Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.
Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat.
"Pagi," sapa dokter dan perawat.
"Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak.
"Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.
Xiera mengangguk.
"Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.
Xiera meminta cermin kepada Re
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
"Sabarlah, Tuan! Apa kau tidak lihat di depan macet?!" teriak Revalina di atas motor sambil menoleh ke arah mobil yang berada tepat di belakangnya karena terus menyalakan klakson.Tidak berselang lama kemacetan terurai. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu melajukan motor maticnya dengan kecepatan sedang.Tin!Suara klakson terdengar nyaring saat mobil itu menyalip. Nahas, ban mobil menginjak genangan air dan mengenai Revalina."Aaaaa!" gadis itu berteriak lalu menepi. Matanya membulat sempurna saat melihat penampilannya di kaca spion."Astaga! Wajahku ... bajuku juga ...." Revalina berdecak kesal sambil menatap sinis mobil mewah yang sudah menjauh.Tangannya merogoh sapu tangan dalam tas kemudian membersihkan wajahnya. Setelah bersih, ia melempar sapu tangan itu ke dalam tong sampah yang tak jauh darinya."Sial! Bisa telat kalau begini. Mana katanya sekarang dosennya galak lagi," gerutuny
Pukul satu siang, mobil mewah milik Raffael terparkir di salah satu mall ternama.Tanpa memedulikan Revalina, pria itu membuka sabuk pengaman lalu turun."Mall? Apa dia mau melakukannya di mall? Yang benar saja?" gerutu Revalina. "Eh ... tunggu!" lanjutnya berteriak.Revalina terus berlari dan akhirnya bisa menyejajarkan langkah dengan dosennya."Yang benar saja, masa mau melakukannya di mall?" tanya Revalina dengan napas tersengal."Astaga! Kau ini beneran polos atau gila atau memang bodoh?" ucap Raffael pelan."Kau bilang apa?""Dasar gila!""Kau!" Revalina berdecak kesal.Mau tidak mau gadis itu mengikuti kemana dosennya pergi, hingga akhirnya sampai di sebuah outlet pakaian brand ternama."Ada yang bisa kami bantu, Tuan," sambut sang pelayan ramah."Tolong layani gadis ini. Terserah dia mau pilih berapa banyak baju."Sang pelayan menyambut Revalina dan me
"Sudah dipastikan jika aku yang akan memenangkan sidang nanti!"Semua mata tertuju pada sosok wanita yang baru saja masuk. Siapa lagi kalau bukan Casandra --mantan istri Raffael.Raffael beranjak dari duduknya dan menghampiri Aldevaro seraya berkata, "Apa kau tidak kasihan melihatnya? Dia membutuhkan ASI. Aku mohon berilah walau sekali dalam sehari."Casandra tertawa lepas. "Hey! Sudah aku bilang dari sebelum kita menikah. Jika memiliki anak, tidak akan aku susui," jawab Casandra. "Apalagi aku sudah terkenal sekarang. Lalu bagaimana jika pay*daraku kendur nanti?""Kau egois. Kau hanya mementingkan dirimu sendiri. Mana Casandra yang dulu aku kenal. Mana?!" bentak Raffael."Setelah kau mengenal uang kenapa dirimu berubah? Apa tidak cukup uang bulanan yang selalu putraku beri? Sampai-sampai kau lebih memilih pria lain yang bahkan tidak jelas asal-usulnya!" timpal Hanna denganemosi.Ferdy hanya menyimak obrolan mereka sambil me
