Tubuh Arcelia terasa berat, napasnya masih tersengal-sengal, dan pikirannya berputar seperti kabut yang belum menghilang sepenuhnya. Sisa-sisa kehangatan masih melekat di kulitnya, sensasi membara yang ditinggalkan Kaisar Azrael belum sepenuhnya pudar. Suara langkah Kaisar mendekat, mantap dan tanpa ragu. Arcelia merasakan sentuhan hangat dan kuat di pinggangnya sebelum tubuhnya terangkat dengan mudah ke dalam pelukan Kaisar. Ia terkejut, tapi tak memiliki tenaga untuk melawan. Dada telanjangnya yang keras terasa begitu dekat, memberikan kenyamanan sekaligus ketegangan dalam satu waktu. Arcelia hanya bisa menyandarkan kepalanya ke bahu Kaisar saat ia membawanya menuju ruangan lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Aroma lembut mawar dan rempah-rempah memenuhi udara, menenangkan saraf-saraf yang masih tegang. Di hadapannya terbentang sebuah kolam besar, berisi air berwarna keperakan yang berkilau di bawah cahaya redup. Kelopak mawar terapung di permukaannya, menciptakan pemandan
Arcelia menyusuri lembaran buku dengan hati-hati. Cahaya lilin yang temaram menciptakan bayangan di dinding, membentuk sosok-sosok misterius yang seakan mengawasinya. Setiap halaman yang ia baca semakin menariknya ke dalam misteri yang lebih dalam. Matanya membelalak ketika ia menemukan sebuah buku tua yang berbeda dari yang lain. Sampulnya terbuat dari kulit hitam yang telah menua, dengan ukiran emas yang hampir memudar. Jelas, ini adalah buku kuno, mungkin lebih tua dari banyak sejarah yang ia ketahui di dunia manusia. Dengan hati-hati, ia membuka halaman pertama dan mendapati huruf-huruf yang ditulis dengan tinta merah tua—seakan darah yang membeku di atas kertas. Semakin ia membaca, semakin jantungnya berdetak lebih cepat. ‘Ramalan Sang Ratu: Penyelamat atau Pemusnah?’ Tangan Arcelia sedikit bergetar saat ia melanjutkan membaca. Isinya bukan hanya tentang keberuntungan atau kejayaan, melainkan juga tentang kehancuran. ‘Ia akan datang dari dunia manusia, dengan darah yang berca
Suasana di aula itu terasa lebih panas dari biasanya. Aula besar yang dipenuhi dengan ukiran hitam keperakan bersinar lembut dalam cahaya obor berwarna biru. Para pangeran duduk di sekeliling meja panjang dari batu obsidian, minuman berwarna merah gelap berputar dalam cawan mereka. Suasana tampak santai, namun ada ketegangan yang menggantung di udara.Kael, pangeran Srigala, salah satu dari mereka yang paling liar dan berapi-api, bersandar dengan senyum penuh arti di wajahnya. Ia mengangkat cawannya, matanya berbinar dengan sesuatu yang berbahaya."Kalian semua sudah melihatnya, bukan? Ratu kita..." katanya dengan nada menggoda. "Cantik luar biasa. Wangi tubuhnya manis seperti bunga bulan, kulitnya sehalus sutra, dan tubuhnya... ah, sungguh sayang jika hanya satu pria yang bisa memilikinya."Beberapa pangeran tertawa pelan, saling bertukar pandang. Mereka tidak bisa menyangkal, Ratu yang baru memang memiliki daya tarik yang tidak bisa disangkal oleh siapa pun. Namun, mereka juga tahu s
