Share

Dua

Author: Riri Afsana
last update Last Updated: 2022-09-16 22:14:25

Atisha menatap iba pada wanita yang tengah ia tangani. Perempuan itu tengah menjahit luka sobek yang cukup dalam pada pipi kiri pasiennya. Seorang wanita muda yang tengah terkulai. Butuh enam belas jahitan untuk menutup lukanya. Miris, saat perempuan lagi-lagi menjadi korban dari tempramen seorang pria, terlebih pria itu berstatus sebagai suaminya.

“Jahat banget ya suaminya dok. Istrinya minta nafkah itu kan haknya. Bukannya di kasih, eh... malah dianiaya. Sumpah! Kalau kayak gini saya jadi takut nikah dok, ngeri,” ucap suster yang menemaninya sejak tadi saat keduanya telah berada di selasar rumah sakit.

“Nikah itu pilihan sih Wi,” jawab Atisha. Dirinya pun tak tau harus berkata apa. Selama ini ia antipati terhadap hubungan emosional yang melibatkan antara pria dan wanita.

“Kalau dokter sendiri, ada keinginan untuk menikah tidak?” Dewi menatap Atisha penasaran, sementara perempuan itu memilih menatap arlojinya.

“Oh iya Wi, jam praktik saya sudah berakhir nih. Dokter Lidya juga udah datang kan? Saya duluan deh, soalnya harus praktik lagi di klinik intan medika.” Atisha meninggalkan perawat itu setelah menepuk pelan bahunya, bergegas untuk menghindari pertanyaannya yang tidak mesti ia jawab.

~

“Mama apa-apaan sih!” Raffan manatap mamanya dengan raut kesal. Bagaimana tidak, mamanya mengatur makan malam dengan seorang gadis yang merupakan putri dari teman mamanya tanpa persetujuan pria itu.

“Habisnya kalau menunggu keputusan kamu, enggak akan ada kemajuan. Sudah sana berangkat! Aletha pasti sudah nungguin kamu di restoran."

“Raffan capek ma. Seharian ngurus kantor, suruh Rayyan saja tuh untuk nemenin anak temen mama itu.”

“Enak saja, gue sudah ada janji sama Renita. Makanya, jangan terlalu betah jadi jones. Masa urusan jodoh perlu campur tangan nyokap juga, payah banget sih Raf.” Rayyan menatapnya dengan sorot meledek, membuat Raffan semakin jengkel. Sementara sang adik tertawa puas.

“Sudah pergi sana Raf, kasihan Aletha. Pasti sudah menunggu kamu sejak tadi.” Mama mendorong punggungnya menuju pintu, membuat Raffan menghela nafas lelah, namun tak urung tetap menuruti permintaan sang mama.

Saat tiba di restoran, menghampiri meja yang ditempati oleh seorang wanita cantik dan teramat seksi, pakaiannya yang kurang bahan membuat Raffan sesak nafas. Astaga, ia tidak habis pikir jika mamanya memilih perempuan seperti ini.

“Ekhem! Permisi, Aletha?” Sapa pria itu formal, sementara wanita itu mendongak, menatap kearahnya dengan wajah takjub, tak menyangka jika sosok yang hendak di jodohkan dengannya, memiliki segala kriteria pria yang ia idamkan secara fisik.

“Benar Aletha?” tanya Raffan meyakinkan, saat perempuan itu masih intens menatapnya.

“Iya, saya Aletha.” Perempuan itu mengulurkan tangannya.

“Raffan,” ucapnya, menjabat tangan itu sekilas lalu duduk berseberangan dengan perempuan itu.

“Kamu mau pesan apa?” tanya perempuan itu sambil membolak-balik buku menu, sesekali mencuri pandang kearah Raffan yang sibuk dengan handphonenya. Raffan mendesah, lalu menyimpan iphonenya kesaku celananya.

“Saya terpaksa datang kesini demi menyenangkan hati mama saya. Harus saya katakan, saya tidak menginginkan perjodohan ini.” Aku Raffan jujur, membuat senyum wanita dihadapannya surut.

