Aku tercengang. Entah dari mana datangnya Naysila. Wanita itu tiba-tiba sudah berada di dekatku dan melayangkan tuduhhan.Gegas kuberdiri untuk memberanikan diri menepis tuduhannya."Saya tidak seburuk yang Mba Naysila pikirkan," bantahku. "Sayangnya saya sudah yakin dengan pikiran saya. Kamu hanyalah gadis desa yang matre yang hanya mengincar harta kakak ipar saya kemudian pergi dengan laki-laki itu kan!" Jari telunjuk Naysila mengarah pada wajah Rangga."Maaf ya, Bu. Saya tidak mau ikut campur dengan masalah kalian. Urus saja masalah kalian." Rangga kemudian pergi dan tak menoleh lagi ke arahku. Untuk apa dia datang kalau membelaku saja bahkan sudah tak sudi dia lakukan."Heh dasar! Kamu pikir saya Ibu kamu apa!" teriak Naysila pada Rangga yang tetap dengan langkah yang cepat meninggalkan kami berdua."Tidak sopan sekali laki-laki itu. Memang dasar orang desa seperti kalian tidak punya tatak rama ya!" Naysila masih saja mengeluarkan kekesalannya."Tergantung siapa yang mengajak bic
Seketika aku terperangah melihat isi kotak itu. Isinya adalah satu set perhiasan emas berwarna putih yang berkilau. Kalauannya bahkan langsung menyegarkan mata wanita mana pun yang melihatnya."Indah sekali ini, Bu. Saya tidak pantas memiliki ini," tolakku dengan halus. Aku memang tak pantas memiliki perhiasan yang mahal itu."Tentu saja kamu, Pantas. Kamu adalah, Nyonya Fikri. Pakailah perhiasan itu, saya ingin melihatnya."Semakin ke sini, rasanya aku kian bingung saja dengan Bu Nabila. Ada apa dengan dirinya, sehingga ingin sekali membahagiakanku. Kalau sudah melihat tatapannya yang layu, mana bisa aku menolak."Saya akan pakai nanti saja ya, Bu. Hari ini saya belum mandi." Aku beralasan. Akhirnya Bu Nabila tersenyum kemudian meraih tanganku."Titip suami saya ya. Jaga Mas Fikri sampai kalian menua nanti," ucapnya sendu dan menyentuh jantungku. Aku pun mengangguk segera, tanpa paksaan.Bagaimana bisa aku menolak permintaan Bu Nabila. Wanita itu terlihat pucat dan layu. Aku tak bisa
Tangisan Omah Rani dan Naysila pecah di kamar itu. Aku dan Ijah yang masih berdiri di ambang pintu turut sendu dan meluruhkan air mata. Sementara Fikri Kamali, pria yang selama ini kukenal kuat, kini terlihat rapuh. Air matanya yang mungkin sedari tadi susah payah dibendung, kini tampak membasahi wajahnya yang sendu. Pak Fikri terlihat hancur."Nabila..." lirih Omah Rani meluapkan kesedihan. Inginnya aku mendekati mereka, tapi saat kaki mulai melangkah, Naysila merentangkan tangannya."Pergi kamu dari sini," desis Naysila mengusirku. Dia mendorong tubuh ini dua langkah kebelakang. Aku menghargainya yang tengah bersedih. Tak boleh ada keributan di tengah kesenduan.Raungan tangisan terdengar dari kamar Bu Nabila. Aku yang kini berada di ruang tengah sampai tak mampu menahan kesedihan.Bagaimana tidak bersedih, Bu Nabila adalah wanita berhati peri. Dia selalu menolongku dalam kesusahan. Aku terduduk di atas sofa. Kaki ini rasanya lemas saat kesedihan menyelimuti diri.Tiba-tiba lengan
"Sa-saya?" Aku menunjuk diri sendiri. Sungguh perasaan ini tak enak. "Iya kamu, Al. Kemarilah," titah Omah Fira—mamahnya Pak Fikri sekali lagi.Aku melangkah berat menuju sofa yang dimaksud Omah Fira. Di ruang tengah itu, semua keluarga Pak Fikri masih berkumpul. Hanya aku yang bukan siapa-siapa, turut bergabung di sana."Mulai sekarang, Mama titip Fikri sama kamu ya," ucap Omah Fira membuat wajahku mendongak terkejut."Maksudnya?" tanyaku setengah berdesis.Ada yang membuat hati ini terharu saat Omah Fira menyebut dirinya Mama untukku. Omah Fira Memang jauh berbeda dengan Omah Rani yang selalu saja menghinaku."Harus kamu pahami, Al. Fikri tak memiliki siapa-siapa lagi selain Mama dan kamu. Setelah ayahnya meninggal, Fikri hanya tinggal sama Mama. Tapi Mama tidak bisa di sini karena Mama juga ada rumah. Kamu urus suami kamu dengan baik. Mama titip Fikri sama kamu. Jadilah istri yang membuat suaminya nyaman," tutur Omah Fira dengan lembut. Sebelah tangannya bahkan mengusap rambutku d
