"Kenapa?" Majikanku mengerutkan dahinya. Wajahnya nampak pucat walau telah dipoles make up. Sungguh keadaan yang membuatku tak mampu melukai hatinya.
Aku menurunkan tatapan seraya meremas ujung kebaya yang masih kukenakan."Al, jangan takut. Mas Fikri, adalah pria yang baik."Kulihat ada genangan air mata yang terbendung di sudut mata Bu Nabila."Apa ibu baik-baik saja?" Gegas kubertanya tanpa menanggapi apa yang dibicarakannya barusan.Bu Nabila memutar bola matanya seperti menahan tangisan yang hendak luruh. "Saya baik-baik saja. Saya hanya kasihan pada suami saya, Al. Sudah hampir enam bulan lebih dia tak pernah mendapatkan haknya." Air mata majikanku merembes keluar. Aku tak paham. Apa yang dimaksud oleh Bu Nabila."Hak apa, Bu? Mengapa Ibu menangis? Ibu tidak ridho dengan pernikahan ini?" Aku mengusap kening. Sepertinya pertanyaanku tidak nyambung.Kepala Bu Nabila langsung menggeleng. "Bukan tentang itu. Percayalah, saya ridho dengan pernikahan kalian karena ini memang permintaan saya."Aku semakin tak paham saja. Bu Nabila tak menjelaskan apa-apa lagi. Dia langsung memeluk tubuhku. Mengusap punggung ini dengan lembut."Tolong gantikan peran yang selama ini tak mampu saya lakukan. Buatlah Mas Fikri bahagia karena kamu pasti bisa melakukannya," bisiknya tepat di telingaku. Setelah itu Bu Nabila langsung pergi.Isi kepalaku pusing karena kian merasa tak paham dengan ucapan Bu Nabila barusan. Namun keadaan memaksaku masuk ke dalam sebuah kamar yang mewah. Sekeliking kamar dihiasi bunga yang wanginya semerbak. Lagi-lagi ini atas permintaan Bu Nabila yang tak bisa ditolak.Aku telah duduk di kursi rias memandang pantulan wajah ini yang berderai air mata. Apa bedanya aku dengan wanita yang menunggu pelanggan di pinggir jalan. Aku bahkan memutuskan menikah dengan Fikri Kamali demi gepokan uang. Bukan hanya aku, keluargaku bahkan menerima semuanya hanya manteri. Aku hanyalah wanita yang menjual diri demi uang.Cklek!Suara pintu terbuka memecah keheningan sendu. Segera kuusap wajah yang telah basah oleh air mata.Aku terkejut. Jantung ini bahkan serasa hendak meloncat dari sarangnya. Pria itu masuk melangkah pelan mendekat ke arahku. Dia Fikri Kamali, wajahnya nampak angkuh.Tubuhku langsung berdiri tegang menyambut kedatangannya. Sebelah tangan Fikri terlihat memegang sebuah map berwarna biru. Entah apa isinya."Bagaimana perasaan kamu hari ini? Bahagiakah?" Fikri bertanya. Mungki sekedar basa-basi dan aku tak paham maksudnya. Dia sudah berdiri di hadapanku.Aku bergeming. Suaraku terasa berat untuk mengungkapkan jawaban."Kenapa diam saja?" Fikri melanjutkan langkahnya lebih mendekatiku. Sementara aku melangkah mundur karena takut."Tolong jangan mendekat." Setengah rasa takut aku memberanikan diri untuk protes karena Fikri terus melangkah memepetku sampai tubuh ini menempal dinding."Kenapa?"Apa-apaan majikan pria ini? Apa dia tak sadar kalau aku sangat ketakutan dengan wajah tampannya namun mengerikan."Ini adalah malam pertama kita. Duduk di ranjang karena ada yang ingin saya lakukan!" Perintahnya tanpa menunggu jawaban langsung menarik tanganku. Dibawanya tubuh ini ke atas ranjang dengan kasar bersamaan dengan bulir bening yang kembali merembes di sudut mata mata."Jangan, Pak. Saya mohon. Saya belum siap." Aku menautkan kedua tangan berharap majikanku paham kondisiku.Tiba-tiba Fikri menertawakanku. Tertawanya bukan mewariskan kebahagiaan, tapi seperti ada kesedihan yang tak mampu ditampakkan."Kamu pikir saya sudi menyentuh tubuh kamu!" cibirnya seketika membuat keningku mengkerut tak paham."Lihat diri kamu, Alsava! Kamu bukan wanita level saya. Kamu hanya gadis belia yang tak membuat saya nafsu!"Hinaan macam apa ini?! Apa cemoohan yang keluar dari mulut pria yang selama ini