“Perjodohan memang nggak selalu mulus, tapi bukan berarti nggak ada yang berhasil. Banyak kok, pasangan yang berawal dari perjodohan namun berakhir bahagia, kenapa kita nggak mencoba, bukankah terlalu cepat untuk menolak sekarang?” Aletha bersuara, berharap pria dihadapannya mempertimbangkan ucapannya sambil memajukan tubuhnya dengan pose yang sengaja ingin dibuat sensual, aurat yang seharusnya ditutup sempurna justru dipamerkan dengan gaunnya yang super ketat dan kekurangan bahan. Raffan menggeleng pelan, tubuhnya mulai gemetaran.

“Saya harus pergi sekarang,” ucapnya dingin, tanpa peduli respon perempuan itu yang menatapnya dengan sorot kecewa karena ditolak dengan mudah.

Raffan menatap nyalang kemacetan ibu kota, seharusnya dirinya sudah istirahat, berulang kali ia membuang nafas. Andai mamanya tidak merecokinya saat pulang tadi hanya untuk bertemu dengan perempuan yang benar-benar membuatnya bergidik. Pria itu mengelap wajah gusar, keringatnya dinginnya belum surut saat kembali memikirkan ucapan sang adik beberapa hari lalu.

“Lo normal nggak sih? Lo masih suka cewek nggak sih?”

"Gue, Nggak normal," berbisik lirih, bahkan kini Raffan menyadari dirinya, memang dirinya sama sekali belum pernah merasakan tertarik dengan perempuan, bahkan dirinya selalu was-was dan cenderung merasa jijik saat berinteraksi dengan mereka.

“Brengsek!” Pria itu memukul kemudinya, mengingat kilasan suram saat menjelang akhir ia duduk di bangku sekolah dasar, membuat pria itu menginjak rem secara mendadak, mengakibatkan decitan nyaring ban mobilnya beradu di aspal, dengan terburu-buru pria itu membuka pintu mobil, dan memuntahkan seluruh isi perutnya di solokan, akibat rasa mual melingkupinya tiba-tiba.

“Huek! Huek! Arght...” Raffan memegang perutnya lemah, matanya mulai berair saking tak berdaya, miris sekali nasibnya. Tubuhnya terduduk lemah, dingin melingkupi seluruh tubuhnya.

Seorang perempuan yang melihatnya meminggirkan motor, mendekat kearahnya dengan masih mengenakan helem

“Ya ampun, Mas kenapa?” Ujarnya khawatir. Raffan tak menghiraukan, lagi-lagi dorongan rasa mual meluruhkan isi perutnya.

Perempuan itu kembali ke motornya, mengambil kresek yang berisi air mineral dan makanan ringan yang digantung diatas stand motornya.

Perempuan itu yang tak lain adalah Atisha kembali menghampirinya saat Raffan mulai terduduk lemas di trotoar.

“Diminum Mas,” Atisha duduk berjongkok di sampingnya, mengulurkan air mineral yang telah buka segel dan tutupnya, Raffan menoleh kearah Atisha yang masih mengenakan helemnya dengan kaca yang sudah dinaikkan. Pria itu meraih botol minum itu lalu berkumur dan membuangnya, barulah setelahnya menenggak air perlahan.

“Saya nggak bawa obat Mas, tapi semoga ini bisa membantu,” Atisha merogoh tas selempangnya, lalu mengulurkan aroma terapi padanya.” Lagi-lagi Raffan menerimanya, menghirup aromanya lalu mengolesi perutnya.

“Terima kasih,” ucapnya lagi. Kini Atisha menatap jelas wajah pria itu. Atisha yang hendak berucap, terhenti saat dering handphonenya menginterupsi.

“Ya Rin, iya ini udah di jalan kok, iya … wa’aalaikumussalam.”

“Mas udah baikan? Nggak apa-apa kan kalau saya tinggal?”

“Iya Mbak, nggak papa. Sekali lagi terima kasih," ucap Raffan sambil menatap perempuan itu.