"Ada apa, Al?" Pak Fikri menatapku nanar."Mba Naysila, telah mengambil uang saya, Pak." Aku menjawab jujur."Apa! Berani kamu menuduhku ya!" bantah Naysila. Padahal jelas sekali kalau amplop itu ada pada tangannya tadi. Wanita itu pandai sekali berkilah."Kamu jangan asal menuduh, Al." Pak Fikri juga tidak percaya dengan ucapanku."Saya tidak menuduh, Pak. Amplop berisi uang yang Pak Fikri berikan telah diambil Mba Naysila. Amplopnya ada pada tasnya. Periksa saja," tantangku. Namun kulihat wajah Mba Naysila nampak biasa saja. Dia malah langsung menyodorkan tasnya."Nih, periksa saja!" "Maaf, Nay. Saya periksa ya. Agar tidak ada fitnah," ucap Pak Fikri sebelum dia membuka tas Naysila.Benar saja, amplop itu ada di dalam tas Naysila. Pak Fikri mengambilnya. Lalu ia membuka isi amplop itu."Ini hanyalah surat, Nay. Kamu jangan asal menuduh." Kulihat isi amplop itu memang hanyalah berisi beberapa lembar surat saja. Ya ampun, lalu kemana perginya uang sepuluh juta milikku."Tapi, uang s
Aku melihat Naysila nampak mengekori langkah Pak Fikri. Ingin kucegah tapi mereka telah masuk ke kamar.Akhirnya aku kembali menguping di depan celah pintu yang terbuka."Mas, jangan periksa cctv sekarang!"Aku melihat Naysila menarik tangan Pak Fikri namun tak lama dihempaskan."Kenapa?" Suamiku bertanya pada adik iparnya."Karena Mama meminta kamu datang ke rumah sekarang." Naysila merengek. Kulihat tangannya bahkan kembali menggenggam suamiku."Tapi—""Aku mohon, Mas. Jangan sampai Mama berpikiran yang tidak-tidak tentang kamu. Dia menunggu di rumah sekarang juga. Kamu bisa memeriksa cctv di lain waktu kan. Oh iya, aku akan suruh security memeriksanya." Naysila masih memaksa dengan rengekannya."Oke kita ke rumah Mama sekarang." Wanita itu berhasil membawa suamiku pergi. Mereka berjalan seiringan menuju kendaraan roda empat milik Pak Fikri.Namun melihat itu, perasaan ini berkata lain. Aku melihat ada yang aneh dengan gelagat Naysila. Wanita itu seperti tengah menyembunyikan sesua
Ini adalah kali pertama aku melihat wajah Pak Fikri benar-benar marah. Setelah puas menampar wajah Rangga, dia kemudian masuk dan duduk di kursi depan. Tanpa basa-basi, suamiku menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatan mobil ini membuat jantung ini terasa berdebar keras tak seperti biasanya. Bukan hanya takut dengan kecepatan kendaraan roda empat ini, tapi aku juga takut dengan kemarahan Pak Fikri."Pak, jangan kencang-kencang bawa mobilnya. Saya takut." Akhirnya aku memberanikan diri."Saya bukan supir kamu! Jangan seenaknya memerintah saya," balas Pak Fikri terdengar pedas.Aku tak paham dengan pria yang Rangga sebut tua itu. Dia nampak benar-benar marah. Hingga sampai di rumah, tanpa basa-basi dia menyeretku masuk ke dalam rumah. Tubuh ini dilemparkan ke atas sofa. Memang tidak sakit, tapi hati ini yang sakit. Aku ini bukan budaknya yang bisa dilakukan seenaknya."Jangan kasar, Pak. Saya ini manusia," protesku akhirnya."Manusia macam apa kamu, berani-beraninya berselingkuh dengan
"Saya bukan manusia kurang kerjaan, Alsava. Pekerjaan saya banyak dan tidak ada waktu buat melihat kamar kamu!" bantahnya. Majikan jutekku itu membela diri tak terima dengan tuduhanku."Saya tidak percaya." Aku membuang pandangan ke samping."Ya terserah kamu kalau tidak percaya. Itu bukan urusan saya." Tanpa perduli, Pak Fikri kembali memainkan kedua jemarinya pada benda persegi di hadapannya."Tunggu, Pak. Jangan sampai Pak Fikri melihat saya di dalam kamar," cegahku lagi. Tentu aku tak mau kalau sampai tubuh ini ditonton oleh pria dewasa seperti Pak Fikri."Jangan kepedean kamu, Alsava. Saya hanya ingin melihat pelaku yang menghilangkan uang mingguan kamu. Kalau sampai pelakunya kamu sendiri, jangan harap saya bisa percaya lagi." Aku tak bisa lagi mencegah saat Pak Fikri kembali melanjutkan niatnya. Dipandangnya dengan seksama layar pada benda persegi itu. Resah dalam hati karena takut kalau pria dewasa di hadapanku berniat yang aneh-aneh."Ini kamu lihat." Pak Fikri menyodorkan l