Uap hangat dari pemandian masih menyelimuti permukaan air ketika Arcelia mengangkat wajahnya. Aroma bunga dan rempah khas istana iblis menguar, menciptakan suasana yang begitu tenang dan mendamaikan. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Tatapan matanya menangkap sosok tegap yang melangkah mendekat dengan penuh wibawa. Kaisar. Arcelia sontak membatu, lalu dengan cepat naik ke permukaan, membuat air beriak mengikuti gerakannya yang tiba-tiba. Kulitnya yang bening berkilauan terkena cahaya lilin-lilin yang mengapung di permukaan air, menambah aura menakjubkan yang secara alami terpancar darinya. Napasnya sedikit memburu saat menatap Kaisar yang kini berdiri di tepi pemandian dengan sebuah jubah sutra hitam keperakan di tangannya. Tatapan matanya dalam dan penuh tuntutan, namun ada kehangatan yang tersembunyi di sana. Tanpa sepatah kata pun, ia mengulurkan jubah itu, seakan memberi perintah tanpa suara. Arcelia menggigit bibirnya, lalu meraih jubah itu dengan tangan yang masi
Arcelia berjalan pelan di taman istana yang diterangi cahaya bulan pucat. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga malam yang merekah di sekelilingnya. Langkahnya terhenti ketika ia merasakan sebuah kehadiran yang familiar, aura yang dingin namun menggoda. "Ratu yang anggun, mengapa berjalan sendirian di malam seperti ini? Tidakkah kau takut ada makhluk yang ingin mencuri kecantikanmu?" Suara dalam itu menggema di telinganya, diiringi dengan desir angin yang seolah berbisik di antara dedaunan. Arcelia menoleh dan mendapati Pangeran Lucien berdiri di bawah bayangan pohon besar, sorot matanya tajam namun penuh ketertarikan. Wajahnya yang sempurna dalam cahaya bulan terlihat lebih mempesona dari biasanya. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang seakan menyimpan banyak rahasia. "Aku tidak takut, Pangeran Lucien. Lagipula, siapa yang berani menyentuh Ratu Iblis?" balas Arcelia dengan nada menggoda, namun dalam hatinya, ada debaran halus yang mulai ia rasakan. Lucien melangkah
"Ratu." Suara itu sarat dengan wibawa dan kekuasaan, menggema di sepanjang koridor.Arcelia bahkan tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara itu. Suara bariton yang begitu berkarisma, membuat udara seolah berhenti bergetar. Hanya ada satu orang yang bisa memanggilnya dengan nada sekaku itu, penuh klaim dan kepemilikan. Kaisar. Lucien yang berada di sisinya menegang sejenak, lalu dengan gerakan santai yang disengaja, ia berbalik, menampilkan senyum tenangnya seperti biasanya. "Kaisar, betapa beruntungnya kita bisa bertemu di sini," ucapnya dengan nada manis yang terdengar menggoda. Arcelia, yang semula masih menikmati obrolannya dengan Lucien, tiba-tiba merasa tubuhnya menggigil sedikit. Bukan karena dingin, melainkan karena tatapan Kaisar yang kini tertuju padanya. Mata merah gelapnya bersinar tajam, menyorot dengan intensitas yang membuat Arcelia merasa seakan-akan ia sedang dipenjara oleh kehadiran Kaisar sendiri.Jika manusia saja saat cemburu bisa sangat mengerika
Di bawah cahaya rembulan yang menerangi langit kerajaan iblis, Pangeran Kael berdiri tegap di hadapan Arcelia. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang keemasan, menciptakan kontras yang luar biasa dengan matanya yang berkilat penuh tekad. Arcelia menatapnya dengan kebingungan, merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Biasanya, Kael adalah sosok yang penuh canda, pria yang suka menggoda dengan senyum nakalnya. Namun kali ini, aura yang ia pancarkan begitu serius dan mendalam. "Ratu Arcelia," suara baritonnya mengalun, menggetarkan hati Arcelia tanpa ia sadari. "Ada apa, Kael?" Arcelia bertanya dengan suara pelan, matanya mencari jawaban dalam tatapan Pangeran Naga itu. Kael melangkah mendekat, mendekatkan tubuhnya yang tinggi dan kokoh. Kedua tangannya mengepal seolah ia sedang berusaha menahan sesuatu yang selama ini terpendam. "Kau adalah pasangan takdirku," ucapnya, tanpa ragu sedikit pun. Jantung Arcelia seakan berhenti berdetak sejenak. Kata-kata