“Tunggu! Mbak kan, yang sebulan lalu nabrak mobil saya?” tanya Raffan, meski wajah Atisha masih tertutup masker, namun Raffan mengenalinya sorot matanya saat terpapar cahaya lampu jalan. Tidak salah lagi, mata paling teduh yang pernah ia temui, milik perempuan si penabrak mobilnya.

“Eh, Iya.” Atisha tak menyangka jika pemuda di depannya mengenalinya, namun tak urung ia menjawab sambil mengangguk, Atisha sama sekali enggan berbasa basi. Sebelum benar-benar pergi sejenak, ia melirik mobil pria itu sekilas, lalu menggeleng pelan. Orang kaya memang semudah itu gonta-ganti mobil mewah. Sementara dirinya, entah kapan mobilnya akan dia bawa ke bengkel.

Raffan masih memperhatikan perempuan itu, menurunkan kaca helm lalu menstater motor metiknya hingga kembali meluncur bergabung dengan kerumunan pengendara lainnya. Pria itu kembali menatap aromatherapy yang berada dalam genggamannya, lalu menatap kantung kresek supermarket di sampingnya yang berisi roti dan kripik kentang. Pria itu tersenyum, perempuan itu ternyata punya hati yang baik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   extra part 2

    "Sayang, aku nggak bermaksud buat ingkar janji." Rayyan membujuk setengah putus asa, saat istrinya meninggalkan kamar mereka dan memilih berbaring di atas sofa ruang tengah. "Harusnya nggak usah janji sejak awal." Atisha berenggut memunggunginya. "Maaf ya, janji nggak ak—" "Nggak usah janji lagi! Jatuhnya kamu jadi pembohong tau nggak." "Sayang, maafin aku." pria itu mengambil tempat disisi istrinya, membuat Atisha kian kesal. "Lepas nggak!" Perempuan itu berontak dalam belitan tangan suaminya, sofa yang sempit membuat mereka nyaris terjengkang. "Kamu mau buat aku jatuh? Perut aku sakit tau dibelit kayak gitu. Nggak usah dekat-dekat!" Atisha berucap dengan ketus sambil menatap suaminya tajam. " Tadi Macet sayang. Aku telat, juga karena ternyata meeting-nya alot, karena meyakinkan klien tadi ternyata butuh waktu yang nggak sebentar." Rayyan berdiri di sisi sofa, sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Menghadapi Istrinya dalam mede ngambek seperti ini merupakan hal ya

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   Ekstra Part

    Pria itu menyeka setetes air mata di pipi yang tak betah di pelupuknya. Genggaman hangatnya ditangan sang istri tak ia lepas sejak satu setengah jam yang lalu. Atisha masih terlelap pulas. Sesekali pria itu mengelus punggung tangan istrinya yang agak bengkak. Flebitis akibat bekas jarum infus, sehingga pemasangan infus di pindahkan di tangan lainnya. Pria itu terpejam, sudah banyak untaian kata maaf ia ucapkan pada sang istri. Ternyata, tak mampu menebus dosa dan mengeringkan penyesalan atas perbuatannya di masa lalu. Ia pernah teramat menyakiti sang istri secara brutal. Sakit istrinya kali ini diluar kuasanya. Ia benar-benar tak berniat menyakiti istrinya lagi. Meski secara tidak langsung ada andilnya pada sakit sang istri. Kehamilan istrinya cukup lemah, perempuannya tak jarang mengalami kram perut hingga bercak darah akhir-akhir ini. Belum lagi morning sicknes yang membuat istrinya kian pucat sejak trimester awal hingga trimester kedua ini. Rayyan mengecup tangan perempuan itu. B

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   Lima Puluh Delapan

    Saat membuka mata dan mengerjap, Atisha mendapati suaminya tersenyum lembut padanya. Pria itu menyelipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah istrinya. "Mas." Atisha menatap lekat suaminya, kembali mengingat percakapan mereka sebelum ia jatuh tertidur. Ia Lalu menghembuskan napas dan memeluk sang suami mencari posisi nyaman. "Kok udah bangun sih, padahal tidur baru tiga puluh menit." Rayyan mengangkat tangannya yang bebas dan melirik jam tangannya. "Nggak nyaman yah tidurnya? Pindah di kasur aja yuk." Ajak Rayyan, Atisha hanya menggeleng. "Udah jam berapa?" "Jam lima lewat." Rayyan mendekap hangat istrinya, pipinya menempel di kepala istrinya. Pria itu memejamkan mata sambil tersenyum tak dapat membendung keharuannya dengan kemajuan pesat dalam hubungan mereka setelah sekian lama. Mengungkapkan hal yang selama ini mereka pendam bertahun-tahun memang tidak mudah, bagai mengangkat bongkahan batu yang telah lama tertimbun. Namun sepadan dengan kelegaan yang kini mereka hirup

