Ternyata Kaisar Iblis pandai ngegombal, ya....
Malam turun dengan selimut kelam yang sunyi, tak seperti malam-malam sebelumnya di Istana Neraka yang biasanya riuh oleh denting obor api dan nyanyian bayangan. Malam ini, seluruh kerajaan menahan napas. Esok hari adalah pertarungan yang bisa menentukan takdir dua dunia—dan takdir seorang Ratu.Di dalam kamarnya, Arcelia duduk di depan cermin besar. Rambutnya dibiarkan tergerai, kulitnya pucat tertimpa cahaya biru dari kristal api yang menggantung di langit-langit. Tapi tak ada keraguan dalam mata itu. Hanya ketenangan… dan kedewasaan yang perlahan tumbuh dari luka-luka lama.Lira masuk perlahan, membawa secangkir ramuan hangat. “Yang Mulia… semua sudah disiapkan. Para penasihat juga telah memastikan arena telah dilindungi oleh sihir pengikat. Tidak akan ada intervensi dari luar.”Arcelia mengangguk. “Terima kasih, Lira. Kau sudah bekerja sangat keras, aku bangga padamu!.”Lira tersenyum, tersipu, tapi matanya masih menyimpan kekhawatiran. “Apakah Anda… yakin ingin melakukan ini?”“Buk
Malam sebelum pertempuran….Ruang bawah tanah istana itu sunyi, hanya diterangi cahaya kebiruan dari kristal sihir yang tergantung di langit-langit. Peta energi Arcelis tergantung di udara, berputar perlahan—warna hitam keunguan menyelubunginya, tak seperti aura makhluk hidup biasanya.Arcelia berdiri di depan proyeksi itu. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai. Jelas berbahaya.Lucien berdiri di sisinya, satu tangannya menunjuk ke area samar di sekitar dada Arcelis. “Lihat ini,” katanya pelan. “Retakan halus. Energi di sekitar jantungnya tidak stabil.”Azrael menyipitkan mata. “Apa itu berarti… dia punya titik lemah?”Lucien mengangguk. “Menurut penelitianku, Arcelis bukan makhluk utuh. Ia disusun dari berbagai fragmen keinginan dan emosi manusia yang paling kotor—pengkhianatan, iri hati, dendam, obsesi. Semuanya dimanifestasikan, tapi tidak benar-benar menyatu. Titik retak ini—”“—adalah tempat di mana fragmen itu berkonflik,” potong Lira yang sedari tadi memperhatikan proye
Arcelia, perempuan yang tidak lagi mencari tempat di dunia… tapi telah menciptakan tempatnya sendiri. Dia tersenyum menatap semua yang ada di sana dengan senyum menawannya. Semua yang ada di sana masih diliputi ketegangan meskipun pertarungan sudah selesai.Suara hening menggema seperti gema waktu. Lalu… satu suara terdengar.“Hidup Ratu Arcelia.”Disusul suara lain. Lalu bergemuruh.“Hidup Ratu Arcelia!”Para pangeran yang semula menyimpan ragu, kini berdiri dari kursi kehormatan mereka. Kaelthor, yang dikenal paling keras, menjatuhkan tinjunya ke dada dan membungkuk dalam, penuh hormat. Lucien—yang biasanya ringan dan santai—terdiam, matanya berkaca-kaca, lalu tersenyum dan berseru, “Yang Mulia, Anda membuat dunia berhenti hari ini, panjang umur Ratu Arcelia…”Seluruh arena istana, dari panglima, para tetua dewan, hingga para pengawal dan rakyat yang menyaksikan dari bayangan balkon tinggi, bersujud, bersorak, dan berteriak nama ratunya.Arcelia berdiri di tengah semua itu, tak lag
