Kediaman Juragan Handi di kampung sebelah.. “Kayaknya si Juragan sudah gak terlalu ngebet lagi sama Mbak Dea semenjak terkuak jika suaminya itu ternyata orang kaya,” ucap Joko pelan pada rekannya sambil duduk santai di bawah pohon Mangga. “Masa sih, Jon? Kalau memang sudah gak ngebet lagi kenapa Juragan masih nyuruh kita nyari perempuan yang mirip sama Mbak Dea, sampai-sampai biniku marahin aku katanya jangan-jangan aku yang mau nyari daun muda,” sahut Darman dengan wajah tidak percaya. Dua bawahan Juragan Handi baru saja selesai kerja di lumbung padi milik pria tua itu setelah beberapa hari lalu berkelana mencari perempuan yang mirip dengan Dea tanpa seorang pun yang tahu yang mereka berdua lakukan. Istrinya Darman langsung marah-marah karena gara-gara hal itu ia dan anaknya kesulitan ke mana-mana karena kendaraan mereka satu-satunya di bawa Darman. “Iya, ya, baru kepikiran aku, Man. Memangnya si Juragan mau cari yang gimana lagi sih? Istri aja sudah dua, masa gak pernah pu
Tidak hanya Bu Maisarah yang kaget, Siska dan Raisa ikutan kaget sehingga pelukan Raisa pada lengan suaminya terlepas. “Bang, kamu gak lagi nge-prank kami kan?” tanya Raisa dengan wajah tidak percaya. Siska ikutan mengangguk tanpa suara membenarkan pertanyaan Raisa. “Raisa benar, Nak! Kamu tidak lagi mempermainkan kami semua kan? Kapan pria tua itu menghubungimu? Dan apa alasan pria itu tiba-tiba menarik uang yang ia berikan waktu itu?” cerca Bu Maisarah sambil menahan gemuruh di dadanya. Ghufron memasang raut gusar sembari membuang kasar napasnya. “Ini bukan permainan atau candaan, Bu. Juragan Handi mengirim pengacaranya mendatangi tempat aku kunjungan kerja sehingga membuat aku kaget akan kedatangannya. Karena tidak ingin ada yang mencurigai, aku membawanya ke Cafe terdekat. Dari situ aku tahu jika Juragan Handi sengaja mengikutiku keluar agar bisa menemuiku dengan leluasa. Pengacaranya meminta agar aku mengembalikan bantuan dana yang Juragan Handi berikan saat pilkada kem
Alatas kembali ke rumah pada pagi harinya setelah mampir sebentar ke rumah sakit melihat keadaan ayahnya. Ia menginap di hotel setelah pesta bersama sepupunya Avin, Syailendra. Karena sama-sama masih kuliah, keduanya cepat akrab. Meskipun dengan yang lainnya juga dekat, ia paling dekat dengan Syailendra karena mempunyai hobi dan umur yang sama. “Tahu pulang juga kamu!” semprot Bu Maisarah di depan pintu begitu melihat putra bungsunya pulang ke rumah. Alatas diam saja dan menatap malas dengan sorot matanya sambil memasang wajah datar saat melepaskan sepatunya. Wanita tua itu sengaja menunggu putra bungsunya pulang karena semalaman ia tidak bisa tidur hanya karena menunggu Alatas pulang. “Ibu bukannya tahu kalau pestanya baru dimulai sore hari? Tentu saja selesainya malam, karena itu pesta orang kaya yang dibagi dengan beberapa sesi,” jawab Alatas dengan sindiran. Ia menyindir ibunya yang datang bersama para iparnya di pesta tadi dan membuat keributan. Wajah Bu Maisarah m
“Kenapa Neng? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Avin dengan lembut ketika melihat Dea bengong tanpa memakan makanannya. Padahal tadi istrinya itu mengeluh kelaparan, tetapi sekarang makanannya hanya dilihat dan diaduk saja tanpa kurang sedikit pun. “A’, menurut Aa, Eneng pantas gak menjadi bagian dari keluarga ini?” tanya Dea dengan menatap dalam suaminya. Kening Avin mengerut mendengar pertanyaan istrinya yang tidak ia duga. “Kenapa bertanya seperti itu? Siapa yang bilang Eneng gak pantas menjadi bagian dari keluarga ini? Aa gak suka Eneng ngomong ngawur kayak gitu lagi,” sahut Avin, wajahnya menunjukkan tidak suka. “Kalau gitu, apa pendapat Aa jika Eneng ingin jadi perempuan yang kuat, hebat dan bermartabat sebagai pendamping hidup Aa?” tanya Dea lagi sehingga membuat ekspresi wajah Avin semakin berat. Pria tampan itu berpindah duduk dan duduk di samping Dea yang duduk di sofa kamar. Ia mendorong meja troli kecil yang menyajikan tempat makan ke ruang kosong di su
Dea dan Avin sampai di kediaman keluarga Manggala setelah menempuh tiga puluh lima menit perjalanan. “A’, bawa Audrey duluan ke kamar ya? Neng mau ambil makanan dulu di dapur, perut Neng lapar lagi, dan tadi gak bisa makan banyak karena diajak keliling sama Mami dan Oma,” pinta Dea dengan mengusap perutnya yang lapar lagi. Beberapa saat lalu, ia baru selesai mengasihi Audrey hingga bayi itu kekenyangan, nafsu makannya yang kuat saat menyusui selalu membuat ia lapar. Dea sudah tidak malu-malu lagi menyuarakan apa yang ia rasakan, berbeda dengan saat pertama kali mereka datang ke rumah ini. “Ya sudah, Aa tidurin si gemoy dulu di kamar. Nanti giliran Bubunya yang Aa tidurin,” sahut Avin dengan mengerling nakal. “Ish, dasar mesum!” balas Dea mencibir dengan suara pelan. Avin terkekeh geli sambil menggendong putrinya yang nemplok manja di dadanya. Mereka memasuki rumah dengan wajah bahagia, lalu berpisah karena beda arah, Avin naik menggunakan lift, dan Dea berbelok ke arah dap
“Sekarang jelaskan dengan jujur kenapa kalian bertiga teriak-teriak di pinggir jalan tadi? Bukannya hotel itu milik keluarga suaminya Dea?” tanya Juragan Handi dengan tatapan menyelidik. Mereka saat ini berada di Cafe Ruang Rindu yang berada di lokasi wisata danau buatan. Juragan Handi sengaja memilih ruangan tertutup agar pembicaraan mereka tidak di dengar bebas orang-orang. “Juragan, boleh pesan makan dulu gak? Perut aku sudah lapar banget,” tanya Raisa dengan tidak tahu malunya. Bu Maisarah menunduk malu karena tidak berani bicara jujur dan lepas seperti Raisa, ia juga sangat lapar dan perutnya sudah mulai pedih saat mereka diusir paksa tadi. Juragan mendengus mendengar pertanyaan Raisa. Rasa ingin tahunya menjadi tertunda karenanya. Ia terpaksa mengangguk, dan benar saja, wanita itu langsung berseru kegirangan dan tanpa malu memesan makanan sambil berdiskusi dengan kedua wanita yang duduk di kiri dan kanannya. Dengan hati yang dongkol, Juragan Handi juga ikut memesan mak