Langkah Arcelia melambat ketika suara para pelayan terdengar dari balik dinding aula utama. Mereka membicarakan tentang Purnama Api yang akan datang malam ini—perayaan sakral yang hanya terjadi sekali dalam seratus tahun. Arcelia memicingkan mata, mendengarkan dengan hati-hati, hingga namanya disebut.“…Ratu harus memimpin ritus pembersihan,” bisik salah satu pelayan perempuan.“Ya, dan katanya Purnama Api ini sangat penting bagi kekuatan kerajaan iblis. Kalau sampai gagal, bisa membawa petaka…” sahut pelayan lainnya, suaranya hampir gemetar.Arcelia langsung mengalihkan langkah, tidak jadi menuju taman seperti rencananya. Ia menuju ruang singgasana, tempat Kaisar biasanya menyendiri saat senja menjelang.Pintu berat berukir itu terbuka tanpa harus disentuh. Kaisar, duduk di atas singgasananya yang menjulang, memandang lurus ke arahnya begitu Arcelia masuk.Arcelia memasuki aula itu dengan langkah tergesa-gesa, mirip seorang anak kecil yang sedang menuntut janji dari Ayahnya.“Aku ingi
Malam turun dengan selimut kelam yang sunyi, tak seperti malam-malam sebelumnya di Istana Neraka yang biasanya riuh oleh denting obor api dan nyanyian bayangan. Malam ini, seluruh kerajaan menahan napas. Esok hari adalah pertarungan yang bisa menentukan takdir dua dunia—dan takdir seorang Ratu.Di dalam kamarnya, Arcelia duduk di depan cermin besar. Rambutnya dibiarkan tergerai, kulitnya pucat tertimpa cahaya biru dari kristal api yang menggantung di langit-langit. Tapi tak ada keraguan dalam mata itu. Hanya ketenangan… dan kedewasaan yang perlahan tumbuh dari luka-luka lama.Lira masuk perlahan, membawa secangkir ramuan hangat. “Yang Mulia… semua sudah disiapkan. Para penasihat juga telah memastikan arena telah dilindungi oleh sihir pengikat. Tidak akan ada intervensi dari luar.”Arcelia mengangguk. “Terima kasih, Lira. Kau sudah bekerja sangat keras, aku bangga padamu!.”Lira tersenyum, tersipu, tapi matanya masih menyimpan kekhawatiran. “Apakah Anda… yakin ingin melakukan ini?”“Buk
Beberapa hari kemudian – Hari yang ditentukan untuk pengujian sudah datang, di Aula Pengujian Istana Iblis semua petinggi istana Iblis datang dan berkumpul.Langit di atas istana tampak kelam, awan sihir menggelayut rendah. Aura magis pekat menyelimuti bangunan kuno tempat Upacara Pengujian Cahaya dan Kegelapan akan dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar berdarah pilihan yang mampu bertahan hidup melewati ritual ini—yang lainnya akan lenyap menjadi abu sihir dan waktu.Arcelia berdiri di sisi kiri aula, mengenakan jubah ratu yang lebih sederhana dari biasanya, hanya dihiasi simbol dua dunia di bagian dada. Matanya menatap lurus ke tengah ruangan, di mana Arcelis berdiri sendirian di atas lingkaran sihir kuno.Di sisi berlawanan, Kaisar Azrael duduk di atas singgasana pengamatan, diapit oleh para penasihat dan pangeran-pangeran kepercayaannya, termasuk Lucien dan Kaelthor.Arcelis terlihat tenang. Terlalu tenang. Wajahnya tanpa ragu. Bahkan tidak ada sedikit pun getaran ketakutan di