"Aku tidak sengaja melakukannya, Bi... tolong maafkan aku..." suara Arcelia parau, hampir tak terdengar di tengah udara musim gugur yang menggigit.Tangannya mengepal erat, kuku-kuku tumpulnya menekan telapak sampai hampir berdarah.Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena luka cambuk pada punggungnya terasa membakar.“Diam! Kau pikir dengan meminta maaf, semua masalah akan beres?! Putriku kehilangan calon suami yang baik karena kelalaianmu! Dasar pembawa sial!” Suara Marla, bibi kandung Arcelia, membelah udara senja yang kelabu. Tidak sedikit pun dia berhenti mencambuki Arcelia.Semua ini bermula dari siang tadi, saat tamu kehormatan dari keluarga Jefferson, datang untuk membicarakan mengenai perjodohan putra sulung mereka dengan Nora, putri bungsu Marla.Karena kurangnya pelayan, Arcelia yang menumpang hidup dengan Marla semenjak kematian orang tuanya, dipaksa ikut melayani jamuan hari itu. Namun, saat Arcelia ingin menyajikan hidangan sup, seseorang menyenggolnya dan
Arcelia membuka mata.Pemandangan di hadapannya membuat pikirannya kacau. Langit di atasnya berwarna ungu tua dengan kilatan cahaya keemasan yang bergerak seperti gelombang di lautan. Udara di sekitarnya hangat, berbeda jauh dari dingin yang menusuk tulang yang baru saja ia rasakan. Dan di sekelilingnya…Perempuan-perempuan itu.Mereka berdiri dengan anggun, kulit mereka berkilau seperti terbuat dari mutiara hidup. Mata mereka bercahaya samar, seakan menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar manusia biasa. Pakaian mereka begitu minim, hanya menutupi bagian dada dengan kain tipis yang bahkan tak sepenuhnya menutupi tubuh mereka. Bagian bawahnya berupa celana dengan juntaian kain transparan yang melambai seperti ekor, bergerak lembut seiring angin yang berbisik.Arcelia menelan ludah, pikirannya berusaha mencerna situasi ini.Siapa mereka?Di mana ini?Ingatan terakhirnya adalah sosok merah yang mengatakan satu kalimat yang menjadi teka-teki baginya, “Beraninya kalian memperlakuka
Perayaan pernikahan berlangsung dengan meriah.Langit di atas mereka dipenuhi cahaya merah dan emas, seakan bintang-bintang pun ikut berpesta. Di sekeliling altar pernikahan, para bangsawan dunia iblis berkumpul, berpakaian indah dan penuh kemewahan, menonton dengan penuh takjub.Arcelia berdiri di samping Kaisar Azrael, tangannya masih terasa lemas, jantungnya berdetak cepat saat upacara sakral dimulai.Sumpah suci diucapkan.Gema mantra kuno memenuhi udara.Kain merah panjang membelit pergelangan tangan mereka berdua, mengikat takdir mereka dalam satu janji abadi.Dan akhirnya, tibalah saatnya penutup pernikahan.Ciuman Kaisar.Arcelia bahkan belum sempat menarik napas ketika pria itu membungkuk, satu tangannya mencengkeram pinggangnya dengan lebih kuat, dan bibir panasnya menekan bibirnya dengan penuh kepemilikan.Arcelia membelalakkan mata.Dia… tidak pernah dicium sebelumnya.Tidak tahu bagaimana caranya.Sensasi panas langsung menjalar dari bibir ke seluruh tubuhnya. Napasnya ter
Ruang megah itu masih dipenuhi keheningan. Arcelia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, begitu keras hingga dia hampir yakin semua orang di ruangan ini bisa mendengarnya.Satu per satu, sembilan pangeran yang berdiri di hadapannya bergerak maju.Langkah mereka tenang, penuh percaya diri, seolah sudah terbiasa mengendalikan segalanya. Ada aura mengintimidasi yang begitu alami terpancar dari mereka, mengingatkan Arcelia bahwa meskipun mereka kini dalam wujud pria rupawan, mereka tetaplah monster. Mereka tidak sepenuhnya manusia.Dan sekarang mereka adalah suaminya. Tunggu, apa tidak salah? Tidak adakah yang bisa menjelaskan semua ini apa maksud dari ‘suami’ di sini? Arcelia menguatkan dirinya saat pangeran pertama mendekat. Dia adalah pria dengan mata keemasan dan rambut sehitam malam—dialah naga hitam tadi. Dengan gerakan anggun, dia meraih tangan Arcelia, membungkuk sedikit, dan menekan bibirnya pada punggung tangannya. Sentuhannya panas, membuat Arcelia nyaris tersentak.
