Share

Dinikahi Mantan Adik Ipar
Dinikahi Mantan Adik Ipar
Author: Riri Afsana

Satu

“Raf, hari ini jadwal kamu kosong tidak?” tanya perempuan paruh baya pada sang putra sulung yang tengah sibuk dengan gawainya.

“Hmmm … kenapa? Mau dikenalin lagi sama anak teman Mama?” Pria itu Raffan, menatap curiga kearah sang ibu.

“Ketemu sama anak teman mama dong Raf!” bujuknya semangat, kemudian duduk disamping Raffan.

"Enggak ah, Ma."

“Orangnya cantik loh Raff, kamu ingat kan sama Aletha? Anak tante Nilam yang dulu sering main kesini. Sekarang Aletha udah balik dari Inggris setelah menyelesaikan kuliahnya di oxford. Rencananya mau menetap di Jakarta lagi, kamu ajakin Aletha jalan gih.”

“Malas Ma. Masih enggak menyerah juga ngejodoh-jodohin,” kesal Raffan, berpindah ke sofa single, menghindari teror sang mama.

“Raffan Ardian Ghifari, kamu itu ya ... dulu Mama sama Papa umur 28 itu udah punya kamu loh Raf. Nah, kamu pacar saja belum pernah ada yang dikenalkan ke mama.” Wanita itu ikut berpindah, bersandar di sisi sang putra sambil bersedekap dada.

“Belum ada yang cocok Ma.”

“Kamu bukan gay kan Raf?” Sambung wanita itu, sorot wajahnya berubah khawatir, membuat asisten Raffan yang sejak tadi menyimak terkekeh.

“Ucapan mama kok jahat gitu.” Raffan menggeleng pelan, setengah jengkel.

“Wajar kalau mama nuduh Lo gay, cewek sekelas Raline Salim aja lo tolak, padahal bodynya itu loh Raf! viuuu..." Pria itu bersiul di akhir kalimatnya. "Eh, lo normal nggak sih?” tanya Rayyan sarkastik sambil menaikkan alisnya. Si bungsu Ghifari yang baru bergabung di ruang keluarga. Menyela percakapan mereka.

"Adek kamu saja, Pacar dan mantannya ada dimana-mana, tobat deh Ray, stop main-main.” Raisa beralih pada putra bungsunya.

“Loh! Kok jadi Rayyan sih Ma ...” Protes Rayyan. Sementara Raffan beranjak dari sofa memanfaatkan kesempatan untuk kabur, memberi kode pada asisten sekaligus sekretarisnya yang sejak tadi hanya mendengarkan dan pura-pura sibuk dengan joystick dan layar di depannya.

“Adri, besok saya ada meeting pagi?” tanya Raffan pada asistennya, berlalu saat perhatian sang ibu mulai beralih pada si Bungsu.

“Iya bos, sekitar pukul sembilan.” Adri mengekor di belakang Raffann.

“Mau mama gimana sih? Raffan yang jomlo di buat pusing, Rayyan yang punya pacar di buat ribet. Aneh Mama ini. Heran Rayyan!”

“Masalahnya Ray, kamu itu cuma main-main. Enggak pernah ada yang dibawa serius.”

“Namanya juga penjajakan, Ma ... mencari yang terbaik itu nggak gampang. Mending mama ngurusin Raffan aja deh, anak mama itu sakit, nggak doyan perempuan, Raffan itu nggak normal Ma!”

“Jangan sembarangan kamu! Loh ... Raffan kemana? Kabur-kan, kakak kamu.”

Raffan menggeleng pelan sambil memijit pelipisnya, saat masih mendengar perdebatan mereka. Dicecar tentang perempuan dan pernikahan benar-benar membuatnya muak.

"Bos beneran normal kan?" Tanya Adri keceplosan, segera menutup bibirnya. Raffan menghunus tatapannya.

“Maaf Bos ... mau ke mana Bos?” tanya pemuda itu saat Raffan berjalan pergi. Raffan mengibaskan tangannya di udara tanpa perlu menoleh, mengisyaratkan agar asistennya itu tidak mengganggunya.

~

“Astaga!!” Perempuan itu terpekik panik. Tak sengaja menabrak mobil dihadapannya. Kemudian, ikut meminggirkan mobilnya saat mobil dihadapannya memasang lampu sein kiri.

“Maaf Mas, saya benar-benar tidak sengaja,” ucapnya sambil meringis pada pemuda yang menatap miris mobil sportnya. Pria itu menghela nafas gusar menatap body belakang mobilnya yang ringsek.

“Anda itu bisa menyetir tidak sih?!” Raffan menatap kesal perempuan yang menutup wajahnya dengan masker berdiri di hadapannya. Namun kekesalan itu tiba-tiba sirna saat matanya jatuh tepat pada manik mata perempuan itu. Hanya beberapa detik karena perempuan itu segera menunduk.

