Tok! Tok! Tok!
Sebuah kontrakan diketuk pintunya dari luar oleh seorang Ibu bersama dua perempuan muda. “Bu, kencang aja ketukannya? Siapa tahu si Dea lagi tidur jam segini,” ucap Raisa, menantu pertama Ibu Maisarah, sembari mengipasi lehernya dengan tangan. “Iya, Bu. Mana panas lagi, bikin kulit aku jadi gosong,” sahut Siska, menantu kedua, sok banget sambil mengusap lengannya yang memang tampak kemerahan. Ibu Maisarah mendengkus kesal pada kedua menantunya yang cerewet seraya mengetuk lagi pintu kontrakan tersebut agak kencang dari yang pertama. “Dea, buka pintunya! Buka pintunya, Dea!” teriak Bu Maisarah saking kesalnya menunggu lama di luar. Untung saja kontrakan dengan tiga pintu itu terlihat sepi yang kemungkinan besar penghuninya sedang tidak ada di rumah sehingga teriakannya tidak mengganggu penghuni kontrakan. Deasy yang sedang menyusui bayinya yang baru berumur lima bulan terpaksa menghentikan anaknya yang menyusu saat telinganya mendengar suara yang sangat ia kenal. “Anak pintar, sabar ya, Nak! Nenekmu sepertinya datang berkunjung, dan sekarang kita lihat apa lagi maksud kedatangannya kali ini,” gumam Deasy berbicara pada anaknya sambil menggendong bayi cantik berjalan ke ruang depan. Ceklek! Saat pintu terbuka, Dea melihat muka kesal ibunya dan muka sombong kedua iparnya yang berdiri tegak bak penagih hutang di depan pintu. “Ibu, Mbak Siska, Mbak Raisa, mari silakan masuk!” sapa Dea dengan tersenyum ramah pada ketiga wanita beda usia itu. Siska masuk terlebih dahulu dengan raut muka jijik seakan-akan ia masuk ke kandang hewan. Sedangkan Bu Maisarah masuk belakangan setelah Raisa dengan mengamati secara detail kontrakan yang mungkin saja ada perubahan yang ia lihat. “Duduk dulu semuanya, saya mau ambilkan minum dulu di belakang,” ucap Dea berusaha ramah kepada mereka semua. “Tidak usah, saya tidak haus! Duduk saja kamu di sana!” tolak Bu Maisarah dengan menunjuk kursi di hadapan Raisa menantu keduanya. “Iya, De. Kami semua gak haus dan kamu gak perlu repot-repot sambil bawa-bawa bayi segala,” sahut Raisa ikut menimpali ucapan mertuanya. Dea hanya mengangguk kecil dan memilih duduk di kursi yang kosong. “Dea, Ibu sudah putuskan untuk menikahkan kamu dengan laki-laki baik pilihan kami. Kamu harus menceraikan laki-laki miskin itu untuk masa depan kamu nanti. Mau sampai kapan kamu hidup susah dan tinggal di tempat kumuh seperti ini?” ucap Bu Maisarah tanpa basa basi lagi. Dea mengangkat mukanya sembari menggigit bibirnya yang kelu mendengar kembali hinaan sang ibu pada suaminya. Apa salahnya menikah dengan laki-laki sederhana seperti suaminya? Ia sangat bahagia selama pernikahan mereka yang masih seumur jagung tersebut. “Bu, Aa Avin laki-laki bertanggungjawab. Meskipun ia tidak punya banyak harta, Dea dan Audrey hidup bahagia bersamanya. Dea gak mau menceraikan Aa Avin karena istri yang meminta cerai itu hukumnya dosa besar,” jawab Dea dengan lembut berusaha membuka hati ibunya. “Apalagi Aa Avin gak punya kesalahan fatal yang bisa membuat Dea menggugat cerai. Dea mohon sama ibu, tolong biarkan keluarga kecil kami hidup damai tanpa ada perselisihan hanya karena Aa Avin bukan orang kaya,” tambah Dea lagi meminta belas kasihan ibunya dengan mata berkaca-kaca. Bukannya luluh mendengar keluh kesah Dea, Bu Maisarah semakin marah karena menganggap penolakan Dea sebagai sikap durhaka perempuan itu padanya. “Dasar anak durhaka kamu, Dea! Beraninya kamu bicara seperti itu sama Ibu kamu sendiri? Semua yang ibu lakukan hanya untuk kebahagiaan kamu! Tinggalkan anak ini bersama laki-laki miskin itu dan ikut