Kamar pengantin itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lilin yang terpasang di sekeliling ruangan. Di luar, malam di kerajaan iblis sangat sunyi, hanya terdengar desiran angin yang menerobos celah-celah istana batu tua yang sudah berusia ratusan ribuan tahun. Ruangan itu terasa berat, penuh dengan aura yang tak terjelaskan, seolah seluruh dunia luar tidak ada, hanya ada mereka berdua. Kaisar Azrael berdiri tegap di sisi ranjang besar, mengenakan jubah hitam yang berkilau di bawah cahaya lilin. Wajahnya, dingin dan tak terjamah, memandang Arcelia dengan tatapan yang penuh makna. Namun, di balik ekspresi itu, ada sesuatu yang tak terungkapkan, semacam keinginan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar memahami dunia iblis. Arcelia, dengan pakaian pengantin yang sederhana namun elegan, merasa seluruh tubuhnya tegang. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membawanya untuk tetap bertahan. Naluri alaminya, yang selama i
Arcelia, perempuan yang tidak lagi mencari tempat di dunia… tapi telah menciptakan tempatnya sendiri. Dia tersenyum menatap semua yang ada di sana dengan senyum menawannya. Semua yang ada di sana masih diliputi ketegangan meskipun pertarungan sudah selesai.Suara hening menggema seperti gema waktu. Lalu… satu suara terdengar.“Hidup Ratu Arcelia.”Disusul suara lain. Lalu bergemuruh.“Hidup Ratu Arcelia!”Para pangeran yang semula menyimpan ragu, kini berdiri dari kursi kehormatan mereka. Kaelthor, yang dikenal paling keras, menjatuhkan tinjunya ke dada dan membungkuk dalam, penuh hormat. Lucien—yang biasanya ringan dan santai—terdiam, matanya berkaca-kaca, lalu tersenyum dan berseru, “Yang Mulia, Anda membuat dunia berhenti hari ini, panjang umur Ratu Arcelia…”Seluruh arena istana, dari panglima, para tetua dewan, hingga para pengawal dan rakyat yang menyaksikan dari bayangan balkon tinggi, bersujud, bersorak, dan berteriak nama ratunya.Arcelia berdiri di tengah semua itu, tak lag
Malam sebelum pertempuran….Ruang bawah tanah istana itu sunyi, hanya diterangi cahaya kebiruan dari kristal sihir yang tergantung di langit-langit. Peta energi Arcelis tergantung di udara, berputar perlahan—warna hitam keunguan menyelubunginya, tak seperti aura makhluk hidup biasanya.Arcelia berdiri di depan proyeksi itu. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai. Jelas berbahaya.Lucien berdiri di sisinya, satu tangannya menunjuk ke area samar di sekitar dada Arcelis. “Lihat ini,” katanya pelan. “Retakan halus. Energi di sekitar jantungnya tidak stabil.”Azrael menyipitkan mata. “Apa itu berarti… dia punya titik lemah?”Lucien mengangguk. “Menurut penelitianku, Arcelis bukan makhluk utuh. Ia disusun dari berbagai fragmen keinginan dan emosi manusia yang paling kotor—pengkhianatan, iri hati, dendam, obsesi. Semuanya dimanifestasikan, tapi tidak benar-benar menyatu. Titik retak ini—”“—adalah tempat di mana fragmen itu berkonflik,” potong Lira yang sedari tadi memperhatikan proye
Malam turun dengan selimut kelam yang sunyi, tak seperti malam-malam sebelumnya di Istana Neraka yang biasanya riuh oleh denting obor api dan nyanyian bayangan. Malam ini, seluruh kerajaan menahan napas. Esok hari adalah pertarungan yang bisa menentukan takdir dua dunia—dan takdir seorang Ratu.Di dalam kamarnya, Arcelia duduk di depan cermin besar. Rambutnya dibiarkan tergerai, kulitnya pucat tertimpa cahaya biru dari kristal api yang menggantung di langit-langit. Tapi tak ada keraguan dalam mata itu. Hanya ketenangan… dan kedewasaan yang perlahan tumbuh dari luka-luka lama.Lira masuk perlahan, membawa secangkir ramuan hangat. “Yang Mulia… semua sudah disiapkan. Para penasihat juga telah memastikan arena telah dilindungi oleh sihir pengikat. Tidak akan ada intervensi dari luar.”Arcelia mengangguk. “Terima kasih, Lira. Kau sudah bekerja sangat keras, aku bangga padamu!.”Lira tersenyum, tersipu, tapi matanya masih menyimpan kekhawatiran. “Apakah Anda… yakin ingin melakukan ini?”“Buk