Langit di atas istana iblis pekat, tanpa bulan maupun bintang. Angin dingin menari di antara tiang-tiang batu, menabur ketegangan yang menggantung di udara.Arcelia duduk sendirian di balkon pribadi kamarnya. Rambut panjangnya tergerai lepas, dibiarkan tertiup angin malam. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, dan matanya menatap kosong ke arah hamparan langit kelam. Dalam dadanya, ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Dan di balik matanya, ada badai yang ia redam.Dia mendengar langkah berat yang dikenalnya sangat baik. Tapi dia tidak menoleh. Tidak kali ini. Tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan.“Arcelia….” suara bariton itu memanggilnyaDengan mata merah dan tubuh yang masih terasa kaku dia menoleh, lantas tersenyum samar. Memberi hormat dengan formal kepada Azrael, tidak seperti biasanya. Kaisar Azrael dapat merasakan perubahan kecil pada sikap Ratunya, namun itu tak membuatnya urung untuk menanyakan pertanyaan yang sudah mengganggunya."Kenapa kau tidak menceritakannya padaku
Langkah Arcelia begitu ringan saat memasuki lorong bawah tanah yang tersembunyi di balik istana. Tidak seorang pun tahu bahwa ia diam-diam meminta Lucien menunjukkan tempat gadis manusia itu diamankan. Dua penjaga khusus membungkuk memberi hormat, lalu membuka pintu berat yang berderit pelan.Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya samar dari lentera kecil di sudut tembok. Di dalamnya, duduk seorang gadis muda yang mengenakan pakaian lusuh, tangan terlipat di pangkuan, tubuhnya bersandar lemah pada dinding batu.Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung bangkit berdiri. Meski tubuhnya tampak lemah, ada aura ketenangan dalam sikapnya.“Hormat kepada Yang Mulia Ratu,” ucapnya pelan, namun penuh hormat.Langkah Arcelia terhenti. Matanya membulat, napasnya seolah tersangkut di tenggorokan. Dalam temaram ruangan itu… gadis itu—kulitnya pucat, rambut hitam legam, dan sorot mata penuh luka serta keteguhan—terlihat seperti cerminan dirinya di masa lalu.“Kamu… dari mana kamu tahu siapa aku?
Setelah pertarungan dan penyucian istana, pertempuran belum benar-benar usai.Bukan dengan sihir atau senjata, tapi dengan kepercayaan dan hati.Kerajaan iblis memiliki pilar-pilar kekuasaan yang tersebar dalam wujud para pangeran, masing-masing dengan karakter dan ego berbeda. Setelah kejatuhan Marovielle dan Sylas, bayang-bayang perpecahan masih menggantung.Azrael mengumpulkan mereka semua... tapi yang membuat mereka tetap duduk dan mendengarkan, bukan hanya titah Kaisar—melainkan suara lembut namun teguh milik Arcelia.“Kalau kalian terus bertahan dalam dinding keangkuhan sendiri, maka kerajaan ini akan tumbang bukan karena perang—tapi karena kalian saling menjatuhkan.”Ucap Arcelia siang itu dalam ruangan bundar tempat dewan para pangeran berkumpul.Lucien, yang berdiri di sisi Arcelia, hanya menyilangkan tangan dan tersenyum tenang.“Ayo, Kakak-kakakku. Dengarkan Ratu kita. Beliau bukan cuma cantik, tapi juga sangat masuk akal. Dan kalau kalian tidak percaya padanya, ya... perca
Langit di atas istana menghitam seperti jelaga. Petir iblis membelah langit, dan angin malam membawa hawa pertanda buruk.Di tengah aula utama yang kini kosong dari pesta, Marovielle berdiri tegak dengan mata menyala ungu keperakan, diapit oleh Sylas dan beberapa makhluk bayangan yang ia panggil dari dunia bawah. Jubah hitamnya berkibar, dan energi gelap menari di sekelilingnya, membuat ubin istana retak-retak."Aku tahu ini jebakan," ucapnya datar namun menggema, "dan aku tetap datang. Tapi kalian lupa satu hal..."Marovielle menatap Azrael, lalu Arcelia."...aku tak pernah datang tanpa persiapan."Dengan satu gerakan tangannya, api hitam menyambar ke segala arah—namun Azrael sudah berdiri di depan Arcelia, memanggil pedang api miliknya, Ignis Vultor, dan menebas energi itu hingga terpecah menjadi ribuan bara.Sylas melompat ke depan, menyerang Kaelthor, matanya penuh amarah dan kebimbangan, tetapi Kaelthor sudah siap. Dengan bantuan Lucien dan dua pangeran lain, mereka menahan Sylas
