Share

Bab 2. Malam Pertama

Menikah dengan lelaki yang sudah kuanggap kakak sendiri layaknya aku menciptakan neraka bagi kami berdua. Tak ada malam pertama, tak ada rasa saling melengkapi atau 'membelah duren' kata mereka.

Yang ada rasa marah dan kecewa. Semua keluarga tampak terpaksa bahagia. Sementara di sisi lain, aku masih berharap Randi akan menghubungiku lagi.

Namun, sampai pesta berakhir Randi tak kunjung datang. Semua tampak asing di mataku, Mas Haikal yang biasanya bersikap ramah ketika dia pulang dari perantauan, sekarang sama sekali berbeda.

Wajahnya sangat dingin, hingga aku rasa hantu pun kalah seram dengan Mas Haikal.

Dulu, Mas Haikal akan mentraktirku jika gajian dari tempat dia bekerja. Kami akan bercerita seharian dan bertukar pandangan tapi ketika berubah status semua jadi berbeda.

Kaku.

Aku mendorong pintu kamar Mas Haikal yang telah dirubah layaknya kamar pengantin dengan pelan.

Kukira di dalam tak ada siapa-siapa, ternyata sudah ada Mas Haikal di sana, lelaki itu tengah duduk di kasur sambil melepas dasinya.

Gugup dan gemetar. Rasanya seperti bukan masuk ke kamar pengantin tapi masuk ke kamar penghakiman yang kita tidak tahu akan menjadi apa di dalam sini.

"Duduklah! Jangan diam di pintu gitu nanti Bunda tahu, bisa dimarahi saya," ujar Mas Haikal datar tanpa melihatku.

Aku mengangguk lalu memilih duduk di atas kasur dengan mode diam. Tiba-tiba otakku memikirkan sesuatu.

Apa benar kami harus satu kamar? Kenapa di kamar Mas Haikal gak ada kursi atau sofa? Terus karpet panda yang biasa ada di sini ke mana?

"Gak usah cari-cari perkakas yang lain. Mereka telah mengeluarkannya, Bunda yang nyuruh."

Dingin. Sedingin es di kutub utara sana lelaki itu berkata padaku. Tak ada kehangatan apa pun seperti yang ia tunjukan selama ini.

"Oh, jadi kita harus tidur di sini? Berdua saja?" tanyaku blo'on.

"Menurutmu apa kita perlu panggil orang sekampung gitu buat tidur di sini?"

As-ta-ga!

"Bukan begitu Mas, tapi ... kan ini kasurnya cuman satu."

"Kamu bisa tidur di lantai kalau mau, nanti saya bawakan tikar."

Ya Allah! Dia kata ini lagi piknik.

"Tapi kan lantainya dingin, ac-nya juga full. Kalau misalkan Randi pasti dia ...."

"Stop! Gak usah kamu bahas Randi di depan Mas! Dia sudah meninggalkanmu, kan? Ah, sudahlah! Saya lelah, saya mau mandi duluan," ujarnya seraya beranjak dengan langkah gusar.

Aku melotot mendengar ucapan tegas Mas Haikal. Kenapa Mas Haikal jadi kejam begini? Biasanya dia bakal melindungiku selayaknya adik.

Tapi, sekarang dia layaknya makhluk yang tak punya perasaan.

Melihat kondisi yang tak menguntungkan, aku pun menundukan kepala sambil memutar jari karena hati ini terasa sangat sesak. Mulutku terkunci rapat dan air mataku menggenang di pelupuk mata.

Apa sebegininya nasib seorang anak yang tak diinginkan?

Namun, kata Bunda aku tidak boleh mengeluh bagaimana pun keluarga ini dengan rela mau merawatku.

Baiklah, aku hanya perlu menerima nasib karena bisa jadi ini yang terbaik bagiku.

Sabar.

(***)

Aku menggelar tikar lipat di bawah ranjang yang kubawa dari gudang secara sembunyi-sembunyi. Dengan begini aku tidak akan terlalu merasa kedinginan.

Setelah itu, aku menarik bed cover dari atas kasur dan melipatnya di atas tikar. Otakku berpikir, semoga dengan membalut diri dengan bed cover akan cukup menghangatkan bagiku.

"Kamu ngapain?" tanya Mas Haikal yang baru keluar dari kamar mandi.

"Mau nyiapin tempat tidur buat aku sendiri, kan Mas bilang aku bisa tidur di lantai kalau gak mau di atas," jawabku sambil menepuk-nepuk bed cover.

"Ya Allah, Na! Kamu pikir saya serius bilang kayak gitu? Udah, kamu tidur di atas saja! Biar saya tidur di bawah," jawabnya seraya melintasiku yang masih bengong.

Lah! Bukannya dia yang tadi bilang?

Aku tahu sih, kalau Mas Haikal itu terkadang rese tapi ya ... enggak serese ini.

Apa karena aku jadi penghambat karirnya? Jadi dia bersikap ketus padaku?

Aku ingat dua bulan yang lalu Mas Haikal bilang kalau dia tidak mau menikah karena baginya punya istri itu ribet dan dia berikrar untuk mencapai karirnya. Setahuku, di kantornya yang ada di Malang dia hampir jadi kepala cabang.