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   Lima Puluh Tujuh

    "Kamu nggak ngerti, kamu nggak ingat sama aku yang pernah ngejar-ngejar kamu saat SMA." Atisha menatap suaminya dengan serius, ia sama sekali tak tahu maksud suaminya."Kamu mah, dulu hanya melihat Jerome. Mengabaikan cowok lain yang sedang berusaha dekat sama kamu, padahal aku baru tahu suka dan cinta sama cewek itu apa, kompleks banget karena langsung mengecap sakitnya patah hati..." Rayyan berucap sambil menyentuh pelipisnya, tampak menerawang. Ternyata pengalaman buruk itu masih membuat hatinya meradang kala mengingatnya."Aku cowok yang pernah berkompetisi dengan kamu di salah-satu olimpiade mewakili SMA Gantara. Kamu ingat nggak? Cowok yang selalu berusaha ngedeketin kamu, nungguin kamu setiap pulang sekolah bahkan nekat nerobos masuk di sekolah kamu demi bisa kenal dekat dengan kamu, tapi selalu di cuekin dan kamu anggap nggak kasat mata. Terakhir di taman depan perpustakaan umum, waktu itu aku coba deketin kamu lagi dan jujur tentang perasaan aku, tapi malah nggak digubris pad

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   Lima Puluh Enam

    "Asha, kok udah bangun jam segini?" Tanya Raisa saat menatap siapa yang berada di depan pintu kamarnya menjelang subuh seperti ini, Asha berdiri di depan pintu kamarnya mendongak menatap wajah sang nenek dengan sorot berkaca-kaca sambil memeluk boneka koala kesayangannya."Cucu Oma kenapa, jam segini kok sudah bangun?" Mendengar pertanyaan keheranan Omanya membuat gadis kecil itu menitihkan air matanya."Mami nggak ada," lirihnya dengan bibir bergetar, Raisa segera menggendong cucunya yang langsung terisak di dekapannya. "Didinya Asha juga belum pulang ya?" Tanya Raisa yang dijawab Asha dengan gelengan kepala, semalam putranya itu belum pulang saat ia masuk kamar dan tertidur. "Asha jangan nangis. Sayang..." Raisa berujar khawatir saat cucunya menangis sesegukan. Selama ini, cucu kesayangannya itu jarang menangis seperti ini, ia lalu menoleh kearah Ghifari yang masih tertidur."Memang maminya kemana?" Tanyanya mengelus lembut punggung cucunya. Ia benar-benar bingung saat tiba-tiba cu

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   Lima Puluh Lima

    Atisha ditemani dua orang koas baru di stase obgyn yang tengah mengobrol dengannya mendiskusikan kondisi pasien kepadanya, teramat serius sampai tidak melihat dokter Kikan yang hendak ke poli, berpapasan dengannya andai perempuan itu tidak menyapanya lebih dulu. "Selamat pagi." "Pagi, dokter Kikan..." jawab Atisha dengan senyum ramah. "Udah lepas jaga kan, papanya Asha di depan nungguin tuh," ujarnya, sambil tersenyum."Oh iya dok, makasih infonya yah. Padahal tadi mau sarapan bareng mereka dulu di kafetaria sebelum balik. Maaf, lain kali ya..." Atisha menoleh pada dua dokter muda di sisinya. "Iyya dok, nggak papa," jawabnya berbarengan. Atisha lalu pamit sebelum meninggalkan mereka. Rayyan menjemputnya adalah suatu hal yang langka sebenarnya, jadi ia tak ingin membuat pria itu menungguinya terlalu lama."Hai," Rayyan tersenyum kearah Atisha yang menghampirinya. Perempuan itu menghela nafas lirih, sebelum balas tersenyum. "Assalamualaikum," ucapannya sebelum meraih punggung tangan