Pertempuran telah usai, walaupun tidak ada kemenangan ataupun kekalahan dari sisi Arcelia ataupun Marovielle karena dia kabur, namun pertarungan itu menyisakan rasa lelah. Khususnya hati Arcelia. Lelah karena kesal sebab menyadari Kaisar yang selalu bilang ‘cukup dirinya’ tiba-tiba ada di ranjang perempuan lain.Kaisar yang mulai terbiasa dengan Arcelia sangat hafal dengan perangai sang Ratu.Kamar utama terasa hangat oleh cahaya lilin yang berpendar lembut.Arcelia duduk di tepi ranjang besar, memeluk lututnya sendiri. Wajah cantiknya kusut, pipinya mengembung kesal seperti anak kecil yang baru saja direbut mainannya.Azrael, yang baru selesai mengenakan jubah hitam sederhana, mendekat perlahan."Arcelia..." panggilnya lembut.”Ratuku….”Gadis itu mendengus. Membalikkan wajah, menatap ke arah lain, bersikap cuek.Melihat itu, Kaisar hanya tersenyum kecil. Ia lalu duduk di sebelah Arcelia, meraih tubuh kecil itu dan tanpa aba-aba menariknya ke dalam pelukannya.Arcelia berusaha membero
Pagi itu, saat matahari baru saja memanjat langit, sebuah kotak kayu berukir mewah diantarkan ke Paviliun Utama."Yang Mulia," ucap salah satu pelayan sambil menunduk hormat. "Ada hadiah untuk Anda, dari Selir Aeralis."Arcelia, yang tengah duduk santai bersama Lira di taman kecil, hanya melirik sekilas ke arah kotak itu."Hadiah lagi?" gumamnya pelan.Lira langsung mendekat, menunduk curiga. Naluri perlindungan terhadap tuannya segera bangkit."Yang Mulia, izinkan saya memanggil Tuan Lucien untuk memeriksa ini dulu," bisik Lira cepat.Arcelia tersenyum kecil, mengelus kepala Lira seperti biasa."Memang sudah rencananya begitu," katanya lembut. Matanya berbinar cerdik. "Ayo, kita lihat sejauh apa permainan si cantik itu."Tak lama, Lucien datang, matanya yang tajam langsung menilai kotak itu. Dengan gerakan terlatih, ia membuka kotaknya perlahan — aroma harum manis menyeruak, memabukkan.Lucien mengeluarkan alat kecil berwarna perak dari sakunya, lalu mendekatkannya ke parfum yang ada
Pagi itu, di bawah sinar matahari lembut yang menembus tirai, Arcelia duduk santai di ruang kerjanya, ditemani Lira yang dengan cekatan mencatat apapun yang diperintahkan tuannya.Di hadapannya, secarik jadwal kecil tampak dipegang dengan jari rampingnya, dan di seberang sana, salah satu pelayan kepercayaannya menunduk menunggu instruksi."Hari ini," kata Arcelia, nadanya terdengar ringan namun mengandung ketegasan manis, "jadwalkan pertemuan makan siang pribadi antara aku dan Yang Mulia Kaisar."Pelayan itu mengangguk patuh."Dan pastikan, seluruh istana tahu, terutama Paviliun Selatan," tambah Arcelia sambil mengedipkan sebelah mata pada Lira.Lira hampir tak bisa menahan tawanya, tangannya menutupi mulutnya. Ini... ini benar-benar aksi nakal pertama sang Ratu!"Artinya," lanjut Arcelia, pura-pura polos, "kalau ada yang berencana mengundang atau menunggu Yang Mulia, mereka akan kecewa."Ia menyeruput tehnya dengan anggun, senyuman jahil bermain di sudut bibirnya."Apakah... ini term