kuanggap baik benar-benar nyata?Dia melempar map di tangannya pada wajahku tanpa sopan santun."Baca surat itu kemudian tanda tangani!" Fikri meluruskan jari telunjuknya pada wajahku."Apa ini?" Tatapanku tertuju pada map di atas tubuh."Jangan banyak bicara. Saya tidak butuh pertanyaan apa pun dari gadis mata duitan seperti kamu. Segera tanda tangani surat itu. Satu hal yang ingin saya tegaskan, tidak boleh ada siapa pun yang tahu mengenai isinya, paham!"Tak menanggapi perintah pria dewasa yang sinis di hadapanku. Aku memilih membuka map berwarna biru lalu membaca isinya.Mataku membola. Isinya adalah sebuah surat perjanjian kontrak pernikahan selama satu tahun. Puas dengan rasa terkejut setelah membaca isi surat itu, kualihkan tatapan nanarku pada Fikri yang masih mematung di depanku."Apa maksudnya?" tanyaku padanya.Dia nampak memutar bola mata sambil mengedip-ngedipkan kelopak mata. Seperti ada genangan air mata yang tengan dibendung oleh pria dewasa di hadapanku."Vonis Dokfer menyatakan kalau usia Nabila tak akan sampai satu tahun lagi." Fikri mulai menjawab. Dia menggantungkan jawaban. Terdiam dalam beberapa detik. Aku yakin ada yang sedang diatur dalam dadanya, entah napas atau pun perasaan."Saya menikahimu dengan terpaksa atas permintaan, Nabila. Saya tidak mau membuat dia sedih di sisa akhir hidupnya. Entah ajian atau asihan apa yang telah kamu berikan pada Nabila sehingga dia bergitu menginginkan pernikahan yang saya benci! Tanda tangan surat itu. Setelah satu tahun, semuanya akan berakhir. Kamu harus angkat kaki dari rumah saya dan pernikahan pura-pura ini segera berakhir!"Apa! Tega sekali Fikri melakukan ini padaku. Salivaku rasanya pahit untuk ditelan. Tanganku gemetar, namun dia memaksaku menandatangai surat ini. Sejujurnya aku akan merasa aman karena ternyata Fikri pun tak menginginkanku.Dia mengambil kembali map berwarna biru. Surat di dalamnya telah kusetujui. Tanpa pikir panjang, telah kububuhkan tanda tangan persetujuan di dalamnya. Fikri kemudian keluar dari kamar mewah ini meninggalkanku sendirian yang masih terpaku dalam keterkejutan.Usai mandi dan berganti pakaian, langkahku yang hendak keluar jadi tertunda saat ponsel di atas nakas membunyikan notipikasi pesan masuk.Kubuka pesan yang datangnya dari Rangga.My Rangga: [Tak kusangka wajah lugumu hanyalah hiasan tipu daya untuk menjerat lelaki. Kamu tak bedanya bagaikan wanita jalang yang rela menjual diri demi materi. Aku kecewa denganmu, Alsava. Aku benci kamu! Semoga aku tak akan pernah bertemu dengan wanita sepertimu!]Bulir bening kembali luruh di pipi usai membaca isi pesan dari Rangga. Rupanya pria yang kucintai telah mengetahui kabar pernikahan ini. Bukan hanya Rangga, bahkan semua teman-temanku di kampung menyatakan kalimat yang sama."Semua warga di kampung sudah tahu, Al. Katanya kamu rela menjadi istri kedua pria tua, demi mendapatkan harta melimpah."Ucapan dari sahabat Alsava membuat air matanya kian mengalir deras. Aku seperti tak lagi memiliki harga diri.Aku melepas kartu sim untuk menghapus komunikasi. Aku tak memiliki kekuatan membela diri. Aku telah kehilangan pria yang kucintai yakni, Rangga. Nama baikku di kampung telah tercemar. Biarkan aku jalani kepahitan ini, demi kenangan manis sebelum Bu Nabila melepas nyawa.Tok tok tok!Suara pintu diketuk. Gegas kuperbaiki kondisi wajah ini."Masuk!" Perintahku pada seseorang dibalik pintu yang entah siapa.Begitu pintu dibuka, ternyata Bu Nabila. Ia masuk seraya mengukir senyum ramah. Ya Tuhan, semoga balasan surga baginya yang rela berbagi suami saat dirinya tak mampu membahagiakan pasangan. Dia meraih tanganku kemudian mengajakku makan malam bersama. Semua keluarga telah berkumpul di ruang makan.Hanya pasang manik Bu Nabila saja yang terlihat indah dalam pandanganku. Tapi tidak dengan keluarganya. Beberapa pasang mata yang hadir di ruang makan nampak melayangkan tatapan sinis. Mereka marah padaku? Apa salahku?Sampai makan malam selesai dan setelah Bu Nabila masuk ke kamar, Omah Rani menarik tangaku."Mau kemana kamu?" Tatapannya tajam bak belati yang hendak menusuk jantung. Ini tak biasanya. Selama Ini Omah Rani selalu baik padaku. Tapi hari ini, ia bagaikan seekor singa yang hendak menerkam."Sa-saya mau ke kamar, Omah," jawabku seraya menunduk h