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   Lima Puluh Empat

    Malam harinya, pemuda itu baru pulang kerja saat mendapati apartemennya diterobos oleh seseorang. Pria itu menggeleng, melihat sosok yang sedang terpaku dalam cahaya remang-remang, penerangan ruang tamunya hanya bersumber dari TV. Bahkan seluruh penjuru ruangan lain apartemen itu, masih gelap. "Kenapa lagi Lo?" Tanya Bram mendapati Rayyan duduk termenung, menyalakan tv sambil melamun. Rayyan hanya menggeleng sambil menghembuskan nafas jengah."Apa nggak capek hidup kayak gini? Yah, gue tau Lo bahagia punya putri cantik dan menggemaskan, tapi kebahagiaan itu nggak cukup. Lo berubah drastis dan nggak lagi main cewek karena Lo takut karma berlaku. Bagaimanapun Lo punya anak cewek juga. Tapi tetap aja, Lo butuh sosok perempuan yang bisa melengkapi hidup Lo, dan gue tebak istri Lo bukan orangnya. Mending Lo nikah lagi deh Ray, jangan ngekang diri Lo sekeras ini." Bram berujar sambil meletakkan tas kerjanya, lalu duduk di samping teman karibnya melirik Rayyan dengan prihatin. Meski Rayyan t

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   Lima Puluh Tiga

    Pagi hari, Atisha sibuk di dapur menyiapkan bekal untuk sang putri yang sudah masuk PAUD. Sementara Bibi menyiapkan sarapan. Tidak lama kemudian setelah makanan tersaji di meja, serta bekal Asha yang telah di tata menarik, putrinya muncul dengan seragam yang sudah rapi melekat di tubuh mungilnya, disusul dengan pengasuhnya yang membawa bando lalu memasangkannya pada Ashana. “Mami…” gadis itu berlari sambil merentangkan tangan kearahnya. “Sayang.” Atisha segera melepaskan apronnya sebelum meraih tubuh mungil sang putri dan menggendongnya. “Sarapan dulu nak,” Atisha mendudukkan putrinya di depan meja makan. “Gabung disini aja Ver,” ucap Atisha saat pengasuh Asha memilih masuk ke dalam. Perempuan itu tidak menyuapi Asha, karena sejak kecil Asha memang di didik untuk dibiasakan mandiri mulai dari hal kecil seperti makan sendiri tanpa di suapi, merapikan tempat tidur, merapikan barang-barangnya setelah belajar maupun bermain dan selalu diajarkan untuk meminta tolong jika dihadapkan deng

  • Dinikahi Mantan Adik Ipar   Lima Puluh Dua

    Malam harinya, Rayyan ikut membaringkan tubuhnya di sisi sang istri, meski Atisha lebih banyak diam setelah mengikuti persidangan hari ini, serta sore harinya ia malah menyerahkan kado terakhir dari Raffan padanya. Rayyan masih merutuki dirinya akan hal itu, saat istrinya justru semakin uring-uringan, makan seadanya dan lebih memilih bungkam. Ia bahkan hanya mendengar suara istrinya kala bersenandung lirih saat menidurkan putri mereka sebelum meletakkannya di boks bayi setengah jam lalu. Rayyan memperhatikan istrinya yang sibuk menatap plafon kamarnya. Pria itu dapat merasakan kekalutan istrinya saat ini. Perlahan ia menepis jarak, lalu memeluk istrinya dalam diam. Sesekali ia mengecup puncak kepala perempuan itu sambil berbisik lembut, mencoba menyalurkan ketenangan. "Jangan sedih Mami Asha." Atisha menoleh, menatapnya dengan nanar."Ray, bisa nggak kamu kembali saja ke kamar kamu?" Pinta Atisha, saat Rayyan masih memeluknya."Hmm..." Rayyan hanya bergumam, mengabaikan protes istr

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status