Share

Bab 4 Surat Perjanjian Kontrak Pernikahan

"Kenapa?" Majikanku mengerutkan dahinya. Wajahnya nampak pucat walau telah dipoles make up. Sungguh keadaan yang membuatku tak mampu melukai hatinya.

Aku menurunkan tatapan seraya meremas ujung kebaya yang masih kukenakan.

"Al, jangan takut. Mas Fikri, adalah pria yang baik."

Kulihat ada genangan air mata yang terbendung di sudut mata Bu Nabila.

"Apa ibu baik-baik saja?" Gegas kubertanya tanpa menanggapi apa yang dibicarakannya barusan.

Bu Nabila memutar bola matanya seperti menahan tangisan yang hendak luruh. "Saya baik-baik saja. Saya hanya kasihan pada suami saya, Al. Sudah hampir enam bulan lebih dia tak pernah mendapatkan haknya." Air mata majikanku merembes keluar. Aku tak paham. Apa yang dimaksud oleh Bu Nabila.

"Hak apa, Bu? Mengapa Ibu menangis? Ibu tidak ridho dengan pernikahan ini?" Aku mengusap kening. Sepertinya pertanyaanku tidak nyambung.

Kepala Bu Nabila langsung menggeleng. "Bukan tentang itu. Percayalah, saya ridho dengan pernikahan kalian karena ini memang permintaan saya."

Aku semakin tak paham saja. Bu Nabila tak menjelaskan apa-apa lagi. Dia langsung memeluk tubuhku. Mengusap punggung ini dengan lembut.

"Tolong gantikan peran yang selama ini tak mampu saya lakukan. Buatlah Mas Fikri bahagia karena kamu pasti bisa melakukannya," bisiknya tepat di telingaku. Setelah itu Bu Nabila langsung pergi.

Isi kepalaku pusing karena kian merasa tak paham dengan ucapan Bu Nabila barusan. Namun keadaan memaksaku masuk ke dalam sebuah kamar yang mewah. Sekeliking kamar dihiasi bunga yang wanginya semerbak. Lagi-lagi ini atas permintaan Bu Nabila yang tak bisa ditolak.

Aku telah duduk di kursi rias memandang pantulan wajah ini yang berderai air mata. Apa bedanya aku dengan wanita yang menunggu pelanggan di pinggir jalan. Aku bahkan memutuskan menikah dengan Fikri Kamali demi gepokan uang. Bukan hanya aku, keluargaku bahkan menerima semuanya hanya manteri. Aku hanyalah wanita yang menjual diri demi uang.

Cklek!

Suara pintu terbuka memecah keheningan sendu. Segera kuusap wajah yang telah basah oleh air mata.

Aku terkejut. Jantung ini bahkan serasa hendak meloncat dari sarangnya. Pria itu masuk melangkah pelan mendekat ke arahku. Dia Fikri Kamali, wajahnya nampak angkuh.

Tubuhku langsung berdiri tegang menyambut kedatangannya. Sebelah tangan Fikri terlihat memegang sebuah map berwarna biru. Entah apa isinya.

"Bagaimana perasaan kamu hari ini? Bahagiakah?" Fikri bertanya. Mungki sekedar basa-basi dan aku tak paham maksudnya. Dia sudah berdiri di hadapanku.

Aku bergeming. Suaraku terasa berat untuk mengungkapkan jawaban.

"Kenapa diam saja?" Fikri melanjutkan langkahnya lebih mendekatiku. Sementara aku melangkah mundur karena takut.

"Tolong jangan mendekat." Setengah rasa takut aku memberanikan diri untuk protes karena Fikri terus melangkah memepetku sampai tubuh ini menempal dinding.

"Kenapa?"

Apa-apaan majikan pria ini? Apa dia tak sadar kalau aku sangat ketakutan dengan wajah tampannya namun mengerikan.

"Ini adalah malam pertama kita. Duduk di ranjang karena ada yang ingin saya lakukan!" Perintahnya tanpa menunggu jawaban langsung menarik tanganku. Dibawanya tubuh ini ke atas ranjang dengan kasar bersamaan dengan bulir bening yang kembali merembes di sudut mata mata.

"Jangan, Pak. Saya mohon. Saya belum siap." Aku menautkan kedua tangan berharap majikanku paham kondisiku.

Tiba-tiba Fikri menertawakanku. Tertawanya bukan mewariskan kebahagiaan, tapi seperti ada kesedihan yang tak mampu ditampakkan.