Beberapa hari kemudian – Hari yang ditentukan untuk pengujian sudah datang, di Aula Pengujian Istana Iblis semua petinggi istana Iblis datang dan berkumpul.Langit di atas istana tampak kelam, awan sihir menggelayut rendah. Aura magis pekat menyelimuti bangunan kuno tempat Upacara Pengujian Cahaya dan Kegelapan akan dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar berdarah pilihan yang mampu bertahan hidup melewati ritual ini—yang lainnya akan lenyap menjadi abu sihir dan waktu.Arcelia berdiri di sisi kiri aula, mengenakan jubah ratu yang lebih sederhana dari biasanya, hanya dihiasi simbol dua dunia di bagian dada. Matanya menatap lurus ke tengah ruangan, di mana Arcelis berdiri sendirian di atas lingkaran sihir kuno.Di sisi berlawanan, Kaisar Azrael duduk di atas singgasana pengamatan, diapit oleh para penasihat dan pangeran-pangeran kepercayaannya, termasuk Lucien dan Kaelthor.Arcelis terlihat tenang. Terlalu tenang. Wajahnya tanpa ragu. Bahkan tidak ada sedikit pun getaran ketakutan di
Langit di atas istana iblis pekat, tanpa bulan maupun bintang. Angin dingin menari di antara tiang-tiang batu, menabur ketegangan yang menggantung di udara.Arcelia duduk sendirian di balkon pribadi kamarnya. Rambut panjangnya tergerai lepas, dibiarkan tertiup angin malam. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, dan matanya menatap kosong ke arah hamparan langit kelam. Dalam dadanya, ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Dan di balik matanya, ada badai yang ia redam.Dia mendengar langkah berat yang dikenalnya sangat baik. Tapi dia tidak menoleh. Tidak kali ini. Tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan.“Arcelia….” suara bariton itu memanggilnyaDengan mata merah dan tubuh yang masih terasa kaku dia menoleh, lantas tersenyum samar. Memberi hormat dengan formal kepada Azrael, tidak seperti biasanya. Kaisar Azrael dapat merasakan perubahan kecil pada sikap Ratunya, namun itu tak membuatnya urung untuk menanyakan pertanyaan yang sudah mengganggunya."Kenapa kau tidak menceritakannya padaku
Langkah Arcelia begitu ringan saat memasuki lorong bawah tanah yang tersembunyi di balik istana. Tidak seorang pun tahu bahwa ia diam-diam meminta Lucien menunjukkan tempat gadis manusia itu diamankan. Dua penjaga khusus membungkuk memberi hormat, lalu membuka pintu berat yang berderit pelan.Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya samar dari lentera kecil di sudut tembok. Di dalamnya, duduk seorang gadis muda yang mengenakan pakaian lusuh, tangan terlipat di pangkuan, tubuhnya bersandar lemah pada dinding batu.Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung bangkit berdiri. Meski tubuhnya tampak lemah, ada aura ketenangan dalam sikapnya.“Hormat kepada Yang Mulia Ratu,” ucapnya pelan, namun penuh hormat.Langkah Arcelia terhenti. Matanya membulat, napasnya seolah tersangkut di tenggorokan. Dalam temaram ruangan itu… gadis itu—kulitnya pucat, rambut hitam legam, dan sorot mata penuh luka serta keteguhan—terlihat seperti cerminan dirinya di masa lalu.“Kamu… dari mana kamu tahu siapa aku?