Teriakanku memancing orang-orang yang ada di kediaman Fikri Kamali mendekat. Ada pembantu rumah tangga yang sempat menjadi farthnerku. Seorang wanita yang usianya pun tak jauh denganku."Ada apa ini, Mba Al?" tanyanya seraya mendekati tubuh Omah Rani yang berada pada pangkuanku. "Omah, pingsan. Katakan pada supir untuk segera menyiapkan mobil. Kita harus bawa Omah ke rumah sakit," perintahku pada Ijah—pembantu rumah tangga di sini. Dia segera melaksanakan perintahku. Selang beberapa menit, supir datang dan kami segera membawa Omah ke rumah sakit. Dalam perjalanan, hati ini merasa cemas. Takut terjadi sesuatu yang membahayakan Omah. Beruntung sesampainya di rumah sakit, para petugas medis langsung sigap melakukan tindakan sehingga jantung Omah Rani masih bisa tertolong."Kamu jahat!" Omah berdesis. Jari telunjuknya mengarah ke posisiku berdiri, padahal selang oksigen nampak menutupi lubang hidungnya. Ia berusaha bicara setelah Naysila—adik Bu Nabila datang."Siapa yang jahat, Ma?" Na
Aku tercengang. Entah dari mana datangnya Naysila. Wanita itu tiba-tiba sudah berada di dekatku dan melayangkan tuduhhan.Gegas kuberdiri untuk memberanikan diri menepis tuduhannya."Saya tidak seburuk yang Mba Naysila pikirkan," bantahku. "Sayangnya saya sudah yakin dengan pikiran saya. Kamu hanyalah gadis desa yang matre yang hanya mengincar harta kakak ipar saya kemudian pergi dengan laki-laki itu kan!" Jari telunjuk Naysila mengarah pada wajah Rangga."Maaf ya, Bu. Saya tidak mau ikut campur dengan masalah kalian. Urus saja masalah kalian." Rangga kemudian pergi dan tak menoleh lagi ke arahku. Untuk apa dia datang kalau membelaku saja bahkan sudah tak sudi dia lakukan."Heh dasar! Kamu pikir saya Ibu kamu apa!" teriak Naysila pada Rangga yang tetap dengan langkah yang cepat meninggalkan kami berdua."Tidak sopan sekali laki-laki itu. Memang dasar orang desa seperti kalian tidak punya tatak rama ya!" Naysila masih saja mengeluarkan kekesalannya."Tergantung siapa yang mengajak bic
Seketika aku terperangah melihat isi kotak itu. Isinya adalah satu set perhiasan emas berwarna putih yang berkilau. Kalauannya bahkan langsung menyegarkan mata wanita mana pun yang melihatnya."Indah sekali ini, Bu. Saya tidak pantas memiliki ini," tolakku dengan halus. Aku memang tak pantas memiliki perhiasan yang mahal itu."Tentu saja kamu, Pantas. Kamu adalah, Nyonya Fikri. Pakailah perhiasan itu, saya ingin melihatnya."Semakin ke sini, rasanya aku kian bingung saja dengan Bu Nabila. Ada apa dengan dirinya, sehingga ingin sekali membahagiakanku. Kalau sudah melihat tatapannya yang layu, mana bisa aku menolak."Saya akan pakai nanti saja ya, Bu. Hari ini saya belum mandi." Aku beralasan. Akhirnya Bu Nabila tersenyum kemudian meraih tanganku."Titip suami saya ya. Jaga Mas Fikri sampai kalian menua nanti," ucapnya sendu dan menyentuh jantungku. Aku pun mengangguk segera, tanpa paksaan.Bagaimana bisa aku menolak permintaan Bu Nabila. Wanita itu terlihat pucat dan layu. Aku tak bisa