"Kamu pikir saya sudi menyentuh tubuh kamu!" cibirnya seketika membuat keningku mengkerut tak paham.

"Lihat diri kamu, Alsava! Kamu bukan wanita level saya. Kamu hanya gadis belia yang tak membuat saya nafsu!"

Hinaan macam apa ini?! Apa cemoohan yang keluar dari mulut pria yang selama ini kuanggap baik benar-benar nyata?

Dia melempar map di tangannya pada wajahku tanpa sopan santun.

"Baca surat itu kemudian tanda tangani!" Fikri meluruskan jari telunjuknya pada wajahku.

"Apa ini?" Tatapanku tertuju pada map di atas tubuh.

"Jangan banyak bicara. Saya tidak butuh pertanyaan apa pun dari gadis mata duitan seperti kamu. Segera tanda tangani surat itu. Satu hal yang ingin saya tegaskan, tidak boleh ada siapa pun yang tahu mengenai isinya, paham!"

Tak menanggapi perintah pria dewasa yang sinis di hadapanku. Aku memilih membuka map berwarna biru lalu membaca isinya.

Mataku membola. Isinya adalah sebuah surat perjanjian kontrak pernikahan selama satu tahun. Puas dengan rasa terkejut setelah membaca isi surat itu, kualihkan tatapan nanarku pada Fikri yang masih mematung di depanku.

"Apa maksudnya?" tanyaku padanya.

Dia nampak memutar bola mata sambil mengedip-ngedipkan kelopak mata. Seperti ada genangan air mata yang tengan dibendung oleh pria dewasa di hadapanku.

"Vonis Dokfer menyatakan kalau usia Nabila tak akan sampai satu tahun lagi." Fikri mulai menjawab. Dia menggantungkan jawaban. Terdiam dalam beberapa detik. Aku yakin ada yang sedang diatur dalam dadanya, entah napas atau pun perasaan.

"Saya menikahimu dengan terpaksa atas permintaan, Nabila. Saya tidak mau membuat dia sedih di sisa akhir hidupnya. Entah ajian atau asihan apa yang telah kamu berikan pada Nabila sehingga dia bergitu menginginkan pernikahan yang saya benci! Tanda tangan surat itu. Setelah satu tahun, semuanya akan berakhir. Kamu harus angkat kaki dari rumah saya dan pernikahan pura-pura ini segera berakhir!"

Apa! Tega sekali Fikri melakukan ini padaku. Salivaku rasanya pahit untuk ditelan. Tanganku gemetar, namun dia memaksaku menandatangai surat ini. Sejujurnya aku akan merasa aman karena ternyata Fikri pun tak menginginkanku.

Dia mengambil kembali map berwarna biru. Surat di dalamnya telah kusetujui. Tanpa pikir panjang, telah kububuhkan tanda tangan persetujuan di dalamnya. Fikri kemudian keluar dari kamar mewah ini meninggalkanku sendirian yang masih terpaku dalam keterkejutan.

Usai mandi dan berganti pakaian, langkahku yang hendak keluar jadi tertunda saat ponsel di atas nakas membunyikan notipikasi pesan masuk.

Kubuka pesan yang datangnya dari Rangga.

My Rangga: [Tak kusangka wajah lugumu hanyalah hiasan tipu daya untuk menjerat lelaki. Kamu tak bedanya bagaikan wanita jalang yang rela menjual diri demi materi. Aku kecewa denganmu, Alsava. Aku benci kamu! Semoga aku tak akan pernah bertemu dengan wanita sepertimu!]

Bulir bening kembali luruh di pipi usai membaca isi pesan dari Rangga. Rupanya pria yang kucintai telah mengetahui kabar pernikahan ini. Bukan hanya Rangga, bahkan semua teman-temanku di kampung menyatakan kalimat yang sama.

"Semua warga di kampung sudah tahu, Al. Katanya kamu rela menjadi istri kedua pria tua, demi mendapatkan harta melimpah."

Ucapan dari sahabat Alsava membuat air matanya kian mengalir deras. Aku seperti tak lagi memiliki harga diri.

Aku melepas kartu sim untuk menghapus komunikasi. Aku tak memiliki kekuatan membela diri. Aku telah kehilangan pria yang kucintai yakni, Rangga. Nama baikku di kampung telah tercemar. Biarkan aku jalani kepahitan ini, demi kenangan manis sebelum Bu Nabila melepas nyawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status