski pembunuhan akan kembali terulang setiap hari di kediaman Barnes, namun itulah rumah untuknya, tempat Kimberly berasal."Yakin?" Yuksel mempertanyakan jawabannya yang tanpa kata."Ini hanya karena alergi saja, seperti
Sementara itu. Kaki dibalut sepatu kulit yang ujungnya bundar dan memiliki hak tipis, Kimberly terus saja mengikuti langkah Yuksel yang begitu ringan. Punggung yang biasa memimpin perang itu begitu lebar di mata Kimberly. Membayangkan ketika buku-buku jemarinya mencengkram di sana ketika bersetubuh. Membuat Kimberly menggelengkan kepala seketika. Namun, satu hal yang membuat Kimberly tak mengerti. "Kenapa aku tak ingat sama sekali, ketika dia menyentuhku, bahkan dua kali sekaligus," gumam Kimberly dengan dahi yang mengerut.Langkah kaki Yuksel perlahan berhenti. Kepala menoleh sedikit, menatap pada Kimberly yang sibuk dengan pemikirannya. Hingga tak sadar ada penghalang besar yang menghalangi jalan, sontak tubuh Kimberly menabrak punggung Yuksel."Apa yang kau pikirkan, istriku?" tanya Yuksel dengan sorot mata tajam.Kimberly mengangkat matanya setelah mengelus dahi yang lumayan sakit. "Kau mau membawaku ke mana?"Ya hanya itu yang bisa Kimberly ucapkan. Dari pada kepergok sedang me
Rasa malu tiba-tiba saja menyergap dalam diri Kimberly. Ketika mulut tak kuasa menahan satu desakan atas kenikmatan. Namun, ada suara lebih memalukan dari itu semua.Daging basah yang saling bertemu di bawah sana. Telah menciptakan suara yang merajai kesunyian labirin. Kimberly yang semula terlena oleh sentuhan Yuksel, tiba-tiba terlintas seruan di dalam otaknya.Tanda organisasi di dada Yuksel!"Grand Duke," sebut Kimberly pelan dengan tangan merambat pada Yuksel yang masih memakai atasan.Yuksel menyeringai. "Kenapa? Kau sangat menikmatinya, istriku?""Tolong lepaskan kemejamu, biarkan aku memandang--"Mulut Kimberly lebih dulu dibungkam oleh bibir Yuksel. Sebelum melanjutkan ucapannya. Apalagi melancarkan kegiatannya membuka pakaian Yuksel dan melihat tato itu.***"Sungguh, kau pria hina, Grand Duke."Yuksel yang tengah memakai jubah jadi menyeringai. Menatap pada Kimberly yang dalam keadaan berantakan, pakaian tersebar di sekitar ranjang. Sem
Semburat senyum di bibir Emma begitu cerah. Memandang Kimberly yang telah diakui oleh Grand Duke. Mungkin sebentar lagi akan memberikan suara tangis bayi pertama di kediaman pangeran kelima. Itulah keinginan Emma.Suara ketukan di pintu, menyita perhatian Emma juga Kimberly. Tak pernah Kimberly dapati Madam Ane begitu hormat terhadapnya. Menunduk selalu dan baru menatap mata ketika sudah di hadapannya."Apakah Lady ingin makan sekarang?""Ya?" Kimberly terheran, "memangnya kalian menyiapkan makan untukku? Selir ini?"Madam Ane kan pelayan pribadi Yuksel. Tiba-tiba menawarkan makanan padanya. Itu hal yang sulit untuk dimengerti."Betul Lady. Ayam goreng manis, nasi dan jus sudah tersaji di depan. Jika Lady ingin makan sekarang, saya akan menyuruh pelayan masuk," jabar Madam Ane pelan, namun tatapan mata begitu tajam."Ah ya, aku ingin makan sekarang."Tenaga habis terkuras karena ulah Yuksel. Tentunya perut Kimberly yang sudah keroncongan harus diisi, buka
Kimberly pun syok. "Ah, Yuksel."Secara alami, Kimberly ingin mengusap wajah suaminya. Namun, tangan Kimberly langsung dicekal oleh Yuksel. Hal itu membuat Kimberly beranggapan, kalau suaminya marah besar.Namun Yuksel menggeleng. "Tak apa, aku bisa sendiri."Yuksel benar-benar membersihkan sendiri makanan di wajah. Kimberly menelan ludahnya, nyawa Kimberly tak akan terancam hanya karena menyembur Grand Duke kejam ini? Yuksel menatapnya membuat pandangan Kimberly buru-buru diturunkan."Apa kau sudah selesai makan? Aku akan membawamu berkeliling kediaman," ujar Yuksel pelan.Kimberly langsung bangkit dari duduk. "Ya ayo! Emma."Yuksel mengerutkan dahi, melihat sang istri yang biasanya sangat pembangkang. Tiba-tiba menjadi penurut dalam sekejap. Terburu Emma mengikuti Kimberly yang sudah berjalan lebih dulu keluar kamar."Ayo, Grand Duke," sebutnya membuat Yuksel ikut berdiri dan mendekatinya.Ketika Kimberly keluar kamar dan memandang melalui jendela b
Meski tahu ada yang tidak beres. Namun, Yuksel nampak tak peduli dengan kondisi pelayan pribadi Kimberly. Hanya fokus sarapan bersama Kimberly di dalam kamar.Netra biru Kimberly mendelik. Merasa heran dengan sarapan yang dibawa sampai kamar. Padahal biasanya Yuksel sarapan bersama pangeran kelima dan Arabella di ruang makan. "Ada apa istriku?" tanya Yuksel begitu menyadari tatapannya.Mata Kimberly mengedar, menatap para pelayan yang siaga menunggu sang tuan selesai sarapan. "Anu, memangnya kau tidak makan di ruang makan, Grand Duke."Yuksel yang telah tahu kebiasaan Kimberly hanya sopan ketika ada orang lain, langsung menyahut. "Memangnya kau sudi makan di hadapan ayahku dan Arabella?"Mendengar hal itu. Kimberly memilih melahap sarapannya saja, tak berceloteh lagi. Dari pada menyahut dan membuat para pelayan membicarakan ketidak sudi itu. Melihat ada sisa kunyahan di sudut mulut. Yuksel tanpa ragu langsung mengusap mulutnya, namun satu yang membuat Kimbe
Netra Kimberly mendelik Yuksel serius. "Bisakah kau berpura buta dan tuli hanya untuk hari ini saja?"Yuksel mengusap kepalanya. "Baiklah. Apa pun yang kau lakukan, aku akan membelamu.""Kalau begitu, aku minta tolong padamu Yuksel. Tolong suruh pelayan terpercaya milikmu untuk merawat Emma selama aku pergi," pintanya."Baiklah. Aku akan meminta pengawal pribadiku berjaga di sini."Seketika itu juga Kimberly menoleh. Pengawal pribadi Yuksel kan pria yang selalu membawa pedang itu kan? Pria loh! Kimberly tentunya langsung menggelengkan kepala. Tentu membuat Yuksel mengerutkan dahi."Kenapa istriku?""Dia pria Yuksel. Mana mungkin aku membiarkan Emma berdua saja dengan pengawalmu itu."Yuksel tersenyum. "Dia berjaga di luar istriku.""Ya tapi tetap saja kan. Dia pria," celetuknya."Baiklah, aku akan menyuruh Madam Ane untuk merawatnya dan Aiden yang berjaga di depan."Soal itu ... Kimberly mulai mengangguk setuju. Sementara sorot matanya penuh dengan dendam. Jelas hal itu membuat Yukse