Alatas kembali ke rumah pada pagi harinya setelah mampir sebentar ke rumah sakit melihat keadaan ayahnya. Ia menginap di hotel setelah pesta bersama sepupunya Avin, Syailendra. Karena sama-sama masih kuliah, keduanya cepat akrab. Meskipun dengan yang lainnya juga dekat, ia paling dekat dengan Syailendra karena mempunyai hobi dan umur yang sama. “Tahu pulang juga kamu!” semprot Bu Maisarah di depan pintu begitu melihat putra bungsunya pulang ke rumah. Alatas diam saja dan menatap malas dengan sorot matanya sambil memasang wajah datar saat melepaskan sepatunya. Wanita tua itu sengaja menunggu putra bungsunya pulang karena semalaman ia tidak bisa tidur hanya karena menunggu Alatas pulang. “Ibu bukannya tahu kalau pestanya baru dimulai sore hari? Tentu saja selesainya malam, karena itu pesta orang kaya yang dibagi dengan beberapa sesi,” jawab Alatas dengan sindiran. Ia menyindir ibunya yang datang bersama para iparnya di pesta tadi dan membuat keributan. Wajah Bu Maisarah m
“Kenapa Neng? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Avin dengan lembut ketika melihat Dea bengong tanpa memakan makanannya. Padahal tadi istrinya itu mengeluh kelaparan, tetapi sekarang makanannya hanya dilihat dan diaduk saja tanpa kurang sedikit pun. “A’, menurut Aa, Eneng pantas gak menjadi bagian dari keluarga ini?” tanya Dea dengan menatap dalam suaminya. Kening Avin mengerut mendengar pertanyaan istrinya yang tidak ia duga. “Kenapa bertanya seperti itu? Siapa yang bilang Eneng gak pantas menjadi bagian dari keluarga ini? Aa gak suka Eneng ngomong ngawur kayak gitu lagi,” sahut Avin, wajahnya menunjukkan tidak suka. “Kalau gitu, apa pendapat Aa jika Eneng ingin jadi perempuan yang kuat, hebat dan bermartabat sebagai pendamping hidup Aa?” tanya Dea lagi sehingga membuat ekspresi wajah Avin semakin berat. Pria tampan itu berpindah duduk dan duduk di samping Dea yang duduk di sofa kamar. Ia mendorong meja troli kecil yang menyajikan tempat makan ke ruang kosong di su
Dea dan Avin sampai di kediaman keluarga Manggala setelah menempuh tiga puluh lima menit perjalanan. “A’, bawa Audrey duluan ke kamar ya? Neng mau ambil makanan dulu di dapur, perut Neng lapar lagi, dan tadi gak bisa makan banyak karena diajak keliling sama Mami dan Oma,” pinta Dea dengan mengusap perutnya yang lapar lagi. Beberapa saat lalu, ia baru selesai mengasihi Audrey hingga bayi itu kekenyangan, nafsu makannya yang kuat saat menyusui selalu membuat ia lapar. Dea sudah tidak malu-malu lagi menyuarakan apa yang ia rasakan, berbeda dengan saat pertama kali mereka datang ke rumah ini. “Ya sudah, Aa tidurin si gemoy dulu di kamar. Nanti giliran Bubunya yang Aa tidurin,” sahut Avin dengan mengerling nakal. “Ish, dasar mesum!” balas Dea mencibir dengan suara pelan. Avin terkekeh geli sambil menggendong putrinya yang nemplok manja di dadanya. Mereka memasuki rumah dengan wajah bahagia, lalu berpisah karena beda arah, Avin naik menggunakan lift, dan Dea berbelok ke arah dap
“Sekarang jelaskan dengan jujur kenapa kalian bertiga teriak-teriak di pinggir jalan tadi? Bukannya hotel itu milik keluarga suaminya Dea?” tanya Juragan Handi dengan tatapan menyelidik. Mereka saat ini berada di Cafe Ruang Rindu yang berada di lokasi wisata danau buatan. Juragan Handi sengaja memilih ruangan tertutup agar pembicaraan mereka tidak di dengar bebas orang-orang. “Juragan, boleh pesan makan dulu gak? Perut aku sudah lapar banget,” tanya Raisa dengan tidak tahu malunya. Bu Maisarah menunduk malu karena tidak berani bicara jujur dan lepas seperti Raisa, ia juga sangat lapar dan perutnya sudah mulai pedih saat mereka diusir paksa tadi. Juragan mendengus mendengar pertanyaan Raisa. Rasa ingin tahunya menjadi tertunda karenanya. Ia terpaksa mengangguk, dan benar saja, wanita itu langsung berseru kegirangan dan tanpa malu memesan makanan sambil berdiskusi dengan kedua wanita yang duduk di kiri dan kanannya. Dengan hati yang dongkol, Juragan Handi juga ikut memesan mak
Di aula pesta... Opa Manggala berbicara di atas panggung depan semua orang, memperkenalkan Avin dan Dea yang berdiri di sampingnya dengan wajah bangga. Sikap Avin yang tidak mau menjauh dan begitu posesif pada Dea membuat banyak mata iri dan dengki dengan perlakuan istimewa Avin pada perempuan cantik itu. “Bukannya perempuan itu dari kampung? Kenapa sikapnya seolah-olah ia seperti anak orang kaya yang terbiasa bergaul?” bisik gadis bergaun merah maroon pada gadis di sebelahnya. “Aku dengar dia memang anak kampung. Meskipun sikapnya sama seperti anak kota seperti kita, tetap saja dia anak kampung yang ketiban rezeki menikah dengan orang kaya,” sahut gadis yang bergaun silver dengan tatapan iri dan sinis. “Sssttt, pelankan suaramu, Maya! Jangan sampai perkataanmu tadi di dengar orang dan membuat keributan yang menghancurkan perusahaan orang tua kita,” tegur gadis yang memegang gelas sampanye pada gadis bergaun silver. Gadis bergaun silver bernama Maya mengerucutkan bibirnya
Bu Maisarah dan kedua menantunya terkejut dengan kedatangan pria yang bertengkar dengan Siska membawa beberapa petugas keamanan mendekati mereka. Tubuh wanita paruh baya itu gemetaran mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut pria itu. “Hei, apa yang kalian lakukan? Beraninya kalian berbuat kasar pada besan pemilik hotel ini, hah? Saya ini besannya keluarga Manggala, saya ibunya menantu mereka, Deasy!” teriak Bu Maisarah berang saat petugas keamanan memegang lengannya dengan kasar. Ia berontak, ingin melepaskan diri dari petugas keamanan tersebut, akan tetapi tenaganya melemah karena petugas keamanan tersebut terlalu kuat dan kekuatan fisik mereka tidak sebanding. “Lepaskan aku, brengsek! Kalian petugas yang tidak punya otak! Taunya melakukan kekerasan terhadap perempuan! Aku tidak sudi disentuh oleh kalian! Lepaskan aku, lepaskan!” teriak Siska juga dengan meronta-ronta di dalam genggaman petugas. Hanya Raisa yang membisu karena ketakutan saat dibawa paksa petugas keam