Jarum jam sudah menunjuk pada angka sembilan malam. Namun, Revalina enggan untuk terpejam. Miring kanan, miring kiri, bahkan tengkurap sudah ia lakukan. Entah mengapa rasa gelisah kian menggerogoti hati tatkala dirinya mengingat Aldevaro."Ya, Tuhan, kenapa wajah polos bayi itu selalu terngiang di otakku? gumam Revalina.Suara ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia beranjak dan mengambil benda pipih itu di atas nakas."Siapa ini?" ucapnya ketika melihat nomor yang tidak ia kenal di layar ponsel.Revalina menolak panggilan. Ia meletakkan kembali ponselnya. Namun, lagi-lagi ponsel itu berdering."Astaga, siapa, sih?" kesalnya sambil meraih ponsel.Revalina mendengkus sebal karena saat ia akan menerima, panggilan itu terputus.Ting!Panggilan masuk berubah menjadi pesan singkat."Tolong angkat teleponnya. Ini aku, Raffael," isi pesannya.Revalina membulatkan matanya saat membaca
Selama di restoran, Revalina belum memberikan jawaban. Ia merasa bingung dan ada rasa sesal dengan ucapannya dan kini menjadi boomerang. Namun, di sisi lain, ia sangat peduli bahkan sayang kepada Aldevaro. Ia tidak ingin putra dari dosen gantengnya berada di tangan yang salah meskipun ibu kandungnya sendiri.Akan tetapi, kalaupun dirinya menerima tawaran untuk menjadi istri sah Raffael, apakah ia sanggup, apakah ia bisa, apakah ia mampu mengurus bayi diusianya yang masih muda? Pertanyaan itu yang bergelayut dalam pikiran Revalina sekarang, dan yang tak kalah penting adalah apakah bisa ia mencintai sosok Raffael, pun sebaliknya.Gadis cantik itu duduk termangu di sofa balkon dengan tangan terus mengaduk segelas susu coklat yang ada dalam genggamannya."Ya, Tuhan ... aku harus bagaimana?" gumam Revalina."Bagaimana apanya, Sayang?" tanya Cindy yang tiba-tiba saja datang sambil menepuk pelan pundak putrinya."Astaga! Mama!" Rev
Bulan sudah kembali ke peraduannya. Kini, tinggal mentari pagi yang bertugas memanjakan bumi. Sinarnya begitu hangat menelusup setiap celah."Emmm ...." Revalina bergumam saat sorot matahari mengenai wajahnya."Bangun, Sayang," titah Cindy sambil membuka gorden."Jam berapa ini, Ma?" tanya Revalina dengan mata masih terpejam."Sudah jam enam pagi. Bangun dan bersiaplah. Karena tamu kita akan datang pukul sembilan."Revalina membuka matanya seraya berkata, "Tamu?""Ck! Jangan bilang kamu lupa kalau hari ini kita akan kedatangan sahabat Mama. Mama tidak mau tahu, pokoknya hari ini harus ada di rumah. Titik!" tutur Cindy kemudian pergi."Aarrgggh! Kenapa bisa aku lupa?" ucap Revalina kemudian duduk dan menepuk kening."Ponsel mana ponsel," sambungnya dengan mata dan tangan sibuk mencari benda pipih itu.Revalina meraih tas yang ia simpan di atas nakas. Tangannya dengan lincah merogoh gawa
Revalina ragu. Ketika dirinya baru mengenal makhluk yang bernama laki-laki, ia malah dihadapkan dengan pilihan yang rumit. Bukan tidak pernah mengenal, tetapi ia membentengi dirinya sendiri karena enggan seperti Cecilia --sahabatnya, yang terluka karena sosok yang berwujud laki-laki itu.Pewaris tunggal konglomerat itu mulai membuka hati. Ia ingin merasakan mencintai dan dicintai. Kenzie, lelaki pertama yang diberi kesempatan untuk dekat dengan dirinya. Namun, ucap janji kepada Raffael menghancurkan semuanya."Bodoh! Kenapa kemarin mulut ini begitu entengnya mengatakan jika aku bersedia menjadi istri Raffael," sesal Revalina."Kalau tidak mau, tidak usah. Tenang saja, aku tidak akan menuntutmu seperti yang aku katakan waktu lalu," ucap Raffael. "Kalau pun aku kalah dalam persidangan, mungkin memang seharusnya Aldevaro berada di samping ibunya.Revalina terperanjat. Ia tidak menyangka jika Raffael mengikutinya ke taman belakang."T