Tangisan Omah Rani dan Naysila pecah di kamar itu. Aku dan Ijah yang masih berdiri di ambang pintu turut sendu dan meluruhkan air mata. Sementara Fikri Kamali, pria yang selama ini kukenal kuat, kini terlihat rapuh. Air matanya yang mungkin sedari tadi susah payah dibendung, kini tampak membasahi wajahnya yang sendu. Pak Fikri terlihat hancur."Nabila..." lirih Omah Rani meluapkan kesedihan. Inginnya aku mendekati mereka, tapi saat kaki mulai melangkah, Naysila merentangkan tangannya."Pergi kamu dari sini," desis Naysila mengusirku. Dia mendorong tubuh ini dua langkah kebelakang. Aku menghargainya yang tengah bersedih. Tak boleh ada keributan di tengah kesenduan.Raungan tangisan terdengar dari kamar Bu Nabila. Aku yang kini berada di ruang tengah sampai tak mampu menahan kesedihan.Bagaimana tidak bersedih, Bu Nabila adalah wanita berhati peri. Dia selalu menolongku dalam kesusahan. Aku terduduk di atas sofa. Kaki ini rasanya lemas saat kesedihan menyelimuti diri.Tiba-tiba lengan
"Sa-saya?" Aku menunjuk diri sendiri. Sungguh perasaan ini tak enak. "Iya kamu, Al. Kemarilah," titah Omah Fira—mamahnya Pak Fikri sekali lagi.Aku melangkah berat menuju sofa yang dimaksud Omah Fira. Di ruang tengah itu, semua keluarga Pak Fikri masih berkumpul. Hanya aku yang bukan siapa-siapa, turut bergabung di sana."Mulai sekarang, Mama titip Fikri sama kamu ya," ucap Omah Fira membuat wajahku mendongak terkejut."Maksudnya?" tanyaku setengah berdesis.Ada yang membuat hati ini terharu saat Omah Fira menyebut dirinya Mama untukku. Omah Fira Memang jauh berbeda dengan Omah Rani yang selalu saja menghinaku."Harus kamu pahami, Al. Fikri tak memiliki siapa-siapa lagi selain Mama dan kamu. Setelah ayahnya meninggal, Fikri hanya tinggal sama Mama. Tapi Mama tidak bisa di sini karena Mama juga ada rumah. Kamu urus suami kamu dengan baik. Mama titip Fikri sama kamu. Jadilah istri yang membuat suaminya nyaman," tutur Omah Fira dengan lembut. Sebelah tangannya bahkan mengusap rambutku d
"Ada apa, Al?" Pak Fikri menatapku nanar."Mba Naysila, telah mengambil uang saya, Pak." Aku menjawab jujur."Apa! Berani kamu menuduhku ya!" bantah Naysila. Padahal jelas sekali kalau amplop itu ada pada tangannya tadi. Wanita itu pandai sekali berkilah."Kamu jangan asal menuduh, Al." Pak Fikri juga tidak percaya dengan ucapanku."Saya tidak menuduh, Pak. Amplop berisi uang yang Pak Fikri berikan telah diambil Mba Naysila. Amplopnya ada pada tasnya. Periksa saja," tantangku. Namun kulihat wajah Mba Naysila nampak biasa saja. Dia malah langsung menyodorkan tasnya."Nih, periksa saja!" "Maaf, Nay. Saya periksa ya. Agar tidak ada fitnah," ucap Pak Fikri sebelum dia membuka tas Naysila.Benar saja, amplop itu ada di dalam tas Naysila. Pak Fikri mengambilnya. Lalu ia membuka isi amplop itu."Ini hanyalah surat, Nay. Kamu jangan asal menuduh." Kulihat isi amplop itu memang hanyalah berisi beberapa lembar surat saja. Ya ampun, lalu kemana perginya uang sepuluh juta milikku."Tapi, uang s
Aku melihat Naysila nampak mengekori langkah Pak Fikri. Ingin kucegah tapi mereka telah masuk ke kamar.Akhirnya aku kembali menguping di depan celah pintu yang terbuka."Mas, jangan periksa cctv sekarang!"Aku melihat Naysila menarik tangan Pak Fikri namun tak lama dihempaskan."Kenapa?" Suamiku bertanya pada adik iparnya."Karena Mama meminta kamu datang ke rumah sekarang." Naysila merengek. Kulihat tangannya bahkan kembali menggenggam suamiku."Tapi—""Aku mohon, Mas. Jangan sampai Mama berpikiran yang tidak-tidak tentang kamu. Dia menunggu di rumah sekarang juga. Kamu bisa memeriksa cctv di lain waktu kan. Oh iya, aku akan suruh security memeriksanya." Naysila masih memaksa dengan rengekannya."Oke kita ke rumah Mama sekarang." Wanita itu berhasil membawa suamiku pergi. Mereka berjalan seiringan menuju kendaraan roda empat milik Pak Fikri.Namun melihat itu, perasaan ini berkata lain. Aku melihat ada yang aneh dengan gelagat Naysila. Wanita itu seperti tengah menyembunyikan sesua