Terus sepertinya sekarang dia gagal karena aku. Setelah menikah, kabarnya Mas Haikal dimutasi ke sini dan Mas Haikal sendiri yang minta dengan alasan demi keluarga.

"Malah bengong lagi, kamu gak akan sholat? Ayo sana mandi! Udah gitu mari kita beristirahat masing-masing, saya gak mau Bunda curiga," ujar Mas Haikal dengan wajah kaku.

Aku terkesiap mendengar ucapannya sehingga jadi gelagapan.

"Oh, iya, aku mandi dulu," jawabku bergegas mengambil handuk.

Astaga! Mas Haikal sudah berubah 180 derajat.

(***)

Aku bergerak gelisah di atas kasur. Berguling ke sana dan kemari. Baru kali ini aku tidur tapi sangat tak nyaman sekali.

Oh ... aku rindu kamarku yang ada di sebelah.

Boneka winni dan micky pasti ada di sampingku ketika aku terbangun. Meski sudah dewasa, tetap saja ada benda yang sangat aku sayangi.

Seandainya Mas Haikal mau berbaik hati mengambilkannya.

"Mas!"

"Heum?" sahut Mas Haikal yang tampak membalut tubuhnya dengan selimut.

"Mas kedinginan?" tanyaku basa-basi.

"Enggak," elaknya sinis.

"Ish! Enggak tapi ngambek," dengkusku sebal sambil merubah posisi tidur.

Aku heran. Kenapa Mas Haikal jutek banget sama cewek? Pantas nggak ada yang mau.

Sejujurnya, sempat aku mengira dia itu gay karena selama ini sangat antipati sama cewek tapi kata Bunda dulu dia sempat pacaran sekali dalam hidupnya waktu SMA tapi setelah lulus dia melajang sampai sekarang.

Sampai umur 32 tahun. Bayangkan 32 tahun! Kuat banget Mas Haikal jadi jomblo.

Apa dia nggak bisa move on? Atau trauma?

"Mas tidur di atas aja gimana? Biar aku di bawah," ujarku pada akhirnya merasa tak enak pada Mas Haikal.

Dia sudah mengorbankan hidupnya untuk menikahiku, aku tidak mau semakin berhutang budi.

"Berisik! Lebih baik kamu tidur sebelum ...."

Tok. Tok. Tok.

Tiba-tiba kalimat Mas Haikal menggantung di udara ketika mendengar ketukan di pintu kamar.

Sontak aku terperanjat bangun begitu pun Mas Haikal. Kami saling berpandangan lalu kompak menelan ludah.

"Si-siapa itu, Mas?"

"Sepertinya Bunda."

"Hah? Bunda?"

Seperti satu frekuensi kami cepat-cepat membereskan tikar dan menyembunyikan di bawah ranjang dengan panik. Aku ingat dulu kami pernah heboh seperti ini saat aku memecahkan vas milik Bunda.

"Kal, Na? Udah tidur?" tanya Bunda dari luar pintu.

"Belum Bun, ada apa?" sahut Mas Haikal dengan nada suara dibuat normal.

"Boleh Bunda masuk?"

"Iya, sebentar ...."

Lelaki bertubuh tegap itu pun membuka pintu setelah kuberi kode kalau semua aman. Dengan patuh aku pun berada di belakang Mas Haikal.

Seperti dugaan, Bunda sudah ada di depan kamar dengan satu gelas kecil berisi telur kocok sambil tersenyum.

"Eh, Kal, ini Bunda bikinin telur kocok dicampur madu sialang buat kamu. Dijamin gak amis kok," ujar Bunda sambil mesam-mesem nggak jelas.

"Loh, buat apa Bun?" tanya Mas Haikal seraya menaikan satu alisnya.

Lelaki itu memang punya titik kelemahan yaitu Bunda.

"Ish, masa kayak gini aja gak tahu, ini buat ... stamina biar kamu kuat, hehehe ... ayo diminum, ya!" ujar Bunda semangat.

"Tapi Bun, Ikal kayaknya gak butuh ini ... soalnya Ikal ...."

"Ya Allah! Ikal! Ini penting buat pertarungan biar tahan lama. Ana, tolong liatin Ikal minum ini ya?" Lirik Bunda padaku dan aku hanya mengangguk.

"Oke, pengantin baru. Bunda mau pergi, ya? Gak mau ganggu. Jangan lupa diminum Kal hihihi ....," goda Bunda lagi seraya berlalu disertai cekikikan yang khas.

Usai ditinggal Bunda Mas Haikal masih mematung bingung di depan pintu dengan pipi yang bersemu merah menggemaskan.

Aku menahan tawa melihat wajah Mas Haikal yang tegang. Dia sampai menekuk wajahnya karena tak mau meminum itu.

Mungkin pikirnya, ngapain dia minum itu? Wong 'pertarungan'-nya aja nggak pernah terjadi.

"Apa kamu senyum-senyum? Cepat tidur! Atau saya tidurin kamu!" ancamnya jutek sambil manyun. Sementara aku langsung ngibrit kembali ke kasur, takut ditiduri beneran.

Aku menyembunyikan diri di bawah selimut. Takut Mas Haikal beneran khilaf, kan mantan Kakakku itu lebih seram dari demit mana pun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status