Setelah pertarungan dan penyucian istana, pertempuran belum benar-benar usai.Bukan dengan sihir atau senjata, tapi dengan kepercayaan dan hati.Kerajaan iblis memiliki pilar-pilar kekuasaan yang tersebar dalam wujud para pangeran, masing-masing dengan karakter dan ego berbeda. Setelah kejatuhan Marovielle dan Sylas, bayang-bayang perpecahan masih menggantung.Azrael mengumpulkan mereka semua... tapi yang membuat mereka tetap duduk dan mendengarkan, bukan hanya titah Kaisar—melainkan suara lembut namun teguh milik Arcelia.“Kalau kalian terus bertahan dalam dinding keangkuhan sendiri, maka kerajaan ini akan tumbang bukan karena perang—tapi karena kalian saling menjatuhkan.”Ucap Arcelia siang itu dalam ruangan bundar tempat dewan para pangeran berkumpul.Lucien, yang berdiri di sisi Arcelia, hanya menyilangkan tangan dan tersenyum tenang.“Ayo, Kakak-kakakku. Dengarkan Ratu kita. Beliau bukan cuma cantik, tapi juga sangat masuk akal. Dan kalau kalian tidak percaya padanya, ya... perca
Langit di atas istana menghitam seperti jelaga. Petir iblis membelah langit, dan angin malam membawa hawa pertanda buruk.Di tengah aula utama yang kini kosong dari pesta, Marovielle berdiri tegak dengan mata menyala ungu keperakan, diapit oleh Sylas dan beberapa makhluk bayangan yang ia panggil dari dunia bawah. Jubah hitamnya berkibar, dan energi gelap menari di sekelilingnya, membuat ubin istana retak-retak."Aku tahu ini jebakan," ucapnya datar namun menggema, "dan aku tetap datang. Tapi kalian lupa satu hal..."Marovielle menatap Azrael, lalu Arcelia."...aku tak pernah datang tanpa persiapan."Dengan satu gerakan tangannya, api hitam menyambar ke segala arah—namun Azrael sudah berdiri di depan Arcelia, memanggil pedang api miliknya, Ignis Vultor, dan menebas energi itu hingga terpecah menjadi ribuan bara.Sylas melompat ke depan, menyerang Kaelthor, matanya penuh amarah dan kebimbangan, tetapi Kaelthor sudah siap. Dengan bantuan Lucien dan dua pangeran lain, mereka menahan Sylas
Pertempuran telah usai, walaupun tidak ada kemenangan ataupun kekalahan dari sisi Arcelia ataupun Marovielle karena dia kabur, namun pertarungan itu menyisakan rasa lelah. Khususnya hati Arcelia. Lelah karena kesal sebab menyadari Kaisar yang selalu bilang ‘cukup dirinya’ tiba-tiba ada di ranjang perempuan lain.Kaisar yang mulai terbiasa dengan Arcelia sangat hafal dengan perangai sang Ratu.Kamar utama terasa hangat oleh cahaya lilin yang berpendar lembut.Arcelia duduk di tepi ranjang besar, memeluk lututnya sendiri. Wajah cantiknya kusut, pipinya mengembung kesal seperti anak kecil yang baru saja direbut mainannya.Azrael, yang baru selesai mengenakan jubah hitam sederhana, mendekat perlahan."Arcelia..." panggilnya lembut.”Ratuku….”Gadis itu mendengus. Membalikkan wajah, menatap ke arah lain, bersikap cuek.Melihat itu, Kaisar hanya tersenyum kecil. Ia lalu duduk di sebelah Arcelia, meraih tubuh kecil itu dan tanpa aba-aba menariknya ke dalam pelukannya.Arcelia berusaha membero