“Maaf banget Mas, rem mobil saya blong. Saya sudah coba nginjek rem berkali-kali. Tapi remnya mengalami disfungsi.” Atisha mencoba memberi pengertian, sekaligus was-was membayangkan biaya ganti rugi, untuk perbaikan mobil mewah pria itu. Raffan mengabaikan ucapan perempuan, itu dan memilih membuktikan langsung alasan Atisha dengan memasuki mobil Brio perempuan itu yang juga ringsek pada bagian depan, Raffan mengendarainya berhenti jauh dari depan mobilnya. Kemudian kembali menghampiri Atisha.

“Baik, ini murni kecelakaan, tapi anda tetap harus tanggung jawab atas kerusakan pada mobil saya.” Raffan kembali, bersedekap dada, menatap lurus ke arah Atisha.

“Saya pasti tanggung jawab,” ucap Atisha, menggigit bibir. Berdoa dalam hati agar biaya perbaikan mobil mewah itu masih dapat di jangkau olehnya.

“Saya akan kabari setelah reparasi mobil saya di bengkel, anda bisa membayarnya langsung di sana. Nomor handphone anda.” Raffan mengulurkan handphonenya pada Atisha, meminta perempuan itu mengetikkan nomornya.

“Nama anda?”

“Atisha.” Raffan mengernyit mendengar nama perempuan itu, kembali menatap mata Atisha, lama, mata yang dimiliki perempuan di hadapannya benar-benar indah.

"Jadi saya boleh pergi sekarang? Soalnya saya sedang buru-buru." Atisha lagi-lagi melirik jam tangannya. Sedang yang di tanya tak mengalihkan pandangannya.

"Mas?!"

“Oh, iya." ucap Raffan, sedikit terkesiap, dengan kejanggalan yang ia rasakan di dalam hatinya, perempuan ini membuatnya penasaran, tidak ada perasaan muak dan jijik yang sering ia rasakan pada kebanyakan perempuan lain. Raffan masih menatapnya saat Atisha memasuki mobilnya. "Naik taksi aja mbak, remnya blong, nggak usah dikendarai lagi!" Teriaknya yang diabaikan oleh Atisha.

Raffan masih bergeming, dirinya jadi kepikiran bahwa ia membutuhkan perempuan dalam hidupnya untuk menyelamatkan harga dirinya sebagai laki-laki. Perempuan tadi sepertinya bisa membantunya, sorot matanya meneduhkan. Bukan seperti kebanyakan perempuan yang punya sorot kelaparan yang seakan ingin menerkamnya.

~

Saat memasuki rumahnya, Atisha berjalan dengan lesu, melepas masker dan jilbabnya lalu merebahkan tubuhnya diatas kasur, menatap gusar langit-langit kamarnya. Mobilnya belum di bawa ke bengkel karena butuh biaya yang tidak murah, terlebih dirinya harus membayar kerugian pemilik mobil sport yang di tabraknya, biaya reparasinya pasti jauh lebih fantastis. Saat sibuk merenung, perempuan itu menitihkan air matanya kala teringat dengan ucapan Omanya yang juga masih dirawat di rumah sakit, berjuang melawan penyakit stroke.

"Oma ingin melihat kamu berkeluarga sebelum Oma meninggal, menikah lah nak." Sejak tadi Atisha selalu teringat kalimant getir Omanya, satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini. Atisha menghela nafas gusar, memikirkan bagaimana mungkin ia mewujudkan keinginan tersebut, sejak kecil ia selalu di doktrin bahwa semua laki-laki itu brengsek bahkan sebelum ia mengerti arti kata brengsek. Sejak kecil Atisha selalu menutup diri dan menyembunyikan kecantikannya dari laki-laki manapun, kata Omanya, kecantikan adalah kutukan.

Saat dewasa Atisha mulai mengerti mengapa ia di didik untuk antipati terhadap laki-laki manapun, laki-laki memang brengsek. Ia pernah mencoba membuka hati, namun kisahnya layu sebelum berkembang. Namun, Omanya tidak salah jika memintanya menikah, ia benar-benar harus menikah. Bukan karena ingin memiliki kisah happy ever after seperti drama percintaan yang sering di tonton Rina sahabatnya yang juga sebentar lagi akan menikah. Atisha ingin menikah untuk memiliki keluarga, tidak muluk, setidaknya ia butuh pria yang bisa menanam benih pada rahimnya secara legal, Atisha menginginkan keturunan. Walaupun pernikahan itu berakhir dengan perceraian, tak masalah asal ia memiliki anak yang akan menemaninya sepanjang hidup.

Atisha tampaknya menimbang, lalu menggeleng pelan. Pikirannya yang sudah seperti benang kusut benar-benar ngawur.

Atisha kembali mengingat biaya perbaikan mobilnya dan mobil pria itu, sudah saatnya memikirkan opsi yang sudah lama ia fikirkan, dia akan mengambil praktik di tiga tempat sekaligus, putusnya. Atisha lalu bangkit menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu sebelum kepalanya benar-benar pecah karena terlalu banyak beban pikiran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status