ibu pulang! Lama-lama tinggal disini membuat kamu semakin pintar bicara dan pintar melawan ibumu sendiri,” bentak Bu Maisarah dengan kencang tanpa memikirkan jika suara kencangnya mengejutkan bayi Dea. Oek...oek...oek... Bayi berumur lima bulan dalam dekapan Dea menangis kencang karena terkejut mendengar suara kencang Bu Maisarah. “Ck, berisik banget sih! Bikin telingaku sakit saja,” celetuk Siska tanpa perasaan. Tidak hanya Siska yang merasa terganggu, Bu Maisarah juga ikut terganggu mendengar tangisan anaknya Dea. “Pokoknya Ibu gak mau tau ya, Dea. Kamu harus ikut ibu pulang ke rumah kita dan tinggalkan anak itu sama ayahnya. Kamu harus menikah dengan laki-laki pilihan ibu dan laki-laki itu akan membuat hidupmu aman dan tenteram dengan semua harta yang ia miliki!” “Tapi, Bu...” “Gak ada hidup yang tidak memikirkan harta, karena dengan memiliki harta yang banyak kamu tidak akan sudah jika mau melakukan apa saja!” potong Bu Maisarah, tidak mendengarkan perkataan Dea. “Juragan Handi pasangan yang cocok untuk kamu dan nantinya hidupmu akan bahagia diistimewakan pria seperti Juragan Handi!” “Apa?? Juragan Handi??” pekik Dea dengan wajah syok mendengar nama tersebut. Bersambung...Seperti kemarin, Avin meninggalkan Dea di ruangan Ayah mertuanya setelah menemani sang istri terapi dengan Dokter Ana. Ia sudah berada di ruangan kantornya yang sementara ini dipegang oleh kakaknya Kaisar. “Di mana Lendra? Katanya mau bawa gebetannya ke sini, kok belum nongol juga?” tanya Kaivan sambil memakan snack kentang yang ia bawa tadi. Kaisar fokus mengerjakan berkas-berkas di meja dengan dibantu Keenan yang duduk di depannya. Sedangkan Saloka asyik sendiri mengutak-atik laptopnya melakukan tugas mencari informasi tentang Bik Ira dan Warti pengasuh Audrey. Kaivan mendengkus kesal karena tidak satu pun yang menanggapi pertanyaannya. Ia semakin kencang mengunyah camilannya agar mengganggu konsentrasi semua orang saking kesalnya. Tingkah kekanakan pria itu tidak membuahkan hasil karena tidak satu pun yang terpengaruh pada bunyi kunyahan yang berisik itu. “Assalamualaikum, Abang-abangku!” teriak Syailendra membuka pintu secara tiba-tiba lalu masuk sambil memegang pergelan
Andre terkejut melihat kliennya dan kenalan barunya ternyata saling kenal. Ia dengan jentelmen menarik kursi untuk Raisa, dan wanita itu tidak bisa untuk tidak tersipu dengan perlakuan seperti itu dari seorang pria. Tetapi karena tidak ingin dianggap tidak pantas, Raisa dengan cepat menunduk dengan memasang kembali wajah kagetnya. “Jadi klien Mas Andre adalah Juragan Handi?” tanya Raisa begitu ia dan Andre sudah duduk di depan Juragan Handi. “Iya, Mbak, Sebenarnya Juragan klien ipar saya, tapi karena ipar saya harus pergi ke Kalimantan karena kakak saya mau melahirkan, maka saya yang menggantikannya sebagai pengacaranya dalam menghadapi kasus ini,” jawab Andre dengan santai sambil memanggil pelayan Cafe. Raisa mengangguk paham, ia menyapa Juragan Handi dengan agak takut-takut karena tidak mau pria paruh baya itu marah padanya. “Aku tidak makan orang, Raisa! Jadi, tidak usah takut seperti itu! Asal kamu tahu saja, masalah yang aku alami ini berhubungan erat dengan suamimu!” u
