Share

Dinikahi Kakak Angkat
Dinikahi Kakak Angkat
Author: Fiska Aimma

Bab 1. Suami Pengganti

Sejatinya manusia tak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa, jadi jangan salahkan kenapa dia dilahirkan karena itu takdir yang tak terbantahkan.

==

Dinikahi Kakak Angkat

"Maaf keluarga kami tidak bisa melajutkan rencana pernikahan ini, Randi tidak bisa menikahi Ana karena kami kecewa ternyata ayah kandung Ana bukanlah Pak Agus tapi lelaki yang memiliki keterbelakangan mental."

Jleb. Seolah ada tusukan pisau yang tepat mengenai dadaku ketika mendengar ucapan ayahnya Randi. Tak menyangka dia akan menggagalkan pernikahan aku dan anaknya yang tinggal lima hari hanya karena aku bukan anak kandung Pak Agus--pria yang biasa kupanggil Ayah.

Sejujurnya, aku pun baru tahu identitasku seminggu yang lalu kalau ternyata aku hanya anak angkat di keluarga ini.

Menurut cerita Bunda, ayah dan ibu kandungku sama-sama memiliki keterbelakangan mental hanya berbeda tingkatannya saja, mereka bertemu di yayasan binaan sosial lalu karena saling tertarik akhirnya memutuskan menikah.

Tak lama ibuku yang lugu itu hamil dan melahirkan tapi karena dia memiliki keterbatasan jadinya, tanpa sepengetahuan keluarga suaminya dia pergi ke Betawi karena tidak mau mengurusku.

Alhasil, karena kasian Pak Agus yang saat 23 tahun itu bertindak sebagai RT di lingkungan tempat tinggal ayahku bersedia mengangkat aku sebagai anak.

Hal itu dikarenakan dari pihak keluarga ayah kandung tidak ada yang bersedia merawatku sebab mereka memang dari keluarga miskin dan serba kekurangan. Terutama ayah kandungku walau terlihat normal tapi sebenarnya dia sakit dan tak bisa mencari nafkah yang layak bahkan untuk dirinya sendiri.

Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku setelah mengetahui ini, pasti aku akan menjawab sangat sedih dan syok. Tapi, aku nggak bisa apa-apa, kata Bunda bagaimana pun mereka harus tahu kenyataannya.

Aku hanya bisa pasrah pada keputusan keluarga Randi. Walau hati ini teramat sakit dan aku masih berharap Randi memperjuangkanku tapi sayang dia masih membisu.

Dia layaknya kerbau yang dicocoki hidungnya.

"Tapi Pak, kasian Ana. Kita sudah mempersiapkan semuanya, kan? Bukannya Pak Gunawan tidak memandang Ana dari harta mau pun rupa, jika begini kami menyesal memberi tahukan semuanya ...," kata Ayah dengan mata yang memerah.

Dia marah.

Pak Gunawan menggelengkan kepala. "Maaf, tapi keputusan kami sudah bulat. Kami tak ingin anak kami menikah dari keturunan orang c*cat gimana kalau anaknya yang mereka lahirkan juga c*cat?" tegas Pak Gunawan dengan tatapan mata yang nyalang.

Astaghfirullah!

Kompak aku dan kedua orang tua angkatku beristighfar tak menyangka akan sehina itu Pak Gunawan memandangku.

Namun, aku sama sekali tak menyalahkan mereka. Aku hanya bisa menangis sambil dipeluk Bunda.

Kutatap Randi untuk meminta pembelaan dan meminta kasih sayangnya tapi tetap saja dia malah membuang muka.

Hancur. Hatiku sudah hancur, nyatanya ungkapan cinta Randi padaku selama satu tahun ini semua palsu.

"Pak Gunawan! Anda tidak boleh bilang seperti itu!"

"Loh, memang iya kan, Pak?"

"Diam! Sekarang kalian semua pergi dari rumah saya! Saya tak sudi punya besan seperti kalian!" usir Ayah membuat keluarga Randi dan Randi langsung angkat kaki.

Meninggalkan kami yang tergugu dalam tangis.

"Bun, bagaimana ini Bu? Apa kita batalkan saja, Bu?" Suara Ayah terdengar bergetar. Saat ini di ruang tamu hanya tinggal kami bertiga, rasanya suasana semakin mencekik saja.

Bunda terhentak tak langsung menjawab. Matanya memandang ke arah sekeliling rumah yang tampak sudah penuh dengan persiapan pernikahan.

Dari mulai catering, hiasan, dekorasi sampai ke baju pengantin semua sudah siap. Membatalkan pernikahan sama saja melemparkan aib pada keluarga.

Melihat itu aku hanya bisa menggigit bibirku kuat-kuat. Rasanya dadaku teramat sesak, sehingga tak sanggup bilang apa.

Kenapa harus aku yang menerima ini? Kenapa aku hanya bisa menjadi beban?

Setelah lama diam, Bunda akhirnya membuka suaranya.

"Jangan dibatalkan Yah, kita masih punya Haikal," jawab Bunda tiba-tiba membuat aku dan Ayah berpandangan.

"Ha-Haikal? Maksud Bunda, Bunda mau Ana menikah dengan Haikal?" tanya Ayah dengan mata melotot. Begitu pun aku.

Ibu menganggukkan kepala. "Iya, Ana akan menikah dengan Haikal, itu jalan keluarnya. Mau atau tidak, kita harus nikahkan! Harus!" tegas Bunda membuat aku sontak membelalakan mata.

Apa? Aku harus menikahi lelaki yang sudah kuanggap Kakakku sendiri? Tidak mungkin! Ini sama saja bunuh diri!

Ya Allah! Tolong hamba.

(***)

Lima hari kemudian, akad nikah tetap terlaksana tapi bukan Randi yang ada bersamaku di singgasana tapi Mas Haikal.

Dia adalah lelaki yang sudah kuanggap sebagai Kakak kandungku sendiri tapi dalam hitungan hari dia sudah berubah status menjadi suami.

Rasanya seolah mimpi, tapi ini terjadi. Kami berdua harus menerima ini, untungnya Mas Haikal tipe lelaki yang patuh pada orang tua. Dia lelaki yang bertanggung jawab dan berbeda tujuh tahun dari aku.

Ketika Bunda memintanya pulang dari Malang karena insiden yang terjadi, dia langsung pulang ke sini dan dengan berat hati harus menikahiku.

Hanya saja, masih kuingat bisikannya di telinga saat aku mencium punggung tangannya untuk pertama kali.

"Kamu hanya adikku Ana, tolong jangan jatuh cinta sama saya karena saya tak bisa menjadi suamimu," ujar Mas Haikal membuat air mataku menetes seketika.

Ya Allah! Inikah jalanku? Dinikahi Kakak angkat. Dan aku hanya bisa membisu menyesali keadaan tanpa bisa menyalahkan.

==

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status