Raisa terduduk di trotoar jalan hingga sikunya membentur pembatas dan meninggalkan luka baret di sikunya. Jantungnya berdebar kencang karena takut sekaligus terkejut hampir menjadi korban tabrakan akibat melamun. Seketika air matanya mengalir deras hingga terdengar isakan lirih yang membuat penolongnya malah tambah khawatir. “Mbak, apa lukanya sakit sekali? Mau saya antar ke rumah sakit terdekat?” tanya pria itu dengan wajah khawatir. Ia bahkan belum melihat rupa perempuan yang ia tolong karena posisi Raisa menunduk sehingga rambut panjangnya menutupi seluruh mukanya. Raisa menangis bukan karena rasa sakit pada sikunya tetapi pada perasaannya yang semakin yakin jika suaminya pasti punya hubungan yang tidak biasa dengan wanita yang bersama Siska tadi. Ia menangis menyesali kebodohannya selama ini yang selalu patuh dan menurut setiap perkataan Ghufron. Ia bahkan patuh saat Ghufron menunda untuk punya anak sehingga Raisa rutin mengonsumsi pil penunda kehamilan sejak enam bulan
Lima bersaudara itu terdiam sesaat setelah Kaisar bicara. Selain Avin mereka semua masih terkejut dan antara percaya atau tidak percaya dengan perkataan Dea tentang Bik Ira. “Jujur gue syok, dan masih ragu dengan perkataan Dea tentang dugaannya itu! Bukan gue bilang Dea salah duga, tapi gue merasa ragu jika itu suara Bik Ira versi laki-laki. Pasalnya selama ini Bik Ira tidak pernah menunjukkan gelagat yang aneh baik di depan kita maupun saat bersama Dea,” ucap Kaivan dengan pemikirannya. “Gue juga kaget dan syok, Bang! Tapi balik lagi ke Kak Dea, dia gak akan ngomong kayak gitu kalau ia merasa gak yakin. Apalagi Bang Keenan bilang kalau Kak Dea yakin suara itu seperti suara Bik Ira tapi dalam versi laki-laki. Itu artinya ada laki-laki yang punya hubungan kekerabatan dengan Bik Ira yang sengaja meneror Kak Dea. Tapi yang jadi masalahnya setahu gue Bik Ira belum menikah sampai sekarang!” sahut Saloka ikut memberikan pendapatnya. “Benar juga ya? Setahu gue Bik Ira masih sendiri sej
"Itu istrinya Ghufron ya Sis?" tanya Ela ketika mereka sudah di dalam mobil. "Iya, itu istri sahnya simpanan kamu!" jawab Siska dengan santai tanpa nada menghina seolah-olah itu kata-kata yang biasa di ucapkan. "Cantik juga, tapi kenapa Ghufron tidak menyukai istrinya sendiri? Malah mencari kesenangan di luar rumah," sahut Ela dengan heran. "Cih, Mau secantik bidadari pun kalau laki-lakinya memang doyan jajan gak bakalan betah di rumah!" cibir Siska dengan tersenyum sinis. "Yah, laki-laki yang baik dan setia sungguh jarang! Eh, Sis, suami elo kan sopir dan jarang pulang, gimana kalau dia juga punya simpanan diluar sana kayak adiknya si Ghufron? Elo memangnya gak marah?" timbal Ela sambil bertanya tentang suaminya Siska. "Gue gak peduli dia mau punya simpanan atau tidak! Aku juga jarang memberikannya jatah saat ia pulang, asalkan setiap ia pulang bawa uang yang tidak kurang dari biasanya, aku tidak peduli lagi!" jawab Siska dengan nada acuh tak acuh. "Hehehehe, dasar matr
Saat ini Grandpa Brandon duduk sendirian di dalam kamar di kediaman Manggala sambil memeluk surat-surat yang selama ini di tulis Angelina setiap hari ulang tahunnya. Ia memeluk kertas yang warna sudah menguning karena dimakan usia, dan untung saja menantunya merawat surat-surat itu dengan telaten dan hati-hati sehingga tidak rapuh dan hancur dimakan rayap. Surat-surat itu melebihi harta berharga yang ia kumpul sehingga ia begitu menjaganya dengan hati-hati agar tidak mudah rusak. Sementara Alatas masih terus menatap album foto lama yang berisi kenangan tentang Ibu kandungnya selama masih remaja sampai ia menikah dan punya anak. "Ibu cantik banget ya, Yah!" ucap Alatas sambil mengusap foto wanita Bule yang tersenyum manis dengan perutnya yang buncit. Usapan pada foto itu bagi Alatas usapan nyata pada wajah cantik ibunya yang tidak pernah ia ketahui selama ini. Setetes air mata jatuh di atas foto itu sebagai ungkapan kerinduan yang tiba-tiba datang memasuki relung hati Alatas.